Minggu, 18 Desember 2016

The Grand Old Man



The Grand Old Man (Agus Salim)
Orang tua  berjenggot, yang diberi julukan "The Old Grand Man" oleh gerakan nasionalis Indonesia, berasal dari wilayah Minangkabau. Agus Salim dilahirkan pada tgl 8 Oktober 1884, adalah putera seorang hoofddjaksa(jaksa kepala). Ia bersekolah di sekolah dasar di Sumatera dan kemudian berangkat ke Betawi dan masuk sekolah menengah Koning Willem III, di mana ia tamat nomor tiga dari 35 teman sekelasnya. Atas rekomendasi C. Snouck Hurgronje, Penasihat Urusan-urusan Pribumi, yang selama bertahun-tahun menganjurkan seorang Indonesia ke Jeddah untuk bekerja pada Konsulat Belanda, Salim diangkat dalam posisi tsb. Penilaian Snouck Hurgronje tentang Salim adalah ia seorang muda yang mempunyai intelektualitas bagus dan suatu keberanian  luar biasa bagi seorang Melayu.

Haji Agus Salim lahir dengan nama Mashudul Haq (yang bermakna "pembela kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Bukittinggi, Minangkabau, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884 – wafat di Jakarta, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Agus Salim lahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau. Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda. Salim bekerja selama lima tahun di Jeddah, belajar bahasa Arab dan menjadi kenal dengan gerakan modernis Islam. Setelah kembali ke Indonesia, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.

Menamakan dirinya sendiri seorang Muslim sosialis, dan menandaskan bahwa Al Quran sudah menganjurkan prinsip-prinsip sosialis, ia bentrok dengan orang-orang komunis yang menginfiltrasi ke dalam partai. Salim berhasil melakukan disiplin partai, menyebabkan diadakannya pembersihan unsur-unsur Marxis. Hal itu juga menyebabkan menurunnya partai. Pada tahun 1923, Sarekat Islam berganti nama; dasar agama ditandaskan, dan ketaatan kepada persatuan Islam ditekankan. Salim tetap menjadi anggota kelompok ini sampai tahun 1936, waktu keputusan untuk meninggalkan nonkoperasi dengan pemerintah jajahan menyebabkan ia dikeluarkan.

Ia menjadi aktif dalam panitia yang mencari dukungan untuk Petisi Soetardjo di antara rakyat Indonesia. Akan tetapi menolak untuk membantu GAPI (Gerakan Politik Indonesia), suatu federasi organisasi-organisasi politik Indonesia, dan juga menentang gerakan Indonesia Berparlemen pada tahun 1940. Salim yang membentuk organisasinya sendiri, Pergerakan Penyadar, menganggap bahwa demokrasi di tingkat rakyat biasa harus mendahului gerakan politik pada  skala nasional.

Dalam pendidikan, agama dan politik, ia berusaha untuk mengembangkan semangat kemasyarakatan dengan membangkitkan kesadaran umum terhadap masalah-masalah yang mendesak di tingkat kampung dan desa. Salim bekerja pada pemerintah jajahan dalam berbagai fungsi. Ia pernah menjadi anggota Komisi Status Revisi Konstitusi Hindia pada tahun 1920 dan menyampaikan sebuah laporan minoritas  yang menyatakan pandangan bahwa Hindia harus mempunyai lebih banyak otonomi dan jangan diperintah oleh sebuah negeri yang beberapa mil jauhnya.

Dari tahun 1921 sampai tahun 1924 ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat), di mana ia berusaha untuk menyadarkan teman-temannya para anggota Dewan tentang masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh Indonesia. Ia juga menjadi anggota delegasi Belanda pada Konferensi Perburuhan Internasional di Jenewa pada tahun 1930. Pada waktu pendudukan Jepang ia bekerja sebentar pada gerakan Poetera (Poesat Tenaga Rakjat.

 Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:
anggota Volksraad (1921-1924)
anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949

Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri. Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim masih mengenal batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal. Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Sumber:
Sumar Historia dan Wikipedia



Tidak ada komentar: