Selasa, 27 Desember 2016

Candi Bumi Ayu diantara Reruntuhan Sriwijaya



Candi Bumi Ayu

Candi ini merupakan satu-satunya Kompleks Percandian di Sumatera Selatan, sampai sekarang tidak kurang 9 buah Candi yang telah ditemukan dan 4 diantaranya telah dipugar, yaitu Candi 1, Candi 2, Candi 3 dan Candi 8 Usaha pelestarian ini telah dimulai pada tahun 1990 sampai sekarang, dengan didukung oleh dana APBN. Walaupun demikian peran serta Pemerintah Kabupaten Muara Enim cukup besar, antara lain Pembangunan Jalan, Pembebasan Tanah dan Pembangunan Gedung Museum Lapangan. Percandian Bumiayu meliputi lahan seluas 75,56 Ha, dengan batas terluar berupa 7 (tujuh) buah sungai parit yang sebagian sudah mengalami pendangkalan Objek Wisata Candi Bumi Ayu terletak di Desa Bumiayu Kecamatan Tanah Abang jarak antara Kota Muara Enim sekitar 85 Km ditempuh dengan kendaraan darat
.Candi Bumi Ayu pada saat ini masih dalam proses pengkajian dan pemugaran, sehingga belum banyak informasi yang dapat diketahui, sedangkan informasi tertulis dari Candi tersebut masih dalam proses dipahami oleh Tim Pengkajian Peninggalan Purbakala Propinsi Sumatera Selatan

Candi-candi di Bumiayu merupakan death monument. Monumen yang telah ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Candi tersebut ditinggalkan mungkin seiring dengan terdesaknya kekuatan politik Hindu oleh Islam pada sekitar abad ke-16. Kemudian candi-candi itu rusak dan terkubur tanah hingga ditemukan kembali oleh E.P. Tombrink tahun 1864. Penduduk Bumiayu tidak mengenal fungsinya semula. Cerita penduduk yang dicatat oleh A.J. Knaap tahun 1902 menyatakan bahwa apa yang sekarang disebut candi di Bumiayu itu adalah bekas istana sebuah kerajaan yang disebut Gedebong Undang. Wilayah kerajaan tersebut sampai di Modong dan Babat. F.M. Schnitger melaporkan bahwa di kedua desa tersebut terdapat pula tinggalan agama Hindu (1934:4), namun kini telah hilang terkena erosi Sungai Lematang. Penduduk Bumiayu tidak mengenal kata “candi” sebelum ada kegiatan penelitian, perlindungan, dan pemeliharaan di situs tersebut. Kata “candi” diambil dari bahasa Jawa untuk menggantikan kata “kuil” dari agama Hindu atau Budha. R. Soekmono (1974) melalui disertasinya di Universitas Indonesia menyatakan bahwa apa yang disebut candi itu sebenarnya adalah bangunan kuil dewa sebagaimana yang ada di tanah asalnya, Hindustan.

Diperkirakan kerusakan lebih banyak disebabkan oleh karena tangan manusia. Masyarakat yang tinggal di sekitar Candi Bumiayu belum menyadari tinggalan tersebut sebagai pusaka warisan leluhurnya yang harus dilestarikan. Sebagai buktinya, digunakannya bata candi, baik polos maupun berelief, untuk bangunan pemakaman dan masjid di desa setempat. Candi-candi Bumiayu yang ditemukan dalam keadaan demikian itu sejak tahun 1991 telah diupayakan pemanfaatan dan pengembangannya oleh Pemerintah Republik Indonesia. Upaya tersebut dimulai oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan melakukan penelitian intensif sejak tahun 1991. Kemudian dilanjutkan oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala dengan melakukan pemugaran sejak tahun 1992. Pemerintah Kabupaten Muaraenim merencanakan pemanfaatan dan pengembangannya untuk kepentingan pariwisata.

Situs Candi Bumi Ayu terletak di Desa Bumiayu Kecamatan Tanah Abang, jarak antara Kota Muara Enim sekitar 85 Km ditempuh dengan kendaraan darat. Candi ini merupakan satu-satunya Kompleks Percandian di Sumatera Selatan, sampai sekarang tidak kurang 9 buah Candi yang telah ditemukan dan 4 diantaranya telah dipugar, yaitu Candi 1, Candi 2, Candi 3 dan Candi 8. Usaha pelestarian ini telah dimulai pada tahun 1990 sampai sekarang, dengan didukung oleh dana APBN. Percandian Bumiayu meliputi lahan seluas 75,56 Ha, dengan batas terluar berupa 7 (tujuh) buah sungai parit yang sebagian sudah mengalami pendangkalan. Tanah yang sudah dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Muara Enim seluas 6,50 Ha, selebihnya 69,06 Ha masih dikuasai oleh masyarakat. Lahan ini terdiri dari pemukiman masyarakat, kebun karet, kebun jeruk, tanah desa dan rawa-rawa. Sesuai dengan Studi Rencana Induk Pelestarian Situs Bumiayu Sumatera Selatan tahun 1996/1997 yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pemerintah menguasai dan kemudian melindungi serta memelihara Candi Bumi Ayu dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1992 Pasal 13 Ayat 1 bahwa setiap orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya. Perlindungan dan pemeliharaannya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran (P.P. No. 10 Tahun 1993 Pasal 23 Ayat 1) dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya (P.P. No. 10 Pasal 23 Ayat 2). Khusus untuk pelaksanaan pemugaran diberikan rambu-rambu yang lebih jelas lagi dalam Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 063/U/1995 Pasal 12 Ayat 4 bahwa pelaksanaan pemugaran harus memperhatikan prinsip-prinsip pemugaran yang meliputi keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, dan tataletak dengan mempertahankan nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Dalam UU No. 5 Tahun 1992 Pasal 15 Ayat 1 dinyatakan bahwa setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya. Selanjutnya dalam Pasal 15 Ayat 2 dinyatakan tanpa izin Pemerintah, setiap orang dilarang (a) mengambil atau memindahkan benda cagar budaya, baik sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam keadaan darurat; (b) mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya; (c) memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya. Termasuk kegiatan yang dapat merusak benda cagar budaya adalah mengurangi, menambah, memindahkan, dan mencemari benda cagar budaya; dan (b) mengurangi, mencemari, dan/atau mengubah fungsi situs (PP No. 10 Tahun 1993 Pasal 29 Ayat 2).

Pemanfaatan Candi Bumiayu sebagai objek penelitian tidak hanya mencakup penelitian arkeologi, melainkan juga, sebagai contoh, arsitektur, teknik, dan biologi. Bagi arkeologi, Candi Bumiayu dan situs serta lingkungannya merupakan bahan kajian arkeologi keruangan (spatial archaeology) sekala mikro, semi-mikro, dan makro atau regional untuk mengetahui seluk-beluk teknologi/adaptasi lingkungan, sosial, dan idiologi/religinya. Bagi penelitian arsitektur, Candi Bumiayu  dapat dipelajari dari segi pola perancangan dan latar belakangnya. Ilmu teknik sipil dapat meninjauanya dari aspek konstruksi. Sementara itu, peneliti biologi dapat memusatkan perhatian pada spesies lumut, jamur, dan ganggang yang tumbuh pada bangunan candi sekaligus teknologi pembasmiannya yang aman. Penelitian-penelitian tersebut diharapkan menjadi umpan balik bagi pengembangan Candi Bumiayu itu sendiri. Sebelum melaksanakan penelitian harus minta izin kepada Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Pemanfaatan Candi Bumiayu sebagai objek wisata, pendidikan, dan penelitian dapat menimbulkan kerusakan dengan banyaknya orang yang mengunjunginya. Kerusakan itu timbul karena bahan bangunan candi tersebut bersifat mudah pecah (fragile) dan rapuh. Bahannya dibuat dari tanah liat yang dibakar dengan suhu tertinggi tidak lebih daripada 1000o C (suhu tertinggi pembakaran tembikar). Dengan suhu tersebut butiran-butiran tanah liat belum mengalami pelelehan, baik di bagian permukaan maupun seluruhnya, serta berpori. Dalam keadaan demikian ikatan antarbutiran belum sekuat porselen serta bersifat menyerap air. Proses pelapukan bangunan candi berlangsung dalam pergantian musim hujan dengan kemarau. Selain itu, keadaan bata yang tinggi kelembabannya akan mengakibatkan tumbuhnya lumut, jamur, dan ganggang yang mempercepat proses pelapukannya. Oleh karena itu, tepat bila bangunan candi dinaungi bangunan cungkup.[1] Namun, bangunan cungkup itu hendaknya tidak menghalangi pandangan pengunjung. Apalagi bangunan candi digemari sebagai latar potret kenangan bagi pengunjung.

Keadaan bangunan yang mudah retak dan rapuh tidak memungkinkan pengunjung menginjak atau menaiki bangunan candi. Tekanan beban dari tubuh manusia, apalagi berulang-ulang, dapat mengakibatkan retaknya bata. Permukaan bata pun menjadi aus karena abrasi dari gesekan kaki pengunjung. Keausan akan berlangsung lebih cepat bila kaki pengunjung menggunakan alas atau sepatu yang dibuat dari bahan yang keras. Untuk mencegah kemungkinan yang tidak diharapkan itu harus dibuat sistem pengamanan yang menjamin keselamatan candi.

Penelitian arkeologi yang dilakukan di situs Candi Bumiayu pun dapat memperparah kerusakan benda cagar budaya dan situs bila dilakukan tanpa metode dan teknik yang benar. Ekskavasi pada dasarnya mengambil benda dari matriknya. Oleh karena itu, dalam ekskavasi harus dilakukan perekaman data, baik dalam bentuk verbal maupun piktorial. Tanpa perekaman data yang benar, tinggalan arkeologi yang dipindahkan dari tempat asalnya (matriknya) kehilangan reliabilitasnya sebagai sumberdata. Pelaksanaan dan hasil kegiatan ekskavasi harus dilaporkan kepada instansi teknis yang berwenang (Balai Arkeologi Palembang dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Bangka-Belitung).



DAFTAR PUSTAKA

Soekmono, R., 1974, Candi, Fungsi dan Pengertiannya, Dissertasi Universitas Indoensia Jakarta

Schnitger, F.M., 1937, The Archaeology of Hindoo Sumatra, Leiden: E.J. Brill

Tri Marhaeni S. Budisantosa, Pemanfaatan dan Pengembangan Situs Candi Bumiayu  untuk Kepentingan Wisata, Pendidikan, dan Penelitian

Tidak ada komentar: