Selasa, 06 Desember 2016

Persepsi Jilbab Hati



Persepsi Jilbab Hati

Aku mendapat kiriman cerita ini dari temanku.seorang prempuan yang sempat bermain diskusi panas perihal jilbab. Temanku ini menggunakan argument jilbab hati yang ternyata ditulisan dibawah begitu dikedepankan. Aneh memang, tapi coba deh cermati cerita ini dari awal sampai akhir.
 MAHADEWI  Oleh Eni Kusuma W
 ....... Mahadewi, sebuah nama yang cukup menggetarkan hatiku......

 Bukan karena namaku Syahdewa Ali, kemudian aku memilih istri bernama Mahadewi. Itu hanya kebetulan saja. Nama kami serasi, Dewa Dewi. Banyak teman yang mengatakan kami adalah sepasang merpati yang ditakdirkan untuk hidup bersama. Ada juga teman yang mengatakan Mahadewi tak cocok untukku. Tapi bagiku Mahadewi adalah anugerah yang tak terhingga dari Tuhan untukku. Selain campur tangan Tuhan, aku menyukai Mahadewi lantaran kepribadiannya.

 Aku adalah seorang pria yang boleh dibilang sangat religius. Perkawinan kami mengundang pro dan kontra diantara teman-teman sekampus dulu. Hal ini disebabkan calon istriku tak berjilbab. Sedangkan aku dikenal sebagai seorang muslim yang taat. Sempat terjadi konflik di tengah-tengah keluarga besarku. Mereka semua menentangku. Karena hanya Mahadewi satu-satunya
menantu di keluargaku yang tak berjilbab. Tiga kakak iparku semuanya berjilbab. Aku anak paling bungsu dari empat bersaudara. Semuanya lelaki. Setelah aku bersikeras mempertahankan Mahadewi, akhirnya perkawinan kami mendapat restu juga.

 Ketika kuungkapkan bahwa aku ingin dia berjilbab, dia hanya tersenyum Mahadewi mengatakan lebih baik menjilbabkan hati. Tetapi aku bersikeras menentang prinsipnya kala itu: "Aku tak yakin kamu sudah benar-benar telah menjilbabkan hatimu." Dia tersenyum kembali sambil berujar:"Apakah berpakaian tertutup saja tak cukup? Apakah mesti berkerudung? Apakah prilaku
dan sikapku selama ini tak cukup untuk menunjukkan kepribadianku?" Aku ingat, dia terdiam sebentar dan mengatakan sesuatu padaku dengan sangat hati-hati:"Jika kamu menilai sebuah moral terletak pada jilbab, bukan terletak pada tingkah laku yang telah ditunjukkannya selama bertahun-tahun, berarti prinsip kita berbeda."

Aku hanya menghela nafas kala itu. Meski sebenarnya aku merasa tak puas dengan jalan pikirannya. Apa susahnya berjilbab? Toh tak akan mengurangi kesempurnaan kecantikannya. Bahkan semakin terlihat anggun. Aku katakan padanya jika aku mencintainya. Dia tersenyum sambil berkata:" Kita lihat saja nanti. Karena menjaga cinta lebih sulit dari pada kata-kata."

"Kenapa tidak?" Aku membela diri ketika Fahri - teman sekampusku memintaku untuk mempertimbangkan kembali pilihanku pada Mahadewi untuk menjadi istriku.

 "Ini hanya saranku, karena perempuan yang berjilbab paling tidak sudah menunjukkan pada kita jika dia telah memiliki "inner beauty". Patuh dan taat pada suami. Mengetahui dan mengerti dengan baik akan kewajibannya sebagai istri. Dan tentu saja taat pada ajaran agama yang dia anut."

 "Aku sudah mempertimbangkan dengan matang. Kecantikan dari dalam tak perlu ditunjukkan dengan berjilbab." jawabku trenyuh. "Biarlah waktu yang berbicara akan kelanggengan rumah tangga kami. Dan biarlah hanya Tuhan yang menilai apa yang ada di dalam dada manusia dan nilai-nilai keimanan kami." lanjutku sedikit tak terkontrol.  "Ya sudah. Aku hanya memberi saran."

Tiga tahun sudah usia perkawinan kami. Kami merasakan kebahagiaan bersama. Mahadewi kini adalah seorang ibu dari dua orang putra kami yang lucu-lucu.Dia ibu rumah tangga sekaligus wanita bekerja. Namun aktivitasnya ia lakukan sepanjang hari di rumah. Ia menjadi penulis lepas untuk beberapa media. Dia juga seorang cerpenis dan sedang merampungkan naskah novel.
Setelah pekerjaan rumah tangga selesai, baru ia mengerjakan pekerjaan yang lain. Dan tentu saja sambil mengawasi anak-anak. Sementara aku adalah seorang suami yang bekerja kantoran. Berangkat pagi dan pulang sore hari.

Tiba-tiba aku ingat Fahri. Entah dimana dia sekarang. Aku mendapat informasi dari seorang teman yang dapat dipercaya, bahwa rumah tangganya kandas. Nurul, istri Fahri adalah perempuan berjilbab. Bahkan dia lulusan pesantren ternama di kota besar. Konon, Nurul ketahuan berselingkuh ketika tiba-tiba suaminya pulang ke rumah tengah malam. Yang lebih menyedihkan, selingkuhan Nurul adalah sahabat Fahri yang aktif di sebuah organisasi yang
keras menyuarakan moral. Apalagi kini marak pro dan kontra tentang majalah"play boy'. Organisasi itu memang menentang majalah porno itu karena dianggap merusak akhlak. Ironis memang.

Ketika kuceritakan nasib rumah tangga temanku itu, Mahadewi hanya tersenyum sambil mengeluarkan kitab suci dan mulai membacanya. Mahadewi memang suka sekali baca kitab suci itu sambil menulis terjemahannya. Dia menulis untuk di kaji dan dicerna maknanya. Ketika kutanya kenapa? Dia terdiam sebentar sebelum menjawab:" Sebagai pembelajaran, Mas."

Aku memperhatikan Mahadewiku, dia tengah asyik mengetik naskah. Aku merasakan kekhawatiran yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Kini,setiap malam yang mestinya hanya untukku itu, digunakannya untuk mengetik.Jika kutanya dia selalu menjawab:" Deadline...deadline...Mas."

 Aku menghela nafas. Tak mengertikah Mahadewi sebagai istri yang mempunyai kewajiban melayani suami di tempat tidur? Apakah pekerjaan lebih penting daripada aku? Suaminya? Atau dia sedang mempunyai kekasih secara diam-diam melalui email? Itulah sebabnya dia betah berjam-jam duduk di depan komputer? Dan aku selama ini tak diberitahu nomor password emailnya karena takut ketahuan? Segera kubuang jauh-jauh pikiran kotor itu dari otakku.
Namun aku tak kuasa menolak untuk tidak menyelidikinya sendiri.

Aku melihat Mahadewi sedang membacakan buku cerita untuk kedua anakku Itu kebiasaannya untuk menidurkan dua buah hati kami. Setelah itu seperti biasa dia akan menyusul ke kamarku, menciumku sekilas dan beranjak pergi ke ruang tengah untuk menghidupkan komputer. Ketika dia asyik mengetik, aku menghampirinya dengan mengendap-endap. Dan ketika dia mempergokiku ada di belakangnya sedang memperhatikan, dia sama sekali tak terkejut. Bukankah jika benar dia selingkuh maka dia akan kaget setengah mati? Ataukah keduanya
berhubungan pada siang atau sore hari ketika aku tak berada di tempat?

Tiba-tiba aku teringat Fahri. Kutelpon dia. Kukatakan jika aku ingin bertemu dengannya siang ini. Fahri tertawa mendengarnya."Benar kan, ucapanku dulu. Apakah kau sekarang mencurigai moral Dewimu itu?" Ucapannya menusukku. Aku mengangguk. "Aku mencurigai istriku punya
pria lain..." "Trus kamu kesini mau apa?" potongnya cepat. "Minta saran?" lanjutnya. Aku mengangguk. "Aku bukan malaikat yang bisa menilai moral manusia, rumah tanggaku saja berantakan. Bagaimana mungkin aku bisa member nasehat padamu?"

Aku terkesiap. Fahri benar. Dia memang bukan tempat yang tepat untuk dimintai saran apalagi nasehat. Aku langsung pamit pulang. Diantara kehampaan pandanganku, aku tiba-tiba menemukan jalan. Aku akan pulang tiba-tiba sepanjang bulan ini. Entah pagi, siang ,sore atau bahkan malam. Bukan aku tak mempercayai Mahadewi, tapi hanya untuk membuktikan bahwa
asumsiku tidak benar.

Sebulan telah lewat. Dan aku tak menemukan apa-apa. Aku percaya kini bahwa Mahadewi masih seperti yang dulu ku kenal. Aku benar-benar bahagia.Apalagi Mahadewi menyetujui usulku untuk menerima pembantu di rumah kami.Sehingga pekerjaan rumah tangganya terbantu. Dan pekerjaan mengetiknya kini tak di lakukan pada malam hari.

TAMAT


Nah, udah ketemu belum konklusinya. Ketika seseorang membaca tulisan ini akan mempermaklumkan bahwa lebih penting jilbab hati dari pada jilbab fisik. Jilbab fisik menjadi pelekat dalam moral seorang wanita. Dan ironisnya konsepsi jilbab hati ini juga dikenakan  ke pada wanita. Bukankah ketika seorang wanita mengucapkan kekuatan jilbab hati, hal tersebut membuat konsekuensi lebih berat daripada jilbab fisik. Jilbab fisik dalam aktualisasi sekelompok orang dikaitkan dengan moral, bukan dikaitkan dengan batas aurat pemakaian pakaian. Pemaknaan yang dipersempit ini membuat persepsi orang awam menjadikan jilbab fisik terasa begitu berat. Dan menggampangkan jilbab hati. Dalam kasus ini jilbab hati bukan untuk wanita saja, tapi juga kaum pria. Cobalah direnungkan.



Tidak ada komentar: