Sabtu, 03 Februari 2018

R. Hidayat Sang Pengawal “Toedjoeh Kata”




R. Hidayat Sang Pengawal “Toedjoeh Kata”
Ki Bagus Hadikusumo dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi’ul Akhir 1038 Hijriyah. Ki Bagus adalah putra ketiga dari lima bersaudara Raden Haji Lurah Hasyim, abdi dalem putihan agama Islam di Kraton Yogyakarta. Ki Bagus memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan Kiai-Kiai di Kauman. Setamat dari ‘Sekolah Ongko Loro’ (tiga tahun tingkat sekolah dasar), Ki Bagus belajar di Pesantren Wonokromo, Yogyakarta. Di Pesantren ini ia banyak mengkaji kitab-kitab fiqh dan tasawuf. Kemahirannya dalam sastra Jawa, Melayu, dan Belanda didapat dari seorang yang bernama Ngabehi Sasrasoeganda, dan Ki Bagus juga belajar bahasa Inggris dari seorang tokoh Ahmadiyah yang bernama Mirza Wali Ahmad Baig. Namun, berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab terkenal akhirnya ia menjadi orang alim, mubaligh dan pemimpin ummat.
Ki Bagus menikah dengan Siti Fatmah (putri Raden Haji Suhud) dalam usia 20 tahun dan memperoleh enam anak. Salah seorang anaknya adalah Djarnawi Hadikusumo. Djarnawi menjadi tokoh Muhammadiyah dan menjadi orang nomor satu Parmusi. Siti Fatmah meninggal, Ki Bagus menikah lagi dengan seorang wanita pengusaha dari Yogyakarta bernama Mursilah. Pernikahan kedua  Ki Bagus dikaruniai tiga orang anak. Ki Bagus menikah untuk ketiga kalinya dengan Siti Fatimah (juga seorang pengusaha) setelah Mursilah meninggal. Dari Siti Fatimah, Ki Bagus memperoleh lima anak.
Ki Bagus adalah pemimpin Muhammadiyah yang besar andilnya dalam penyusunan Muqadimah UUD 1945. Ki Bagus termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI). Peran Ki Bagus sangat besar dalam perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu disetujui oleh semua anggota PPKI.
Secara formal, selain kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan Ketua PP Muham­madiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil dirumuskan sehingga dapat menjiwai dan mengarahkan gerak serta perjuangan Muhammadiyah. Pokok-pokok pikiran yang digodok Ki Bagus menjadi Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqaddimah yang merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya, mendapatkan inspirasi dari muqaddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Ki Bagus produktif dalam menuliskan buah pikirannya. Buku karyanya antara lain Islam sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954). Dari buku-buku karyanya tersebut tercer­min komitmennya terhadap etika dan bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk pelembagaan Islam.
Bagi Ki Bagus, pelembagaan Islam sangat penting untuk alasan-alasan ideologi, politis, dan juga intelektual. Ki bagus sangat berupaya memperkokoh eksistensi hukum Islam di Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam. Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hukum Islam untuk kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan Ordonansi 1931. Kekecewaannya itu ia ungkap kembali saat menyampaikan pidato di depan Sidang BPUKPKI.
Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menjadi Ketua PB Muhammadiyah adalah pada saat terjadi pergo­lakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II. Kendati Ki Bagus Hadikusumo menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB Muham­madiyah ketika diminta oleh Mas Mansur pada Kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta, ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas untuk menjadi Ketua PB Muhammadiyah ketika Mas Mansur dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942. Apalagi dalam situasi di bawah penjajahan Jepang, Muhammadyah memerlukan tokoh kuat dan patriotik.
Bulan ketiga pendudukan di Indonesia, balatentara Jepang makin menunjukkan watak fasismenya. Selain mengharuskan rakyat Indonesia melakukan senam pagi (taiso) dan menyanyikan lagu kebangsaan Kimigayo, warga muslim sangat risih membungkukkan badan ke arah matahari terbit (seikirei). Saat menjadi Ketua Muhammadiyah di masa pendudukan Jepang, Ki Bagus sering mengadakan dialog dengan Jepang agar siswa-siswa Muhammadiyah tidak menyembah matahari setiap hari atau melakukan Sekerei. Sebagai salah satu orang terkemuka di Jawa, pada Februari 1945, Ki Bagus pernah diundang ke Jepang bertemu Kaisar Hirohito alias Tenno Heika. Ki Bagus Hadikusumo berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam, untuk memerintahkan ummat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari. Muhammadiyah memimpin sebuah gerakan perlawanan dengan membuat keputusan bahwa umat Islam tidak boleh melakukan seikirei karena menyimpang dari ajaran tauhid. Keputusan Muhammadiyah tersebut segera tersiar luas dan ternyata diindahkan oleh sebagian besar umat Islam. Akibat perlawanan ini, Ki Bagus Hadikusumo dipanggil oleh Gunseikan (Gubernur Militer Jepang) di Yogyakarta.
Ki Bagus menjadi anggota dari Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang bertugas merumuskan Undang-undang Dasar. Ia mewakili golongan Islam bersama dr. Sukiman Wirjosanjoyo. Haji Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mr. Ahmad Soebardjo, dan Haji Agus Salim. komposisi BPUPKI menempatkan gagasan kelompok nasionalis sekuler sebagai pihak dominan. Pihak yang kurang terwakili adalah pulau-pulau luar Jawa, kaum Marxis berorientasi Barat, dan terutama kaum nasionalis Muslim. Dari jumlah itu, hanya sekitar 11 orang mewakili kelompok Islam, termasuk di antaranya tokoh-tokoh Muhammadiyah, yakni Mas Mansur (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1936-1942), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1942-1953), dan Abdul Kahar Muzakkir. Pembicaraan dalam BPUPKI mengenai dasar negara bagi Indonesia yang akan merdeka memunculkan tiga konsep, yakni Pancasila, Islam, dan sosial-ekonomi. Namun konsep terakhir tidak terlalu menjadi bahan perbincangan, karena larut dalam perdebatan ideologis antara dua konsep pertama. BPUPKI sekedar menjadi arena baru bagi ketegangan lama. Sejauh menyangkut pola relasi Islam dan negara. Pertarungan ideologis itu berlangsung secara tajam namun konstruktif dalam pertemuan-pertemuan BPUPKI selama akhir Mei hingga pertengahan Juli 1945. Dalam sidang, nasionalis sekuler memunculkan dua konsepsi, yang masing-masing memandang bahwa negara harus netral terhadap agama, yakni lima asas versi Yamin dan lima sila versi Sukarno. Kalangan Islam mengargumentasikan konsep Islam sebagai dasar negara. Dalam konteks ini penting untuk sekilas melihat konsepsi yang diajukan oleh Ketua Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo dalam Sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945.
Gagasan Ki Bagus tersebut tampaknya didasarkan pada alasan sosiologis-historis dan pemahamannya yang kuat atas ajaran Islam. Ki Bagus beralasan bahwa Islam setidaknya telah enam abad hidup dalam masyarakat Indonesia, atau tiga abad sebelum datangnya kolonial Belanda. Sehingga ajaran dan hukum Islam telah inheren dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Bahkan banyak aspek hukum Islam telah bertransformasi menjadi adat istiadat di banyak suku bangsa Indonesia. Ki Bagus mengungkapkan realitas sejarah di mana gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda di berbagai wilayah Indonesia hampir selalu dipimpin tokoh-tokoh Islam, seperti Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, Sultan Hasanudin, dan lain lain yang mendasarkan perjuangannya atas ajaran Islam. Selain aspek sosiologis-historis itu, Ki Bagus juga mengajukan argumennya berdasarkan pemahamannya atas ajaran Islam, yang ia yakini tidak hanya mengatur masalah ritual, tetapi mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sebagai satu kesatuan yang utuh. Dengan pemahaman keagamaan dan politik demikian, dapat dimengerti jika Ki Bagus Hadikusumo pada awal kedatangan penjajah Jepang telah menunjukkan perlawanannya yang keras. Ceritanya, setelah beberapa bulan menduduki Indonesia, Jepang mulai menerapkan beberapa aturan baru bagi para pegawai dan siswa (sebelum masuk kantor dan ruang kelas) untuk melakukan senam, sumpah setia, menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, lalu melakukan seikirei, yakni penghormatan kepada Tenno Haika yang bertahta di Tokyo dengan cara membungkukkan badan, sebagaimana orang ruku' dalam salat.
Di antara kalangan muslim dalam BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo  yang menginginkan dengan semangat kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar. Setelah melalui perdebatan yang alot, hingga akhir masa sidangnya BPUPKI tidak dapat menghasilkan kesepakatan mengenai dasar negara Indonesia (Badan ini lalu dibubarkan, dan kemudian dibentuk sebuah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia[PPKI]). Dan untuk menjembatani perbedaan itu, dibentuklah sebuah panitia kecil yang terdiri dari sembilan tokoh, yang terdiri dari: Sukarno, Hatta, Subardjo, Yamin, Abikusno, Kahar Muzakkir, Agus Salim, Wahid Hasyim, dan Maramis. Sesudah kesepakatan Piagam Jakarta, Ki Bagus (tidak termasuk sebagai anggota Panitia Sembilan) mengusulkan frasa “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus dan hanya menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.” Usul ini ditolak Sukarno. Piagam Jakarta berisi pengesahan Pancasila sebagai dasar negara dengan penambahan pada sila pertama sehingga menjadi: "Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Kesepakatan tersebut sempat ditolak kalangan nasionalis sekuler, namun akhirnya dapat diterima setelah Sukarno menyerukan agar kedua belah pihak bersedia berkorban demi persatuan bangsa.
Namun sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, kesepakatan ini digugurkan atas usul Hatta berdasarkan laporan dari seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang menyatakan bahwa orang-orang Kristiani di wilayah timur Indonesia tidak akan bergabung dengan RI jika unsur-unsur formalistik Islam dalam Piagam Jakarta tidak dihapus.
Usulan Hatta ini disepakati oleh beberapa tokoh Islam, sehingga tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus dan Sila Pertama berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa." Tokoh-tokoh Islam yang dimintai persetujuan itu adalah Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Mohammad Hassan.
Pendirian Ki Bagus, tokoh sepuh kelahiran 1890 di Yogyakarta, ditanggapi oleh Sukarno dengan rasa canggung. Karena itu, Sukarno menunjuk Mr. Teuku Mohammad Hasan untuk bicara dengan Ki Bagus sehari setelah Proklamasi dan sebelum berlangsung sidang PPKI.
Tak lama setelah Kasman Singodimedjo tiba ke Pejambon, yang dipanggil juga oleh Sukarno, Hatta dan beberapa tokoh Islam melakukan pembicaraan terbatas. Tujuannya agar Ki Bagus mengubah pendirian dan menyepakati usulan bahwa tujuh kata dalam Piagam Jakarta diganti demi mengakomodasi penduduk Indonesia nonmuslim.
Mengenai Kasman Singodimejo (Ketua Muhammadiyah Jakarta), yang merupakan anggota tambahan PPKI, ia menerima undangan mendadak pada pagi harinya, sehingga ia tidak cukup siap untuk membicarakan masalah itu. Apalagi Kasman bukan pula anggota BPUPKI maupun Panitia 9. Namun demikian, Kasman sangat berperan dalam melunakkan Ki Bagus yang berusaha keras mempertahankan "tujuh kata" sehingga Ki Bagus akhirnya mau menerima penghapusan kalimat tersebut. Karena itu, seluruh tekanan psikologis tentang berhasil atau tidaknya penentuan UUD sebenarnya terletak pada pundak Ki Bagus Hadikusumo, sebagai satu-satunya elemen perjuangan Islam pada waktu itu. Ditambah lagi, Ki Bagus adalah anggota BPUPKI, PPKI, meskipun bukan anggota Panitia 9. Karena itu logika yang diajukan oleh Kasman untuk meyakinkan Ki Bagus adalah alasan keamanan nasional, di mana kemerdekaan bangsa yang masih sangat muda sedang terancam. Selain itu, Kasman juga meyakinkan Ki Bagus bahwa UUD tersebut bersifat sementara, sebagaimana dikatakan Sukarno pada awal penyampaian pengantar setelah membuka rapat PPKI pada 18 Agustus siang harinya.
Ia sempat pula aktif mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Setambul. Selain itu, bersama kawan-kawannya ia mendirikan klub bernama Kauman Voetbal Club (KVC), yang kelak dikenal dengan nama Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW). Ketika Agresi Militer I tahun 1947, Ki Bagus turut mendirikan Angkatan Perang Sabil, menghimpun kalangan santri di Yogyakarta, untuk melawan tentara Belanda yang ingin kembali menduduki Jawa dan Sumatara. Ki Bagus meninggal pada 4 November 1954.
Ki Bagus Hadikusumo menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun (1942-1953) dan wafat pada usia 64 tahun. Pahlawan nasional yang juga dikenal sebagai seorang tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo, dimakamkan di pemakaman umum Kuncen Yogyakarta. Kompleks makam tersebut terletak di Jl Kuncen tidak jauh dari jalan utama Jl HOS Cokroaminoto. Di kompleks makam tersebut merupakan makam milik Kraton Ngayogyakarta yang biasa disebut makam Kuncen Lawas (lama). Makam Ki Bagus berada di belakang Masjid Kuncen atau di sebelah barat SD Muhammadiyah 2 Wirobrajan. Selain Ki Bagus, di kompleks makam tersebut terdapat makam pahlawan nasional HOS Cokroaminoto dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah H. AR Fachruddin.
Ki Bagus pernah mendapatkan tiga kali penghargaan, penghargaan pertama yang diperolehnya berasal dari Kaisar Jepang Teno Haikka, penghargaan kedua dari Presiden Soekarno sebagai sosok perintis kemerdekaan. Penghargaan ketiga dari Presiden Soeharto berupa Bintang Maha Putra karena dianggap berjasa untuk bangsa dan negara.
Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan tanggal 10 November 2015 lalu, Presiden Joko Widodo memberikan gelar pahlawan nasional kepada 5 tokoh yang telah dianggap berjasa besar bagi Bangsa Indonesia. Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres Nomor 116/TK/ Tahun 2015.
5 tokoh yang diberi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi di antaranya almarhum Bernard Wilhem Lapian (Tokoh Provinsi Sumatera Utara), almarhum Mas Isman (Tokoh Provinsi Jawa Timur), dan almarhum Komjen (Pol) Dr H Moehammad Jasin (Tokoh Jawa Timur). Kemudian almarhum I Gusti Ngurah Made Agung (Tokoh Provinsi Bali) dan almarhum Ki Bagus Hadikusumo (Tokoh Provinsi Yogyakarta). Pemberian gelar pahlawan nasional dilaksanakan di Istana Negara oleh Presiden Jokowi. Karena sudah almarhum, yang menerima gelar adalah ahli waris masing-masing.





Sumber :
https://www.kiblat.net/2015/11/06/idealisme-dan-keikhlasan-ki-bagus-hadikusumo/alang)

Ngopi Ke pekanbaru…. Kim Teng Yuk…



Ngopi Ke pekanbaru…. Kim Teng Yuk…

Awalnya bikin kedai kopi di Pelabuhan Lama dengan nama “Kedai Kopi Yu Hun”. Berubah lagi jadi “Kedai Kopi Nirmala”, “Kedai Kopi Segar” dan baru pada 2002 jadi “Kedai Kopi Kim Teng” seperti sekarang.

Cara paling mudah untuk mencari tempat makanan khas suatu daerah adalah bertanya pada warga lokal. Awal pertama saya di Pekanbaru, akan terselip pertanyaan, sudah ke Kim Teng belum? Kim Teng adalah kedai kopi yang sudah menjadi ikon kota Pekanbaru. Selain tempat ngopi, Kim Teng juga biasa menjadi tempat nongkrong di pagi hari, atau juga menjadi sasaran sarapan sembari kongkow.

Kriteria “Kinerja Terbaik tahun 2016” Pada Kanwil DJPb Provinsi Riau



Kriteria “Kinerja Terbaik tahun 2016” Pada Kanwil DJPb Provinsi Riau

1.     Capaian output yang mendapatkan pengakuan dari kantor pusat DJPb (Penghargaan peringkat LKBUN 2015 terbaik peringkat kedua terbaik)
2.     Bersinergi di satu bidang dalam menghasilkan karya terbaik (membuat berbagai laporan dan berbagai kegiatan sosialisasi)
3.     Selalu berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam menghasilkan kinerja yang optimal (selalu berkoordinasi dengan KPPN Lingkup DJPb Provinsi Riau, selalu berkoordinasi dengan UAPPAW Provinsi Riau, dan selalu berkoordinasi dengan pemda dalam lingkup Provinsi Riau)
4.     Selalu berhasil menyelesaikan pekerjaan sebelum dead line yang telah ditentukan (Pengiriman LK BUN, Pengiriman GFS, dan Pengiriman Laporan Bimtek)
5.       Berkreasi dan melakukan inovasi sehingga menghasilkan karya yang akuntabel