Minggu, 14 Januari 2018

Sutardi : Sang Maestro Bengawan Solo



Sutardi  :  Sang Maestro Bengawan Solo

Bengawan Solo, riwayatmu kini…
Sedari duju jadi, perhatian insani…
Musim kemarau, tak sbrapa airmu…
Di musim hujan air, meluap sampai jauh…

Mata airmu dari Solo…
Terkurung gunung seribu…
Air meluap sampai jauh…
Akhirnya ke laut…

Itu perahu, riwayatmu dulu…
Kaum pedagang selalu, naik itu perahu…

Pemilik nama kecil Sutardi ini dilahirkan di Kampung Kemlayan, Surakarta, Jawa Tengah 1 Oktoer 1917. Gesang Martohartono  atau Gesang, begitu nama panggilannya, yang dikenal sebagai musisi senior juga pencipta lagu. Gesang dalam bahasa Jawa “Kromo inggil” berarti hidup. Beliau telah menghidupkan dunia musik keroncong di Indonesia. Darah seni yang mengalir di tubuh Gesang, sudah lama bersemayam sejak masa kanak-kanaknya. Gesang senang bersenandung. Dari kebiasaan bersenandung sambil berimajinasi itulah, pada akhirnya Gesang melahirkan karya-karya lagu berirama keroncong yang liriknya sederhana namun mengena.
Lagu Bengawan Solo diciptakan pada tahun 1940, saat usia Sutardi 23 tahun. Lagu Bengawan Solo ini mendapat sambutan yang besar di masyarakat, tak hanya masyarakat pribumi, masyarakat asing pun demikian. Saat itu, Gesang duduk di tepi sungai Bengawan Solo, beliau kagum akan pesonanya, hingga beliau menuliskan pesona Sungai Bengawan Solo ke dalam sebuah lagu keroncong. Gesang sebenarnya bukanlah seorang pencipta lagu. Dulu, Sutardi seorang penyanyi lagu-lagu keroncong untuk acara dan pesta kecil-kecilan di kota Solo. Gesang pernah menciptakan beberapa lagu, seperti; Keroncong Roda Dunia, Keroncong si Piatu, dan Sapu Tangan, pada masa perang dunia II. Sayangnya, ketiga lagu ini kurang mendapat sambutan dari masyarakat.
Setelah Perang Dunia II, pasukan Jepang yang kembali ke negaranya membawa lagu ini bersama mereka. Di sana, lagu ini menjadi populer setelah dinyanyikan berbagai penyanyi, di antaranya Toshi Matsuda. Lagu Bengawan Solo terkenal dari Asia hingga Pasifik. Bahkan lagu ini diterjemahkan dalam 13 bahasa, diantaranya Inggris, Rusia, China , Jepang. Tak hanya itu, lagu Bengawan Solo juga pernah muncul dalam film In The Mood For Love besutan Wong Kar-Wai tahun 2000.
Pesona lagu Bengawan Solo ternyata juga pernah menjadi lagu perjuangan rakyat Polandia pada tahun 1965-an. Lagu Bengawan Solo versi Polandia sendiri ditulis pada tahun 1964, saat Soekarno masih berkuasa dalam pemerintahan Indonesia.
“Lirik lagunya menggambarkan impian rakyat Polania akan tanah yang indah dan kemerdekaan yang tidak kami miliki kala itu,” kata Duta Besar Polandia untuk Indonesia tahun 2013 dalam acara peluncuran program kekhususan Eropa Tengah, Pusat Kajian Eropa UI di Wisma Antara.
Berkat lagu tersebut, Indonesia dan Polandia mempunyai hubungan yang sangat dekat kala itu. Lirik lagu Bengawan Solo versi Polandia ditulis oleh Marek Sewen dan Roman Sadowski dan dinyanyikan oleh Violetta Villas, diva music negeri Eropa Tengah saat itu. Menurut lirik lagu versi Polandia tersebut, tanah air diciptakan oleh Tuhan buat mereka yang bekerja keras dan berani untuk memperjuangkan nasib kemerdekaan sendiri.
1983, Jepang mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo. Taman yang pengelolaannya didanai oleh Dana Gesang ini adalah suatu bentuk penghargaan atas jasanya terhadap perkembangan musik keroncong. Dana Gesang sendiri adalah sebuah lembaga yang didirikan untuk Gesang di Jepang.
Pengabdian Gesang dalam perkembangan keroncong Indonesia pun diabadikan dalam sebuah film documenter bertajuk “Gesang Sang Maestro Keroncong”. Film documenter tersebut disutradarai oleh Marselli Sumarno pada tahun 2004.
Film dokumenter tersebut mengisahkan tentang kehidupan Gesang di masa senja. Meski jalannya mulai tertatih-tatih, tapi Gesang mempunyai semangat muda untuk ukuran seusianya. Dalam film documenter tersebut Gesang juga menuturkan tentang motivasinya untuk terjun ke dalam dunia keroncong yang katanya kampungan karena merakyat dan tidak pandang bulu. Tapi berkat Gesang, keroncong Indonesia dapat menunjukkan pesonanya di negeri sendiri dan juga luar negeri.
Gesang tinggal di jalan Gatot Subroto, Solo. Ia telah berpisah dengan istrinya tahun 1962. Setelah berpisah dengan isterinya, Gesang memilih untuk hidup sendiri. Ia tak mempunyai anak. Gesang tinggal di Jalan Bedoyo Nomor 5 Kelurahan Kemlayan, Serengan, Solo bersama keponakan dan keluarganya, meninggalkan rumah pemberian Gubernur Jawa Tengah 1980 setelah 20 tahun ditinggalinya di Perumnas Palur.
Memilih hidup sendiri selama bertahun-tahun, kondisi kesehatan Gesang dikabarkan memburuk. Beliau dilarikan ke rumah sakit PKU Muhammadiyah Surakarta pada pertengahan Mei 2010. Rumah sakit membentuk sebuah tim yang terdiri dari lima dokter spesialis yang berbeda untuk menangani kesehatan beliau. Namun sayang, ajal pun menjemput. Pada hari Kamis, 20 Mei 2010, pukul 18.10, dalam usia 92 tahun, Gesang meninggal dunia.
Lagu-lagu Gesang
  • Bengawan Solo
  • Jembatan Merah
  • Pamitan
  • Caping Gunung
  • Ali-ali
  • Andheng-andheng
  • Luntur
  • Dongengan
  • Saputangan
  • Dunia Berdamai
  • Si Piatu
  • Nusul
  • Nawala
  • Roda Dunia
  • Tembok Besar
  • Seto Ohashi
  • Pandanwangi
  • Impenku
  • Kalung Mutiara
  • Pemuda Dewasa
  • Borobudur
  • Tirtonadi
  • Sandhang Pangan
  • Kacu-kacu
  • Sebelum aku mati
  • Bumi Emas Tanah Airku
  • Urung
  • Kemayoran
Rekaman CD:
Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963), Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949), dan Swasana Desa (1939).

Sumber :

Serangan Terhadap Gerwani



Serangan Terhadap Gerwani
 “Tarian Bunga Harum itu merupakan tarian perangsang jang kotor, sehingga menimbulkan kelakuan-kelakuan asusila di antara para peserta gerakan Kontrev G30S di Lubang Buaja,” bunyi petikan berita harian Kompas, Senin 13 Desember 1965.
Dalam berita-berita yang tersebut disebutkan bahwa anggota Gerwani melakukan ritual setan dengan bertelanjang dada dan kalung bunga di dada. Mereka menari-nari erotis dan melakukan pesta seks dengan anggota PR. Seperti orang yang kesetanan, para anggota Gerwani dikabarkan mencongkel mata dan memotong-motong kemaluan para jenderal, sebelum jasadnya dilempar ke dalam sumur tua di daerah Lubangbuaya. Selain Gerwani, fitnah keji juga ditujukan kepada anggota Pemuda Rakyat yang saat penyiksaan para jenderal terjadi ikut mengiringinya dengan musik sambil menyanyikan lagu Genjer-genjer karangan seniman asal Banyuwangi yang bernama Muhammad Arief. Lagu Genjer-genjer menceritakan masa kelaparan pada zaman pendudukan Jepang, tahun 1940. Tulisan koran saaat itu, tarian mistis para anggota Gerwani disebut-sebut sebagai Tari Harum Bunga. Sejak peristiwa di Lubangbuaya, nama tarian ini menjadi cukup populer.
Dalam beberapa wawancara penulis dengan sejumlah tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), tidak ada yang pernah mendengar Tari Harum Bunga Gerwani. Mereka hanya tahu lagu Genjer-genjer yang memang sudah ngetop di tengah masyarakat pedesaan di Jawa Timur dan sekitarnya.

Benarkah Gerwani melakukan kekejaman dengan mencongkel mata dan memotong kelamin para jenderal seperti yang telah diberitakan oleh media-media saat itu? Ataukah ini hanya fitnah yang dimaksudkan untuk membakar kemarahan rakyat terhadap Gerwani? Dalam laporan dua orang dokter tentara dan Tim Forensik yang salah satunya adalah dokter Rubiono Kertopati yang merupakan pendiri Lembaga Sandi Negara Indonesia, dan tiga orang dokter sipil yang juga ahli forensik yang satu di antaranya adalah dokter Sutomo Tjokronegoro disebutkan, bahwa tidak ada kerusakan pada alat kelamin dan mata para jenderal yang dibunuh oleh tentara yang melakukan putsch. Hasil forensik itu telah diketahui sejak tanggal 5 Oktober 1965, saat jenazah para jenderal akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Kendati kebohongan berita kekejaman Gerwani di Lubangbuaya telah terbongkar, namun informasi ini tidak pernah diberitakan media-media yang telah dikuasai oleh Orde Baru saat itu. Sehingga, kebenaran ini tetap tidak diketahui masyarakat saat itu.

Presiden Soekarno yang mengetahui berita bohong itu masih tersebar di media pernah merasa sangat marah dengan wartawan yang ikut menyebarkan informasi menyesatkan yang berakibat pada terjadinya pembunuhan besar-besaran di daerah-daerah.
  "Apa dikira kita ini orang bodoh! Tidak! Artinya, apa masuk akal, pen** dipotong-potong met 100 giletten? Zijn wij nou een volk van zoon lage kwaliteit (Apakah bangsa kita berkualitas sedemikian rendah) untuk menulis di surat kabar barang yang bukan-bukan!" kata Soekarno dengan gusar. Meski Soekarno meminta kepada media saat itu untuk menulis dengan benar sesuai fakta yang terjadi di lapangan, permintaannya tidak digubris wartawan. Kata-kata Presiden Soekarno saat itu sudah tidak didengar lagi, karismanya sudah pudar dan kekuasaannya telah runtuh meski saat itu dirinya masih seorang Presiden.

Gerwani yang sedari awal mendukung politik dan kebijakan progresif Presiden Soekarno lalu membuat buletin Pendukung Komando Presiden Soekarno atau PKPS yang salah satu donaturnya adalah Ali Sadikin. Buletin ini diedarkan secara sembunyi-sembunyi oleh para pengurus DPP Gerwani yang berhasil untuk sementara waktu meloloskan diri dari penangkapan para tentara Orde Baru. Selain membuat berita tandingan tentang apa yang terjadi di Lubangbuaya dan hasil forensik yang menyatakan tidak adanya jasad para jenderal yang matanya dicungkil dan kemaluannya dipotong, buletin yang dicetak dengan sangat terbatas itu tidak memberikan hasil apa-apa. Masyarakat yang terlanjur memakan fitnah terhadap Gerwani, tetap melakukan serangan-serangan terhadap para anggota dan kantor Gerwani di pusat dan cabang di daerah.
Para anggota Gerwani diburu, tidak peduli tua maupun muda. Dengan kasar, mereka dilemparkan ke atas truk, dibawa ke dalam gedung lalu disiksa oleh tentara. Tidak jarang mereka yang disiksa harus meninggal dunia. Tidak hanya terhadap Gerwani, anggota organisasi pemuda, buruh, tani, dan seniman yang dekat dengan PKI juga diburu. Salah satu gedung yang dijadikan tempat penyiksaan anggota Gerwani dan anggota organisasi lainnya yang memiliki kedekatan dengan PKI berada di Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Gedung itu merupakan bekas sekolah Thionghoa dan dikenal sebagai rumah setan oleh para tahanan politik saat itu.

Dengan masih beradanya relief kekejaman PKI dalam monumem itu, berita bohong mengenai Tari Harum Bunga Gerwani masih terus dipertahankan oleh pemerintah yang berkuasa saat ini. Demikian, kebohongan yang dilakukan selama puluhan tahun itu telah menjadi kebenaran. Sampai di sini ulasan Cerita Pagi menyambut 50 tahun Gerakan 30 September 1965.

Sumber Tulisan
* Penyusupan PKI ke dalam Tubuh Gerwani, dikutip dari Alex Dinuth, Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis, Kumpulan Tulisan Terpilih tentang Gerakan Komunis dan Bahaya Ekstrim Lainnya di Indonesia, Penerbit Intermasa, 1997.
* Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang, Riwayat Wartawati dalam Penjara Orde Baru, Pustaka Utan Kayu, Maret 2003.
* Fransisca Ria Susanti, Kembang-Kembang Genjer, Jejak, Oktober 2007.
* John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Hasta Mitra, 2008.
* H Maulwi Saelan, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66, Visi Media, 2008.
(san)