Jumat, 09 Desember 2016

Bundarnya Sepakbola Indonesia



Bundarnya Sepakbola Indonesia
Punaryo astaman tertunduk lesu. Bambang pamungkas masih saja geleng-geleng kepala. Dan entah, tundukan kepala model apa yang ditunjukkan Kolev. Tak kalah tragisnya, Nurdin Halid, dielus-elus SBY karena tangisannya.
Bola memang bulat, tidak ada yang menyangkal. Sudah menjadi keadaan yang simple present tense. Gemerlap piala asia  pada hari itu seakan lenyap. Satu gol mampu membungkam ribuan orang Indonesia yang menonton pertandingan tersebut.
Aku paksakan pulang ke kost untuk bisa nonton bola dari rumah. Aneh binti ajaib. Suasana beberapa jalan menjadi lengang! Yahh hanya kuningan dan mampang aja yang macet. Normal, hari liburpun kedua jalan ini memang macet.
Indonesia masih menyukai sepakbola Indonesia. Ini fakta. Dalam laga apapun, tetap menjadi sorotan untuk ditonton. Lihat saja, piala Asia tahun 2007 kemarin yang finalnya tidak dimainkan oleh tim Indonesia, penontonnya saja masih membludak.
Ada apa Khalid? Pertanyaan ini selalu akan keluar dari dalam diri. Bukan siapa yang harus bertanggung jawab. Sriwijaya yang begitu menakutkan di laga domestic, begitu menjijikkan ketika melawan klub asing. Hal yang berulang dan berulang seakan tidak akan ada perubahan. Penonton tetap menjadi penonton untuk bola, bukan penonton dan berbicara. Iraq mampu bicara.  Indonesia lebih damai dari Iraq, Indonesia lebih kaya dari Iraq. Bola akan selalu bundar.
Ada apa pak Nurdin?masih kurangkah elusan tangan SBY? Sebuah tamparan kecil kalau itu dianggap, sayangnya belum dianggap, akan dianggap apakah itu? Ketika kegagalan dan kegagalan terus saja datang. Perubahan sistem pertandingan terus saja berlanjut, mencari formula terbaik, sayang kualitas tetap tidak baik.
Punaryo seharusnya sedari awal pertandingan menundukkan kepalanya saja. Toh hasilnya sama saja. Bukan salah pelatih asingnya, bukan salah Punaryonya…lalu salah siapa? Mungkin bisa jadi salah wasitnya kali ya? Terus? Timpuk aja wasitnya? Wah piala dunia 2022 bisa jadi nggak bakal terwujud.
Kenapa pak Halid?
Masih belum tahu juga pak, saya juga tidak tahu apa yang terjadi. Ada apa sih, tahu, nggak ngerti. Pokoknya kalah aja. Satire dan pesimistis yang saya punya. Memang itu yang diajarkan kan?
Selamat datang gebyar kemeriahan, selamat datang gebayar kemewahan, dan selamat datang keceriaan yang dibuat. Tanpa itu tidak akan ada kesan bahwa kita adalah pejuang, tapi apakah kita pejuang? Ataukah hanya pencari pacar artis saja?. Saya masih tidak mampu menjawabnya. Konsistensi untuk tidak berhasil patut untuk diacungi jempol, jempol diatas atau dibawah, entahlah yang penting jempol.hidup jempol.
PSSI (Persatuan Sepak Bola Indonesia) merupakan wadah pengayom bagi sepakbola Indonesia.apa yang diayomi masih saya tanyakan dalam kalbu. Apakah beda dengan tarkam?
Silogisme yang sadis ya? Secara wasit babak belur, dan pemain melakukan aksi Jacky Chan. Berlebihan ya kali saya ini, tapi entahlah, Punaryo masih menunduk dan Nurdin Halid masih menangis…..

Tidak ada komentar: