Rabu, 07 Desember 2016

Konsepsi Total Football



Konsepsi Total Football
Total Football adalah persoalan ruang dan eksploitasinya itu, bukan yang lain. Fleksibilitas posisi pemain, pergerakan pemain, semuanya adalah konsekuensi dari upaya untuk menciptakan ruang agar bisa dieksploitir semaksimal mungkin. Prinsip dasarnya sebenarnya sangat sederhana. Besar kecilnya lapangan sepakbola walau ukurannya sama, tetapi di benak bisa berubah tergantung siapa yang bermain di dalamnya. Misalnya, begitu pemain Belanda menguasai bola maka mereka akan membuat lapangan seluas mungkin. Pemain bergerak ke setiap jengkal ruang yang tersedia. Di benak lawan lapangan akan tampak begitu lebar. Atau, begitu lawan menguasai bola, ruang harus dibuat sesempit mungkin. Pemain yang terdekat dengan pemain lawan yang menguasai bola dituntut untuk menutupnya secepat mungkin, tidak peduli apakah itu pemain bertahan atau bukan. Bisa satu bisa dua, bahkan tiga. Tekanan harus dilakukan secepat mungkin bahkan ketika bola masih ada di jantung pertahanan lawan. Lawan terjepit dalam benak bahwa lapangan begitu sempit. Memperlebar atau mempersempit ruangan di benak lawan tentu bukan barang mudah. Harus ada kemampuan untuk mencari ruangan. Pergerakan yang kompak. Cara mengumpan bola yang eksploitatif atas ruang yang tersedia, entah melengkung, lurus, melambung, dll. Pendeknya dibutuhkan pemahaman geometri ruangan yang tidak sederhana. (David Winner berjudul "Oranye Brilian -- Jenius dan Gilanya Sepakbola Belanda")
Hal yang begitu susah dibayangkan. Liza Arifin menguraikannya menjadi lebih simple. Berdasar dari buku tersebut Liza menjelaskan tentang keadaan negeri Belanda. Bangsa Belanda secara intrinsik bangsa yang spatial neurotic (tergila-gila oleh ruangan ataupun pemanfaatannya).  Kondisi alam memaksa mereka demikian. Lima puluh persen tanahnya berada di bawah permukaan laut. Sementara sisanya terlalu sempit untuk jumlah penduduk yang berjubel. Terus menerus bangsa ini melakukan reklamasi untuk memperluas daratan. Dengan sadar persoalan tanah mereka atur dengan sangat disiplin dan ketat. Eksistensi bangsa ini tergantung bagaimana mereka merawat tanah yang tak seberapa mereka punya. Kanal, selokan air, bendungan kecil dan besar, teratur rapi membelah setiap jengkal tanah yang mereka punya. Belanda hingga saat ini adalah negara paling padat dalam ukuran per meter persegi, dan pengaturan tanahnya adalah yang paling teratur di muka bumi. Namun seberapa pun mereka mencoba, seberapa pun disiplinnya, tanah tidak akan pernah cukup tersedia.
Hal yang mereka lakukan adalah dengan bermain pada daya khayal, di benak, di alam abstraksi. Di samping secara fisik mereka mencoba memperluas wilayah darat mereka, mereka juga menciptakan ruang yang luas dialam khayal mereka. Menurut cerita, bandingkanlah tata kota Belanda dengan negara lain. Kita akan segera sadar bahwa Belanda memang lebih sempit tapi tata kotanya dibuat sedemikian rupa rapi, sehingga terasa sangat longgar. Dibanding negara manapun di dunia, tata kota di Belanda adalah yang paling kompak di dunia. Arsitektur bangunannya, baik yang tua maupun modern, terasa sangat inovatif, dengan sudut yang sering tidak normal, bentuk bangunan yang tidak umum, aneh, tetapi kesannya selalu sama—longgar dan lapang. Karena semua lekuk ketidaknormalan adalah bagian dari upaya untuk menciptakan ruang tambahan di alam khayal tadi. Bahkan benak juga dilonggarkan untuk urusan norma sosial. Kalau etika Protestan semarak di Belanda di awal kelahirannya, sangatlah bisa dimengerti. Mereka secara instingtif akan memberontak terhadap segala sesuatu yang sifatnya mengukung. Dalam kasus kelahiran Protestan tentu saja pemberontakan atas kungkungan ajaran Katolik saat itu. Proses itu terus berlanjut hingga sekarang. Kita tahu norma sosial Belanda adalah yang paling longgar di Eropa. Kelonggaran yang tetap diatur. Misalnya, mainlah ke Vondell Park di Amsterdam, bolehlah Anda menghisap ganja atau mariyuana dengan santai. Padahal di negara lain sembunyi-sembunyi pun Anda tidak boleh. Jejak-jejak spatial neurotic ini bisa kita temukan dengan mudah di karya-karya seni mereka bahkan di kehidupan politik, tetapi kembali ke persoalan sepakbola, mentalitas pemain sepakbola juga sama persis. Ketika mereka turun ke lapangan, benak mereka selalu bermain-main dengan keinginan untuk menciptakan ruangan selonggar mungkin, lalu mengeksploitasinya.
Pola inilah yang secara tidak sadar membuat Rinus menerapkannya dalam konsepnya bermain bola. “Jangan pernah melumpuhkan lawan dengan pedang jika kamu dapat menggilasnya dengan tank” begitulah semboyan Rinus Michels, dibalik semboyan tersebut tersimpan jiwa keserdaduan dari system Total Football yang diusung Rinus Michels. Lebih sederhana konsep bola Rinus Michels “Gilaslah lawanmu..hancurkan lawanmu..lumpuhkan lawanmu setotal-totalnya”
Mereka bermain bola dengan indah, terorganisir dengan tempo yang tinggi.Prinsip bermain mereka “MENYERANG (OFENSIF) ADALAH PERTAHANAN YANG BAIK. Rinus Michels selalu melihat Sepak Bola sebagai serangan bukan pertahanan. Dogma Rinis Michels dalam menerapkan taktik bolanya ini “Larilah ketempat dimana kamu akan kesakitan” Pengorbanan bagi Tim itulah filsafat dibalik dogma tersebut. Dalam Total Football jika pemain depan menyerang, otomatis pemain tengah dan belakang segera kedepan, sebaliknya jika dalam keadaan diserang lawan pemain depan harus kebelakang bersama-sama mempersempit ruang gerak lawan.Pola ofensif ini dapat dilihat dari skema yang diterapkan yaitu 4-3-3.
Sistem Total Football mengandalkan permainan poros yang luar biasa lancar, permainan Poros inilah yang mengatur secara otomatis gerak kebelakang dan kedepan seefektif mungkin.Poros ini pulahlah yang akan mengurangi problem bagi pemain belakang seminimal mungkin. Maklumlah kalau begitu pemain belakang ikut ambil bagian untuk menyerang.
Naluri sangat diperlukan untuk menghemat tenaga dan pada suatu kesempatan  pemain belakang  ikut merengsek kedepan membantu serangan tim, ketika timnya kehilangan bola dia dengan segera balik kebelakang untuk bertahan. Strategi Total football adalah bentuk kesempurnaan dari seorang pemain dalam tim. Intinya pemain dituntut mempunyai kecerdasan, visi, kekuatan, skill individu dan efesiensi dalam bermain.Kultur Bola negeri kincir angin ini harus memiliki pemain di dua even tersebut, jika tidak maka akan sulit menjalankan konsep tersebut dilapangan hijau, strategi bermainnya penuh risiko. Dalam Total Football para pemain harus melupakan dan menundukkan egonya, kemampuan individu harus tunduk kepada totalitas tim.Aksi memikat perorangan harus membantu tim secara kolektivitas bermain.
 Kalian harus bermental profesinal, mental yang dibangun lewat disiplin, organisasi dan prestasi, untuk memperoleh mental itu harus menundukan perasaan individunya pada tuntutan kolektivitas. ( Rinus Michels)
Sumber : Liza Arifin – detiksport dan Jupardi Pekanbaru, 26 Pebruari 2007




Tidak ada komentar: