Selasa, 15 November 2022

Analisa Laporan Keuangan: Analisis Perbandingan & Rasio Keuangan

 

Analisa Laporan Keuangan:

Analisis Perbandingan & Rasio Keuangan

 

Analisa terhadap laporan keuangan dimaksudkan agar data keuangan tersebut dapat lebih berarti dalam mendukung keputusan yang akan diambil baik oleh manajemen maupun pihak ekstern yang mempunyai kepentingan terhadap perusahaan.

Beberapa faktor yang harus diperhatikan untuk dapat mengetahui teknik analisa laporan keuangan, maka seorang analis harus menguasai tentang:

·         Proses penyusunan laporan keuangan

·         Konsep, sifat dan karakteristik laporan keuangan

·         Teknik analisa laporan keuangan; dan

·         Segment dan lingkungan bisnis yang akan dianalisa

 

ANALISA PERBANDINGAN

Analisa perbandingan merupakan metode analisa terhadap laporan keuangan dengan cara memperbandingkan untuk dua periode atau lebih, atau memperbandingkan laporan keuangan suatu perusahaan dengan perusahaan lain.Tetapi pada umumnya dilakukan untuk beberapa periode dari suatu perusahaan sehingga dapat diketahui sifat dan tendensi perubahan yang terjadi dalam perusahaan tersebut, misalnya:

  • Laba/rugi yang sifatnya operasional maupun insidentil
  • Diperoleh aktiva baru/perubahan bentuk aktiva
  • Timbul/lunas/perubahan bentuk hutang
  • Penambahan/pengurangan modal dan lain-lain.

Dismaping analisa perbandingan, suatu teknik analisa yang sering digunakan juga adalah Analisa trend. Analisa trend dalam prosentase (trend percentage analysis) merupakan metode analisa untuk mengetahui tendensi keadaan keuangan perusahaan, yaitu apakah menunjukan tendensi naik, tetap atau menurun.Syarat-syarat penerapan analisa trend adalah:

·               Prinsip-prinsip akuntansi diterapkan secara konsisten

·               Tidak terjadi perubahan nilai uang secara tajam Contoh:

 

ANALISA RASIO

Analisa rasio menggambarkan suatu hubungan atau pertimbngan antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain. Rasio ini akan lebih bermanfaat terutama apabila ratio tersebut dibandingkan dengan angka ratio yang digunakan sebagai standar.

RASIO PENGUKUR LIKUIDITAS

1.  Current Ratio

Ratio ini menunjukan tingkat keamanan ( margin of safety ) atas kreditur jangka pendek; atau menunjukan kemampuan perusahaan untuk membayar hutang-hutang tersebut:

 

Aktiva Lancar

Current Ratio =            

Hutang Lancar

 2.  Acid Test Ratio

Disebut juga Quick Ratio, yaitu menunjukan kemampuan perusahaan untuk memenuhi hutang-hutangnya tanpa memperhitungkan persediaan.

Dengan ratio ini persediaan dianggap membutuhkan waktu yang relatif lama untuk direalisasikan menjadi uang.

Aktiva Lancar – Persediaan

Quick Ratio = 

         Hutang Lancar

 Ratio ini dimulai lebih tajam daripada current ratio karena lainnya memperhitungkan aktiva lancar yang sangat likwid.Apabila current ratio tetapi quick rationya rendah, hal ini menunjukan adanya investasi yang besar dalam persediaan.

3.  Perputaran Piutang

Atau Turn Over Receivable, yaitu menunjukan posisi piutang serta taksiran umur / waktu pengumpulanya. 

Perputaran Piutang              =    Total Penjualan Kredit

        Piutang Rata-rata

Semakin tinggi ratio turn over menunjukan modal kerja yang tertanam dalam piutang rendah, sehingga keuntungan bagi perusahaan.

Sedangkan untuk mengetahui berapa hari piutang tersebut rata-rata tidak dapat ditagih (days of receivable ) adalah:

 Days of Receivable =  Piutang Rata-rata x 360               atau                      360                                                   Penjualan Kredit                                      Perputaran Piutang

Semakin tinggi ratio days of receivable menunjukan kelemahan bagian penagihan piutang.

 

Keterangan:

1.     Turn over menunjukan bahwa penagihan piutang rata-rata sebanyak 3 kali dalam satu tahun.

2.     Days of receivable menunjukan bahwa rata-rata yang diperlukan untuk mengumpulkan piutang adalah selama 120 hari.

3.     Turn over 3 atau 300% berarti bahwa penjualan tahun tersebut sebesar 300% dari rata-rata piutang.

4.     Ratio 300% juga menunjukan bahwa Rp. 3 penjualan kredit maka sebesar Rp. 1 belum dapat ditagih sampai akhir tahun.

4.   Perputaran Persediaan

Yaitu menunjukan berapa kali terjadinya penggantian persediaan dalam satu tahun serta tersimpannya persediaan tersebut di dalam gudang.Pada perusahaan manufaktur terdapat tiga macam persediaan:  

a.   RAW MATERIAL TURNOVER =       Cost of raw material used      

      (Barang mentah)                              Average raw material inventory

 

b.   GOODS IN PROCESS TURNOVER =         Cost of good manufactured

      (Barang dalam proses)                            Average work in process inventory 

 

c.   FINISHED GOODS TURNOVER  =                  Cost of goods sold  

      (Barang jadi )                                            Average finished goods inventory

RASIO PENGUKURAN SOLVABILITAS

1.  Rasio Modal dengan Total Asset

Menunjukan beberapa besarnya modal sendiri yang tertanam dalam aktiva serta margin of  protection atau tingkat keamanan yang dimiliki oleh kreditur.

 

Rumus:      Modal Sendiri 

                    Total Asset

 2.  Rasio Modal dengan Aktiva Tetap

Menunjukan seberapa besar aktiva tetap tersebut dibiayai dari modal sendiri. Semakin besar modal sendiri (Owner’s equity ) lebih menguntungkan bagi perusahaan, karena sudah sewajarnya kalau aktiva tetap dibiayai dari modal sendiri.

Rumus:    Modal Sendiri

                 Aktiva Tetap  

3.   Rasio Aktiva Tetap dengan Hutang Jangka Panjang

Merupakan ratio untuk mengetahui tentang tingkat keamanan yang dimiliki oleh kreditur jangka panjang atau untuk mengukur seberapa besar hutang jangka panjang tersebut dijamin dengan aktiva tetap yang dimilki perusahaan.

 

Rumus:              Aktiva Tetap     

                Hutang Jangka Panjang 

RATIO PENGUKUR RETABILITAS

1.     Ratio Operating Income dengan Operating Assets

Menunjukan tingkat efisiensi perusahaan, yaitu seberapa besar operating assets tersebut dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan.

Rumus:         Operting income              atau                    Laba usaha                                  Operating Asset                                          Aktiva usaha

Apabila ratio ini rendah menunjukan adanya beberapa kemungkinan, yaitu:

Ø  Adanya over investment dalam aktiva yang digunakan dalam rangka memperoleh penjualan.

Ø  Mencerminkan rendahnya volume penjualan jika dibandingkan dengan biaya yang diperlukan.

Ø  Adanya inefisiensi pada perusahaan

Ø  Adanya kegiatan perusahaan yang menurun.

2.  Gross  Margin Ratio                                 3. Operating Margin Ratio

Rumus:    Laba kotor                                          Rumus:  Laba Usaha     

                 Penjualan                                                           Penjualan

 

 4.  Rasio Rentabilitas Modal Sendiri

Rumus:     Earning after tax

       Modal sendiri

 

Skema Pinjaman “Hijau” Ala IEPC

 

Skema Pinjaman “Hijau” Ala IEPC

 

Petani atau masyarakat kecil (calon pengusaha/UKM) di Indonesia mayoritas menyimpan dananya di Bank BRI (BRI unit Desa, BRI banyak mendirikan  kantornya dipelosok desa/kecamatan) namun mereka (petani atau masyarakat kecil) sangat terkendala mendapat akses kredit. Dana tabungan mereka lebih banyak digunakan oleh para pengusaha besar (konglomerat) di ibukota kabupaten atau kota.

Sumber-sumber energi terbarukan belum dimanfaatkan secara optimal di Indonesia. 90% energi di Indonesia masih menggunakan energi berbahan fosil (batubara, minyak bumi, dan gas alam) dan kurang dari 10% menggunakan pemanfaatan sumber energi terbarukan. Berdasarkan keadaan tersebut, melalui  Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian ESDM pemerintah menyusun beberapa program yang memiliki potensi energi terbarukan untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Program-program yang telah dilaksanakan oleh KLH antara lain Program Pollution Abatement Equipment (PAE), Program Industrial Efficiency and Pollution Control (IEPC) Tahap 1 dan Tahap 2, Program Debt for Nature Swap (DNS), dan Program Emission Reduction Investment (ERI), program-program dari Kementerian ESDM seperti Program Biogas Rumah – BIRU. Terdapat pula mekanisme pembiayaan yakni Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Energi Pedesaan, pendanaan dari Pusat Investasi Pemerintah (PIP), dan kredit program eksisting dengan pola antara lain Pola Subsidi Bunga (Interest Subsidy Pattern), Pola Jasa Penjaminan (Assurance Services Pattern), dan Kredit Program Pola Kombinasi (Combination Pattern) dapat dimanfaatkan dengan pengembangan energi terbarukan.

Ada salah satu contoh menarik yang patut kita apresiasi. Kegiatan ini mungkin bisa dijadikan contoh (pilot project) dalam mengelola dan mengembangkan UKM atau dengan menciptakan pengusaha baru adalah Pelatihan/Seminar Olah Sampah dan Pemupukan oleh LSM/NGO Posko Hijau (PT. Cipta Visi Sinar Kencana, (PT.CVSK) Bandung . PT ini adalah perusahaan principal pupuk organic basis sampah kota di Indonesia. Acara tersebut diadakan di Hotel Garuda Plaza Medan dengan pembicara/narasumber dari Bank yg memaparkan Instalasi Produksi Kompos (IPK) dapat dibiayai oleh skema kredit program pinjaman lunak Lingkungan (IEPC-KFW). Pinjaman ini berbatas  pada maksimal plafond 5 milyar dan bunga 2 % atau kurang/tahun dibanding tingkat bunga pasar berlaku. Proses pengolahan sampah kota menjadi pupuk organik yang menjadi narasumbernya adalah PT. Cipta Visi Sinar Kencana, Bandung. Dana ini berasal dari bantuan Pemerintah Jerman melalui program Industrial Efficiency and Pollution Control tahap ke 2 (IEPC2) – Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KfW). Oleh karena itu disebutkan Program Pinjaman Lunak Lingkungan IEPC-KfW Phase II. Program ini disalurkan melalui Bank Pelaksana, antara lain Bank Jawa Tengah, Bank BPD Kaltim, Bank BNI, Bank Syariah Mandiri dan lainnya tergantung kerjasama Bank dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Berbagai potensi energi terbarukan telah dimanfaatkan dan dikembangkan melalui program-program yang ada di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian ESDM dengan dukungan baik melalui APBN, hibah internasional, maupun kredit perbankan. Namun, pengembangannya masih belum maksimal dikarenakan terbatasnya anggaran di APBN. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan pembiayaan pengembangan energi terbarukan yang lebih berkelanjutan.

Pinjaman lunak lain didapat dari Industrial Efficiency and Pollution Control – Kreditanstalt fur Wiederaufbau (IEPC-KfW) dari pemerintah Jerman yang dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama diluncurkan pada tahun 1998 dengan total dana yang disalurkan sebesar Rp 125,6 miliar ke 134 Usaha Kecil Menengah (UKM) melalui Bank Jabar, Bank Jateng, Bank Nagari, Bank Bali dan BNI yang pembayaran kembalinya berakhir pada tahun 2023. IEPC-KfW tahap kedua diluncurkan pada tahun 2005 dengan total dana sebesar Rp 124,7 miliar untuk 39 UKM melaui Bank BNI dan LPEI (Lembaga Penjamin Ekspor dan Impor)yang pembayaran kembalinya pada tahun 2044. KPPN Khusus Investasi dalam hal ini mengelola administrasi dan secara rutin melakukan rekonsiliasi dengan bank dan perusahaan penyalur dana dari program IEPC tersebut.

 

Sumber : KPPN Khusus Investasi

 

Salah satu penyalur dari pinjaman IEPC adalah Bank Jateng. Produk-produk dari Bank Jateng terdiri berbagai jenis kredit baik yang produktif maupun kredit konsumtif. Kredit produktif seperti : KKPE, Kredit Pundi (Pusaka Mandiri), KUR, Kredit Mikro, KPMD, Kredit Linkage P BPR, Kredit Jexim VI, KUMK SUP 005, Kredit KFW IEPC 1, Kredit IEPC 2, Kredit Karsa, Kridamas, KUPS, Sistem Resi Gudang, serta Kemitraan Jamsostek. Sedangkan yang termasuk kredit konsumtif adalah : KPR, PLO, KMG dan K.Uang Muka KPR. Sebenarnya ada 20 skema kredit dari Bank Jateng, namun Bank Jateng sederhanakan agar tepat sasaran sehingga komitmen Bank Jateng dalam upaya turut mendorong pembangunan daerah dapat tercapai. Bank Jateng agar bisa menjadi BPD Regional Champion yaitu menjadi bank terkemuka di daerah, dilakukan upaya melalui produk dan layanan kompetitif dengan jaringan luas yang dikelola secara profesional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi regional.

Sumber : KPPN Khusus Investasi

 

Pada tanggal 4 Maret 2006 dilaksanakan Peresmian Kandang Terpadu Sistem Closed House PT. Santika Duta Nusantara di Subang dan Pelepasan Ekspor Perdana Santika Feed dan Obat Hewan ke Brunei Darussalam. Peresmian tersebut dihadiri oleh Menteri Pertanian, Menteri Koperasi dan UKM, Direktur Komersial dan Syariah PT BNI (Persero) Tbk, Perwakilan dari Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Gorontalo, Bupati Kabupaten Subang, Pemerintah Daerah setempat serta Peternak/Petani Mitra Santika. Menteri Negara LH dalam kesempatan tersebut diwakilkan oleh Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas, Bapak Isa Karmisa Ardiputra.

PT. Santika Duta Nusantara adalah perusahaan dibidang peternakan broiler, pakan ayam dan obat hewan. Perusahaan tersebut merupakan salah satu dari 68 perusahaan yang menggunakan dana Pinjaman Lunak Lingkungan IEPC-KfW Tahap I. PT BNI (Persero) Tbk. sebagai bank pelaksana IEPC I memberikan dana pinjaman untuk membangun 10 unit kandang sistem closed house berkapasitas 600.000 ekor ayam. Kandang ayam sistem closed house adalah peternakan yang higienis, efisien dan sehat dimana suhu, kelembaban, debit air dan pemakaian pakan dikendalikan dengan komputer sehingga pemakaian obat-obatan untuk vaksinasi berkurang dan ayam terhindar dari penyakit dan kematian. Dengan sistem tersebut juga adanya penghematan pemakaian SDA seperti gas alam untuk pemanasan ruangan.

Sumber : KPPN Khusus Investasi

 

UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pembangunan ekonomi nasional yang dilaksanakan harus menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, dengan memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup, serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Pembangunan secara berkesinambungan dapat dilakukan dengan mendorong implementasi dari semua tahapan kegiatan yang bertujuan meningkatkan efisiensi energi, air dan bahan baku, serta meminimalisasi limbah yang dihasilkan, dengan demikian produk ataupun jasa yang dihasilkan dapat menjaga kualitas lingkungan sebagaimana yang diperlukan masyarakat. Saat ini sumber daya alam di Indonesia makin berkurang karena pemanfaatan yang kurang bijak, oleh karena itu perlu dilakukan program penghematan sumber daya, baik sumber daya alam dan energi, terbarukan dan tidak terbarukan seperti program IEPC tersebut.

 

 

Hadiyan Lutfi /197901192000121002 /KPPN Khusus Investasi

Pak Tani, Padamu Bangsa Ini Menitikkan Harapan

 

Pak Tani, Padamu Bangsa Ini Menitikkan Harapan

Perusahaan Inti Rakyat (PIR) adalah pola untuk mewujudkan suatu perpaduan usaha dengan sasaran perbaikan keadaan sosial ekonomi peserta dan didukung oleh suatu sistem pengelolaan usaha dengan memadukan berbagai kegiatan produksi, pengelolaan dan pemasaran dengan menggunakan perusahaan besar sebagai inti dalam suatu system kerjasama yang saling menguntungkan (Ditjen Perkebunan, 1986).

 

Proyek Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dengan tanaman kelapa sawit dimulai dari kisaran tahun 1980an  di Provinsi Sumatera Selatan. (Pada tahun 2003, Provinsi Sumatera Selatan merupakan terbesar ketiga dalam luas areal dan produksi industri kelapa sawit di Indonesia). Pembangunan perkebunan saat itu dilakukan melalui empat pola pengembangan yakni; (1) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR); (2) Pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP); (3) Pola Swadaya (PS); (4) Pola Perkebunan Besar (PB).

Pola pengembangan berdasarkan 4 pola tersebut dimaksudkan agar dapat merengkuh seluruh segi petani seperti:

·     Petani yang tidak  memiliki Iahan dan modal dibantu melalui pola PIR.

·     Petani yang memiliki lahan dibantu lewat pola UPP.

·     Petani yang berpotensi berkembang akan dimasukkan dalam pola swadaya dengan kegiatan dengan bantuan pemerintah secara parsial.

·     Pengusaha yang bermodal diarahkan berkonstribusi dalam pengembangan dengan pola PIR maupun bukan PIR.

Pengembangan perkebunan pola PIR di Indonesia dimulai melalui berbagai proses persiapan. Tahap proses awal penguatan kepada perusahaan perkebunan negara melalui bantuan Bank Dunia untuk menjadi calon perusahaan inti. Pengembangan pola PIR diawali dengan seri proyek PIR Berbantuan yang dikenal dengan NES bantuan Bank Dunia Proyek tersebut kemudian diikuti oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Pembangunan Jerman. Pengembangan pola PIR dilaksanakan oleh 7 PTP yang sekarang menjadi PT Perkebunan Nusantara, proses PTP dilakukan melalui tiga tahap:

  • (1969 s/d 1972), Memberikan bantuan Kredit Bank Dunia kepada 7 PTP.
  • (Mulai 1973), Merintis proyek pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) dan pola PIR yang dimulai dengan pembentukan Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara (P3RSU) dan Proyek Pengembangan Teh Rakyat dan Perkebunan Swasta Nasional (P2TRSN).
  • (Mulai 1973), Penandatanganan perjanjian pinjaman proyek NES I (1977an) untuk pengembangan karet di Aloimerah, Aceh dan Tebenan, Sumatera Selatan. Sedangkan proyek NES untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit baru dimulai sekitar awal tahun 1980-an, yaitu proyek NES IV Betung.

 

 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjaxDhPfVb4foIthDsR4AW6XRT9XVGIaX3ohYU2qydw2CzmPVA1OfCnJtMwrI7tqOQTUe2haiD6_EA_wxA54uUabbQszssFNTHy2n6rgiZOrYPpuyIkrd6I5rq-LkZJ2x0_BadZhxMZZ44/s320/mekanisme+kemitraan.jpg

 

Pengembangan subsektor perkebunan dengan pola Perusahaan Inti-Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) diselenggarakan pada awal tahun 1980-an. Tujuan kebijaksanaan tersebut  disamping untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, juga untuk meningkatkan produksi komoditas perkebunan baik untuk memenuhi permintaan bahan baku industri dan konsumsi di dalam negeri maupun luar negeri. Makna strategis dari kebijakan PIR-BUN, meliputi aspek pemberdayaan petani perkebunan. Melalui kerja sama kemitraan antara perkebunan besar dan petani plasma, dimasa depan akan terjadi proses transformasi sosial dari masyarakat pertanian tradisional menjadi masyarakat industri.

Pola PIR menggunakan usaha perkebunan besar milik negara dan swasta sebagai inti pengembangan perkebunan rakyat dan dilaksanakan pada areal baru, areal daerah terpencil (remote) dan daerah dengan penduduk sedikit. Perusahaan inti (disamping mengusahakan kebunnya sendiri) harus membantu petani peserta untuk mengelola kebunnya, membantu pengolahan serta pemasaran hasil kebun. Pembangunan perkebunan melalui PIR berkembang dan tersebar diberbagai tempat serta memberikan berbagai manfaat antara lain meningkatkan pemasukan petani, wilayah perkenunan meluas, penyerapan tenaga kerja dan  menjadi pemanis program transmigrasi. Pola PIR tersebut dapat digolongkan PIR-BUN yang meliputi PIR Swadana yaitu PIR Lokal & PIR Khusus dan PIR Berbantuan serta PIR-TRANS (Ditjen Perkebunan, 1996).

Pembangunan perkebunan dengan pola PIR-BUN sampai dengan telah dikembangkan kurang lebih menjadi 562.000an Ha terdiri dari 397.000an ha kebun plasma dan 164.000an ha kebun inti dengan berbagai komoditas seperti karet, kelapa sawit, tebu, kapas, kelapa hibrida dan kakao. Pola PIR-TRANS dikembangkan kurang lebih 584.000an Ha terdiri dari kebun plasma seluas 425.000an Ha meliputi 381.000an Ha komoditas kelapa sawit dan 44.000an Ha komoditas kelapa hibrida serta 159.000an Ha kebun inti yang meliputi 148.000an Ha komoditas kelapa sawit dan 11.000an Ha komoditas kelapa (Ditjen Perkebunan, 1997).

Untuk pengembangan perkebunan dengan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan program transmigrasi, Presiden melalui Inpres No. 11 Thn 1986 1 Maret 1986 menginstruksikan 9 Menteri, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mengadakan kerja sama dan koordinasi yang sebaik-baiknya untuk menyusun dan melaksanakan program-program kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan tanaman perkebunan pola PIR yang di kaitkan dengan program transmigrasi (PIR-Trans). Kesembilan menteri yang diinstruksikan ialah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, Menteri Pertanian, Menteri Transmigrasi, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Kehutanan, Menteri Koperasi dan Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras.

Proyek PIR-Trans merupakan paket pembangunan wilayah yang terdiri dari pembangunan perkebunan inti, pembangunan perkebunan plasma, dan pembangunan pemukiman yang terdiri dari lahan pekarangan dan perumahan. Lahan kebun inti dan kebun plasma yang perimbangan luasnya ditetapkan oleh Menteri Pertanian (20:80). Untuk lahan plasma ditetapkan 2 hektar ditambah 0,5 hektar untuk pekarangan termasuk tapak perumahan. Kepada perusahaan inti diwajibkan membangun perkebunan inti lengkap dengan fasilitas pengolahan yang dapat menampung hasil perkebunan inti dari plasma.

Pembiayaan pembangunan kebun plasma dilakukan perusahaan inti yang kemudian akan diambil alih oleh bank pemerintah dan bank-bank lainnya yang disetujui oleh bank Indonesia pada waktu penyerahan pemilikan kebun plasma kepada petani peserta. Pembiayaan pembangunan lahan pangan, pekarangan, perumahan peserta, penyediaan air bersih, sarana penunjang dan pemukiman dilakukan oleh pemerintah melalui anggaran Departemen Transmigrasi, sedangkan pembangunan sarana dan pra-sarana lainnya yang diperlukan dilakukan oleh pemerintah melalui Anggaran Departemen Teknis (Sektoral) yang bersangkutan. Biaya pembangunan kebun plasma yang diambil alih oleh bank pemerintah dan bank-bank lainnya yang disetujui Bank Indonesia terdiri dari biaya pembangunan kebun plasma dari tahap persiapan sampai pada saat penyerahan kebun plasma termasuk bunganya yang jumlahnya dihitung berdasarkan unit cost ditambah “overhead cost” dan jasa manajemen.

Dalam Inpres 1/1986 ditetapkan bahwa petani peserta proyek PIR-Trans terdiri dari transmigran yang ditetapkan oleh Menteri Transmigrasi. Penduduk setempat termasuk para petani yang tanahnya terkena proyek yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah serta petani (peladang) berpindah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dari kawasan hutan terdekat yang dikenakan untuk proyek. Perimbangan untuk jumlah petani peserta yang berasal dari transmigrasi dan penduduk setempat dalam proyek PIR, ditetapkan oleh Menteri Transmigrasi. Pola Perusahaan Inti Rakyat atau disingkat PIR adalah pola Pelaksanaan Pengembangan Perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membangun dan membimbing perkebunan rakyat disekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan kesinambungan. Perusahaan Inti adalah perusahaan perkebunan besar, baik milik swasta maupun milik negara yang bertindak sebagai pelaksana proyek PIR. Kebun Plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan Inti dengan tanaman kelapa sawit.

Pada tahun 1986 diterapkan Pola PIR-Trans yang didasarkan pada Kepres No. 1 tahun 1986, kini sudah tidak diberlakukan dan kemudian diganti dengan Pola KKPA yang didasarkan atas keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil No.73/Kpts/KB.510/2/1998 dan No. 01/SKB/M/11/98. Terakhir diterapkan Program Revitalisasi Perkebunan yang didasarkan atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 33/Permentan/OT.140/7/2006.

Kementerian Keuangan sendiri juga berperan dalam proyek PIR ini. Jangka waktu pemberian pembiayaan pinjaman oleh Kemenkeu adalah pada medio tahun 1979 sampai dengan tahun 2005. Proyek PIR yang menjadi acuan utama dari Kemenkeu adalah PIR Swadana (PIR-Khusus I/II, PIR Lokal) dan PIR berbantuan luar negeri (NES I sampai dengan NES VII, NES ADB dan NES Gula). Kredit pembiayaan yang dikucurkan oleh Kementerian Keuangan adalah Rp. 1.049.639.542.279,13. Capaian luas kebuan bisa dikelola dari pembiayaan ini adalah 320.513,18 Hektar mencakup 186.389 Kepala Keluarga dan berlokasi di 19 provinsi diseluruh Indonesia. Pelaksana Proyek  PIR ini adalah 10 Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (PTPN I sampai dengan XIV) dan perusahaan swasta nasional (PT. Sinar Inesco dan PT. Pagilaran). Komoditas perkebunan yang dihasilkan dari proyek ini adalah karet, kelapa sawit, kelapa hibrida, tebu, coklat, teh, dan kapas. Pembiayaan yang disalurkan kepada petani berasal dari pinjaman luar negeri (IBRD, ADB, KFW, CDC, dan SFD), APBN, dan RDI.

 

 

 

 

 

 


NO

NOMOR REKENING

NAMA REKENING

NAMA BANK

1.

0206-01-000023-30-5

RPL BUN PIR SPH

BRI KCK

2.

0206-01-006221-30-9

RPL BUN PIR NON SPH

BRI KCK

3.

116.0094009835

RPL BUN PIR SPH

Mandiri Cabang S. Parman

4.

117.0006607899

RPL BUN PIR Non SPH

Mandiri Cabang S. Parman

Kendala dilapangan selalu saja menjadi bumbu dalam suatu pelaksanaan kegiatan. Kendala mengakibatkan program tidak sesuai dengan rencana yang telah direncanakan. Kendala ini mengakibatkan antara lain pelaksanaan akad kredit tidak tepat waktu, menyebabkan calon petani peserta terlambat menerima hasil kebun, perusahaan inti dikenai beban bunga, dan petani peserta meninggalkan lokasi kebun yang digarapnya. Masalah seperti ini membuat proses sertifikasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Masalah terkait kelancaran pelaksanaan PIR, antara lain sering terjadinya wanprestasi perjanjian, baik oleh perusahaan inti maupun petani peserta program dan tidak berfungsinya kontrol lembaga yang menangani. Masalah alih teknologi yang berjalan setengah-setengah menyebabkan tingkat produktivitas kebun rendah.

Masalah lain dalam program PIR, pada tahap persiapan dan pembukaan lahan. Ketidakpuasan petani-petani penerima program PIR atas luas dan pembagian lahan dapat memicu konflik diantara petani tersebut. Latar belakang petani plasma yang beragam adalah masalah tersendiri, petani ada yang kurang menguasai teknologi produksi menjadi menentukan tingkat produktivitas lahan.

Dalam fase pelunasan pembayaran pembiayaan dengan program PIR, terdapat berbagai macam kendala yang mengakibatkan banyaknya kredit macet sampai saat ini. Petani peserta program PIR mempunyai tingkat kemauan yang rendah untuk melakukan pembayaran hutangnya. Menurut mereka, penjualan produksi kebun petani kepada Perusahaan Inti sangat rendah dan cenderung menjual hasil kebunnya kepada pihak ketiga, sehingga Perusahaan Inti tidak dapat memotong pinjaman petani sebesar 30% dan rendahnya tingkat kesadaran petani untuk membayar cicilan pinjamannya kepada pihak Perusahaan Inti. Pendapatan petani dari hasil penjualan produksi kebun berkurang akibat harga jual produksi yang rendah. Petani enggan membayar cicilan pinjamannya karena sertifikat kebun belum terbit dari Badan Pertanahan Nasional. Pemeliharaan kebun oleh petani tidak maksimal yang berdampak kepada rendahnya produktivitas kebun dan berdampak kepada tingkat pendapatan dan pengembalian pinjaman petani.

Penanganan pengembalian kredit petani oleh Perusahaan Inti tersendat, hal tersebut salah satunya terjadi semenjak pembiayaan proyek sudah tidak dianggarkan pada tahun 2003an. Faktor alam seperti bencana alam dibeberapa daerah lokasi PIR yang mengakibatkan tanaman rusak sehingga produktivitas dan pendapatan petani menjadi rendah. Tingkat keamanan juga menjadi sorotan, gangguan keamanan di aceh dan kerusuhan sosial Sambas Kalimantan Barat yang mengakibatkan petani peserta mengungsi dan meninggalkan kebunnya, sehingga kebun terlantar dan rusak dan sebagian diokupasi masyarakat, akibatnya pengembalian kredit terhenti.

Kementerian Keuangan dalam hal ini KPPN Khusus Investasi tidak dapat melakukan penagihan kepada peserta program PIR. KPPN Khusus Investasi melakukan himbauan dengan menghimbau kepada Kementerian Pertanian , khususnya Direktorat Perkebunan, PTPN, dan Bank penjamin agar melakukan edukasi ke petani untuk tetap melakukan usaha semaksimal mungkin agar dapat melunasi hutang sehingga sertifikat dapat diambil. Petugas pengembalian kredit PTPN diharapkan agar senantiasa bersemangat melakukan penagihan, penatausahaan hutang, dan penyetoran pengembalian kredit. Bank Cabang agar dapat senantiasa melaksanakan penatausahaan dan pelimpahan pengembalian kredit secara tepat waktu.