Kamis, 10 Agustus 2017

Soekamto, Kebanggaan Solo



Soekamto,  Kebanggaan Solo
Salah satu petunjuk perang gerilya pertama TNI yang pernah ditulis adalah hasil coretan pena Slamet Riyadi. Dalam tulisan itu, ia menyebutkan pentingnya agresivitas, taktik regu kecil, menghormati rakyat, menghemat amunisi, dan cara membiayai gerilya.
Brigadir Jenderal Ignatius Slamet Rijadi (Ignatius Slamet Riyadi) lahir di Surakarta, 26 Juli 1927 – meninggal di Ambon, 4 November 1950 (23 tahun). Rijadi anak seorang tentara Indonesia. Nama kecil Rijadi adalah Soekamto. Soekamto adalah putra kedua dari pasangan Raden Ngabehi Prawiropralebdo (perwira tentara kesultanan) dan Soetati (penjual buah). Saat Soekamto berusia satu tahun, ibunya secara tidak sengaja membuat Soekamto jatuh. Setelah jatuh, Soekamto sering sakit-sakitan. Keluarganya "menjual" Soekamto (ritual tradisional suku Jawa) kepada pamannya, Warnenhardjo. Setelah ritual, nama Soekamto diganti menjadi Slamet. Slamet tetap dibesarkan bersama orangtuanya. Slamet Rijadi menganut Katolik Roma. Saat dewasa, Slamet Riyadi menyerahkan dirinya kepada Tuhan dan dibaptis dengan nama Ignatius.
Slamet menempuh pendidikan di sekolah dasar di Hollandsch-Inlandsche Schooll Ardjoeno, sekolah swasta yang dikelola oleh kelompok agamawan Belanda. Saat bersekolah di Sekolah Menengah Mangkoenegaran, Slamet mendapat nama belakang Rijadi karena banyak siswa yang bernama Slamet di sekolah tersebut. Saat di sekolah menengah, ayahnya kembali "membelinya" dari sang paman. Setamat sekolah menengah dan saat Jepang menduduki Hindia Belanda pada tahun 1942, Slamet melanjutkan pendidikannya ke akademi pelaut di Jakarta. Setelah lulus, ia bekerja sebagai navigator di sebuah kapal laut.
Pada 14 Februari 1945, setelah Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, Rijadi beserta rekannya sesama pelaut meninggalkan asrama mereka dan mengambil senjata. Rijadi kembali ke Surakarta dan mulai berjuang di Surakarta. Ia tidak ditangkap oleh polisi militer Jepang atau unit lainnya selama masa pendudukan, yang berakhir dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Belanda kembali ke Indonesia. Rijadi memulai gerilya melawan Belanda dan dengan memperoleh kenaikan pangkat. Ia bertanggung jawab atas Resimen 26 di Surakarta. Selama Agresi Militer Belanda I, yaitu serangan umum yang dilancarkan oleh belanda pada pertengahan 1947. Rijadi memimpin pasukan Indonesia di beberapa daerah di Jawa Tengah, termasuk Ambarawa dan Semarang. Rijadi memimpin pasukan penyisir di sepanjang Gunung Merapi dan Merbabu.
Bulan September 1948, Rijadi dipromosikan dan diserahi tanggungjawab atas empat batalion tentara dan satu batalion tentara pelajar. Dua bulan kemudian, Belanda melancarkan serangan kedua, menyerang kota Yogyakarta. Rijadi dan pasukannya menahan laju belanda yang berusaha mendekati Solo melalui Klaten. Tentara Belanda berhasil memasuki kota. Dengan menerapkan strategi "berpencar dan menaklukkan", Rijadi mampu mengusir tentara Belanda dalam waktu empat hari. Di bawah komando Slamet Riyadi, pasukannya sukses melancarkan "Serangan Umum Kota Solo" yang berlangsung selama empat hari empat malam, 7 - 11 Agustus 1949. Serangan yang mengakibatkan kerugian besar bagi Belanda itu dilakukan secara frontal dan berlangsung siang malam. Tujuh serdadu Belanda tewas tertembak dan tiga orang lainnya berhasil ditawan. Belanda melakukan gencatan senjata disusul penyerahan Solo ke Indonesia. Komandan pasukan Belanda di Solo, Letkol Van Ohl, terkejut saat berhadapan langsung dengan Slamet Riyadi. Van Ohl tidak menyangka bahwa pimpinan pasukan yang menghancurkan pasukannya adalah seorang remaja. Keberhasilan taktik Rijadi membuat Rijadi dikirim ke Jawa Barat untuk melawan Angkatan Perang Ratu Adil yang dipimpin Raymond Westerling.
Republik Maluku Selatan (RMS) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Indonesia. Rijadi dikirim ke Ambon pada tanggal 10 Juli 1950 sebagai bagian dari Operasi Senopati. Untuk merebut kembali Pulau Ambon, Rijadi membawa setengah pasukannya dan menyerbu pantai timur, sedangkan sisanya ditugaskan untuk menyerang dari pantai utara. Meskipun pasukan kedua mengobarkan perlawanan dengan sengit, pasukan Rijadi mampu mengambil alih pantai tanpa perlawanan.
Pada tanggal 3 Oktober, pasukan Rijadi dan Kolonel Alexander Evert Kawilarang ditugaskan mengambil alih ibu kota pemberontak di New Victoria. Ketika Rijadi sedang menaiki sebuah tank menuju markas pemberontak pada tanggal 4 November, selongsong peluru senjata mesin menembakinya. Peluru menembus baju besi dan perutnya. Setelah dilarikan ke rumah sakit kapal, Rijadi bersikeras untuk kembali ke medan pertempuran. Para dokter memberi morfin dan berupaya mengobati luka tembaknya, Rijadi tewas pada malam itu juga, dan pertempuran berakhir di hari yang sama. Rijadi dimakamkan di Ambon.
Sejumlah tempat, jalan, dan benda dinamai untuk menghormati Riyadi. Sebuah jalan utama sepanjang 5.8-kilometer (3.6 mi) di Surakarta dinamakan sesuai nama sang brigadir jenderal.[15] KRI Slamet Riyadi, sebuah fregat yang dikatakan sebagai salah satu kapal tercanggih yang dimiliki oleh TNI Angkatan Laut, juga dinamai menurut namanya,[16] begitu juga dengan sebuah universitas di Surakarta.[17]
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Rijadi memimpin tentara Indonesia di Surakarta pada masa perang kemerdekaan melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Dimulai dengan kampanye gerilya, pada 1947 ia berperang dengan sengit melawan Belanda di Ambarawa dan Semarang, bertanggung jawab atas Resimen 26. Selama Agresi Militer I, Belanda mengambil alih kota tetapi berhasil direbut kembali oleh Rijadi, dan kemudian mulai melancarkan serangan ke Jawa Barat. Pada tahun 1950, setelah berakhirnya revolusi, Rijadi dikirim ke Maluku untuk memerangi Republik Maluku Selatan.
Ketangguhan pasukan RMS yang salah satunya dari pasukan komando Belanda membuat Slamet Rijadi terpesona. Slamet berencana membentuk pasukan dengan kemampuan khusus yang menjadi cikal bakal Kopassus. Rancana Slamet Rijadi membentuk pasukan berkemampuan khusus dan diatas rata rata dilanjutkan Kolonel Alex Kawilarang. Alex meminta seorang mantan prajurit Belanda yang kelak dikenal dengan nama Mayor Idjon Janbi sebagai peiatih. Pasukan ini kelak menjadi RPKAD lalu berubah menjadi Kopassus
Setelah operasi perlawanan selama beberapa bulan dan berkelana melintasi Pulau Ambon, Rijadi tewas tertembak menjelang operasi berakhir. Letkol Slamet Riyadi menghembus nafas terakhirnya sebelum ia genap berusia 24 tahun. Slamet Rijadi meninggalkan seorang istri bernama Soerachmi. Atas jasanya yang besar, beliau mendapat kenaikan pangkat luar biasa menjadi brigadier jenderal (anumerta). Rijadi menerima banyak penghormatan. Sebuah jalan utama di Surakarta dinamakan menurut namanya. Fregat TNI AL diberi nama KRI Slamet Riyadi.
Rijadi telah menerima berbagai tanda kehormatan dari pemerintah Indonesia. Ia menerima beberapa medali anumerta, termasuk Bintang Sakti pada bulan Mei 1961, Bintang Gerilya pada bulan Juli 1961, dan Satya Lencana Bakti pada bulan November 1961. Pada 9 November 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Rijadi gelar Pahlawan Nasional Indonesia. Rijadi dikukuhkan sebagai pahlawan bersama dengan Adnan Kapau Gani, Ida Anak Agung Gde Agung, dan Moestopo, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2007.

Sumber:
http://www.gbm-maguwo.org/?p=86
http://jnukmi.uns.ac.id/2015/11/18/gsjn-2-menguak-tentang-pahlawan-islam-di-hari-pahlawan/
http://www.timlo.net/baca/43163/slamet-riyadi-tak-pernah-dikawal-saat-bertugas/
http://news.okezone.com/read/2014/11/10/337/1063358/kisah-slamet-riyadi-harley-davidson-dan-komunis
http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/09/pejuang-muda-yang-tak-disangka-belanda
https://id.wikipedia.org/wiki/Slamet_Rijadi
https://www.hobbymiliter.com/3385/slamet-riyadi-pahlawan-nasional-dari-solo/
http://biokristi.sabda.org/ignatius_slamet_riyadi
http://profil.merdeka.com/indonesia/i/ignatius-slamet-rijadi/
https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-slamet-riyadi/
http://sosok-tokoh.blogspot.co.id/2016/05/biografi-singkat-slamet-riyadi.html



Tidak ada komentar: