Rabu, 09 Agustus 2017

Haji Misbach :Tokoh Kauman Solo yang Terlupakan



Haji Misbach :Tokoh Kauman Solo yang Terlupakan
‘Sebagai di Hindia ini, semasa kaoem boeroeh dan rakjat jang miskin ini bergerak akan melawan tindasan yang dideritanja, maka matjam-matjamlah usaha akan melemahkan pergerakan ra’jat jang tertindas itoe. Adalah jang dengan djalan mengembangkan agama Islam dengan menjoeroeh ra’jat itoe nerima kaloe ditindas, sebab itoe toch kodrat Toehan, nanti akan dapat balasan di achirat’. (H. Misbach)




Haji Mohamad Misbach atau Haji Misbach atau Haji Merah (Surakarta, 18761926), dilahirkan di Kauman, di sisi barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung Surakarta. Nama kecil beliau adalah Ahmad. Ahmad berganti nama setelah menikah menjadi Darmodiprono.


Nama Haji Mohamad Misbach disandangnya setelah beliau pulang dari ibadah haji. Bicara kepribadian Misbach, orang memuji keramahannya kepada setiap orang dan sikap egaliternya tak membedakan priyayi atau orang kebanyakan. Mas Marco Kartodikromo menggambarkan Haji Misbach sebagai berikut : Pada waktoe itoe ia soerang Islam jang berniat menjiarken keislaman setjara djaman sekarang: membikin soerat kabar Islam, sekolahan Islam, berkoempoel-koempoel meremboek igama Islam dan hidoep bersama. Dalem tahoen 1915 H.M. Misbach menerbitken soerat kabar boelanan Medan Moeslimin, nomer satoe tahoen pertama soerat kabar itoe tertanggal 15 Djanoeari 1915.Pada saat itoelah langka jang permoelaan H.M. Misbach masoek kedalem pergerakan dan memegangi bendera Islam.
Misbach muda menggeluti dunia usaha sebagai pedagang batik di Kauman mengikuti jejak ayahnya. Bisnisnya pun menanjak dan ia berhasil membuka usaha pembatikan dan berjaya. Tahun1912 berdiri Sarekat Islam (SI) di Surakarta. Sebagai seorang haji ia lebih suka mengenakan kain kepala ala Jawa. Ahmad adalah didikan Pesantren. Pada usia sekolah, Ahmad ikut pelajaran dari pesantren, selain di sekolah bumiputera "Ongko Loro". Basis pesantren serta lingkungan keraton Surakarta inilah yang kemudian mempengaruhi sosok Misbach menjadi seorang Mubaligh. Orang tuanya menjabat sebagai pejabat keagamaan keratin disampung berdagang. Bahasa Arabnya bagus. Beliau hafal berbagai surat dalam Al Quran dan doa. Kehidupan beliau layaknya sunnah  Nabi: berdagang dan buka toko. Semula kegiatanya sederhana: berdagang, mengaji, beribadah, bersosialisasi, dan mendirikan sekolah. Ahmad akrab dengan Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Misbach mulai aktif terlibat dalam pergerakan pada tahun 1914, ketika ia berkecimpung dalam IJB (Indlandsche Journalisten Bond)-nya Marco. Pada tahun 1915, ia menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin, yang edisi pertamanya tertanggal 15 Januari 1915 dan kemudian menerbitkan Islam Bergerak pada tahun 1917. Surat-surat kabar ini menjadi media gerakan yang sangat populer di Surakarta dan sekitarnya.
Haji Misbach mulai berkibar ketika muncul kasus pelecehan agama oleh mantan ketua SI yaitu Marthodarsono. artikel Djojosoediro di surat kabar Djawi Hisworo, Pemimpin Redaksinya adalah Martodharsono. Djojosoediro, menulis: “Ah seperti pegoeron (tempat beladjar ilmoe). Saja boekan goeroe, tjoemah bertjeritera atau memberi nasihat, keboetoelan sekarang ada waktoenja. Maka baiklah sekarang sadja. Adapon fatsal (selamatan) hoendjoek makanan itoe tidak perloe pakai nasi woedoek dengan ajam tjengoek brendel. SEBAB GOESTI KANDJENG NABI RASOEL ITOE MINOEM TJIOE A.V.H. DAN MINOEM MADAT, KADANG KLE’LE’T DJOEGA SOEKA. Perloe apakah mentjari barang jang tidak ada. Maskipon ada banjak nasi woedoek, kalau tidak ada tjioe dan tjandoe tentoelah pajah sekali.”
Umat Islam di Surakarta bergejolak. Sarekat Islam, organisasi Islam terbesar saat itu, wajib melakukan pembelaan. Awal Februari 1918, Tjokroaminoto Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) untuk “memertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan Kaum Muslimin”. Martodharsono adalah murid Tirto Adhi Soerjo, sang pemula, dan Raden Pandji Natarata atau Raden Sastrawidjaja, ahli sastra dari Yogyakarta. Ketika artikelnya mendapat respon negatif dan kemarahan dari umat Islam, Martodharsono memberikan klarifikasi di surat kabar Djawi Hisworo. Klarifikasi tersebut tidak mendapat sambutan. Pembentukan TKNM memunculkan nama Misbach sebagai mubaligh yang vokal. Misbach kemudian membentuk perkumpulan tablig reformis bernama Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV). Haji Misbach menyebar pamphlet mengkritisi Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM. Kaum muslimin Surakarta menghadiri rapat umum di lapangan Sriwedari, pada 24 Februari 1918, menurut kabar dihadiri 20.000-an orang. Tjokroaminoto diwakili Haji Hasan bin Semit dan Sosrosoedewo (penerbit dan redaktur jurnal Islam Surabaya, Sinar Islam). Muslimin Surakarta bergerak proaktif menjaga wibawa Islam terhadap setiap upaya penghinaan terhadapnya. Inilah awal perang membela Islam dari "kaum putihan" Surakarta. Tjipto Mangunkusuma dalam surat kabar Panggoegah, 12 Mei 1919 melukiskan keberanian Misbach dalam melawan kolonialisme Belanda sebagai "seorang ksatria sejati" yang mengorbankan seluruh hidupnya untuk pergerakan.
Tjokroaminoto mengendurkan perlawanan kepada Martodharsono dan Djawi Hisworo setelah mencuatnya pertikaian menyangkut soal keuangan dengan H Hasan bin Semit. H Hasan bin Semit keluar dari TKNM. Misbach menggantikan Hisamzaijni, ketua subkomite TKNM dan menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin. Artikel pertamanya di media ini berjudul Seroean Kita. Dalam artikel itu, ia menyajikan gaya penulisan khas, yang menurut Takashi, menulis seperti berbicara dalam forum tablig. Ia mengungkapkan pendapatnya, bergerak masuk ke dalam kutipan Al-Quran kemudian keluar lagi dari ayat itu. "Persis seperti membaca, menerjemahkan, dan menerangkan arti ayat Al-Quran dalam pertemuan tablig." Sikap Misbach ini segera menjadi tren, apalagi kemudian secara kelembagaan perkumpulan tablig SATV benar-benar eksis melibatkan para pedagang batik dan generasi santri yang lebih muda. SATV menyerang para elite pemimpin TKNM, kekuasaan keagamaan di Surakarta, menyebut mereka bukan Islam sejati, tetapi "Islam lamisan", "kaum terpelajar yang berkata mana yang bijaksana yang menjilat hanya untuk menyelamatkan namanya sendiri." Dasar keyakinan SATV dengan Misbach sebagai ideolognya, "membuat agama Islam bergerak". Misbach dikenal luas karena perbuatannya "menggerakkan Islam": menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.
Pada 22 Oktober, Misbach menggantikan Nyonya Vogel sebagai pemimpin Sarekat Hindia (SH) Surakarta. Sementara Tjiptomangunkusumo tetap menjabat sebagai Sekretaris SH Surakarta mendampingi Misbach. Kongres SH Surakarta, pada 21 Maret 1919, Misbach dan Tjiptomangunkusumo tampil sebagai pembicara utama. Dalam pidatonya, mereka menekankan pentingnya berserikat, dan pemerintah tidak kuasa menahan keinginan rakyat itu. Menurut laporan Sismadi Sastrosiwojo, Misbach lah yang menjadi api dalam kongres itu. Dia berpidato, "SH akan melawan dengan sekuat-kuatnya segala tindasan dan isapan, baik dari pihak mana juga. SH berharap kepada sekalian perhimpunan rakyat Hindia akan bekerja berat bersama dengan SH, menyusun maksud mencapai kemerdekaan Tanah Hindia." Dalam rapat akbar di Delanggu 29 Februari 1920, Misbach menyatakan:"Coba ingatlah! Siapakah yang punya tanah ini? Toh bukan Ratu atau gouvernement. Mana ada Ratu atau gouvernement punya tanah? Toh tidak.. Tanah ini dulu-dulunya yang punya toh embah-embah kita sendiri.. Maka saudara, ayo! Ingatlah bila tanah ini bukan punyanya siapa-siapa, terang bila punya kita sendiri. Tidak boleh tidak, ini tanah tentu kembali kepada kita."
Menurut Shiraisi, ada perbedaan SATV dengan Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah menempati posisi strategis di tengah masyarakat keagamaan Yogya, SATV adalah perhimpunan muslimin saleh yang merasa dikhianati oleh kekuasaan keagamaan, manipulasi pemerintah, dan para kapitalis non-muslim. Militansi Muhammadiyah bergerak atas dasar keyakinan bahwa di Muhammadiyah hidup menjadi muslim sejati. Militansi SATV berasal dari rasa takut melakukan manipulasi, dan keinginan kuat membuktikan keislamannya dengan tindakan nyata. Namun pada akhirnya, SATV menjadi Muhammadiyah Cabang Surakarta.
Misbach anti kapitalis. Siapa yang secara kuat diyakini menjadi antek kapitalis yang menyengsarakan rakyat akan dihadapinya melalui artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak. Berdamai dengan pemerintah Hindia Belanda adalah jalan yang akan dilawan dengan gigih. Maka kelompok yang anti politik, anti pemogokan, secara tegas dianggap berseberangan dengan misi keadilan. Misbach membuat kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Isinya mengkritisi Belanda yang memeras petani. Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat karena ikut menindas. Retorika khas Misbach, muncul dalam kartun itu sebagai "suara dari luar dunia petani". Bunyinya, "Jangan takut, jangan kawatir". Kalimat ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok. Misbach ditangkap, 7 Mei 1919, setelah melakukan belasan pertemuan "kring" (subkelompok petani perkebunan). Misbach dibebaskan pada 22 Oktober sebagai kemenangan penting Sarekat Hindia (SH). Soerjosasmojo, Redaktur Islam Bergerak menulis pembebasan Misbach tersebut, "Enam bulan lamanya pahlawan kita dalam penjara berpisah dengan anak dan istri, teman serta rakyat, pergerakan serta kemajuan, sebagai burung dalam sangkar.. Enam bulan lamanya saudara kita itu hidup dalam pertapaan, karena kehilangan kemerdekaannya." Pada 4 April 1920, Misbach berpidato dalam rapat buruh pabrik di Delanggu. Rapat ini dihadiri oleh 2.200 orang. Selain Misbach, Mas Marco Kartodikromo juga tampil sebagai pembicara utama. Pidato keduanya menyemangati buruh yang mogok. "Pemerintah telah membeli beras seharga 9 gulden, dan menjualnya ke orang kecil seharga 18 gulden. Siapa yang mengatongi untung? Pemerintah memproduksi garam murah, dan menjualnya mahal kepada orang kecil, siapa yang untung? Pemerintah terus memperluas jaringan polisi, siapa yang membiayai? Siapa yang mengantongi keuntungan?" ungkap Misbach.
Misbach menegaskan kepada rakyat "jangan takut dihukum, dibuang, digantung", seraya memaparkan kesulitan Nabi menyiarkan Islam. Misbach pun sosok yang selain menempatkan diri dalam perjuangan melawan kapitalis, ia meyakini paham komunis. Misbach mengagumi Karl Marx. Marx di mata Misbach berjasa membela rakyat miskin, mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Agamapun dirusak oleh kapitalisme sehingga harus dilawan dengan historis materialisme.
Konggres PKI tanggal 4 Maret 1923 yang dihadiri 16 cabang PKI, 14 cabang SI Merah dan beberapa perkumpulan serikat komunis, Misbach memberikan uraian mengenai relevansi Islam dan komunisme dengan ayat-ayat Al-Qur’an serta mengkritik pimpinan SI Putih yang diposisikan munafik dan menjadikan Islam sebagai alat untuk memperkaya diri. Pada tahun 1923 pula, dia menulis kritikannya terhadap Tjokroaminoto di Medan Moeslimin dengan judul “Semprong Wasiat: Disiplin Organsisi Tjokroaminoto Menjadi Racun Pergerakan Rakyat Hindia”. Misbach ikut Perserikatan Kommunist di Indie (PKI) ketika CSI (Central Sarekat Islam) pecah melahirkan PKI/SI Merah. Misbach ikut mendirikan PKI afdeling Surakarta dan menjadi pimpinan PKI di Surakarta. Misbach mengubah surat kabar Islam Bergerak menjadi Ra’jat Bergerak dan penyatuan secara de fakto organ PKI Yogyakarta berbahasa Melayu, Doenia Baroe, ke dalam Ra’jat Bergerak pada September 1923. Berjuang melawan kapitalisme, tak membuat dia tidak menegakkan Islam.
Bulan Mei 1919 (akibat pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya), Misbach dan para pemimpin pergerakan lainnya di Surakarta ditangkap. Pada 16 Mei 1920, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Bulan Maret 1923, Misbach menjadi propagandis PKI/SI Merah dan berbicara tentang keselarasan antara paham Komunis dan Islam. Tanggal 20 Oktober 1923, Misbach masuk penjara dengan tuduhan terlibat dalam aksi-aksi revolusioner yaitu pembakaran bangsal, penggulingan kereta api, pengeboman dan lain-lain. Bulan Juli 1924 Misbach ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi pemogokan dan teror di Karesidenan Surakarta. Setelah penangkapan Misbach, Moedio dan Darmosoesastro menunjukkan kepada Sismadi kontrak tertulis mereka dengan seorang agen polisi Hardjosoemarto agar memberikan kesaksian palsu dengan sejumlah imbalan uang. Mereka juga mengatakan, bahwa yang mengedarkan pamflet tengkorak manusia dengan gambar palu arit dan sejumlah teror bom lainnya adalah Hardjosoemarto. Moedio dan Darmosoesastro kemudian ditangkap, setelah membeberkan hal itu di surat kabar Penggoegah. Sementara agen polisi Hardjosoemarto langsung menghilang dari Surakarta. Untuk seketika, kasus inipun mengalami kebuntuan.
Walaupun bukan yang pertama diasingkan Misbach merupakan orang pertama yang ke tanah pengasingan di kawasan Hindia sendiri. Misbach diasingkan ke Manokwari, Papua, beserta dengan istri dan tiga anaknya. Penggambaran menarik oleh Pramudya  terhadap proses yang sama yang dialami Minke, nama yang digunakan Pram untuk merujuk pada Tirtoadhisoerjo, dalam Rumah Kaca-nya. “Penjagaan polisi sangat ketat.Ketika Misbach kembali sebentar ke Surakarta, hanya Sjarief dan Haroenrasjid dari Medan Moeslimin, di samping kerabatnya, yang diizinkan menjenguknya. Anggota-anggota PKI dan SR Surabaya pergi ke pelabuhan, tetapi usaha ini sia-sia karena ia dikurung dalam kabin. Misbach meninggalkan Jawa dalam keterpencilanDi Manokwari, Misbach mendirikan Sarekat Rakyat cabang Manokwari beranggotakan tidak pernah lebih dari 20. Misbach sempat menyusun artikel berseri "Islamisme dan Komunisme". Medan Moeslimin kemudian memuat artikel tersebut, "…agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum."
Di Manokwari, penyakit TBC yang diderita Istri Misbach semakin parah, meninggal pada Juli 1925. Misbach terserang malaria dan meninggal di pada 24 Mei 1926. Misbach dimakamkan di kuburan Penindi, Manokwari, di samping kuburan istrinya. Haji Misbach  meninggalkan tiga anak, dua orang putra yakni Madoeki dan Karobet beserta seorang putri yang bernama Soimatoen.

"Saya bukan haji, tapi Mohammad Misbach. Seorang Jawa yang telah memenuhi tugasnya sebagai Muslim dengan melakukan perjalanan suci ke Makkah dan Madinah. Dengan mendasarkan pada Alquran, ada beberapa hal yang berkesesuaian antara Alquran dengan komunisme. Misalnya, Alquran mengakui hak asasi manusia. Hal ini juga ada pada komunisme,"

Sumber :


* Ruth T McVey, Kemunculan Komunisme di Indonesia, KOmunitas Bambau, Cetakan Pertama, Januari 2010.
* Dr Syamsul Bakri, Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1924, LKiS, Cetakan I, 2015.
* Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisasi Rayat di Jawa 1912-1926, Grafiti, Cetakan 2, 2005.
* Edi Cahyono, Jaman Bergerak di Hindia Belanda, Yayasan Pancur Siwah-Yayasan Penebar, Cetakan Pertama, November 2003.
* Zainul Munasichin, Berebut Kiri, Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912-1926, LKiS, Cetakan I, September 2005.
* Soewarsono dan Thung Ju Lan, Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digul, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Edisi Pertama, Juli 2013.
Misbach, H.M. 1923. “Islam & Gerakan.” Jakarta: Medan Moeslimin. Gie, Soe Hok. 1997. “Orang-Orang di Persimangan Kiri Jalan. Yogyakarta: Bentang Budaya. Hiqmah, Nor. 2008. “H.M. Misbach: Kisah Haji Merah.” Depok: Komunitas Bambu.





Tidak ada komentar: