Senin, 28 Agustus 2017

Lika Liku Lahirnya Garuda Pancasila



Lika Liku Lahirnya Garuda Pancasila
Entah apa alasan Soekarno menunjuk Hamid untuk merancang lambang negara. Padahal, Hamid ketika itu sering dicap federalis. Ketika Konferensi Meja Bundar 27 Desember 1949, Hamid tidak duduk sebagai wakil pemerintah Republik, melainkan sebagai Ketua Bijeenkomst Federaal Overleg (BFO) alias forum negara federal di bekas wilayah Hindia Belanda.
Saat Sultan Hamid II menjabat sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dan selama jabatan menteri negara itu pula dia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuklah  Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Portofolio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis yakni Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ngabehi Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.


Dalam buku Bung Hatta Menjawab, untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melakukan sayembara. Dalam sayembara tersebut, terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Rancangan awal Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, berbentuk garuda tradisional yang bertubuh manusia. Rancangan tersebut diberi nama Elang Rajawali - Garuda Pancasila. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Sultan Hamid II membuat sketsa berdasarkan masukan Ki Hadjar Dewantara dengan figur Garuda dalam mitologi yang dikumpulkan Ki Hajar Dewantara dari beberapa candi di Pulau Jawa, dikirim Ki Hajar dari Yogyakarta, Sultan Hamid II juga membandingkan salah satu simbol Garuda yang dipakai sebagai lambang kerajaan Sintang, Kalimantan Barat tulisan diketahui dari surat kiriman Sultan Hamid II kepada Solichin Salam pada 14 April 1967. Setelah rancangan dari Sultan Hamid II terpilih, dilakukan komunikasi secara intensif antara Sultan Hamid II, Soekarno, dan Mohammad Hatta. Hasil diskusi tiga tokoh bangsa ini adalah mengganti pita yang dicengkeram Garuda, semula pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".
Hamid II mengawali dengan membuat rencana tameng atau perisai yang menempel pada figur burung garuda, karena lambang-lambang pada negara lain yang menggunakan figur burung selalu ada tameng atau perisai di tengahnya. Hamid membuat sketsa perisai dan membaginya menjadi lima ruang. Hamid minta pendapat soal ide dan simbol Pancasila dari Panitia Lambang yang diajukan pada Presiden. Hamid II menambahkan Nur Cahaya berbentuk Bintang persegi lima atas masukan M. Natsir sebagai simbol kesatu Pancasila, juga masukan dari R.M.Ng Poerbatjaraka, yakni pohon astana yang menurut keterangannya pohon besar sejenis pohon beringin yang hidup di depan istana sebagai lambang pengayoman dan perlindungan untuk melambangkan sila ketiga.
Hamid II juga melakukan konsultasi ke Ahmad Yamin. Atas utusan Palaupessi, bulu ekor dijadikan delapan, sebagai tanda bulan kemerdekaan Indonesia. Hamid juga melakukan
Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, Masyumi keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan saran yang telah ditampung, terbentuk rajawali yang menjadi Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. Garuda Pancasila yang diresmikan 11 Februari 1950, tanpa jambul dan posisi cakar masih di belakang pita.
Buku Sekitar Pancasila karya AG Pringgodigdo terbitan Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno memperkenalkan pertama kalinya lambang negara itu kepada masyarakat Indonesia di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950. Selanjutnya atas saran Presiden Soekarno, Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
konsultasi dengan Dirk Ruhl, seorang Warga Negara Jerman yang sejak usia 16 tahun sudah tinggal di Indonesia. Dengan modal lukisan Dullah, Ruhl menggambar ulang sketsa garuda dan meyempurnakan bagian kaki, yang semula tak terlihat menjadi terlihat, atas permintaan Hamid. Apa yang digambar Ruhl itu lalu diajukan ke Presiden lagi pada 20 Maret 1950. Dullah dipanggil lagi untuk melukis ulang. Lambang Garuda Pancasila itu pun akhirnya dipajang di banyak ruangan di Republik ini. Dua minggu kemudian, setelah lambang itu diajukan, Hamid ditangkap atas tuduhan makar bersama Westerling.
Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan di Istana Kadriyah, Pontianak. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (tahun 1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Sultan Hamid II terinspirasi ucapan Presiden Soekarno, hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila digambarkan dalam suatu lambang negara.
Nur Iskandar adalah salah satu penyusun buku Sultan Hamid II: Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila. Dua penulis lainnya adalah Anshari Dimyati dan Turiman Faturachman Nur. Biografi politik Sultan Hamid II itu diterbitkan TOP Indonesia pada 2013.

Tidak ada komentar: