Senin, 28 Agustus 2017

Intrik dan Penghianatan Pejuangan yang dialami Hamid II



Intrik dan Penghianatan Pejuangan yang dialami Hamid II
“Syukur Alhamdulillah, serentak saya agak tenang, ialah sesudah mandi, insyaflah saya akan perbuatan saya yang tidak patut itu,” lanjut Hamid.
Konon, belum ada pesakitan yang digugat dalam pengadilan Indonesia langsung oleh Jaksa Agung Republik Indonesia. Sultan Hamid II, yang berusia 40 tahun dituduh terlibat konspirasi dengan bekas Kapten Raymod Westerling yang sudah berhasil kabur ke Belanda. Raymond Westerling mendatangi Hamid II setelah gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), yang dipimpinnya di Bandung gagal.  Westerling, bekas Kaptan pasukan khusus Belanda itu sering sering nongkrong di sebuah bar bernama Black Cat Noir di Jalan Veteran I, Jakarta. Tempat itu adalah lokasi hiburan malam tentara Belanda di masa revolusi.


Hamid sering menginap di Hotel Des Indes. Westerling ketika itu sering pergi bersama bekas inspektur polisi Frans Najoan. Westerling dan Najoan mendapat perintah menyerang sidang menteri kabinet RIS di Pejambon.
Sejak Februari 1950, Polisi Republik Indonesia sudah mendata orang-orang yang dekat dengan Westerling, yang memimpin gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung dan Jakarta. Sebagai mantan Menteri Negara tanpa Portofolio, Hamid II tak duduk di kursi empuk di kabinet Republik Indonesia Serikat. Pada 5 April 1950, Hamid diciduk di Jakarta. Ia menjadi tahanan dan harus duduk di kursi pesakitan. Sejak 25 Februari 1953, Hamid II mulai menjalani beberapa persidangan yang menyudutkan dirinya. Jaksa penuntutnya bukan Jaksa sembarangan. Hamid II langsung berhadapan dengan Jaksa Agung Republik Indonesia, R Soeprapto.
Bila dikaitkan dengan kasus penyerangan Westerling di Bandung 23 Februari 1950, Dakwaan Primair tidak terbukti (Putusan Mahkamah Agung RI - 1953). Apabila dikaitkan rencana atau "Niat" Sultan Hamid II untuk melakukan penyerangan Sidang Dewan Menteri RIS 24 Februari 1950, tidak ditemukan bukti penyerangan ataupun peristiwa dan "Niat" yang Sultan Hamid II batalkan, bukan merupakan "Delik" atau Tindak Pidana. Sultan Hamid II ditahan 3 tahun tanpa ada kejelasan hukuman. Sultan Hamdi II ditangkap 1950, 3 tahun kemudian baru kasusnya diadili. Sultan Hamid menjalani hukumannya di Jakarta dan di Yogyakarta (Jogja).
Sultan Hamid II diVonis 10 tahun penjara dipotong masa tahanan 3 tahun. Pada tahun 1950 Sultan Hamid II ditangkap, tahun 1953 diadili. Pada tahun 1958 Sultan Hamid II dibebaskan dari penjara (dipotong remisi, kelakuan baik, dan dengan perhitungan lainnya masa penjaranya dijalani selama 8 tahun). Grasi yang pernah diajukan Sultan Hamid II kepada Presiden Soekarno, atas usulan Mohammad Hatta, ditolak.
“Perintah penyerbuan itu timbul pada ketika pembicaraan dengan Westerling pada tanggal 24 Januari 1950 siang. Sebelumnya sama sekali tak ada maksud untuk melakukan penyerbuan itu,” kata Hamid dalam Pleidoinya pada 25 Maret 1953. Akibat ditahannya Sultan Hamid II, Terjadi Interregnum (Kekosongan Masa Pemerintahan) dikerajaan Pontianak. Pasca menjalankan vonis, Istri dan anak-anak Sultan Hamid II ke Belanda. Sesekali datang ke Indonesia untuk melihat keadaan Sultan Hamid II di dalam penjara.

Pada Tahun 1958 Sultan Hamid II merasakan kebebasan. Empat tahun menghirup udara bebas, Sultan Hamid II kembali ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur, pada Maret 1962. Tuduhannya adalah melakukan kegiatan makar dan membentuk organisasi illegal bernama Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC). Dikabarkan, persiapannya dilakukan bersama sejumlah tokoh saat mereka berada di Gianyar, Bali, untuk menghadiri upacara ngaben (pembakaran jenazah) ayah dari Ide Anak Agung Gde Agung.

Dalam upacara tersebut hadir sejumlah tokoh oposisi pemerintah, terutama dari dua partai yang sudah dibubarkan, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), seperti Mohamad Roem (Masyumi), Sutan Sjahrir (PSI) dan Subadio Sastrosatomo (PSI). Mohammad Hatta hadir, begitu juga Sultan Hamid II yang notabene kawan lama Ide Anak Agung Gde Agung.
Hamid II masih sering bergaul dengan tokoh-tokoh politik dan pemerintahan. Hamid II juga juga masih berhubungan baik dengan tokoh Bijeenkomst Federaal Overleg (BFO) lain. Begitu juga dengan Ide Anak Agung Gde Agung, yang pernah dikalahkan Hamid dalam pemilihan Ketua BFO, setelah kematian Ketua BFO Mr Tengku Bahruin. Mereka berdua, bersama tokoh-tokoh lain pun dipenjarakan Pemerintah Orde Lama Soekarno.

Selama empat tahun Sultan Hamid II ditahan tanpa proses pengadilan. Hamid II dibebaskan pada 1966 setelah era Soekarno berakhir. Tuduhan makar terhadap Sultan Hamid II, menurut Ide Anak Agung Gde Agung, kemungkinan besar disebabkan pergunjingan orang-orang di sekitar Soekarno, dan bukan berangkat dari fakta. Bahkan Anak Agung menegaskan bahwa semua tuduhan itu omong kosong. Sebab, sejak keluar dari tahanan pada 1958, Sultan Hamid II tak terlibat dalam kegiatan politik sama sekali.
Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengeluarkan keputusan pada 8 April 1955. Sultan Hamid II kemudian dinyatakan tidak bersalah dan tidak terbukti terlibat dalam aksi Westerling dan pasukan APRA di Bandung pada 23 Januari 1950. Putusan MA ini mungkin akan dijadikan bahan untuk mendukung Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional atas jasanya merancang Lambang Negara Garuda Pancasila.
Selepas dari penjara tanpa proses peradilan tersebut, Sultan Hamid II beraktivitas di dunia bisnis sampai akhir hayatnya. Sejak 1967 hingga 1978, dia menjadi Presiden Komisaris di PT. Indonesia Air Transport (IAT). Pada 30 Maret 1978, pukul 18.15 WIB, Sultan Hamid II wafat di Jakarta. Sultan Pontianak ke-7 itu meninggal dunia ketika sedang melakukan sujud pada shalat maghribnya yang terakhir. Sultan Hamid II dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Qadriyah Pontianak, di Batu Layang, dengan Upacara Kebesaran Kesultanan Pontianak.




 

Tidak ada komentar: