Rabu, 09 Agustus 2017

Muhammadiyah Berdiri



Muhammadiyah Berdiri

Rumusan pendirian Muhammadiyah ini merupakan pernyataan diri dalam upaya mengembangkan gerakan di tengah tantangan jaman, gerakan Muhammadiyah sejak awal kelahiran sampai perkembangannya dikemudian hari tentu tidak sesederhana sebagai pernyataan jatidiri Muhammadiyah secara verbal.
Pada tahun 1911 (di rumah Kiai Sangidu) KH Ahmad Dahlan menetapkan nama “Muhammadiyah” sebagai nama gerakan (Basuni, 1972). Pada tanggal 20 Desember 1912, rechtspersoon (badan hukum) Muhammadiyah diajukan kepada pemerintah kolonial lewat bantuan para pengurus Budi Utomo. Surat-menyurat selama 20 bulan antara pengurus Muhammadiyah dengan pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg meminta pertimbangan Direktur van Justitie, Adviseur voor Inlandsche Zaken (Rinkes), Residen Yogyakarta (Liefrinck), dan Sri Sultan Hamengkubuwono VI untuk penetapan ruang lingkup perkumpulan Muhammadiyah.
Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan 18 November 1912 Miladiyah. Perkataan “Muhammadiyah” dinisbahkan kepada nama Muhammad, Nabi, dan Rasul akhir zaman. Penisbahan itu dimaksudkan guna mengikuti jejak perjuangan Rasulullah untuk kemudian melanjutkan risalah dakwahnya dalam kehidupan umat manusia, khususnya di Tanah Air Indonesia. Karenanya Muhammadiyah sebagaimana dirumuskan dalam Anggaran Dasar hasil muktamar ke-41 tahun 1985 menyatakan jatidirinya sebagai Gerakan Islam dan Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar, beraqidah Islam bersumber pada Al-Quran dan Sunnah.
Sri Sultan Hamengkubuwono VI menyerahkan urusan pendirian kepada Pepatih Dalem Sri Sultan (Rijksbestuurder) atau lembaga kepenguluan. Sewaktu di tangan hoofdpenghulu Muhammad Khalil Kamaludiningrat, mertua Kiai Sangidu, rechtspersoon Muhammadiyah sempat dipahami secara keliru. Khatib Amin (KH Ahmad Dahlan) disalahartikan hendak menjadi “Resident” dengan mendirikan perkumpulan Muhammadiyah. Hoofdpenghulu sempat menolak rechtspersoon Muhammadiyah. Pepatih Dalem Sri Sultan akhirnya menyepakati pembentukan perkumpulan Muhammadiyah dengan syarat, ruang lingkupnya dibatasi hanya untuk Wilayah Yogyakarta. Muhammadiyah secara resmi berdiri dengan keluarnya besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 22 Agustus 1914 (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adabi Darban, 2000:116-118).
Setelah putri hoofdpenghulu Muhammad Khalil Kamaludiningrat wafat, Kiai Sangidu menikah lagi dengan Siti Djauharijah, putri KH Saleh (kakak ipar KH Ahmad Dahlan). Pernikahan Kiai Sangidu dengan Djauharijah melahirkan Siti Umniyah, salah satu pendiri Nasyi’atul Aisyiyah (dulu Siswa Praya Wanita). Ketika ayah kandung Kiai Sangidu wafat, KH Ahmad Dahlan menikahi mantan jandanya, sehingga hubungan kekeluargaan semakin dekat. Dalam Stamboek Muhammadiyah 1912, nama Kiai Sangidu tercatat sebagai anggota nomor perdana (Basuni, 1972).
Pada tahun 1914 atau sekitar 17 tahun pasca tragedi perobohan Langgar Kidul, hoofdpenghulu KH Muhammad Khalil Kamaludiningrat wafat (Ahmad Adabi Darban, 2000:41-43). Jabatan hoofdpenghulu dilimpahkan kepada Khatib Anom. Pada waktu itu, posisi Khatib Anom dipegang dipegang oleh Kiai Sangidu, menantu KH Muhammad Khalil Kamaludiningrat. Kiai Sangidu menjabat sebagai hoofdpenghulu dengan menyandang nama KH Muhammad Kamaludiningrat.
Sebelumnya, Kiai Sangidu telah menikahi putri hoofdpenghulu Muhammad Khalil kamaludiningrat dikaruniai tiga anak: KH Djalal, Siti Salmah, dan Nafiah (Ahmad Basuni, 1972). Kiai Sangidu merupakan pendukung gerakan KH Ahmad Dahlan (khatib amin). Meskipun mertua Kiai Sangidu sangat memusuhi gerakan yang dirintis oleh KH Ahmad Dahlan, tetapi dia tetap mendukung berdirinya Muhammadiyah.
Lewat dukungan Kiai Sangidu, KH Ahmad Dahlan memang berhasil melakukan reformasi keagamaan di Lembaga Kepenghuluan Kraton Yogyakarta. Sejak Kiai Sangidu menjabat sebagai hoofdpenghulu, KH Ahmad Dahlan bekerjasama dengan Lembaga Kepenghuluan Kraton Yogyakarta dan Pakualaman. Hoofdpenghulu Muhammad Kamaludiningrat sangat kooperatif dengan gerakan Muhammadiyah. Khatib Amin juga membuka kembali jalan permusyawaratan para ulama yang sudah hilang. Musyawaratul Ulama di Pakualaman yang dipimpin KH Abdullah Siradj juga merupakan partner Muhammadiyah dalam memutuskan berbagai persoalan keagamaan.

Terhitung sejak tahun 1914, pasca peralihan jabatan hoofdpenghulu dari Muhammad Khalil Kamaludiningrat kepada Muhammad Kamaludiningrat, gerakan Muhammadiyah mulai memasuki Bangsal Priyayi, karena kantor Penghulu sudah dapat dipergunakan sebagai wadah tabligh atas izin Kiai Sangidu. Sebelumnya, Bangsal Priyayi adalah tempat yang tabu bagi masyarakat awam. Akan tetapi, setelah jabatan Kepala Penghulu dipegang oleh Kiai Sangidu, Bangsal Priyayi menjadi tempat penggemblengan kader-kader muballigh Muhammadiyah.
Pada awal berdirinya Muhammadiyah merumuskan tujuan, yaitu menyebarluaskan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kepada penduduk bumiputera di dalam residen Yogyakarta serta memajukan agama Islam kepada anggota-anggotanya. Sesuai dengan perkembangan Muhammadiyah yang menyebar ke luar Yogyakarta bahkan ke luar Pulau Jawa, rumusan tujuan Muhammadiyah mengalami perubahan redaksional sampai sekitar lima kali. Pada tahun 1959, yakni hasil muktamar ke-34, tujuan Muhammadiyah dirumuskan sebagai berikut: “Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Pada muktamar ke-41 tahun 1984 di Surakarta, tujuan Muhammadiyah mengalami perubahan redaksional kembali, yang lengkapnya dirumuskan sebagai berikut: maksud dan tujuan persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhai Allah SWT.
K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah didorong oleh paham tentang Islam yang dipelajari, dihayati, dipahami, dan diamalkannya, yang oleh K.H. A.R. Fakhruddin dikatakan sebagai Islam yang bergerak dan menggerakan kehidupan. K.H. Ahmad Dahlan dikatakan oleh sementara ahli sebagai pencari kebenaran sejati, yang selalu gelisah menyaksikan keadaan di sekitarnya yang dipandangnya tidak sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Kondisi objektif umat Islam saat itu berada dalam keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan, termasuk dalam kehidupan keagamaan. Sedangkan bangsa Indonesia berada dalam cengkeraman penjajahan. Kondisi objektif itu semakin memberikan dorongan bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk melakukan perubahan  atas keadaan yang buruk itu. Dengan menengok pada khasanah gerakan pembaharuan di dunia Islam, K.H. Ahmad Dahlan kemudian mewujudkan dorongan itu ke dalam cita-cita membangun sebuah gerakan Islam yang mampu memperbaharui kehidupan umat dan masyarakat. Dengan di dorong oleh sementara koleganya, maka K.H. Ahmad Dahlan kemudian mendirikan Muhammadiyah.
Kelahiran dan kehadiran Muhammadiyah dalam sejarah umat Islam maupun bangsa Indonesia di belakang hari diakui telah memberikan sumbangan yang sangat berharga. Muhammadiyah telah mempersegar paham keagamaan di lingkungan umat Islam sehingga mampu mendobrak kebekuan dan menawarkan tajdid atau pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah ditujukan dengan pembaharuan di bidang pendidikan Islam, dengan memperkenalkan sistem pendidikan modern. Gerakan pembaharuan juga diwujudkan ke dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Dengan semangat keagamaan Muhammadiyah melakukan advokasi sosial dengan pengentasan keterbelakangan umat. Sehingga para ahli menyatakan bahwa Muhammadiyah melalui gerakan pembaharuannya telah berhasil membangun generasi terpelajar muslim yang mampu menghadapi zaman baru dengan kepribadian yang kokoh, sekaligus membangun masyarakat baru yang bercorak kekotaan. Pada titik ini Muhammadiyah dinilai sebagai suatu gerakan kebudayaan yang mampu melakukan perubahan di lingkungan umat maupun masyarakat yang berskala jangka panjang, untuk membeda-kannya dari gerakan politik seperti yang ditempuh oleh Syarikat Islam.
Sumber:
Suara Muhammadiyah 16/98/2013 dan http://www.angelfire.com/ri/UMP1/muh.htm














Tidak ada komentar: