Rabu, 09 Agustus 2017

Amir Syarifuddin Bermarga Harahap




Amir Syarifuddin Bermarga Harahap

Sosok Jenderal besar Gatot Soebroto juga tak lepas dari beberapa hal kontroversial. Sebut saja seperti perintahnya mengeksekusi mantan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, hingga terlibat gerakan 17 Oktober 1952. “Gatot Soebroto mengatakan, dari pada mengambil risiko mereka menyeberang ke pihak Belanda, lebih baik mereka dihabisi,” pengakuan Hatta setelah bertahun-tahun kemudian ketika mengenang soal eksekusi Amir Sjarifuddin di buku Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta.

Pemakaman Umum Ngaliyan, Lalung,  kurang lebih 5 Km di selatan Kota Karanganyar sama seperti makam desa lainnya. Pemakaman dipagari tembok setinggi kurang lebih 1,5 meter. Nilai historis yang berada pada sepetak tanah berukuran sekitar 2 x 8 meter yang berada di tengah pemakaman dekat pintu gerbang dari besi bercat hijau. Ada beberapa gundukan tidak bernisan. Tidak ada penanda dimanakah tokoh besar Indonesia ini dimakamkan.Amir Syarifuddin dimakamkan disini.

Amir Sjarifoeddin Harahap atau kalo menurut ejaan saat ini Amir Syarifuddin Harahap lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907. Beliau meninggal dunia di Surakarta, Jawa Tengah, pada tanggal 19 Desember 1948 dalam usia 41 tahun setelah menerima eksekusi mati..  Dari awal beliau berkarir politik, sosialisme kental dengan Amir.  Amir Syarifuddin lahir di Sumatera di kota Medan, latar belakang Amir yang kaya dan jenius membuat dia masuk ke sekolah-sekolah paling elit. Amir dididik di Haarlem dan Leiden di Belanda sebelum memperoleh gelar sarjana hukum di Batavia (sekarang Jakarta). Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli. Selama di Belanda ia belajar filsafat Timur dan Barat di bawah pengawasan Theosophical Society. Amir pindah dari Islam ke Kristen pada tahun 1931. Ada bukti khotbah ia berikan dalam gereja Protestan terbesar di Batak Batavia.

Spiritulitas Amir memang menjadi kontroversial. Amir dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga Muslim, Amir menemukan spiritualitas baru setelah tinggal di Leiden. Perkenalan terhadap kekristenan dipengaruhi beberapa hal. Kakek Amir, Soetan Goenoeng Toea adalah penganut Kristen taat. Saat menempuh pendidikan di Belanda bersama sepupunya Sutan Gunung Mulia ia tinggal bersama penganut Calvinis taat bernama Dirk Smink. Setelah dia menekuni ajaran Kristen ia memutuskan dibaptis di Indonesia. Dalam menempatkan diri sebagai orang Kristen di dalam perjuangan kemerdekaan, Amir memiliki prinsip yang radikal. Salah satu tulisan pendeknya,”Menuju Jemaat Indonesia Asli”, ia menempatkan kontekstualisasi Kekristenan di Indonesia sebagai bagian perjuangan. Dan dalam berbagai kesempatan Amir menyatakan, "seorang Kristen yang baik dapatlah juga sekaligus menjadi seorang nasionalis yang baik".

Amir menjalani pendidikan di ELS atau Sekolah Dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Pada tahun 1911, Amir ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink. Bulan September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga. Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.

Sebelum kemerdekaan, Amir Syarifuddin terlibat dalam  berbagai pergerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Tahun 1931, Amir ikut mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Amir juga mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Amir menyempatkan waktu menulis dan menjadi redaktur Poedjangga Baroe. Pada tahun 1928-1930 dia menjadi pemimpin redaksi majalah Perhimpunan Pemoeda Pelajar Indonesia (PPPI). Dalam media massa, Amir menggunakan nama samaran "Massa Actie". Bersama sejumlah orang Kristen, Amir juga pernah menerbitkan "Boekoe Peringatan Hari Djadi Isa Al-Maseh".

Menjelang masuknya Jepang ke Indonesia, Amir menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Amir diminta oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana tersebut tidak banyak mendapat sambutan, Bulan Januari 1943 Amir tertangkap oleh fasis Jepang. Kejadian ini diartikan sebagai terbongkarnya jaringan organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Melalui beberapa sidang pengadilan tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya. Amir mendapatkan eksekusi hukuman mati dari Jepang, dengan lobi Ir. Soekarno, hukuman mati batal dilakukan.
Di penjara, Jepang  menyiksa Amir. Anak bungsu Amir Syarifuddin Helena Luisa menceritakan kembali cerita ibunya tentang kondisi sang suami setelah menghirup udara bebas. “Jadi kepalanya direndam di air, karena dia memang suka berenang dan olahraga dia tahan, kemudian kukunya dicabut, pulang dari penjara balik ke rumah tinggal kulit dan tulang. Kemudian pernah dipenjara di Cipinang, kamar cuma 1 x 1, semua WC juga di situ. Dia dipenjara di situ selama 1 tahun,” cerita Helena.
Setelah 17 Agustus 1945, Amir Sjarifuddin berduet dengan Sutan Sjahrir memegang peranan penting selama agresi militer Belanda. Ia ditunjuk sebagai sebagai menteri penerangan pada Kabinet Sjahrir, September 1945 hingga Maret 1946. Amir menjabat menteri pertahanan sejak November 1945- Januari 1948.
Amir termasuk orang pertama yang mendorong kebebasan pers ketika menjabat sebagai Menteri Penerangan. Ketika menjabat menteri pertahanan, Amir berhasil membangun fondasi angkatan perang Indonesia saat itu. Ciri yang diinginkan Soedirman dan Tan Malaka adalah tentara rakyat seperti di Vietnam. Tidak ada jarak dengan ideologi. Penting bagi orang kiri waktu itu, tentara punya kesadaran berada di kaum buruh dan tani, bukan berpihak pada pemilik modal. Tidak mudah menjadi menteri pertahanan pasca perang dunia II. Pemerintah yang baru saat itu, belum bisa menyatukan berbagai macam laskar dan belum memiliki persenjataan yang memadai. Sebagai Menteri Pertahanan, Amir juga memiliki tugas untuk memulangkan tentara-tentara Eropa yang menjadi tawanan Jepang di Indonesia.
Pada Juli 1947 hingga Januari 1948 Amir dipercaya menjadi Perdana Menteri. Tugas Amir adalah berunding agar republik mendapat pengakuan dari dunia internasional dan sah menjadi Negara bersanding dengan Negara lain. Sejarawan, Wilson Obrigados berkomentar,”Antara 1945-1948, kita tahu Sekutu sebagai pemenang perang tidak ingin Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang dianggap punya rekam jejak kerjasama dengan Jepang. Hatta dan Soekarno punya rekam jejak itu. Kenapa kemudian Sjahrir yang menjadi perdana menteri dan digantikan dengan Amir? Karena itu memberi keyakinan negara barat untuk mengakui Indonesia. Untuk berunding dengan pemerintah Indoensia yang baru saja merdeka.  Karena itulah terjadi perundingan Linggarjati dan Renville di zaman Amir dan juga Sjahrir. Mereka adalah pemimpin yang bisa meyakinkan negara pemenang perang dunia II bahwa Indonesia bukanlah kelanjutan negara yang dimpimpin oleh orang-orang yang pro Jepang.” Persaingan  berbagai partai politik  dipenghujung tahun 1940-an  menumbangkan karir politik Amir . Partai Masyumi dan PNI yang semula mendukung Perjanjian Renville  pada 17 Januari 1948 kemudian mengecam. Amir menyerahkan mandat sebagai perdana menteri kepada Presiden Soekarno. 

Wakil Presiden Muhammad Hatta menggantikan Amir Sjarifuddin. Sebagai pihak oposisi dari Hatta, Amir Syarifuddin pada tanggal 28 Februari 1948 membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) di Surakarta yang berideologi sosialis. FDR sendiri merupakan upaya Amir Syarifudin untuk merebut kembali kedudukannya. Amir Syarifuddin dan FDR banyak melakukan hasutan, bentrokan serta melakukan ancaman ekonomi dengan menghasut buruh untuk melakukan pemogokan di pabrik karung tepatnya di Delanggu. Hatta berencana mengurangi jumlah tentara. Rencana itu menuai penolakan yang berujung pada peristiwa Madiun,Jawa Timur 1948.

Pada tahun 1948 di bulan Agustus, Muso yang merupakan tokoh komunis kembali ke Indonesia dan kembali menjadi pemimpin PKI. Muso menyebarkan doktrin baru dengan nama “jalan baru” untuk menambah kekuatan bagi komunis. Keadaan ini membuat Amir Syarifuddin bersama dengan FDR (Front Demokratik Rakyat) dan partai buruh bergabung dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Alasan bergabungnya Amir Syarifudduin adalah untuk melakukan propaganda dalam upayanya menggulingkan Soekarno- hatta. Pemerintahan Hatta menuduh PKI berupaya membentuk negara komunis  dan menyatakan perang terhadap mereka.

Dalam rangka untuk menjatuhkan Soekarno-Hatta, Muso dan Amir Syarifuddin ke sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur mempropagandakan PKI beserta programnya. Tanggal 11 September 1948 di Surakarta terjadi bentrokan antara pasukan propemerintah RI (dari Siliwangi) dan pasukan pro-PKI (divisi IV). Pemerintah menunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer (Surakarta, Pati, Semarang, dan Madiun). Tanggal 17 September 1948 pasukan yang pro-PKI mundur dari Surakarta.

Surakarta hanya untuk mengalihkan perhatian. Ketika TNI terjun ke Surakarta, Sumarsono dari Pesindo dan Letnal Kolonel Dahlan dari Brigade 29 (pro-PKI) menguasai Madiun tanggal 18 September 1948. PKI melakukan penangkapan dan pembunuhan pejabat sipil, militer, dan pemuka masyarakat. PKI mendirikan pemerintahan Soviet Republik Indonesia di Madiun.

Kudeta berlangsung di Madiun, Muso dan Amir Syarifuddin berada di Purwodadi. (Amir berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) saat peristiwa Madiun meletus). Muso-Amir ke Madiun mendukung kudeta dan mengambil alih pimpinan. Secara resmi diproklamasikan berdirinya Soviet Republik Indonesia. Pemberontakan di Madiun didalangi oleh PKI.

Pemerintah kemudian mengajak rakyat tegas memilih Soekarno-Hatta atau Muso-Amir. Dalam upaya penumpasan, pemerintah melakukan gerakan operasi militer (GOM) 1 yang dipimpin Panglima Sudirman. Tanggal 30 September 1948, kota Madiun direbut kembali. Muso tertembak dan meninggal dunia. Pada saat hampir bersamaan, Belanda melakukan agresi militer kedua. Agresi Militer II menyebabkan banyak tokoh PKI yang lolos. Amir Syarifuddin, setia dalam spiritualitas perjuangannya. Ia tetap setia mengumandangkan Indonesia Raya dengan Injil di tangannya menjelang kematiannya (sebelumnya menyanyikan Internationale).

Pidato D.N. Aidit di dalam sidang DPR, 11 Februari 1957, Aidit mengatakan: "Amir Sjarifuddin bermarga Harahap dan tidak kalah Kristennya daripada kebanyakan orang Kristen. Ia dieksekusi dengan kitab Injil di tangannya.”


Sumber :

Tidak ada komentar: