Numpang Lewat Perkara Zina
“Laki-laki
yg berzina itu tidak menikahi kecuali wanita yg berzina atau wanita musyrikah.
Dan wanita yg berzina itu tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yg berzina atau
seorang laki-laki yg muysrik dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang
beriman”
(Surat An-Nuur : 3).
Surat
Annuur ayat 3 ini diakhiri dengan kalimat yang berbunyi “dan hal itu
diharamkan bagi orang-orang beriman”, bias dimaknakanbahwa zina itu satu
hukumnya, yaitu haramnya menikahi wanita yg berzina dan haramnya menikahkan
laki-laki yg berzina. Seorang wanita yg berzina itu tidak boleh bagi orang lain
yaitu bagi laki-laki lain untuk menikahinya dan seorang laki-laki yg berzina
itu tidak boleh bagi seseorang untuk menikahkan anak perempuannya dengannya.
Dan apabila kita mengetahui hal tersebut dan bahwa hal itu diharamkan bagi
orang-orang yg beriman. Cukup jelas kata-kata itu tanpa penjelasan yang lain.
Hukum
asal dalam menikah itu seorang wanita yg berzina itu tidak dinikahi kecuali
oleh laki-laki yg berzina. Beberapa ulama memfatwakan apabila seorang laki-laki
berzina dengan seorang wanita dan laki-laki ini bermaksud untuk menikahi wanita
tersebut, maka wajib bagi keduanya untuk bertobat kepada Allah Azza wa Jalla.
Kemudian hendaknya kedua orang tersebut melepaskan dirinya dari perbuatan yg
keji ini dan ia bertobat atas perbuatan keji yg telah dilakukannya dan bertekad
untuk tidak kembali kepada perbuatan itu serta melakukan amalan-amalan shalih.
Dan apabila laki-laki tersebut berkeinginan untuk menikahi wanita itu, maka ia wajib untuk membiarkan wanita itu
selama satu masa haid yaitu 1 bulan, sebelum ia menikahi atau melakukan
akad nikah terhadapnya. Apabila kemudian wanita itu ternyata hamil, maka tidak boleh baginya untuk melakukan akad
nikah kepadanya kecuali setelah wanita tersebut melahirkan anaknya. Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Seseorang untuk menyiramkan
airnya ke sawah atau ladang orang lain”, menurut beberapa ulama, hadits
Rasululllah merupakan bahasa kiasan, yaitu menyiramkan maninya kepada anak dari
kandungan orang lain (Hadits ini diihasankan oleh Syaikh Albani dalam Shahih
Sunan Abu Dawud hadits nomor 2158)
Wanita hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh
dinikahi sampai lepas masa ‘iddahnya.
Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka
sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq:
4)Hukum dengan wanita yang masih masuk masa iddah adalah haram dan nikahnya tidak sah seperti firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk
beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah:
235)Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya mengenai QS. Al Baqarah : 235: “Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya.” Kemudian beliau berkata: “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah.” ( Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma’ad 5/156).
Hendaklah pezina bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat apabila melakukan dosa besar yang lainnya:
1.
Ikhlash karena Allah.
2.
Menyesali perbuatannya.
3.
Meninggalkan dosa tersebut.
4.
Ber‘azam dengan
sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5.
Pada waktu yang masih bisa
bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh
sampai ke tenggorokan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar