Selasa, 08 Agustus 2017

Adab Nikah Ketika Hamil



Adab Nikah Ketika Hamil

Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam yakni perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil dan perempuan yang hamil karena melakukan zina.

Perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas 'iddah nya. Dan 'iddah-nya ialah sampai ia melahirkan seperti dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala : Dan perempuan-perempuanyang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4).

Hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala : Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya. (QS. Al-Baqarah : 235).  Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini : Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas 'iddah-nya. Kemudian beliau berkata : Dan para 'ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa 'iddah. Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu' 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma'ad 5/156.
Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat berbagai mkecam pendapat para ulama. Para 'ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina. Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya. Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para 'ulama yakni disyaratkan bertaubat (madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu 'Ubaid) dan tidak disyaratkan taubat (Imam Malik, Syafi'iy dan Abu Hanifah).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 : Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah 'Azza Wa Jalla : Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin. (QS. An-Nur:3).  Hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, beliau berkata : Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) 'Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : Maka saya datang kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam lalu saya berkata : Ya Rasulullah, Saya nikahi 'Anaq ?. Martsad berkata : Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : Jangan kamu nikahi dia. (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata : Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur'an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina ?.

Bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat :
1.      Ikhlash karena Allah.
2.      Menyesali perbuatannya.
3.      Meninggalkan dosa tersebut.
4.      Ber'azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5.      Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Menurut Imam Syafi'iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima' dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima' dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima' sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.

Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos : Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali. (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin 'Abdullah An-Nakha'iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).

Ruwaifi' bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau bersabda : Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain. (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni' dalam Mu'jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137).

Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam : Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?. (Para sahabat) menjawab : Benar. Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya. Ibnul Qayyim rahimahullah : Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran) atau karena zina.
firman Allah 'Azza Wa Jalla : Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4). firman Allah Jalla Sya`nuhu : Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid). (QS. Al-Baqarah : 228). Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan (QS. An-Nisa` : 4). Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala: Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.(QS.An-Nisa` : 24)

Sumber:
Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma'ad 5/104-105.
Referensi: Dari: Majalah An-Nashihah Volume 05 Th.1/1424 H/2004 M Rubrik: Masalah Anda, Diasuh oleh Ust. Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi; hal.2-6
[Kontributor : Abah Utik, 18 Agustus 2004 ]
courtesy of www.perpustakaan-islam.com



Tidak ada komentar: