Minggu, 06 Agustus 2017

Pezina Menikahi Pezina



Pezina Menikahi Pezina


Perbuatan zina atau kumpul kebo atau hubungan intim di luar nikah atau makna yang sejenisnya, adalah perbuatan haram dan termasuk dosa besar (kabirotun minal kabair). Dalam al-Quran, Allah SWT tidak berkata “Walaa taznuu” (janganlah kalian berzina), tetapi kalimatnya “Walaa taqrobuuz zina” (janganlah kau dekati zina).

Menikahi wanita hamil akibat perbuatan zina, namun yang menikahinya adalah bukan laki-laki yang menzinahinya, para ulama mengharamkan terjadi hubungan seksual antara mereka. Berdasarkan hadist Nabi saw:

روي  عن رافع بن ثابت أن النبى صلى الله عليه وسلم قال " من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يسقى ماءه ولد غيره وروى الترمذى ، وحسنه ، وغيره من حديث ،

Dari Rufai' bin Tsabit bahwa Nabi SAW bersabda, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyiramkan airnya pada tempat yang sudah disirami orang lain." (HR Tirmizi dan beliau menghasankannya)

Sedangkan bolehkah orang lain tersebut menikahinya saja, tanpa menggaulinya, maka dalam persolan ini terjadi perbedaan pendapat;

Al-Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menikahi wanita hamil oleh laki-laki lain yang bukan menzinahinya adalah haram dan tidak sah. Alasannya, karena di antara tujuan menikah adalah agar halal pergaulan laki dan perempuan, sedangkan dalam hal ini dia tidak menggaulinya berdasarkan hadits di atas, sehingga hikmah nikah tidak tercapai. Oleh karena itu, menikahi wanita hamil akibat perbuatan zina, namun yang menikahinya adalah bukan laki-laki yang menzinahinya hukumnya juga haram dan tidak sah. Al-Imam Asy-Syafi'i dan Imam Abu Hanifah.berpendapat bahwa pernikahan tersebut sah, dengan catatan selama anak hasil zina belum lahir, mereka tidak boleh melakukan hubungan seksual

Perbedaan pendapat di antara ulama ini berangkat dari perbedaan istinbath (penyimpulan) dari hadis di atas. Pendapat pertama yang mengharamkan pernikahan tersebut memaknai “janganlah menyiramkan airnya pada tempat yang sudah disirami orang lain." sebagai larangan menikahinya. Sedangkan pendapat kedua menyimpulkan, bahwa yang dilarang adalah menyetubuhinya dan bukan menikahinya, karena tidak ada nash sharih yang melarang menikahinya.

Menikahi wanita hamil akibat perbuatan zina, dan yang menikahinya adalah laki-laki yang menzinahinya maka para ulama sepakat tentang kebolehannya, setidaknya pendapat Imam al-Syafii dan imam Abu Hanifah, bahkan mereka dibolehkan melakukan hubungan seksual jika telah menikah secara syar’i. Alasan dibolehkannya nikah tersebut, karena titik persoalannya ada pada larangan percampuran mani, sedangkan di masalah ini tidak ada percampuran mani karena wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinhainya. Karena nikah tersebut dianggap sah, dan mereka dihalalkan melakukan hubungan suami isteri, maka tidak perlu ada akad nikah ulang setelah melahirkan.

Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab VIII Kawin hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga (3) ayat , yaitu : 1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. 2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya. 3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.


Tidak ada komentar: