Senin, 07 Agustus 2017

Masa ‘Iddah Pezina



Masa ‘Iddah Pezina
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتُحِلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا
“Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa’id bin Manshur dalam Sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840)
Tidak diperkenankan menikah dengan perempuan yang berzina kecuali dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah apabila perempuan tersebut hamil, masa ‘iddahnya adalah sampai perempuan tersebut melahirkan dan apabila perempuan tersebut tidak  hamil, ‘iddahnya sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Namun ada ulama lain yang mensyaratkan tiga kali haid dahulu.  Wallahu Ta’ala A’lam.
perempuan yang hamil, ‘iddahnya sampai pada saat melahirkan. Para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang tidak sah. Apabila tetap dilanjutkan pernikahan atau akad nikah serta melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah, keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam (Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242).
Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut. Berbeda masalahnya apabila pasangan tersebut tidak mengetahui  haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah. Perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum diambil atau belum dilunasi. Nikah tanpa wali hukumnya tidak sah sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya tidak sah (Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim).
Orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil setelah perempuanini melahirkan, diwajibkan mahar atasnya berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَآتُوا النِّسَاءَ صُدَقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa`: 4)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
“Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa`: 24) (Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma’ad 5/104-105.)
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar (Nailul Author 4/438): “‘Iddah adalah nama bagi waktu penungguan seorang perempuan dari menikah setelah suaminya meninggal atau (suaminya) menceraikannya. Apakah dengan melahirkan, quru` (yaitu haid menurut pendapat yang kuat-pen.) atau dengan beberapa bulan.”


Tidak ada komentar: