Suatu
Catatan Ringan Mengenai APBN di Tahun 2008
Indonesia
diprediksi bakal mengalami kenaikan tajam pada konsumsi domestik dan investasi
pada 2008 sehingga ekonomi Indonesia akan tumbuh lebih cepat dari 6,3 persen
pada 2007 menjadi 6,4 persen. Dan hal tersebut dapat ditembus oleh tim ekonomi
kita. Hal yang luar biasa. Siapa yang akan menyangka, ekonomi Indonesia akan
tetap bertahan ditengah upata Bail Out Amerika terhadap roda ekonominya.
Namun hal tersebut bukan berarti
tanpa penjelasan lebih. Catatan pertumbuhan ekonomi tahun 2008 diwarnai dengan
beberapa catatan yang masih perlu dijadikan sorotan dalam menuju pertumbuhan
ekonomi tahun 2009.
Perubahan mindset pada tahun 2008
bahwa konsep belanja harus habis menjadi konsep berbasis kinerja membuat kita
mengenal SAL atau SILPA. Memang menjadi pertanyaan saya saat ini adalah
pernyataan pemerintah mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai
lebih dari 6%. Apakah sektor yang mempengaruhi peningkatan ekonomi tersebut
berasal dari sektor swasta ataukah sector yang dikelola oleh pemerintah. Karena
suatu pertumbuhan ekonomi itu salah satunya menimbulkan daya serap terhadap
tenaga kerja dan perputaran modal yang bergulir. Petumbuhan konsumsi dalam
negeri dapat juga dijadikan salah satu indikasi pertumbuhan ekonomi. Namun
kenyataannya pada tahun 2008 ini beberapa perusahaan asing keluar dari
Indonesia. Contoh sampai saat ini adalah Sony dan Nike. Jikalau yang dijadikan
acuan dari pertumbuhan ekonomi
didasarkan pada sisi belanja.maka hal tersebut menjadi sulit untuk
dilakukan pengukuran dan hal tersebut bukan merupakan gambaran kemakmuran suatu
Negara. UU Keuangan Negara menggariskan tentang Anggaran berbasis kinerja.
Anggaran berbasis kinerja mengisyaratkan tentang keberhasiln program pemerintah
pada tahun berkenaan, bukan pada berhasilnya suatu satuan kerja menghabiskan
dana dalam tahun anggaran tersebut. Memang ada baiknya suatu satuan kerja
melakukan publish report atau mempublikasikan pelaporean keuangan dan membandingkan
hasil kinerja dengan renca anggaran pada tahun berkenaan, sehingga kita sebagai
masyarakat awam dapat mengetahui realisasi kerja pemerintah dengan lebih cermat
dan kritis.
Ketika kita melihat kembali tahun
2008. Kita akan melihat gejolak ekonomi yang lumayan bergoyang. Catatan
indikasi terjadinya inflasi yang tinggi begitu terlihat oleh kita. Inflasi bisa
disebabkan oleh tekanan kenaikan produksi dan kenaikan permintaan terhadap
suatu barang. Pada tahun 2008 kita akan merasakan bagaimana kita babak belur
oleh faktor pendukung penggerak kegiatan ekonomi kita. Kita masih ingat
bagaimana pada pertengahan tahun, kita sering kehabisan bensin, solar, bahkan
minyak tanah, ataupun gas. Belum lagi masih seringnya dilakukan pemadaman
listrik secara bergilir. Kalau kita masih ingat bagaimana aturan tentang listrik
oleh pemerintah, hal tersebut jelas-jelas memukul sektor swasta. Kelangkaan
tersebut membuat sektor industri menjadi terhambat. Ketika sektor industri
berhenti bergerak saja dalam satu hari, potensial lost yang ditanggung oleh sektor
industri adalah tidak munculnya hasil barang, tanggungan upah pegawai, biaya
dari tidak maksimalnya mesin yang digunakan, dan gagalnya perusahaan
menghasilkan barang sesuai dengan target yang ditentukan.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya
adalah pencapaian target penerimaan pajak sekitar 500an trilliun pada tahun
2008. Hal ini apakah bisa jadi indikasi keberhasilan Departeman Keuangan dari sisi
penerimaan perpajakan? Mengingat
pemerintah telah melakukan revisi penerimaan Negara dari 600an trilliun. Namun
akibat revisi tersebut, pemerintah menjadi melebihi target penerimaan Negara
dari Rp.591 triliun menjadi Rp.609,23 triliun. Hal tersebut mengakibatkan
kenaikan penerimaan pajak sebesar lebih dari 2%. Departemen Keuangan secara
umum melakukan reformasi birokrasi (dalam
KPP denganPratam, KPPN dengan Percontohan, dan Bea Cukai dengan Utama).
Pemerintah juga memberlakukan kembali PPN DTP (Pajak Pertambahan Nilai
Ditanggung Pemerintah) padahal kita tahu bahwa pola DTP PPN ini dahulu tidak
diberlakukan berdasarkan LoI (Letter of
Intens) antara Indonesia dan IMF. Dalam hal ini DTP PPN juga menyalahi WTO.
Namun perlu dicamkan bahwa untuk beberapa tahapan, kita memerlukan PPN DTP.
Dibeberapa Negara maju, subsidi diberikan kepada suatu sektor melebihi PPN DTP
yang dikenakan. Hal yang terlihat adalah sektor pertanian, Negara-negara maju
memberikan subsidi yang besar sehingga mengakibatkan sektor pertanian dinegara
berkembang perlu susah payah untuk menembus Negara maju.
Kita mengenal istilah defisit dan
surplus dalam APBN kita. Yang menjadi masalah adalah apa yang menyebabkan APBN
tersebut defisit ataupiun surplus. Apabila terjadi defisit, apa yang akan
dilakukan atau apa yang harus dilakukan untuk menutup deficit tersebut.
Sedangkan apabila terjadi surplus, dana surplus tersebut akan digunakan untuk
apa. Pertanyaan menggelitik untuk ditanyakan , karena jangan sampai defisit
tersebut dijadikan sebagai alat pendorong sektor yang konsumtif yang rendah daya dorongnya
terhadap sektor yang produktif sehingga terjadi defisit karena digunakan untuk
membiayai pengeluaran yang bersifat jangka pendek. Penutupan defisit tersebut
dilakukan dengan atau dibiayai dan ditutup dengan hutang yang bersifat jangka
panjang (atau mungkin juga pinjaman yang bersifat komersial). Hal tersebut membahayakan posisi APBN dalam
keadaan jangka panjang di masa yang akan datang ketika semua implikasi pinjaman
tersebut menjadi beban APBN di masa depan. Akibatnya, tanggungan tersebut
mengakibatkan beban APBN untuk jangka panjang, dan ini merupakan beban anak cucu
kita. Namun ada yang harus dipahami oleh kita bahwa defisit dalam APBN sudah
merupakan hal yang biasa. Sejak masa Orde baru APBN kita selalu mengalami defisit,
apalagi pada masa dahulu menggunakan bentuk anggaran berimbang. Sehingga bentuk
defisit tidak namapak pada bentuk anggaran berimbang. Baru pada pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid, pertama kali dikenal dengan istilah Financial Gap,
atau lebih gampangnya disebut dengan selisih lebih atau kurang anggaran. Dalam
masa itu, pertama kali pemerintah secara terbuka mengakui adanya defisit dalam
APBN. Suatu ide pembenahan pola anggaran yang brillian pada masa itu. Kemudian
setelah tahun 2000, kita lebih mengenal dengan defisit atau surplus dalam
anggaran. Berbagai analogi bisa saja dilakukan akibat terjadinya defisit. Ada
yang berpendapat bahwa ketidakstabilan posisi saham membuat APBN kempas kempis
menjaga jalur fiskal. Atau ada juga yang berpendapat bahwa jalur migas yang
tidak tentu membuat APBN menjadi defisit lagi. Pada kuartal tahun 2006 sampai
dengan 2008 keadaan yang defisit ini dicoba dilakukan pressure dengan melakukan
manajemen hutang yakni penerbitan obligasi pemerintah atau lebih dikenal dengan
SUN (Surat Utang Negara).
Dari dulu banyak sorotan mata menatap tajam pada Departemen
Keuangan. Menteri Keuangan seperti menjadi orang ketiga terpenting dalam negeri ini setelah Presiden dan Wakil
Presiden. Kekuasaan yang bersifat uang ada digenggaman Departemen Keuangan.
Departemen Keuangan dinilai memegang jalur penerimaan (DJP, dan DJBC), perencanaan
(DJA dan BAF), Peradilan Pajak, Derivatif (BAPEPAM-LK), Pengeluaran (DJPB),
pembukuan (DJPB), dan pengelolaan barang milik Negara (DJKN). Hal ini menjadi
semakin kuat setelahdilakukan reformasi birokrasi. Sorotan ini menjadi semakin
keras dengan desakan untuk memisahkan DJP dan DJBC serta Perbendaharaan untuk
menjadi badan tersendiri seperti IRS ddan Custom di Amreka atau Tax
Organization Body seperti di Jepang. Bahkan di Perancis ada bentuk kementerian
Negara Treasury. Kalo kita cermati sebenarnya Departmen Keuangan tidak lagi
mengelola pengeluaran Negara. Pengeluaran Negara saat ini ditangan satuan kerja
masing-masing, ini yang belum dipahamii oleh beberapa analis. Hal ini sudah
dialkukan semenjak keluarnya paket UU Keuangan Negara yang memisahkan fungsi pembuat
komitmen, penerbit dari Surat Perintah Membayar, dan bendahara dari
Negara. Sehingga Departemen Keuangan
hanya sebagai “juru bayar” saja bagi satuan kerja, bukan penentu pengeluaran
Negara.
Reformasi birokrasi pada Departemen Keuangan memang patut untuk
terus didukung. Untuk tahun 2008 ini, program sunset policy dinilai berhasil
menarik jutaan warga untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Barang
milik Negara saat ini sudah bisa diketahui jumlahnya secara lebih akurat melaui
stock opname secara marathon yang dilakukan oleh DJKN. BEPEKA sekarang dapar
lebih mudah melakukan audit karena saat ini kita sudah mengenal neraca. Jangan
lupa, independensi Bursa efek sekarang sudah bisa dipertanggungjawabkan.
Sehingga arah kebijakan fiscal bagi Indonesia saat ini bisa lebih mudah untuk
diprediksi.
Dalam rangka mencegah efek meluas dampak lanjutan
krisis keuangan global di tahun 2009 ini, pemerintah mengeluarkan 7 agenda
utama kebijakan. Pertama, mengatasi risiko pengangguran baru akibat krisis
keuangan global. Yang kedua mengelola
inflasi pada batas tertentu. Ketiga, menjaga pergerakan sektor riil. Lalu
yang keempat mempertahankan daya beli
masyarakat. Langkah kelima, melindungi kelompok masyarakat miskin; keenam,
memelihara kecukupan pangan dan energy. Yang terakhir, memelihara angka
pertumbuhan ekonomi yang pantas, setidaknya mencapai 4,5 persen.
Mudah-mudahan paket ini mampu menjaga Indonesia tetap dalam marka yang diharapkan disamping catatan-catatan tahun 2008 yang perlu juga dicermati
Mudah-mudahan paket ini mampu menjaga Indonesia tetap dalam marka yang diharapkan disamping catatan-catatan tahun 2008 yang perlu juga dicermati
Nama : Hadiyan Lutfi
NIP: 060100420
Unit Kerja :Kanwil DJPBN Propinsi Bengkulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar