Jumat, 02 Desember 2016

Suatu Catatan Ringan Mengenai APBN di Tahun 2008



Suatu Catatan Ringan Mengenai APBN di Tahun 2008
Indonesia diprediksi bakal mengalami kenaikan tajam pada konsumsi domestik dan investasi pada 2008 sehingga ekonomi Indonesia akan tumbuh lebih cepat dari 6,3 persen pada 2007 menjadi 6,4 persen. Dan hal tersebut dapat ditembus oleh tim ekonomi kita. Hal yang luar biasa. Siapa yang akan menyangka, ekonomi Indonesia akan tetap bertahan ditengah upata Bail Out Amerika terhadap roda ekonominya.
Namun hal tersebut bukan berarti tanpa penjelasan lebih. Catatan pertumbuhan ekonomi tahun 2008 diwarnai dengan beberapa catatan yang masih perlu dijadikan sorotan dalam menuju pertumbuhan ekonomi tahun 2009.
Perubahan mindset pada tahun 2008 bahwa konsep belanja harus habis menjadi konsep berbasis kinerja membuat kita mengenal SAL atau SILPA. Memang menjadi pertanyaan saya saat ini adalah pernyataan pemerintah mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai lebih dari 6%. Apakah sektor yang mempengaruhi peningkatan ekonomi tersebut berasal dari sektor swasta ataukah sector yang dikelola oleh pemerintah. Karena suatu pertumbuhan ekonomi itu salah satunya menimbulkan daya serap terhadap tenaga kerja dan perputaran modal yang bergulir. Petumbuhan konsumsi dalam negeri dapat juga dijadikan salah satu indikasi pertumbuhan ekonomi. Namun kenyataannya pada tahun 2008 ini beberapa perusahaan asing keluar dari Indonesia. Contoh sampai saat ini adalah Sony dan Nike. Jikalau yang dijadikan acuan dari pertumbuhan ekonomi  didasarkan pada sisi belanja.maka hal tersebut menjadi sulit untuk dilakukan pengukuran dan hal tersebut bukan merupakan gambaran kemakmuran suatu Negara. UU Keuangan Negara menggariskan tentang Anggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja mengisyaratkan tentang keberhasiln program pemerintah pada tahun berkenaan, bukan pada berhasilnya suatu satuan kerja menghabiskan dana dalam tahun anggaran tersebut. Memang ada baiknya suatu satuan kerja melakukan publish report atau mempublikasikan pelaporean keuangan dan membandingkan hasil kinerja dengan renca anggaran pada tahun berkenaan, sehingga kita sebagai masyarakat awam dapat mengetahui realisasi kerja pemerintah dengan lebih cermat dan kritis.
Ketika kita melihat kembali tahun 2008. Kita akan melihat gejolak ekonomi yang lumayan bergoyang. Catatan indikasi terjadinya inflasi yang tinggi begitu terlihat oleh kita. Inflasi bisa disebabkan oleh tekanan kenaikan produksi dan kenaikan permintaan terhadap suatu barang. Pada tahun 2008 kita akan merasakan bagaimana kita babak belur oleh faktor pendukung penggerak kegiatan ekonomi kita. Kita masih ingat bagaimana pada pertengahan tahun, kita sering kehabisan bensin, solar, bahkan minyak tanah, ataupun gas. Belum lagi masih seringnya dilakukan pemadaman listrik secara bergilir. Kalau kita masih ingat bagaimana aturan tentang listrik oleh pemerintah, hal tersebut jelas-jelas memukul sektor swasta. Kelangkaan tersebut membuat sektor industri menjadi terhambat. Ketika sektor industri berhenti bergerak saja dalam satu hari, potensial lost yang ditanggung oleh sektor industri adalah tidak munculnya hasil barang, tanggungan upah pegawai, biaya dari tidak maksimalnya mesin yang digunakan, dan gagalnya perusahaan menghasilkan barang sesuai dengan target yang ditentukan.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah pencapaian target penerimaan pajak sekitar 500an trilliun pada tahun 2008. Hal ini apakah bisa jadi indikasi keberhasilan Departeman Keuangan dari sisi penerimaan perpajakan?  Mengingat pemerintah telah melakukan revisi penerimaan Negara dari 600an trilliun. Namun akibat revisi tersebut, pemerintah menjadi melebihi target penerimaan Negara dari Rp.591 triliun menjadi Rp.609,23 triliun. Hal tersebut mengakibatkan kenaikan penerimaan pajak sebesar lebih dari 2%. Departemen Keuangan secara umum melakukan reformasi birokrasi (dalam  KPP denganPratam, KPPN dengan Percontohan, dan Bea Cukai dengan Utama). Pemerintah juga memberlakukan kembali PPN DTP (Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah) padahal kita tahu bahwa pola DTP PPN ini dahulu tidak diberlakukan berdasarkan  LoI (Letter of Intens) antara Indonesia dan IMF. Dalam hal ini DTP PPN juga menyalahi WTO. Namun perlu dicamkan bahwa untuk beberapa tahapan, kita memerlukan PPN DTP. Dibeberapa Negara maju, subsidi diberikan kepada suatu sektor melebihi PPN DTP yang dikenakan. Hal yang terlihat adalah sektor pertanian, Negara-negara maju memberikan subsidi yang besar sehingga mengakibatkan sektor pertanian dinegara berkembang perlu susah payah untuk menembus Negara maju.
Kita mengenal istilah defisit dan surplus dalam APBN kita. Yang menjadi masalah adalah apa yang menyebabkan APBN tersebut defisit ataupiun surplus. Apabila terjadi defisit, apa yang akan dilakukan atau apa yang harus dilakukan untuk menutup deficit tersebut. Sedangkan apabila terjadi surplus, dana surplus tersebut akan digunakan untuk apa. Pertanyaan menggelitik untuk ditanyakan , karena jangan sampai defisit tersebut dijadikan sebagai  alat pendorong sektor yang konsumtif yang rendah daya dorongnya terhadap sektor yang produktif sehingga terjadi defisit karena digunakan untuk membiayai pengeluaran yang bersifat jangka pendek. Penutupan defisit tersebut dilakukan dengan atau dibiayai dan ditutup dengan hutang yang bersifat jangka panjang (atau mungkin juga pinjaman yang bersifat komersial).  Hal tersebut membahayakan posisi APBN dalam keadaan jangka panjang di masa yang akan datang ketika semua implikasi pinjaman tersebut menjadi beban APBN di masa depan. Akibatnya, tanggungan tersebut mengakibatkan beban APBN untuk jangka panjang, dan ini merupakan beban anak cucu kita. Namun ada yang harus dipahami oleh kita bahwa defisit dalam APBN sudah merupakan hal yang biasa. Sejak masa Orde baru APBN kita selalu mengalami defisit, apalagi pada masa dahulu menggunakan bentuk anggaran berimbang. Sehingga bentuk defisit tidak namapak pada bentuk anggaran berimbang. Baru pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, pertama kali dikenal dengan istilah Financial Gap, atau lebih gampangnya disebut dengan selisih lebih atau kurang anggaran. Dalam masa itu, pertama kali pemerintah secara terbuka mengakui adanya defisit dalam APBN. Suatu ide pembenahan pola anggaran yang brillian pada masa itu. Kemudian setelah tahun 2000, kita lebih mengenal dengan defisit atau surplus dalam anggaran. Berbagai analogi bisa saja dilakukan akibat terjadinya defisit. Ada yang berpendapat bahwa ketidakstabilan posisi saham membuat APBN kempas kempis menjaga jalur fiskal. Atau ada juga yang berpendapat bahwa jalur migas yang tidak tentu membuat APBN menjadi defisit lagi. Pada kuartal tahun 2006 sampai dengan 2008 keadaan yang defisit ini dicoba dilakukan pressure dengan melakukan manajemen hutang yakni penerbitan obligasi pemerintah atau lebih dikenal dengan SUN (Surat Utang Negara).
Dari dulu banyak sorotan mata menatap tajam pada Departemen Keuangan. Menteri Keuangan seperti menjadi orang ketiga terpenting  dalam negeri ini setelah Presiden dan Wakil Presiden. Kekuasaan yang bersifat uang ada digenggaman Departemen Keuangan. Departemen Keuangan dinilai memegang jalur penerimaan (DJP, dan DJBC), perencanaan (DJA dan BAF), Peradilan Pajak, Derivatif (BAPEPAM-LK), Pengeluaran (DJPB), pembukuan (DJPB), dan pengelolaan barang milik Negara (DJKN). Hal ini menjadi semakin kuat setelahdilakukan reformasi birokrasi. Sorotan ini menjadi semakin keras dengan desakan untuk memisahkan DJP dan DJBC serta Perbendaharaan untuk menjadi badan tersendiri seperti IRS ddan Custom di Amreka atau Tax Organization Body seperti di Jepang. Bahkan di Perancis ada bentuk kementerian Negara Treasury. Kalo kita cermati sebenarnya Departmen Keuangan tidak lagi mengelola pengeluaran Negara. Pengeluaran Negara saat ini ditangan satuan kerja masing-masing, ini yang belum dipahamii oleh beberapa analis. Hal ini sudah dialkukan semenjak keluarnya paket UU Keuangan Negara yang memisahkan fungsi pembuat komitmen, penerbit dari Surat Perintah Membayar, dan bendahara dari Negara.  Sehingga Departemen Keuangan hanya sebagai “juru bayar” saja bagi satuan kerja, bukan penentu pengeluaran Negara.
Reformasi birokrasi pada Departemen Keuangan memang patut untuk terus didukung. Untuk tahun 2008 ini, program sunset policy dinilai berhasil menarik jutaan warga untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Barang milik Negara saat ini sudah bisa diketahui jumlahnya secara lebih akurat melaui stock opname secara marathon yang dilakukan oleh DJKN. BEPEKA sekarang dapar lebih mudah melakukan audit karena saat ini kita sudah mengenal neraca. Jangan lupa, independensi Bursa efek sekarang sudah bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga arah kebijakan fiscal bagi Indonesia saat ini bisa lebih mudah untuk diprediksi.
Dalam rangka mencegah efek meluas dampak lanjutan krisis keuangan global di tahun 2009 ini, pemerintah mengeluarkan 7 agenda utama kebijakan. Pertama, mengatasi risiko pengangguran baru akibat krisis keuangan global. Yang  kedua mengelola inflasi pada batas tertentu. Ketiga, menjaga pergerakan sektor riil. Lalu yang  keempat mempertahankan daya beli masyarakat. Langkah kelima, melindungi kelompok masyarakat miskin; keenam, memelihara kecukupan pangan dan energy. Yang terakhir, memelihara angka pertumbuhan ekonomi yang pantas, setidaknya mencapai 4,5 persen.
Mudah-mudahan paket ini mampu menjaga Indonesia tetap dalam marka yang diharapkan disamping catatan-catatan tahun 2008 yang perlu juga dicermati



Nama : Hadiyan Lutfi
NIP: 060100420
Unit Kerja :Kanwil DJPBN Propinsi Bengkulu

Tidak ada komentar: