Konsepsi Total Football
Total Football adalah persoalan ruang dan eksploitasinya
itu, bukan yang lain. Fleksibilitas posisi pemain, pergerakan pemain, semuanya
adalah konsekuensi dari upaya untuk menciptakan ruang agar bisa dieksploitir
semaksimal mungkin. Prinsip dasarnya sebenarnya sangat sederhana. Besar
kecilnya lapangan sepakbola walau ukurannya sama, tetapi di benak bisa berubah
tergantung siapa yang bermain di dalamnya. Misalnya, begitu pemain Belanda
menguasai bola maka mereka akan membuat lapangan seluas mungkin. Pemain
bergerak ke setiap jengkal ruang yang tersedia. Di benak lawan lapangan akan
tampak begitu lebar. Atau, begitu lawan menguasai bola, ruang harus dibuat
sesempit mungkin. Pemain yang terdekat dengan pemain lawan yang menguasai bola dituntut
untuk menutupnya secepat mungkin, tidak peduli apakah itu pemain bertahan atau
bukan. Bisa satu bisa dua, bahkan tiga. Tekanan harus dilakukan secepat mungkin
bahkan ketika bola masih ada di jantung pertahanan lawan. Lawan terjepit dalam
benak bahwa lapangan begitu sempit. Memperlebar atau mempersempit ruangan di
benak lawan tentu bukan barang mudah. Harus ada kemampuan untuk mencari
ruangan. Pergerakan yang kompak. Cara mengumpan bola yang eksploitatif atas
ruang yang tersedia, entah melengkung, lurus, melambung, dll. Pendeknya
dibutuhkan pemahaman geometri ruangan yang tidak sederhana. (David Winner
berjudul "Oranye Brilian -- Jenius dan Gilanya Sepakbola Belanda")
Hal yang begitu susah dibayangkan. Liza Arifin
menguraikannya menjadi lebih simple. Berdasar dari buku tersebut Liza
menjelaskan tentang keadaan negeri Belanda. Bangsa Belanda secara intrinsik
bangsa yang spatial neurotic (tergila-gila oleh ruangan ataupun
pemanfaatannya). Kondisi alam memaksa
mereka demikian. Lima puluh persen tanahnya berada di bawah permukaan laut.
Sementara sisanya terlalu sempit untuk jumlah penduduk yang berjubel. Terus
menerus bangsa ini melakukan reklamasi untuk memperluas daratan. Dengan sadar
persoalan tanah mereka atur dengan sangat disiplin dan ketat. Eksistensi bangsa
ini tergantung bagaimana mereka merawat tanah yang tak seberapa mereka punya.
Kanal, selokan air, bendungan kecil dan besar, teratur rapi membelah setiap
jengkal tanah yang mereka punya. Belanda hingga saat ini adalah negara paling
padat dalam ukuran per meter persegi, dan pengaturan tanahnya adalah yang
paling teratur di muka bumi. Namun seberapa pun mereka mencoba, seberapa pun
disiplinnya, tanah tidak akan pernah cukup tersedia.
Hal yang mereka lakukan adalah dengan bermain pada daya
khayal, di benak, di alam abstraksi. Di samping secara fisik mereka mencoba
memperluas wilayah darat mereka, mereka juga menciptakan ruang yang luas dialam
khayal mereka. Menurut cerita, bandingkanlah tata kota Belanda dengan negara
lain. Kita akan segera sadar bahwa Belanda memang lebih sempit tapi tata
kotanya dibuat sedemikian rupa rapi, sehingga terasa sangat longgar. Dibanding
negara manapun di dunia, tata kota di Belanda adalah yang paling kompak di
dunia. Arsitektur bangunannya, baik yang tua maupun modern, terasa sangat
inovatif, dengan sudut yang sering tidak normal, bentuk bangunan yang tidak
umum, aneh, tetapi kesannya selalu sama—longgar dan lapang. Karena semua lekuk
ketidaknormalan adalah bagian dari upaya untuk menciptakan ruang tambahan di
alam khayal tadi. Bahkan benak juga dilonggarkan untuk urusan norma sosial.
Kalau etika Protestan semarak di Belanda di awal kelahirannya, sangatlah bisa
dimengerti. Mereka secara instingtif akan memberontak terhadap segala sesuatu
yang sifatnya mengukung. Dalam kasus kelahiran Protestan tentu saja
pemberontakan atas kungkungan ajaran Katolik saat itu. Proses itu terus
berlanjut hingga sekarang. Kita tahu norma sosial Belanda adalah yang paling
longgar di Eropa. Kelonggaran yang tetap diatur. Misalnya, mainlah ke Vondell
Park di Amsterdam, bolehlah Anda menghisap ganja atau mariyuana dengan santai.
Padahal di negara lain sembunyi-sembunyi pun Anda tidak boleh. Jejak-jejak
spatial neurotic ini bisa kita temukan dengan mudah di karya-karya seni mereka
bahkan di kehidupan politik, tetapi kembali ke persoalan sepakbola, mentalitas
pemain sepakbola juga sama persis. Ketika mereka turun ke lapangan, benak
mereka selalu bermain-main dengan keinginan untuk menciptakan ruangan selonggar
mungkin, lalu mengeksploitasinya.
Pola inilah yang secara tidak sadar membuat Rinus
menerapkannya dalam konsepnya bermain bola. “Jangan pernah melumpuhkan lawan
dengan pedang jika kamu dapat menggilasnya dengan tank” begitulah semboyan
Rinus Michels, dibalik semboyan tersebut tersimpan jiwa keserdaduan dari system
Total Football yang diusung Rinus Michels. Lebih sederhana konsep bola Rinus
Michels “Gilaslah lawanmu..hancurkan lawanmu..lumpuhkan lawanmu
setotal-totalnya”
Mereka bermain bola dengan indah, terorganisir dengan tempo
yang tinggi.Prinsip bermain mereka “MENYERANG (OFENSIF) ADALAH PERTAHANAN YANG
BAIK. Rinus Michels selalu melihat Sepak Bola sebagai serangan bukan
pertahanan. Dogma Rinis Michels dalam menerapkan taktik bolanya ini “Larilah
ketempat dimana kamu akan kesakitan” Pengorbanan bagi Tim itulah filsafat
dibalik dogma tersebut. Dalam Total Football jika pemain depan menyerang,
otomatis pemain tengah dan belakang segera kedepan, sebaliknya jika dalam
keadaan diserang lawan pemain depan harus kebelakang bersama-sama mempersempit
ruang gerak lawan.Pola ofensif ini dapat dilihat dari skema yang diterapkan
yaitu 4-3-3.
Sistem Total Football mengandalkan permainan poros yang luar
biasa lancar, permainan Poros inilah yang mengatur secara otomatis gerak
kebelakang dan kedepan seefektif mungkin.Poros ini pulahlah yang akan
mengurangi problem bagi pemain belakang seminimal mungkin. Maklumlah kalau
begitu pemain belakang ikut ambil bagian untuk menyerang.
Naluri sangat diperlukan untuk menghemat tenaga dan pada
suatu kesempatan pemain belakang ikut merengsek kedepan membantu serangan tim,
ketika timnya kehilangan bola dia dengan segera balik kebelakang untuk
bertahan. Strategi Total football adalah bentuk kesempurnaan dari seorang
pemain dalam tim. Intinya pemain dituntut mempunyai kecerdasan, visi, kekuatan,
skill individu dan efesiensi dalam bermain.Kultur Bola negeri kincir angin ini
harus memiliki pemain di dua even tersebut, jika tidak maka akan sulit
menjalankan konsep tersebut dilapangan hijau, strategi bermainnya penuh risiko.
Dalam Total Football para pemain harus melupakan dan menundukkan egonya,
kemampuan individu harus tunduk kepada totalitas tim.Aksi memikat perorangan
harus membantu tim secara kolektivitas bermain.
Kalian harus
bermental profesinal, mental yang dibangun lewat disiplin, organisasi dan
prestasi, untuk memperoleh mental itu harus menundukan perasaan individunya pada
tuntutan kolektivitas. ( Rinus Michels)
Sumber : Liza Arifin – detiksport dan Jupardi Pekanbaru, 26
Pebruari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar