Bundarnya Sepakbola Indonesia
Punaryo astaman tertunduk lesu.
Bambang pamungkas masih saja geleng-geleng kepala. Dan entah, tundukan kepala
model apa yang ditunjukkan Kolev. Tak kalah tragisnya, Nurdin Halid,
dielus-elus SBY karena tangisannya.
Bola memang bulat, tidak ada yang
menyangkal. Sudah menjadi keadaan yang simple present tense. Gemerlap piala asia pada hari itu
seakan lenyap. Satu gol mampu membungkam ribuan orang Indonesia yang
menonton pertandingan tersebut.
Aku paksakan pulang ke kost untuk
bisa nonton bola dari rumah. Aneh binti ajaib. Suasana beberapa jalan menjadi
lengang! Yahh hanya kuningan dan mampang aja yang macet. Normal, hari liburpun
kedua jalan ini memang macet.
Indonesia masih menyukai
sepakbola Indonesia. Ini fakta. Dalam laga apapun, tetap menjadi sorotan untuk
ditonton. Lihat saja, piala Asia tahun 2007 kemarin yang finalnya tidak
dimainkan oleh tim Indonesia, penontonnya saja masih membludak.
Ada apa Khalid? Pertanyaan ini
selalu akan keluar dari dalam diri. Bukan siapa yang harus bertanggung jawab.
Sriwijaya yang begitu menakutkan di laga domestic, begitu menjijikkan ketika
melawan klub asing. Hal yang berulang dan berulang seakan tidak akan ada
perubahan. Penonton tetap menjadi penonton untuk bola, bukan penonton dan berbicara.
Iraq mampu bicara. Indonesia lebih damai
dari Iraq, Indonesia lebih kaya dari Iraq. Bola akan selalu bundar.
Ada apa pak Nurdin?masih
kurangkah elusan tangan SBY? Sebuah tamparan kecil kalau itu dianggap, sayangnya
belum dianggap, akan dianggap apakah itu? Ketika kegagalan dan kegagalan terus
saja datang. Perubahan sistem pertandingan terus saja berlanjut, mencari
formula terbaik, sayang kualitas tetap tidak baik.
Punaryo seharusnya sedari awal
pertandingan menundukkan kepalanya saja. Toh hasilnya sama saja. Bukan salah
pelatih asingnya, bukan salah Punaryonya…lalu salah siapa? Mungkin bisa jadi
salah wasitnya kali ya? Terus? Timpuk aja wasitnya? Wah piala dunia 2022 bisa
jadi nggak bakal terwujud.
Kenapa pak Halid?
Masih belum tahu juga pak, saya
juga tidak tahu apa yang terjadi. Ada apa sih, tahu, nggak ngerti. Pokoknya
kalah aja. Satire dan pesimistis yang saya punya. Memang itu yang diajarkan
kan?
Selamat datang gebyar kemeriahan,
selamat datang gebayar kemewahan, dan selamat datang keceriaan yang dibuat.
Tanpa itu tidak akan ada kesan bahwa kita adalah pejuang, tapi apakah kita
pejuang? Ataukah hanya pencari pacar artis saja?. Saya masih tidak mampu
menjawabnya. Konsistensi untuk tidak berhasil patut untuk diacungi jempol, jempol
diatas atau dibawah, entahlah yang penting jempol.hidup jempol.
PSSI (Persatuan Sepak Bola
Indonesia) merupakan wadah pengayom bagi sepakbola Indonesia.apa yang diayomi
masih saya tanyakan dalam kalbu. Apakah beda dengan tarkam?
Silogisme yang sadis ya? Secara
wasit babak belur, dan pemain melakukan aksi Jacky Chan. Berlebihan ya kali
saya ini, tapi entahlah, Punaryo masih menunduk dan Nurdin Halid masih
menangis…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar