Candi Bumi Ayu
Candi ini merupakan satu-satunya Kompleks Percandian di Sumatera
Selatan, sampai sekarang tidak kurang 9 buah Candi yang telah ditemukan dan 4
diantaranya telah dipugar, yaitu Candi 1, Candi 2, Candi 3 dan Candi 8 Usaha
pelestarian ini telah dimulai pada tahun 1990 sampai sekarang, dengan didukung
oleh dana APBN. Walaupun demikian peran serta Pemerintah Kabupaten Muara Enim
cukup besar, antara lain Pembangunan Jalan, Pembebasan Tanah dan Pembangunan
Gedung Museum Lapangan. Percandian Bumiayu meliputi lahan seluas 75,56 Ha,
dengan batas terluar berupa 7 (tujuh) buah sungai parit yang sebagian sudah
mengalami pendangkalan Objek Wisata Candi Bumi Ayu terletak di Desa Bumiayu
Kecamatan Tanah Abang jarak antara Kota Muara Enim sekitar 85 Km ditempuh
dengan kendaraan darat
.Candi Bumi Ayu pada saat ini masih dalam proses pengkajian dan
pemugaran, sehingga belum banyak informasi yang dapat diketahui, sedangkan
informasi tertulis dari Candi tersebut masih dalam proses dipahami oleh Tim Pengkajian
Peninggalan Purbakala Propinsi Sumatera Selatan
Candi-candi di Bumiayu merupakan
death monument. Monumen yang telah ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Candi
tersebut ditinggalkan mungkin seiring dengan terdesaknya kekuatan politik Hindu
oleh Islam pada sekitar abad ke-16. Kemudian candi-candi itu rusak dan terkubur
tanah hingga ditemukan kembali oleh E.P. Tombrink tahun 1864. Penduduk Bumiayu
tidak mengenal fungsinya semula. Cerita penduduk yang dicatat oleh A.J. Knaap
tahun 1902 menyatakan bahwa apa yang sekarang disebut candi di Bumiayu itu
adalah bekas istana sebuah kerajaan yang disebut Gedebong Undang. Wilayah
kerajaan tersebut sampai di Modong dan Babat. F.M. Schnitger melaporkan bahwa
di kedua desa tersebut terdapat pula tinggalan agama Hindu (1934:4), namun kini
telah hilang terkena erosi Sungai Lematang. Penduduk Bumiayu tidak mengenal kata
“candi” sebelum ada kegiatan penelitian, perlindungan, dan pemeliharaan di
situs tersebut. Kata “candi” diambil dari bahasa Jawa untuk menggantikan kata
“kuil” dari agama Hindu atau Budha. R. Soekmono (1974) melalui disertasinya di
Universitas Indonesia menyatakan bahwa apa yang disebut candi itu sebenarnya
adalah bangunan kuil dewa sebagaimana yang ada di tanah asalnya, Hindustan.
Diperkirakan kerusakan lebih banyak
disebabkan oleh karena tangan manusia. Masyarakat yang tinggal di sekitar Candi
Bumiayu belum menyadari tinggalan tersebut sebagai pusaka warisan leluhurnya
yang harus dilestarikan. Sebagai buktinya, digunakannya bata candi, baik polos
maupun berelief, untuk bangunan pemakaman dan masjid di desa setempat. Candi-candi
Bumiayu yang ditemukan dalam keadaan demikian itu sejak tahun 1991 telah
diupayakan pemanfaatan dan pengembangannya oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Upaya tersebut dimulai oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan
melakukan penelitian intensif sejak tahun 1991. Kemudian dilanjutkan oleh
Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala dengan melakukan
pemugaran sejak tahun 1992. Pemerintah Kabupaten Muaraenim merencanakan
pemanfaatan dan pengembangannya untuk kepentingan pariwisata.
Situs Candi Bumi Ayu terletak di Desa
Bumiayu Kecamatan Tanah Abang, jarak antara Kota Muara Enim sekitar 85 Km
ditempuh dengan kendaraan darat. Candi ini merupakan satu-satunya Kompleks
Percandian di Sumatera Selatan, sampai sekarang tidak kurang 9 buah Candi yang
telah ditemukan dan 4 diantaranya telah dipugar, yaitu Candi 1, Candi 2, Candi
3 dan Candi 8. Usaha pelestarian ini telah dimulai pada tahun 1990 sampai
sekarang, dengan didukung oleh dana APBN. Percandian Bumiayu meliputi lahan
seluas 75,56 Ha, dengan batas terluar berupa 7 (tujuh) buah sungai parit yang
sebagian sudah mengalami pendangkalan. Tanah yang sudah dikuasai oleh
Pemerintah Kabupaten Muara Enim seluas 6,50 Ha, selebihnya 69,06 Ha masih
dikuasai oleh masyarakat. Lahan ini terdiri dari pemukiman masyarakat, kebun
karet, kebun jeruk, tanah desa dan rawa-rawa. Sesuai dengan Studi Rencana Induk
Pelestarian Situs Bumiayu Sumatera Selatan tahun 1996/1997 yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pemerintah menguasai dan kemudian
melindungi serta memelihara Candi Bumi Ayu dengan Undang-undang No. 5 Tahun
1992 Pasal 13 Ayat 1 bahwa setiap orang yang memiliki atau menguasai benda
cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya. Perlindungan dan
pemeliharaannya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan
pemugaran (P.P. No. 10 Tahun 1993 Pasal 23 Ayat 1) dengan memperhatikan nilai
sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya (P.P. No. 10 Pasal 23 Ayat 2).
Khusus untuk pelaksanaan pemugaran diberikan rambu-rambu yang lebih jelas lagi
dalam Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 063/U/1995 Pasal 12 Ayat 4 bahwa
pelaksanaan pemugaran harus memperhatikan prinsip-prinsip pemugaran yang
meliputi keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, dan tataletak dengan
mempertahankan nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Dalam UU No. 5 Tahun 1992 Pasal 15
Ayat 1 dinyatakan bahwa setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan
situs serta lingkungannya. Selanjutnya dalam Pasal 15 Ayat 2 dinyatakan tanpa
izin Pemerintah, setiap orang dilarang (a) mengambil atau memindahkan benda
cagar budaya, baik sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam keadaan darurat;
(b) mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya; (c)
memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya. Termasuk kegiatan yang
dapat merusak benda cagar budaya adalah mengurangi, menambah, memindahkan, dan
mencemari benda cagar budaya; dan (b) mengurangi, mencemari, dan/atau mengubah
fungsi situs (PP No. 10 Tahun 1993 Pasal 29 Ayat 2).
Pemanfaatan Candi Bumiayu sebagai
objek penelitian tidak hanya mencakup penelitian arkeologi, melainkan juga,
sebagai contoh, arsitektur, teknik, dan biologi. Bagi arkeologi, Candi Bumiayu
dan situs serta lingkungannya merupakan bahan kajian arkeologi keruangan
(spatial archaeology) sekala mikro, semi-mikro, dan makro atau regional untuk
mengetahui seluk-beluk teknologi/adaptasi lingkungan, sosial, dan
idiologi/religinya. Bagi penelitian arsitektur, Candi Bumiayu dapat dipelajari dari segi pola perancangan
dan latar belakangnya. Ilmu teknik sipil dapat meninjauanya dari aspek
konstruksi. Sementara itu, peneliti biologi dapat memusatkan perhatian pada
spesies lumut, jamur, dan ganggang yang tumbuh pada bangunan candi sekaligus
teknologi pembasmiannya yang aman. Penelitian-penelitian tersebut diharapkan
menjadi umpan balik bagi pengembangan Candi Bumiayu itu sendiri. Sebelum
melaksanakan penelitian harus minta izin kepada Pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Pemanfaatan Candi Bumiayu sebagai
objek wisata, pendidikan, dan penelitian dapat menimbulkan kerusakan dengan
banyaknya orang yang mengunjunginya. Kerusakan itu timbul karena bahan bangunan
candi tersebut bersifat mudah pecah (fragile) dan rapuh. Bahannya dibuat dari
tanah liat yang dibakar dengan suhu tertinggi tidak lebih daripada 1000o C
(suhu tertinggi pembakaran tembikar). Dengan suhu tersebut butiran-butiran
tanah liat belum mengalami pelelehan, baik di bagian permukaan maupun
seluruhnya, serta berpori. Dalam keadaan demikian ikatan antarbutiran belum
sekuat porselen serta bersifat menyerap air. Proses pelapukan bangunan candi
berlangsung dalam pergantian musim hujan dengan kemarau. Selain itu, keadaan
bata yang tinggi kelembabannya akan mengakibatkan tumbuhnya lumut, jamur, dan
ganggang yang mempercepat proses pelapukannya. Oleh karena itu, tepat bila
bangunan candi dinaungi bangunan cungkup.[1] Namun, bangunan cungkup itu
hendaknya tidak menghalangi pandangan pengunjung. Apalagi bangunan candi
digemari sebagai latar potret kenangan bagi pengunjung.
Keadaan bangunan yang mudah retak dan
rapuh tidak memungkinkan pengunjung menginjak atau menaiki bangunan candi.
Tekanan beban dari tubuh manusia, apalagi berulang-ulang, dapat mengakibatkan
retaknya bata. Permukaan bata pun menjadi aus karena abrasi dari gesekan kaki
pengunjung. Keausan akan berlangsung lebih cepat bila kaki pengunjung
menggunakan alas atau sepatu yang dibuat dari bahan yang keras. Untuk mencegah
kemungkinan yang tidak diharapkan itu harus dibuat sistem pengamanan yang
menjamin keselamatan candi.
Penelitian arkeologi yang dilakukan
di situs Candi Bumiayu pun dapat memperparah kerusakan benda cagar budaya dan
situs bila dilakukan tanpa metode dan teknik yang benar. Ekskavasi pada
dasarnya mengambil benda dari matriknya. Oleh karena itu, dalam ekskavasi harus
dilakukan perekaman data, baik dalam bentuk verbal maupun piktorial. Tanpa
perekaman data yang benar, tinggalan arkeologi yang dipindahkan dari tempat
asalnya (matriknya) kehilangan reliabilitasnya sebagai sumberdata. Pelaksanaan
dan hasil kegiatan ekskavasi harus dilaporkan kepada instansi teknis yang
berwenang (Balai Arkeologi Palembang dan Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Bangka-Belitung).
DAFTAR PUSTAKA
Soekmono, R., 1974, Candi, Fungsi dan
Pengertiannya, Dissertasi Universitas Indoensia Jakarta
Schnitger, F.M., 1937, The
Archaeology of Hindoo Sumatra, Leiden: E.J. Brill
Tri Marhaeni S. Budisantosa, Pemanfaatan
dan Pengembangan Situs Candi Bumiayu untuk
Kepentingan Wisata, Pendidikan, dan Penelitian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar