Avicenna
Seorang raja bernama
Nuh Ibn Mansur, seorang raja di Bukhara menderita suatu penyakit. Dia memanggil
tabib-tabib terkenal di negerinya, namun penyakit tak kunjung sembuh, sampai
bertemu dengan seorang pemuda yang baru berusia 17 tahun. Pemuda tersebut mampu mengobati sang raja.
Tentu saja Raja sangat senang dan berkeinginan memberikan hadiah bagi anak muda
ini. Anda tahu apa yang minta oleh anak muda tersebut? Menikah sama putrinya yang cantik?Bukan.
Meminta harta yang banyak? Bukan. Meminta kedudukan yang tinggi? Bukan.
Ternyata pemuda tersebut meminta ijin untuk bisa membaca semua buku yang ada di
Perpustakaan Kerajaan. Ini bukan kisah dongeng fiksi, ini adalah kisah nyata.
Pemuda tersebut adalah Ibnu Sina, bapak kedokteran dunia.
“Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku
menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui
namanya. Aku sendiri pun belum pernah
melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat
membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya... Ketika usiaku
menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.” Ibnu
Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan
berbagai cabangnya.
Ketika berada di istana dan hidup tenang serta dapat dengan
mudah memperoleh buku yang diinginkan, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan
menulis kitab Qanun dalam ilmu kedokteran atau menulis ensiklopedia filsafatnya
yang dibeni nama kitab Al-Syifa’. Namun ketika harus bepergian beliau menulis
buku-buku kecil yang disebut dengan risalah. Saat berada di dalam penjara, Ibnu
Sina menyibukkan diri dengan menggubah bait-bait syair, atau menulis perenungan
agamanya dengan metode yang indah.
Di antara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina,
kitab al-Syifa’ dalam filsafat dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran dikenal
sepanjang massa. Al-Syifa’ ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu filsafat,
mantiq, matematika, ilmu alam dan ilahiyyat. Mantiq al-Syifa’ saat ini dikenal
sebagai buku yang paling otentik dalam ilmu mantiq islami, sementara pembahasan
ilmu alam dan ilahiyyat dari kitab al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi
bahan telaah.
Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina
selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini
mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam
penyakit. Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12
masehi, kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.
Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis
dan Jerman. Al-Qanun adalah kitab kumpulan metode pengobatan purba dan metode
pengobatan Islam. Kitab ini pernah
menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di universitas-universitas Eropa.
Ibnu juga memiliki peran besar dalam mengembangkan berbagai
bidang keilmuan. Beliau menerjemahkan karya Aqlides dan menjalankan
observatorium untuk ilmu perbintangan. Dalam masalah energi Ibnu Sina
memberikan hasil penelitiannya akan masalah ruangan hampa, cahaya dan panas
kepada khazanah keilmuan dunia.
Dikatakan bahwa Ibnu Sina memiliki karya tulis yang dalam
bahasa latin berjudul De Conglutineation Lagibum. Dalam salah bab karya tulis
ini, Ibnu Sina membahas tentang asal nama gunung-gunung. Pembahasan ini sungguh
menarik. Di sana Ibnu Sina mengatakan, “Kemungkinan gunung tercipta karena dua
penyebab. Pertama menggelembungnya kulit luar bumi dan ini terjadi lantaran
goncangan hebat gempa. Kedua karena proses air yang mencari jalan untuk mengalir.
Proses mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan
penggelembungan pada permukaan bumi. Sebab sebagian permukaan bumi keras dan
sebagian lagi lunak. Angin juga berperan dengan meniup sebagian dan
meninggalkan sebagian pada tempatnya. Ini adalah penyebab munculnya gundukan di
kulit luar bumi.”
Ibnu Sina dengan kekuatan logikanya -sehingga dalam banyak
hal mengikuti teori matematika bahkan dalam kedokteran dan proses pengobatan-
dikenal pula sebagai filosof tak tertandingi. Menurutnya, seseorang baru diakui
sebagai ilmuan, jika ia menguasai filsafat secara sempurna. Ibnu Sina sangat
cermat dalam mempelajari pandangan-pandangan Aristoteles di bidang filsafat.
Ketika menceritakan pengalamannya mempelajari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina
mengaku bahwa beliau membaca kitab Metafisika karya Aristoteles sebanyak 40
kali. Beliau menguasai maksud dari kitab itu secara sempurna setelah membaca
syarah atau penjelasan ‘metafisika Aristoteles’ yang ditulis oleh Farabi,
filosof muslim sebelumnya.
Dalam filsafat, kehidupan Abu Ali Ibnu Sina mengalami dua
periode yang penting. Periode pertama adalah periode ketika beliau mengikuti
faham filsafat paripatetik. Pada periode ini, Ibnu Sina dikenal sebagai
penerjemah pemikiran Aristoteles. Periode kedua adalah periode ketika Ibnu Sina
menarik diri dari faham paripatetik dan seperti yang dikatakannya sendiri
cenderung kepada pemikiran iluminasi.
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filosof
sebelumnya semisal Al-Kindi dan Farabi, Ibnu Sina berhasil menyusun sistem
filsafat islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan
Ibnu Sina adalah menjawab berbagai persoalan filsafat yang tak terjawab sebelumnya.
Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran
dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi
juga merambah Eropa. Albertos Magnus, ilmuan asal Jerman dari aliran Dominique
yang hidup antara tahun 1200-1280 Masehi adalah orang Eropa pertama yang
menulis penjelasan lengkap tentang filsafat Aristoteles. Ia dikenal sebagai
perintis utama pemikiran Aristoteles Kristen. Dia lah yang mengawinkan dunia
Kristen dengan pemikiran Aristoteles. Dia mengenal pandangan dan pemikiran
filosof besar Yunani itu dari buku-buku Ibnu Sina. Filsafat metafisika Ibnu
Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis yang kebenarannya diakui dua
abad setelahnya oleh para pemikir Barat.
Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali
bin Sina, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sina atau Aviciena lahir pada tahun
370 hijriyah di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara. Sejak masa
kanak-kanak, Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah
akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya.
Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah
seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan
apapun selain belajar dan menimba ilmu.
Ibnu Sina wafat pada tahun 428 hijriyah pada usia 58 tahun.
Beliau pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat
manusia dan namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah. Ibnu Sina adalah
contoh dari peradaban besar Iran di zamannya.
Sumber: Berbagai Sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar