virus flu burung tergolong dalam virus influenza
Pembagian subtipe virus influenza disusun berdasarkan dua
komponen virionnya yaitu hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Telah
diketahui bahwa virus influenza A mempunyai H1-19 dan N1-9. Yang menginfeksi
Indonesia saat ini adalah subtipe H5N1.
Ciri-ciri H5N1 adalah tahan dalam air 22 derajat C selama 4
hari, tahan >30 hari pada suhu 0 derajat C, pada tinja unggas selama 32 hari
(inaktif dengan pemanasan 56 derajat C selama 3 am atau 60 derajat C selama 30
menit), pada daging ayam inaktif pada 80 derajat C selama 1 menit atau 60
derajat C selama 30 menit, pada telur inaktif pada 64 derajat C selama 5 menit,
mudah inaktif dengan detergen, alkohol, karbol, hipoklorit/bleach dan
desinfektan lain.
Menurut Dr drh I Wayan Teguh Wibawan MS, tak hanya unggas
yang dapat terinfeksi flu burung. Kuda, kucing, sapi dan jenis lain serta
mamalia air juga dapat terinfeksi tanpa memberi gejala klinis. Khusus pada
babi, mamalia ini berperan sebagai mixing vessel virus flu burung. Artinya,
babi menjadi tempat reassortment gen dalam pembentukan virus flu burung baru.
Reseptor terhadap H virus flu burung pada unggas terdapat
dalam bentuk (-2,3 NeuA-Gal, sedangkan pada manusia berupa (-2,6 NeuA-Gal.
Uniknya babi memiliki kedua bentuk reseptor tersebut. Dari sisi reseptor,
seolah-olah infeksi langsung virus flu burung dari ayam ke manusia sangat sulit
terjadi, dan harus melalui babi agar virus flu burung terlebih dahulu mampu
melakukan reassortment. Seandainya reassortment mudah terjadi secara alamiah
maka mudah sekali terjadi pandemi flu burung. Faktanya, belum ada laporan
tentang adanya reassortment alami pada babi.
Lalu bagaimana menerangkan terjadinya infeksi langsung dari
ayam ke manusia? Bila berpatokan pada proses perlekatan virus dengan pejamu
melalui reseptor spesifik maka kemungkinan penularan langsung sulit terjadi.
Hipotesis lain memberi alternatif jawaban bahwa interaksi virus dengan pejamu
mungkin terjadi melalui proses endositosis.
Untuk mengurangi kontaminasi virus flu burung ke lingkungan
maka unggas diberikan vaksinasi. \"Saat ini Institut Pertanian Bogor (IPB)
dan PT. Shigeta sedang mengembangkan vaksin dengan menggunakan bioteknologi
reverse genetic. Dengan vaksin terbaru tersebut, antibodi terhadap H5 akan diinduksi
tetapi gen pembawa sifat ganasnya telah dihilangkan\", ujar staf pengajar
kedokteran hewan IPB ini. Sementara itu, vaksin yang telah digunakan saat ini
adalah vaksin mati (killed vaccine) yang menggunakan virus utuh, baik yang
homolog (H5N1) atau heterolog (H5N2). \"Sayangnya, pelaksanaan vaksin
menemui hambatan terutama pada peternak rakyat (backyard flocks) dan unggas
liar (wandering ducks),\" keluh Wayan.
Tak kalah pentingnya, dr Mukhtar Ikhsan SpP(K) menjelaskan
langkah-langkah penatalaksanaan awal pneumonia flu burung. \"Faktor resiko
yang memperberat flu burung adalah umur tua, perawatan yang terlambat,
keterlibatan infeksi saluran nafas bawah (pneumonia), dan leukopenia serta
limfopenia saat masuk\", tandas Mukhtar. Dalam mendiagnosa pasien yang
terkena flu burung, terlebih dahulu menentukan termasuk kelompok kasus manakah
pasien tersebut, apakah kasus suspek, probable atau konfirmasi.
Efek lanjut yang ditakutkan adalah terjadinya pneumonia yang
berarti virus telah menyerang jaringan paru. Keadaan itu ditandai dengan sesak,
sianosis, kesadaran menurun, syok, PO2 < 50 mmHgm, PCO2 > 50 mmHg, dan
sering disertai infeksi bakteri.
Penatalaksanaannya cukup kompleks meliputi tirah baring,
peningkatan daya tahan tubuh, respiratory care, antiviral, antibiotik, dan
kortikosteroid bila perlu. Antiviral harus diberikan 48 jam pertama infeksi.
Ada dua pilihan antiviral yang tersedia saat ini yaitu golongan penghambat M2
(amantidine dan rimantidine) serta penghambat neuraminidase (zanamivir dan
oseltamivir). Golongan kedua direkomendasikan oleh WHO dengan dosis 2 x 75 mg,
selama 5 hari.
Antibiotika yang diberikan bersifat empiris, berarti
antibiotika yang mencakup bakteri tipik dan atipik. Pada pasien rawat inap,
sefalosporin generasi 2 dan 3 atau fluorokuinolon intravena menjadi pilihan.
Sedangkan di ICU, digunakan sefalosporin generasi 3 atau 4 atau karbapenem
ditambah dengan fluorokuinolon atau aminoglikosida.
Strategi pemberian antibiotik dimulai dengan dosis tinggi,
baru diturunkan 3-5 hari kemudian (de-escalation strategy). Sebaliknya, memulai
antibiotik dengan dosis rendah, kemudian dinaikkan perlahan dihindari sebab
justru meningkatkan angka mortalitas, tingkat resistensi, lama perawatan, dan
total biaya. Tak lupa, Mukhtar mengingatkan, bahwa antibiotika tidak boleh
diganti sebelum 72 jam.
SUMBER: bener-bener comotan dari Internet, saya lupa
darimana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar