Minggu, 04 Desember 2016

Kisah Tentang Awal Lomografi



Kisah Tentang Awal Lomografi

”Pakai Lomo itu yang dilihat bukan cuma hasil (foto) tapi malahan kesenangannya. Pokoknya fun abis lah kalo pake Lomo,” cetus Amanda Syarfuan (21) dan Shinta Handamari (21). Amanda Syarfuan menegaskan, ”Gue pribadi, seneng dengan culture-nya. Kita tuh berada di tengah sesuatu yang bener buat gue tetapi buat orang lain belum tentu.”
Lomografi tercipta dari St. Petersburg, Rusia. Ini merupakan sebutan bagi karya-karya foto yang dihasilkan dari kamera Lomo buatan negeri beruang merah itu. Kamera Lomo Kompakt Automat sebetulnya sudah tercipta pada awal 80-an, namun sempat tenggelam selama sepuluh tahun. Awal 90-an beberapa mahasiswa asal Austria kembali menggali keindahan, keunikan dan keotentikan karya foto Lomo.
Fenomena lomografi berawal dari kawasan St. Petersburg, Rusia. Ceritanya, Jenderal Igor Petrowitsch Kornitzky – orang kepercayaan Menteri Pertahanan dan Industri Uni Sovyet (ketika itu) penasaran dengan sebuah benda aneh. Tak lama, sang Jenderal melemparkan kamera mini buatan Jepang ke meja kammerad Michail Panfilowitsch Panfiloff.
Sebagai petinggi LOMO Russian Arms and Optical – pabrik senjata dan alat-alat optik Uni Sovyet – Panfiloff segera meneliti kamera tersebut. Tak ada yang aneh, pikirnya. Ia terus mempelajari kamera mini itu dengan saksama. Dari ketajaman lensa, sensitivitas blitz hingga badan kamera yang tangguh serta kompak.
Keduanya sepakat: kamera ini patut ditiru dan dikembangkan desainnya. Tujuan akhir mereka, memproduksi secara massal kamera serupa hingga bisa menyenangkan dan menjadi kebanggaan warga Soviet. Dari sinilah, pada 1982, diputuskan untuk membuat Lomo Kompakt Automat. Kedua orang itu ingin setiap warga terhormat komunis punya kamera ini.
Kelahiran pertama Lomo ditandai keluaran jenis pertama yang akrab disebut Lomo LC-A. Jutaan kamera segera diproduksi dengan cepat dan terjual habis. Orang-orang Soviet dan kolega mereka yang tersebar di Vietnam, Kuba dan Jerman Timur dengan bangga merekam masa-masa akhir kejayaan komunis sepanjang era 80-an. Kadang-kadang, mereka memakai untuk pelesiran di Laut Hitam.
Begitu era komunis usai, kisah Lomo ikut berhenti berdenyut. Maklum, kamera kompak ini jelas kalah dengan buatan sejenis dari negara-negara kapitalis. Siapa yang percaya memakai produk komunis? Lalu, kisah Lomo berakhir sampai di sini? Ternyata tidak.
Lomo kembali muncul berkat penjelajahan Matthias Fiegl dan Wolfgang Stranzinger, dua mahasiswa Viennese Austria. Sambil pelesiran – kebetulan waktu itu negeri demokrasi Ceko baru saja berdiri – pada 1991 keduanya main-main ke negeri ini. Ketika itu, popularitas LC-A nyaris tamat.
Kamera Lomo LC-A yang mereka temukan itu betul-betul tak terurus. Kotor dan kusam, dan paling menyebalkan baterainya harus diimpor dari Asia. Kamera ini hanya bisa ditemukan di toko kamera lawas (istilah kerennya: old-school camera shop). Tahu kondisi seperti itu, kedua mahasiswa Viennese Austria tadi tak surut langkah. Iseng-iseng mereka beli beberapa kamera. Hanya untuk senang-senang saja. Usai membeli, mereka merekam seabrek objek. Gemerlap jalan-jalan di Praha, Ceko. Dengan semangat mereka jeprat-jepret apa saja, ada yang dari atas kaki, di antara kaki malah ada juga yang dari batas pinggul. Kadang-kadang, membidik lewat viewfinder. Pokoknya, ambil gambar ala suka-suka, tak ada batasan yang mengikat. Untuk sementara, teori-teori fotografi ditinggalkan sejenak.
Begitu kembali ke Vienna, beberapa mahasiswa itu segera proses film. Rupanya, penasaran juga dengan hasil jepretan di Praha. Ketika hasil jepretan ada di tangan, mereka kembali terkejut. Wow! Ribuan gambar kecil, memikat, sedih, garis yang berkilat-kilat dari tur kecil mereka itu. Fokus yang indah! Sebaliknya, gambar-gambar yang tak fokus tak mengecewakan mereka. Sebab, gambar itu terasa segar dan menawan dari kehidupan sehari-hari di Republik Ceko. Keterkejutan ini patut dimaklumi karena mereka sebelumnya tak pernah menemukan gambar yang menakjubkan dan memesonakan mata dari semua kehebohan tadi.
Rentang waktu 1992 – 1993, menjadi waktu penting atas kebangkitan Lomografi. Matthias Fiegl dan Wolfgang Stranzinger segera woro-woro ke mana-mana. Dengan gigih, keduanya mengajak teman, kerabat dan bahkan orang yang tak mereka kenal untuk mau mencoba Lomo. Sampai akhirnya, mereka mendirikan klub pencinta Lomo: The Lomographic Society (Lomographische Gesellschaft) di Vienna. Tujuan klub ini hanya satu: menyebarkan pesan Lomografi ke seluruh dunia. Kini, klub ini menampung lebih dari 500.000 pehobi Lomo yang setia, termasuk di Indonesia.
Pada 1994, eksibisi lomografi pertama kali di gelar di Moskow, Rusia dan New York, Amerika Serikat. Di kedua kota tersebut, ribuan jepretan dari kamera Lomo dipampangkan pada dinding raksasa. Beberapa bulan kemudian, perwakilan Lomografi berdiri di Berlin, Jerman. Ini merupakan ujung tombak regional untuk mengatur acara-acara dan anggota pencinta Lomografi.
Berangkat dari sukses tersebut, perwakilan Lomografi menyebar ke mana-mana. Saat ini, dapat ditemukan 60 lokasi dari lima benua. Konsep tur Lomografi juga dilansir. Dengan begini, rencana-rencana berburu foto antar-anggota berkembang baik.
Sejak ”reborn” kembali di Austria itu, Lomo pun menyebar ke sudut-sudut dunia, tak terkecuali Indonesia. Tercatat lebih dari 500.000 anggota komunitas Lomografi yang tersebar di mancanegara.
Gerakan Lomografi berhasil mengambil posisi sebagai komunitas katalis dalam abad tanpa batas komunikasi ini. Posisi yang jelas itu berkat permainan kombinasi antara teknologi sederhana dan teknologi tinggi serta penggabungan budaya dengan fotografi dan desain komersial.
Walau dengan kamera tradisional, kita dituntut mampu berkreasi dengan baik meski dibekali alat yang tergolong berteknologi sederhana. Biarpun dengan kamera sederhana, hasil foto yang kita dapat juga bisa mengejutkan. Bukan cuma bagus, tetapi juga bisa membuat beda. Beda dari hasil foto yang umum. Apalagi, bila mengikuti pakem Lomografi: jangan pernah berpikir untuk memotret objek!
Di Indonesia, kamera lubang jarum coba dipopulerkan oleh Ray Bachtiar. Fotografer profesional ini menyadarkan publik, perkenalan dengan kamera lubang jarum menuntut sikap yang berbeda serta kematangan yang lebih dari seorang fotografer. Inilah yang menarik ketimbang sebuah teknik baru.
Memotret memang bisa merekam seabrek objek dan bisa berkembang ke mana-mana. Namun, kejelian menangkap subyek tentu menjadi keunikan tersendiri. Misalnya, bila gambar yang kita besarkan itu menjadi pecah, tak perlu buru-buru kecewa. Siapa tahu, pecahnya gambar tadi justru membuat efek foto yang dihasilkan menjadi berbeda.
Pasar di negara kita memang unik. Di sini, orang-orang belum terbiasa mendapati barang dagangan yang berdaya seni tinggi, seperti kamera Lomo ini. Walhasil, begitu ditawarkan produk tersebut, sebagian besar orang langsung beringsut. ”Namun, ingat jualan Lomo itu bukan sekadar kameranya. Tetapi justru gaya hidup yang mau kita dapat,”
(SH/bayu dwi mardana) dan SInar Harapan

 
  

Tidak ada komentar: