Kisah Tentang Awal Lomografi
”Pakai Lomo itu yang dilihat bukan cuma hasil (foto) tapi
malahan kesenangannya. Pokoknya fun abis lah kalo pake Lomo,” cetus Amanda
Syarfuan (21) dan Shinta Handamari (21). Amanda Syarfuan menegaskan, ”Gue
pribadi, seneng dengan culture-nya. Kita tuh berada di tengah sesuatu yang
bener buat gue tetapi buat orang lain belum tentu.”
Lomografi tercipta dari St. Petersburg, Rusia. Ini merupakan
sebutan bagi karya-karya foto yang dihasilkan dari kamera Lomo buatan negeri
beruang merah itu. Kamera Lomo Kompakt Automat sebetulnya sudah tercipta pada
awal 80-an, namun sempat tenggelam selama sepuluh tahun. Awal 90-an beberapa
mahasiswa asal Austria kembali menggali keindahan, keunikan dan keotentikan
karya foto Lomo.
Fenomena lomografi berawal dari kawasan St. Petersburg,
Rusia. Ceritanya, Jenderal Igor Petrowitsch Kornitzky – orang kepercayaan
Menteri Pertahanan dan Industri Uni Sovyet (ketika itu) penasaran dengan sebuah
benda aneh. Tak lama, sang Jenderal melemparkan kamera mini buatan Jepang ke
meja kammerad Michail Panfilowitsch Panfiloff.
Sebagai petinggi LOMO Russian Arms and Optical – pabrik
senjata dan alat-alat optik Uni Sovyet – Panfiloff segera meneliti kamera
tersebut. Tak ada yang aneh, pikirnya. Ia terus mempelajari kamera mini itu
dengan saksama. Dari ketajaman lensa, sensitivitas blitz hingga badan kamera
yang tangguh serta kompak.
Keduanya sepakat: kamera ini patut ditiru dan dikembangkan
desainnya. Tujuan akhir mereka, memproduksi secara massal kamera serupa hingga
bisa menyenangkan dan menjadi kebanggaan warga Soviet. Dari sinilah, pada 1982,
diputuskan untuk membuat Lomo Kompakt Automat. Kedua orang itu ingin setiap
warga terhormat komunis punya kamera ini.
Kelahiran pertama Lomo ditandai keluaran jenis pertama yang
akrab disebut Lomo LC-A. Jutaan kamera segera diproduksi dengan cepat dan
terjual habis. Orang-orang Soviet dan kolega mereka yang tersebar di Vietnam,
Kuba dan Jerman Timur dengan bangga merekam masa-masa akhir kejayaan komunis
sepanjang era 80-an. Kadang-kadang, mereka memakai untuk pelesiran di Laut
Hitam.
Begitu era komunis usai, kisah Lomo ikut berhenti berdenyut.
Maklum, kamera kompak ini jelas kalah dengan buatan sejenis dari negara-negara
kapitalis. Siapa yang percaya memakai produk komunis? Lalu, kisah Lomo berakhir
sampai di sini? Ternyata tidak.
Lomo kembali muncul berkat penjelajahan Matthias Fiegl dan
Wolfgang Stranzinger, dua mahasiswa Viennese Austria. Sambil pelesiran –
kebetulan waktu itu negeri demokrasi Ceko baru saja berdiri – pada 1991
keduanya main-main ke negeri ini. Ketika itu, popularitas LC-A nyaris tamat.
Kamera Lomo LC-A yang mereka temukan itu betul-betul tak
terurus. Kotor dan kusam, dan paling menyebalkan baterainya harus diimpor dari
Asia. Kamera ini hanya bisa ditemukan di toko kamera lawas (istilah kerennya:
old-school camera shop). Tahu kondisi seperti itu, kedua mahasiswa Viennese
Austria tadi tak surut langkah. Iseng-iseng mereka beli beberapa kamera. Hanya
untuk senang-senang saja. Usai membeli, mereka merekam seabrek objek. Gemerlap
jalan-jalan di Praha, Ceko. Dengan semangat mereka jeprat-jepret apa saja, ada
yang dari atas kaki, di antara kaki malah ada juga yang dari batas pinggul.
Kadang-kadang, membidik lewat viewfinder. Pokoknya, ambil gambar ala suka-suka,
tak ada batasan yang mengikat. Untuk sementara, teori-teori fotografi
ditinggalkan sejenak.
Begitu kembali ke Vienna, beberapa mahasiswa itu segera
proses film. Rupanya, penasaran juga dengan hasil jepretan di Praha. Ketika
hasil jepretan ada di tangan, mereka kembali terkejut. Wow! Ribuan gambar
kecil, memikat, sedih, garis yang berkilat-kilat dari tur kecil mereka itu.
Fokus yang indah! Sebaliknya, gambar-gambar yang tak fokus tak mengecewakan
mereka. Sebab, gambar itu terasa segar dan menawan dari kehidupan sehari-hari
di Republik Ceko. Keterkejutan ini patut dimaklumi karena mereka sebelumnya tak
pernah menemukan gambar yang menakjubkan dan memesonakan mata dari semua
kehebohan tadi.
Rentang waktu 1992 – 1993, menjadi waktu penting atas
kebangkitan Lomografi. Matthias Fiegl dan Wolfgang Stranzinger segera woro-woro
ke mana-mana. Dengan gigih, keduanya mengajak teman, kerabat dan bahkan orang
yang tak mereka kenal untuk mau mencoba Lomo. Sampai akhirnya, mereka
mendirikan klub pencinta Lomo: The Lomographic Society (Lomographische
Gesellschaft) di Vienna. Tujuan klub ini hanya satu: menyebarkan pesan
Lomografi ke seluruh dunia. Kini, klub ini menampung lebih dari 500.000 pehobi
Lomo yang setia, termasuk di Indonesia.
Pada 1994, eksibisi lomografi pertama kali di gelar di
Moskow, Rusia dan New York, Amerika Serikat. Di kedua kota tersebut, ribuan
jepretan dari kamera Lomo dipampangkan pada dinding raksasa. Beberapa bulan
kemudian, perwakilan Lomografi berdiri di Berlin, Jerman. Ini merupakan ujung
tombak regional untuk mengatur acara-acara dan anggota pencinta Lomografi.
Berangkat dari sukses tersebut, perwakilan Lomografi
menyebar ke mana-mana. Saat ini, dapat ditemukan 60 lokasi dari lima benua.
Konsep tur Lomografi juga dilansir. Dengan begini, rencana-rencana berburu foto
antar-anggota berkembang baik.
Sejak ”reborn” kembali di Austria itu, Lomo pun menyebar ke
sudut-sudut dunia, tak terkecuali Indonesia. Tercatat lebih dari 500.000
anggota komunitas Lomografi yang tersebar di mancanegara.
Gerakan Lomografi berhasil mengambil posisi sebagai
komunitas katalis dalam abad tanpa batas komunikasi ini. Posisi yang jelas itu
berkat permainan kombinasi antara teknologi sederhana dan teknologi tinggi
serta penggabungan budaya dengan fotografi dan desain komersial.
Walau dengan kamera tradisional, kita dituntut mampu
berkreasi dengan baik meski dibekali alat yang tergolong berteknologi
sederhana. Biarpun dengan kamera sederhana, hasil foto yang kita dapat juga
bisa mengejutkan. Bukan cuma bagus, tetapi juga bisa membuat beda. Beda dari
hasil foto yang umum. Apalagi, bila mengikuti pakem Lomografi: jangan pernah
berpikir untuk memotret objek!
Di Indonesia, kamera lubang jarum coba dipopulerkan oleh Ray
Bachtiar. Fotografer profesional ini menyadarkan publik, perkenalan dengan
kamera lubang jarum menuntut sikap yang berbeda serta kematangan yang lebih
dari seorang fotografer. Inilah yang menarik ketimbang sebuah teknik baru.
Memotret memang bisa merekam seabrek objek dan bisa
berkembang ke mana-mana. Namun, kejelian menangkap subyek tentu menjadi
keunikan tersendiri. Misalnya, bila gambar yang kita besarkan itu menjadi
pecah, tak perlu buru-buru kecewa. Siapa tahu, pecahnya gambar tadi justru
membuat efek foto yang dihasilkan menjadi berbeda.
Pasar di negara kita memang unik. Di sini, orang-orang belum
terbiasa mendapati barang dagangan yang berdaya seni tinggi, seperti kamera
Lomo ini. Walhasil, begitu ditawarkan produk tersebut, sebagian besar orang
langsung beringsut. ”Namun, ingat jualan Lomo itu bukan sekadar kameranya.
Tetapi justru gaya hidup yang mau kita dapat,”
(SH/bayu dwi mardana) dan SInar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar