TRANSKRIP
DISKUSI PUBLIK
“IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
TERHADAP KASUS BOM BALI”
Hotel Acacia,
Jakarta, 19 Agustus 2004
Mardjono
Reksodiputro
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Diskusi
ini merupakan salah satu dari sejumlah diskusi publik yang telah diselenggarakan
selama ini oleh Komisi Hukum Nasional (KHN). Maksud diselenggarakan acara ini
adalah mengajak masyarakat pers, awam, maupun dari kalangan komunitas hukum
untuk memperdebatkan isu-isu hukum yang penting untuk pembangunan hukum dan
sistem hukum di Indonesia.
Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan UU No. 16/2003 mempunyai implikasi
luas. Dampak jangka panjangnya berkaitan dengan kewenangan penuntutan pelaku
kasus bom Bali dengan memakai UU Terorisme yaitu UU No. 2/2002. Dampak ini
menyinggung para terpidana, maupun mereka yang merupakan terdakwa (sedang
disidangkan), ataupun tersangka (belum disidangkan). Para advokat pembela
mereka tertantang akan memberi penafsiran atas putusan ini untuk keuntungan
klien-klien mereka. Yang jelas, MK dan
putusan-putusannya sekarang ini di Indonesia, haruslah diperhitungkan, harus
diperhatikan benar-benar oleh komunitas hukum karena dapat membuat landmark decisions, yaitu putusan-putusan
yang memberi arah baru di dalam perkembangan hukum di Indonesia. Putusan
semacam ini akan mengubah penafsiran atas konsep dan asas hukum tertentu, yang
dikaitkan tentu dengan konstitusi kita.
Serupa
tapi tidak sama dengan putusan Supreme
Court di Amerika Serikat, yaitu tentang segregasi di bidang pendidikan
antara kulit putih dan kulit hitam, serta putusan tentang bantuan hukum bagi
tersangka dalam rangka due process of law
yang diamanatkan oleh konstitusi Amerika Serikat. Putusan-putusan tersebut
telah menimbulkan gelombang debat yang luas, tidak saja di komunitas hukum,
tetapi jauh ke dalam lingkungan warga masyarakat umumnya. Pada waktu itu
persoalan yang diangkat oleh Supreme Court Amerika Serikat menyangkut
soal hak asasi warga berkulit hitam dan orang miskin yang tidak dapat membiayai
advokat.
Implikasi
putusan MK terhadap pelbagai kehidupan hukum di Indonesia sebaiknya kita simak
dengan cermat, khususnya yang terkait dengan asas non-retroaktif maupun tentang
delik dalam hukum pidana internasional. KHN pada hari ini mengajak partisipasi
sejumlah pakar di bidang penuntutan, dari kalangan advokat, dari kalangan
akademisi untuk turut berdiskusi. Atas kesedian mereka berpartisipasi
disampaikan terima kasih. Kami pun telah mengundang sejumlah tokoh utama dalam
rangka putusan MK di atas, yaitu dari Tim Pengacara Muslim, wakil dari Mahkamah
Konstitusi, dan seorang Pakar Hukum Tata Negara yang pernah menjadi saksi ahli
untuk putusan tersebut. Terima kasih pula atas kehadiran mereka. Semoga diskusi
ini akan ada manfaatnya untuk para hadirin sekalian. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Master of Ceremony (MC)
Terima kasih kepada Bapak Prof. Mardjono.
Selanjutnya untuk mengawali diskusi kami persilahkan kepada moderator Bapak
Firmansyah Arifin, S.H. dan kepada para pembicara Bapak Frans Hendra Winarta,
S.H., Bapak Prof. DR. Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Bapak Sudhono
Iswahyudi, S.H, serta Bapak Luhut MP Pangaribuan, S.H., LL.M untuk menempati
tempat yang telah disediakan.
Moderator: Firmansyah Arifin
Terima kasih atas waktu yang telah diberikan oleh
panitia atau pembawa acara. Selamat pagi, Assalamu’alaikum Wr. Wb, salam
sejahtera untuk kita semua. Para peserta diskusi publik, Bapak ibu serta
saudara-saudara sekalian yang
berbahagia, para nara sumber yang telah hadir di tengah-tengah kita
semua.
Berkaitan dengan putusan MK yang membatalkan UU No.
16/2003 sebagaimana kita telah ketahui, banyak mengakibatkan atau berimplikasi
pada beberapa persoalan yang terkait dengan kompleksitas atau
persoalan-persoalan hukum yang terjadi kemudian. Paling tidak ada 3 hal yang
kemungkinan terjadi atau diimplikasikan terjadi dari putusan MK. Pertama,
barangkali apakah kemudian tidak terjadi semacam kekosongan hukum terhadap para
pelaku bom Bali dengan kejadian instrumen yang telah dibatalkan oleh MK yang
digunakan untuk menjerat pelaku atau orang-orang yang diduga menjadi pelaku
peledakan bom di Bali. Kedua, paling tidak apakah tidak terjadi semacam
implikasi hukum terhadap baik tersangka, terdakwa, maupun terpidana yang sudah
diproses lewat pengadilan sebelumnya, dengan pembatalan pemberlakukan UU No.
16/2003 ini. Yang terakhir yang saya kira menarik juga untuk
didiskusikan adalah apakah putusan MK dapat dijadikan sebagai novum, khususnya
bagi terpidana untuk mengajukan Peninjauan Kembali kepada MA.
Tiga hal ini memang sudah didiskusikan, diperdebatkan
di beberapa tempat, di mass media juga. Tapi paling tidak pada kesempatan kali
ini kita coba menelaah lebih lanjut, mencoba melihat secara komprehensif
beberapa hal yang sudah saya coba garisbawahi tadi. Atau juga mungkin dari
Bapak Ibu sekalian punya catatan-catatan sendiri dari implikasi putusan MK ini.
Seperti yang telah disampaikan tadi, di
tengah-tengah kita sekarang ini sudah ada 4 (empat) nara sumber yang akan
menyampaikan permasalahannya berkaitan dengan tema diskusi kita kali ini. Yang
pertama Bapak Sudhono Iswahyudi, dari Kejaksaan, sebagai nara sumber pertama.
Yang kedua dilajutkan dengan Bapak Prof. DR. Ronny Rahman Nitibaskara, yang
ketiga Bapak Luhut MP Pangaribuan, yang keempat dari Komisi Hukum Nasional
Bapak Frans Hendra Winarta. Kita langsung saja saya kira untuk kesempatan
pertama saya persilahkan Bapak Sudhono Iswahyudi untuk menyampaikan beberapa
hal yang berkaitan dengan tema kita kali ini. Silahkan Pak, selama 10 menit
kurang lebih.
Sudhono Iswahyudi
Bismillahirrohmannirohiim. Assalamu’alaikum
wr. Wb. Bapak ketua Komisi Hukum Nasional beserta anggota, para hadirin
sekalian terutama para pakar yang hadir pada kesempatan kali ini. Pertama-tama
kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada jajaran
Kejaksaan sebagai salah satu pilar penegakan hukum di Republik ini, untuk
menyampaikan beberapa pemikiran sehubungan dengan putusan MK yang berkaitan
dengan penegakan hukum terhadap kasus bom Bali. Kita katakan saja demikian.
Waktunya singkat sehingga langsung saja kami sampaikan pokok-pokok pemikiran
yang dapat menjadi bahan mewarnai dalam diskusi yang menyangkut implikasi
putusan MK tersebut.
Dari aspek yuridis praktis, pertama, putusan
MK yang substansinya telah menolak pemberlakukan UU NO. 16/2003 tentang
Pemberlakuan Perpu No. 2/2002 yang memberlakukan Perpu No. 1/2002 khusus untuk
kasus bom bali. Dan substansi kedua adalah putusan MK yang menyatakan bahwa UU
No. 16/2003 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Walaupun mungkin
Bapak-Bapak sudah mengetahui latar belakang putusan tersebut tapi kiranya kita bisa
mereview sebentar yaitu tentang substansi dari tuntutan atau permohonan kunci
pelaku kasus bom Bali yang bernama Masykur Abdul Kadir.
Substansi tuntutan dari Masykur Abdul Kadir
pada intinya adalah sebagai berikut. Pertama, Amandemen II UUD 1945
Pasal 28I ayat (1) berbunyi “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.” Kemudian alasan Kedua, TAP MPR RI
No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan
Pasal 2 menyatakan bahwa “tata urutan perundang-undangan merupakan pedoman
dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya”. Pasal 4 ayat (1) dalam TAP
tersebut berbunyi “sesuai dengan tata urut perundang-undangan di Indonesia,
maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
aturan hukum yang lebih tinggi.” Yang Ketiga, bahwa UU No. 16/2003
jo Perpu No. 2/2002 secara materiil bertentangan dengan UUD 1945 yang telah
diamandemen, karena memberlakukan secara surut atau retroaktif terhadap UU No.
15/2003 jo Perpu No. 1/2002 tentang Terorisme. Oleh karena itu Perpu atau UU
No. 16/2003 tersebut batal demi hukum, oleh karena itu harus dicabut. Yang Keempat,
jaksa dalam dakwaannya mendakwakan Masykur Abdul Kadir (pemohon uji), membantu
para pelaku Tindak Pidana Terorisme di Denpasar Bali yang terjadi pada tanggal
12 Oktober 2002, yaitu sebelum keluarnya UU No. 16/2003 jo Peprpu No. 2/2002
yang memberlakukan Perpu No. 1/2002 tentang Terorisme. Yang Kelima,
bahwa tindakan DPR RI yang telah mengesahkan kedua UU tersebut dinilai telah
bertindak secara tidak adil/diskriminatif dalam menyikapi kasus bom Bali
dibandingkan dengan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan lainnya di Indonesia
seperti di Ambon, Poso, dan Kalteng sehingga hanya memberlakukan kasus bom Bali
sebagai kejahatan kemanusiaan.
Kemudian kalau latar belakang pembentukkan
Perpu saya kira kita semua sudah dapat mengikuti semuanya. Kemudian
implikasinya dari penegakkan hukumnya bahwa dari segi penerapan dan penegakkan
hukum dari kasus bom Bali, putusan MK No. 013/PUU-I/2003 atau kita sebut saja
putusan MK No. 013, memberi implikasi yuridis, menurut hemat kami adalah sebagai
berikut, Pertama, memberi para terdakwa perkara bom Bali yang sudah memperoleh putusan
pengadilan – pertama yang dikelompokkan bagi mereka yang sudah berkekuatan
hukum tetap dan yang kedua adalah bagi mereka yang belum berkekuatan hukum
tetap. Berdasarkan Pasal 47 UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa putusan MK mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Dengan demikian putusan
MK tersebut secara yuridis mulai berlaku sejak 23 Juli 2004. Oleh karena jumlah
kasus perkara bom Bali seluruhnya adalah 33 berkas perkara. Dari 33 itu, 25
sudah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, artinya sudah pada
proses banding dan kedua pihak sudah terima, belum ada yang mengajukan PK. Yang
memohonkan grasi sudah ada, dan 2 permohonan sudah ditolak. Dari 25 putusan
yang berkekuatan hukum tetap tersebut, berdasarkan bunyi materi Pasal 47 UU No.
24/2003, maka kami berpendapat bahwa putusan MK No. 013 tersebut tidak
mempunyai implikasi secara yuridis terhadap kasus bom Bali yang sudah diputus
dan berkekuatan hukum tetap, termasuk di antaranya adalah kasus yang diajukan
oleh pemohon uji materiil UU yaitu Masykur Abdul Kadir. Dengan demikian putusan
MK tersebut sudah tidak ada pengaruhnya dengan si pemohon uji, dan 24 berkas
perkara lainnya. Dan kemudian terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai
hukum tetap jumlahnya ada 8 perkara. Dari 8 berkas perkara itu yang 2 pada
proses tahap banding dan yang 6 dalam proses tahap kasasi. Dengan adanya
putusan MK tersebut kami berpendapat tentunya akan menjadi bahan pertimbangan
bagi hakim untuk menentukan sikap, apakah akan memutus perkara tersebut dengan
memperhatikan putusan MK yaitu akan menghentikan proses hukumnya dengan suatu
penetapan. Terhadap sikap yang akan diambil oleh hakim tersebut, tentu saja
masing-masing pihak baik JPU maupun terdakwa masih dapat melakukan upaya hukum
selanjutnya, yaitu pada proses atau jenjang tingkat peradilan yang sedang
berlangsung. Bahwa diantara para terdakwa kasus bom Bali tersebut perlu juga
kami sampaikan selain didakwakan dengan dakwaan melanggar Perpu No.1/2002 jo UU
No. 15/2003 mereka juga didakwakan dengan ketentuan-ketentuan pidana di luar
Perpu yaitu UU No. 12/Drt/1951 Pasal 1 dan Pasal 2. Dakwaan diajukan secara
berlapis baik kumulatif maupun subsidair. Walaupun kemudian hakim akan
mempertimbangkan putusan selanjutnya berdasarkan putusan MK di atas namun
berdasarkan fakta yuridis di persidangan mereka masih tetap dapat dikenakan
berdasarkan UU Pidana yang didakwakan yang lain.
Kemudian Kedua, bagi perkara-perkara
yang sedang dalam proses peradilan yang belum memperoleh putusan pengadilan
sampai saat ini belum ada. Oleh karena itu apabila mungkin nanti akan ditemukan
pelaku kasus bom Bali yang lain yang memang masih ada beberpa orang, antara
lain adalah Dulmafin, DR. Ashari, dan satu orang lagi yang masih anonim.
Apabila mereka ditemukan tentu saja penegak hukum akan menyikapi dengan
menggunakan instrumen aturan hukum yang lain, untuk dikenakan terhadap mereka.
Antara lain tentu saja dengan mengacu aturan umum KUHP serta yang selalu bisa
dikenakan adalah UU Drt No.12/1951. sampai saat ini masih belum ada proses
tersebut.
Kemudian Ketiga, implikasi putusan MK
terhadap terpidana kasus bom Bali yang sudah berkekuatan hukum tetap, apakah
mungkin akan diajukan PK dengan alasan novum. Kami berpendapat
berdasarkan ketentuan dalam Bab XVII bagian 2 Pasal 263 KUHAP ayat (2) butir a
menentukan bahwa upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya, yaitu
atas dasar, ayat (1) apabila terdapat keadaan baru (novum) yang menimbulkan dugaan
kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang yang masih
berlangsung, maka hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Atau terhadap
perkara itu diterapkan dengan ketentuan pidana yang lebih ringan, ayat (2) dst.
Menurut rumusan Pasal 263 ayat (1) butir a yang tersebut di atas, maka kami
berpendapat bahwa keadaan baru (novum) yang dimaksud adalah suatu keadaan yang
pada saat kejadian memang sudah ada, namun tidak dimunculkan di dalam proses
persidangan. Sehingga hakim bisa menyikapi dengan membebaskan atau melepaskan
dst. Oleh karena putusan MK No. 013 dikeluarkan pada tanggal 23 Juli 2004,
yaitu pada waktu sesudah selesainya perbuatan yang didakwakan oleh Jaksa
terjadi, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UU No. 24/2003 jo ketentuan di
dalam Pasal 263 KUHAP ayat (2) butir a, kami
berpendapat bahwa putusan MK tersebut tidak masuk dalam kategori novum
(hal yang baru) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 263 KUHAP. Dengan demikian putusan MK tersebut tidak dapat digunakan alasan
untuk mengajukankan PK terhadap putusan pengadilan kasus bom Bali yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Kemudian tentu saja kami mencoba masuk
kepada masalah teoritis, apakah putusan MK tersebut masih mungkin dikategorikan
novum berdasarkan perkembangan teori tentang hukum pidana yang sedang ada
perubahan setiap saat di dunia ilmu pengetahuan? Perkembangan hukum saat ini
memang telah mengenal dengan apa yang disebut sebagai aliran hukum normatif dan
sosiologis. Pandangan para ahli hukum normatif mengedepankan pentingnya prinsip
kepastian hukum khususnya di dalam hukum pidana. Karena dengan adanya kepastian
hukum akan adanya jaminan kepada masyarakat tentang adanya perlindungan atas
kepentingan-kepentingannya dan kepentingan masyarakat yang telah dicederai oleh
pelanggar hukum. Bagi penganut aliran hukum normatif maka putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali dengan adanya fakta baru yang
bisa dikategorikan novum tersebut, maka putusan tersebut tidak dapat ditinjau ulang atau direview. Berdasarkan fakta yang berlangsung selama ini, putusan MK bukan
merupakan hal yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHAP. Oleh karena
itu tidak mungkin dilakukan review atau PK.
Namun kita juga mengenal bahwa di samping
pandangan tersebut, bagi penganut aliran hukum sosiologis yang mengutamakan
rasa keadilan masyarakat. Dari aliran ini berpendapat, apabila memang ada suatu
keadaan yang dinilai dapat lebih mewujudkan rasa keadilan masyarakat yang
sebenarnya, maka selalu terbuka kemungkinan untuk dilakukan koreksi terhadap
setiap putusan walaupun sudah berkekuatan hukum tetap. Masalahnya apakah dengan
adanya putusan MK No. 013 tersebut dapat dijadikan alasan bagi para terpidana
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk mengajukan PK? Hal tersebut
dapat diterima oleh rasa keadilan masyarakat secara umum di Indonesia. Apalagi
bila sampai putusan PK itu dapat membebaskan para terpidana dari jerat hukum,
apakah rasa keadilan masyarakat dapat terpenuhi atau justru sebaliknya? Penulis
berpendapat baik dari pandangan aliran hukum normatif maupun sosiologis dengan
logika hukum apapun sungguh tidak dapat diterima dan sangat menusuk rasa
keadilan masyarakat, apabila sampai para terdakwa kasus bom Bali yang
jelas-jelas telah terbukti dan mengakui perbuatannya tersebut dapat dibebaskan
demi predikat novum dan mereka bisa kembali berkeliaran di tengah masyarakat. Sungguh
merusak nilai-nilai keadilan yang sedang kita tegakkan. Saya kira itulah yang
ingin saya sampaikan, terima kasih, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Firmansyah Arifin
Terima kasih Pak Sudhono. Sedikit saya mau
memperjelas beberapa poin yang tadi Pak Sudhono sudah sampaikan. Yang pertama
soal jumlah berkas perkara itu, tadi Pak Sudhono menyampaikan ada 33 berkas
perkara berkaitan dengan kasus bom Bali, itu diklasifikasikan menjadi 2. Jadi
25 berkas perkara yang sudah mempunyai putusan tetap, dianggap sudah
berkekuatan hukum tetap karena ada proses banding, dan dalam proses banding itu
ada beberapa yang sudah menerima putusan pengadilan. Kemudian yang kedua belum
mempunyai kekuatan hukum tetap, karena ada proses banding.
Sudhono
Iswahyudi
Sebentar kami jelaskan. Dari 33 berkas
perkara 25 sudah berkekuatan tetap, sisanya tinggal 8. Dari 8 itu, 2 sedang
proses banding dan 6 dalam proses kasasi.
Firmansyah Arifin
Dari klasifikasi yang sudah dibuat oleh Pak
Sudhono, paling tidak poin yang sudah saya catat juga tadi adalah bagi si
Pemohon itu sendiri, Masykur Abdul Kadir, dianggap tidak ada implikasi atau
pengaruh dari putusan MK. Karena sudah masuk dalam kategori, putusan pengadilan
sebelumnya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kemudian di luar proses
pembatalan itu, masih bisa sebenarnya digunakan beberapa peraturan perundangan
yang lain, baik dari KUHP maupun UU Drt No. 12/1951. Yang menarik juga yang
dikatakan Pak Sudhono tadi adalah berkaitan dengan implikasi tadi. Yang belum
mempunyai kekuatan hukum tetap dari seluruh tersangka atau terdakwa perkara bom
Bali, itu putusan MK ini dianggap tidak masuk atau tidak bisa digunakan sebagai
novum. Apakah ini pendapat Pak Sudhono atau bisa mewakili sebagian kalangan
Kejaksaan yang melihat proses perkara ini?
Sudhono
Iswahyudi
Jadi yang mungkin ada implikasinya adalah
putusan pengadilan terhadap perkara-perkara bom Bali yang belum berkekuatan
hukum tetap, karena masih ada proses banding atau kasasi. Dan untuk ini hakim
masih bisa mungkin mempertimbangkan adanya putusan MK yang bisa berakibat pada
penemuan keputusannya.
Firmansyah
Arifin
Baik kalau begitu kita lanjut kepada
pembicaar kedua, Pak Ronny Rahman Nitibaskara, mungkin yang akan disampaikan
adalah lebih banyak meninjau iimplikasi putusan MK dari aspke atau bidang
sosiologis. Silahkan Pak Ronny.
Ronny
Rahman Nitibaskara
Terima kasih Pak.
Bismillahirrohmanirrohiim, Assalamu’alaikum wr. wb, salam sejahtera selamat
pagi. Yang saya hormati Prof. Mardjono Reksodiputro, kawan-kawan dari KHN,
rekan-rekan para panelis dan yang hadir di acara ini. Pertama-tama saya ucapkan
terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk turut serta urun rembug dalam
forum ini, saya merasa sangat terhormat dan kebetulan para panelis saya kenal
semua. Mulai dari yang paling ujung sebelah kiri itu adalah pengacara terkenal
Pak Luhut Pangaribuan, itu orang batak tapi gayanya gaya Solo, mirip Prof. Dr.
Bismar Siregar, Pak Jampidsus saya kenal waktu di Bandung dan Pak Frans Hendra
Winarta adalah saya lebih kenal baik dengan anaknya yang cantik, mahasiswa saya
yang cantik, S2. Karena waktunya sangat singkat saya akan mencoba memenuhi
waktu yang hanya 10 menit.
Sebagaimana yang kita ketahui 4
dari 9 hakim majelis mengajukan dissenting
opinion. Dan menurut hemat saya kalau kita mencoba memeras masalahnya
menjadi 2 persoalan saja, yaitu pertama
adalah asas non-retroaktif, dan kedua
mengenai definisi terorisme. Saya ingin mulai membahas yang kedua karena
terorisme yang sekarang lebih dipahami condong pada one dimentional conception on terrorism, padahal realitanya batasan
terorisme itu masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Implikasi dari tiadanya
definisi yang disepakati, barangkali dalam logika hukum MK tentu pada perumusan
teoriknya menjadi terganggu. Sehingga perlu adanya parameter yang sahih untuk
meletakkan peledakan bom di Bali sebagai kejahatan yang luar biasa, extraordinary crime. Sementara untuk
meningkatkannya lagi menjadi kejahatan kemanusiaan, crime against humanity, tentulah dibutuhkan ukuran yang lebih ketat
lagi.
Saya ingin menyinggung sedikit
pendapat Prof. Muladi yang mengatakan bahwa Tindak Pidana Terorisme dapat
dikategorikan sebagai mala perse atau
mala inse dan bukan mala prohibita. Artinya kejahatn
terhadap hati nurani menjadi jahat bukan karena diatur diatur oleh UU, tapi
pada dasarnya memang tercela. Nah untuk mendukung argumentasinya MK merujuk
negara pun dapat menjadi pelaku terorisme, state
terrorism. Untuk ini ada beberapa tulisan saya di Kompas yang membahas state terrorism. Alur pemikirannya
kira-kira begini. Kalau memang jatuhnya korban non combatant atau warga sipil dijadikan patokan bahwa peristiwa
bom Bali itu merupakan terorisme, lalu mengapa Amerika Serikat yang membom
Afganistan dan Irak dengan korban rakyat sipil yang ratusan ribu bahkan
sekarang telah menjadi jutaan, tidak secara resmi dunia menempatkannya sebagai
teroris. Demikian pula Israel tidak satupun negara di dunia ini yang berani
memperjuangkan di PBB bahwa negara Zeonis itu sebagai teroris. Sulitnya
menempatkan kedua negara itu sebagai teroris, nampaknya karena istilah hegemoni
makna. Mereka yang seakan-akan berkuasa untuk menentukan siapa yang teroris
siapa yang bukan. Hal semacam ini telah menjadi klasik dalam studi kriminologi,
bidang yang saya geluti, yaitu buah hukum untuk dikenakan yang diatur bukan
yang mengatur. Apabila mereka berperilaku sudah siap dengan payung hukum
sebagai pembenaran. Misalnya melakukan perang melawan terorisme (war terrorism), karena perang melawan
terorisme apapun sepak terjang pelaku bahkan yang melebihi terorisme
tidakdikategorikan sebagai terorisme malainkan excessive use of force, tindakan berlebihan dalam penggunaan sarana
paksa. Yang kedua alasan perang, alibi ini dalam wacana penggunaan kekerasan
tentu lebih santun dalam terorisme. Karena dalam perang ada payung hukum yang
membenarkan kekerasan yang mematikan (deadly
force). Tapi dalam praktiknya sebagaimana kita lihat perang seringkali
hanya menjadi ajang penghancuran dan pertumpahan darah. Legitimasi AS untuk
menumpahkan darah di Irak bisa saja menggunakan dalil-dalil hukum yang indah
dan masuk akal tetapi hal itu tidak menghapus realita bahwa yang dilakukan itu
tidak jauh dari terorisme.
Sementara kembali kepada problema
definisi terorisme, perlu saya sampaikan bahwa seorang ahli pakar yang
mempelajari terorisme Walter Riguld, dikatakan bahwa tidak kurang dari 160
konsep terorisme dengan berbagai sudut pandang. Di sini kita lihat tidak mudah
untuk merumuskan terorisme itu seperti apa. Jika serangan AS atau Israel
dianggap bukan sebagai teror karena tindakan itu dianggap sebagai
memperjuangkan ideologi hukum, pihak yang dituding sebagai teroris juga
memiliki motif yang sama, terutama bagi mereka yang selama ini ditempatkan
sebagai pengusung simbol-simbol garis keras. Seperti yang terungkap dalam
persidangan beberapa pelaku bom Bali, bahwa peledakan itu ditujukan kepada AS dan
sekutunya. Disini alasannya cukup logis bahwa AS memusuhi dan menghancurkan
Islam. Itu dalam pandangan Samudra dan kawan-kawan. Peledakan bom di Bali
bukanlah terorisme, melainkan war.
Karakter perang inilah yang menjadikan sebagian besar pelaku peledakan bom di
Bali tampak merasa tidak bersalah atas perbuatannya. Maka jatuhnya korban sipil
dianggap sebagai keniscayaan yang lumrah terjadi pada setiap orang.
Pertanyaanya lagi adalah mengapa harus di Bali? Hal ini semata-mata alasan
strategi. Perang ini digelar di semua front
dan lini. Kawasan yang menjadi target secara teoritis dalam kategori extended territory, termasuk JW Marriot, yakni bagian tak terpisahkan dari
sasaran utama, yaitu AS. Karena itu, sasaran tersebar di segala arah sepanjang
simbolisasi sasaran inilah yang menyebabkan serangan kepada AS dalam wacana
negeri adikuasa itu diberi istilah global
terrorism. Pihak barat, khususnya AS, cukup mahfum atas perkembangan perang
ini. Tak sedikit penulis yang menyadari bahwa “a global jihad movement that sees the West and secular values as the
enemy of islam” (Newsweek 2/2004). Bahkan
mereka juga menangkap dengan jelas dan cukup paham terhadap pesan-pesan seperti
yang disampaikan tokoh Al-Qaeda, Azman Al-Zawahiri, 52 tahun, yang mengatakan we Muslims are under attack, and we must
strike back. Tetapi penulis ini, meski telah paham dengan pesan tersebut,
tetap mengatakan pada tulisannya yang sama bahwa Al-Zawahiri sebagai, “the most powerfull terrorism in the world”. Oleh karena itu penamaan teroris
menunjukkan adanya relativitas makna terorisme.
Relativitas
tersebut pada akhirnya jelas semakin menyulitkan perumusan apa itu yang disebut
terorisme. Padahal kita tahu, implikasi dari kesulitan ini langsung berpengaruh
pada ketentuan pidana tindak pidana terorisme yang hendak dirumuskan. Sampai di
sini, barangkali problematika definisi sebagaimana dijadikan konsideran oleh MK
dapat kita dimengerti. Adalah tidak adil bahwa suatu perbuatan dengan kualitas
yang sama, bahkan lebih merusak, tidak disebut dan dihukum sebagai terorisme,
sementara perbuatan lain yang serupa justru ditempatkan sebagai terorisme.
Saya
sampai pada problematika hukumnya. Pak Yusril pernah mengatakan bahwa kasus
peledakan bom Bali yang sudah selesai disidangkan, penggunaan UU No.16/2003
tetap sah. Hal ini merujuk pada Pasal 58 MK. Namun terhadap kasus yang dalam
tahap persidangan, kalau tuntutan belum dibacakan, maka UU No. 16/2003 akan
dikesampingkan. Yang akan diteruskan adalah tuntutan subsider yang didasarkan
atas Pasal KUHP dan UU No. 12/1951. Untuk kasus yang belum dilimpahkan ke
pengadilan, masih dalam tahap penyidikan, maka UU No. 16/2003 itu akan
dikesampingkan sama sekali. Berpijak pada Pasal 58 UU No. 58 Tahun 2003 tentang
MK mengatakan, ”UU yang diuji oleh MK berlaku sebelum ada putusan yang
menyatakan UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945”, maka terhadap putusan
yang sudah in kracht dalam kasus bom Bali seperti sudah final, karena
memang UU No. 16/2003 itulah hukumnya. Tetapi persoalannya, untuk kasus yang
sama, kemudian para pelaku mendapat ganjaran hukuman yang sangat berbeda karena
perbedaan hukum yang mengaturnya, apakah pertanyaannya, adil? Untuk itu, besar
kemungkinan mereka yang sudah diputus akan mengajukan peninjauan kembali,
dengan novum pembatalan UU tersebut.
Sebagaimana
kita ketahui Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP mengatakan, PK dapat diajukan
apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan
itu telah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan. Apabila PK itu diajukan, kita tinggal
menunggu sikap dan pandangan MA terhadap terorisme, khususnya peledakan bom
Bali. Apabila MA berpendapat bahwa peristiwa di Legian, Kuta, patut dipercaya
pengadilan tertinggi itu akan tetap memberi ganjaran hukuman yang berat. Dasar
hukum yang dipergunakan sampai pada tingkat hukuman mati tidak terjadi
kekosongan, paling tidak dapat dipergunakan Pasal 340 jo Pasal 55 dan 56 KUHP
serta UU No. 12 (Drt) Tahun 1951 tentang Senjata Api. Ketentuan pidana dalam UU
No. 12/1951 cukup berat, yaitu pidana mati bagi mereka yang membawa, menyimpan
dan seterusnya senjata api dan bahan peledak. Rekan saya Pak Andi Hamzah pernah
mengatakan, kalau terdakwa bebas atau lepas dari tuntutan pembunuhan,
perampokan, dan pembajakan, ia tidak lepas dari delik membawa senjata api.
Artinya, terdakwa bom Bali bisa saja lepas dari ancaman hukuman yang terdapat
dalam UU No. 15/2003 tentang Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme menjadi UU, tetapi mereka sulit lepas dari ancaman
pidana yang sama beratnya dalam KUHP dan UU No. 12/1951. Uraian yang saya
sampaikan dari segi yuridis tersebut, walaupun sangat sederhana, semoga dapat
menjawab permasalahan yang diajukan dalam TOR diskusi publik ini.
Jelaslah
menurut hemat saya, tidak sepenuhnya
terjadi kekosongan hukum. Karena masih ada instrumen hukum lain yang dapat
dipergunakan untuk menjerat para pelaku. Karena tiadanya kekosongan hukum
tersebut, implikasi hukumnya terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana kasus
bom Bali tidak banyak. Pembatalan UU No. 16/2003 itu mungkin akan dijadikan
batu pijakan untuk PK, tetapi melihat realitas yang terjadi, rasanya sulit bagi
MA membebaskan para pelaku dari tuntutan hukum. Mungkin saja MA tidak menilai
pembatalan UU tersebut sebagai novum, sehingga permohonannya, ujung-ujungnya PK akan
ditolak. Wallahu a’lam bissawab. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Firmansyah Arifin
Ya beberapa poin yang disampaikan oleh Pak
Ronny diantaranya apakah bisa dijadikan sebagai novum atau juga ada
poin-poin yang sudah disampaikan oleh pembicara sebelumnya, bahwa kemungkinan
tidak akan terjadi kekosongan hukum terhadap pembatalan UU No. 16/2003.
Kemudian Pak Ronny juga melihat kayaknya, kesannya MK tidak akan menerima
putusan MK ini sebagai novum. Walaupun di awal, ini menarik apa yang
disampaikan oleh Pak Ronny dari sudut sosiologis atau kriminologis untuk
melihat relativitas terrorism itu berkaitan dengan adanya sebuah
hegemoni makna yang menunjukkan sebuah hukum itu bisa dikenakan bagi yang akan
diatur bukan yang mengatur. Ini dilihat dari aspek kasus bom Bali mencoba
membandingkan dengan kasus yang lain, masih terjadinya relativitas terrorism
itu sendiri yang kemudian dibakukan dalam bentuk hukum. Kemudian Bang Luhut
saya persilahkan untuk melihat dari beberapa aspek pidana yang menunjukkan
nanti ada implikasi-implikasi yang mungkin dari putusan MK.
Luhut MP Pangaribuan
Terima
kasih saudara moderator. Bapak dan Ibu sekalian mungkin saya akan berbicara
kurang dari 10 menit, sebagaimana yang direncanakan. Karena apa yang
disampaikan 2 panelis sebelumnya sudah cukup padat untuk bahan diskusi. Oleh
karena itu tidak perlu mengulang lagi apa yang disampaikan secara panjang
lebar. Dan yang kedua barangkali dalam diskusi publik siang hari ini, adalah
baik untuk memberikan kesempatan yang luas kepada 2 saksi ahli, yang saya baca
putusan MK itu, kepada mereka disandarkan pertimbangan-pertimbangan hukum.
Sehingga sampai pada amar yang mengatakan bahwa UU No. 16 itu bertentangan
dengan UUD 1945 dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.
Kalau
saya baca argumentasinya, Majelis MK itu banyak menyandarkan pada pendapat
ahli, yaitu yang pertama DR. Maria Farida dan Prof. Harun Alrasid. Terus terang
pengalaman saya sebagai praktisi dalam waktu yang cukup lama, terlepas dari pro
dan kontra terhadap putusan MK ini, argumentasi yang ada di dalam, jadi
argumentasi hukum yang ada dalam putusan ini, menurut hemat saya, itu sangat
kaya, sangat berbobot. Jadi kalau kita bandingkan dengan putusan MA, putusan
pengadilan sebelumnya, apa yang dilakukan oleh MK itu merupakan satu proses reasoning dalam
dunia hukum yang sangat baik. Terlepas dari posisi mana kita menempatkan diri,
apakah pro dan kontra. Dan apa yang dikatakan oleh Prof. Harun dan Ibu Maria
sangat baik. Termasuk di dalamnya mengenai dissenting opinion yang dilakukan oleh Majelis
yang lain. Oleh karena itu, mudah-mudahan saya kira kalau kita punya produk
putusan seperti ini dan kemudian ada kesempatan untulk mendiskusikannya, maka
para ahli hukum kita ini atau hukum kita itu pada waktunya akan baik. Sebab
adalah dalam praktiknya sekarang ini orang hanya melihat amar putusan, bukan
pertimbangan-pertimbangan hukumnya. Karena kita tidak pernah melihat sesuatu di
dalam pertimbangan hukum itu, tetapi kita mendapatkan sesuatu di dalam amar
putusannya. Jadi pertama, saya ingin
menyampaikan bahwa ini suatu putusan yang penuh dengan satu pendekatan, baik
saya lihat dari aspek hukumnya yang normatif, baik dalam yang bersifat hukum
internasional maupun nasional, termasuk juga di dalamnya diskusi mengenai
filsafat hukum. Saya kira secara hukum saya lihat ada di dalam putusan-putusan
itu. oleh karena itu barangkali dalam segala aspek itu kalau ada waktu bisa
kita diskusikan pada siang hari ini. Yang kedua,
sebagaimana di dalam TOR disampaikan ada 3 isu yang utama, tetapi ini lebih
pada sasaran praktis saya kira, yang juga di dalam tataran praktis terjadi juga
pro dan kontra.
Yang
pertama yang menjadi pertanyaan apakah terjadi kekosongan hukum? Tadi Prof.
Nitibaskara sudah menjawab dengan baik. Saya
kira tidak akan terjadi kekosongan hukum, karena yang dinyatakan bertentangan
dengan UUD adalah UU No. 16, sementara ada juga UU No. 15 yang berkaitan dengan
terorisme. Jadi artinya masih ada hukum yang berkaitan dengan terorisme, tapi
tentu saja itu nanti untuk perkara-perkara yang akan datang. Disamping juga ada
perundang-undangan yang lain yang berkaitan dengan tindak pidana. Tadi
dikatakan ada yang diatur di dalam KUHP, UU Drt Tahun 1951, dan saya kira ada
berbagai perundang-undangan. Jadi artinya bahwa hukum materiilnya tetap ada,
tapi barangkali secara teknis, mungkin pihak Penyidik atau Penuntut Umum,
termasuk Pengadilan, kalau tidak ada UU Teroris yang No. 16 ini pembuktiannya
itu mungkin lebih sulit, karena dalam proses pembuktian itu sangat ketat.
Ditanyakan faktanya apa, kemudian alat bukti apa yang bisa menerangkan fakta
itu. Di dalam UU Teroris saya kira yang dinyatakan tidak mengikat itu dan
bertentangan dengan UUD 1945, relatif saya kira, mungkin secara teknis untuk
membuktikannya. Jadi untuk mengajukan orang yang dianggap ada kaitannya dengan
teroris itu lebih mudah untuk dibawa ke Pengadilan dan diperiksa. Jadi banyak
pada aspek teknisnya. Oleh karena itu menjawab pertanyaan apakah akan terjadi
kekosongan hukum? Saya kira tidak akan terjadi kekosongan hukum dalam arti yang
umum. Mengenai pertanyaan yang kedua yaitu implikasi terhadap tersangka,
terdakwa, dan terpidana. Jadi ada 3 statusnya terhadap tersangka yang memang
sekarang ini, yang menjadi tersangka yang diduga menjadi teroris ini jumlahnya
cukup banyak, seperti yang sudah dikatakan oleh Pak Jampidsus tadi. Tapi kalau
saya lihat berita di Tempo, ini cukup banyak. Jadi yang masih belum diproses.
Sepengetahuan saya biasanya penyidik itu selalu menggunakan begitu banyak
pasal-pasal hukum yang dikenakan. Mungkin di dalam satu segi ini bisa merupakan
satu kelemahan karena di dalamnya bisa ada kesewenang-wenangan. Saya tidak
tahu, di sini ada Bapak Jaksa. Pengalaman saya kalau menemukan kasus-kasus
pidana, kalau ada peristiwa, pasal berapa saja yang akan dikenakan itu sangat
bergantung atau pada diskresi penyidik ybs. Dan tidak ada saya kira suatu
proses kontrol terhadap penentuan tuduhan apa yang akan dikenakan dalam suatu
peristiwa yang dilaporkan kepada penyidik. Jadi kalau misalkan kita pergi ke
Penyidik untuk membuat laporan, nanti bisa keluar berbagai macam pasal-pasal
perundang-undangan yang disebut “pukat harimau”. Oleh karena itu di dalam
proses Pasal 335 KUHP itu menjadi terkenal yaitu perbuatan tidak menyenangkan.
Terhadap semua peristiwa itu bisa dikenakan tindakan perbuatan tidak menyenangkan,
karena apa? Tentu ada alasan-alasannya, antara lain yang saya tahu bahwa
perbuatan tidak menyenangkan itu bisa ditahan. Jadi dikaitkan dengan pertanyaan
ini, saya tidak tahu persis Pasal berapa saja yang disangkakan kepada para
tersangka itu, saya kira banyak pasal. Nah yang dikatakan oleh MK sebagai tidak
lagi berlaku tentu saja dapat diteruskan penyidikannya dengan pasal-pasal
tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan yang lain. Karena
peristiwanya ada di sana tapi hukumnya saya kira yang menjadi persoalan. Nah
sama juga dengan yang sudah menjadi terdakwa sekarang ini. Mungkin yang menjadi
soal nanti adalah soal terpidana dan ini tadi sudah disampaikan yang berkaitan
dengan PK.
Apakah
putusan MK ini dapat dijadikan sebagai novum? Tadi sudah dikutip oleh
Prof. Nitibaskara Pasal 263 KUHAP, bahwa di sana dikatakan apabila ada keadaan
baru yang tidak diketahui ketika proses itu berjalan. Apa yang dimaksud dengan
keadaan baru itu tidak dijelaskan secara persis. Tapi menurut saya adanya
putusan MK ini bisa dianggap atau dijadikan sebagai keadaan baru sebagai alasan
untuk mengajukan PK. Karena dalam bagian yang lain Pasal 263 KUHP itu dikatakan
supaya jangan diterapkan ketentuan pidana yang lebih berat. Jadi kepada yang
bersangkutan supaya diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Antara lain
saya kira dengan penerapan UU No. 16/2003 ini lebih berat daripada UU yang
lain. Yang bersangkutan berhak untuk menggunakan ketentuan ini dalam melakukan
PK. Jadi itu implikasinya saya kira terhadap tiga isu yang menjadi pokok
diskusi ini.
Selanjutnya
ada hal yang menarik dari putusan MK ini yang saya lihat. Ada beberapa isu yang
dibicarakan, yaitu antara retroaktif,
dan impunity.
Jadi 2 hal ini saya kira yang didiskusikan dan dipertentangkan saya kira, dengan
argumentasi-argumentasi yuridis. Sama seperti yang dikatakan DPR dan Pemerintah
bahwa itu penerapan UU No. 16 tidak melanggar UUD 1945. Karena UUD 1945 itu dia
merujuk kepada satu kewajiban. Ada satu kewajban kalau ada kejahatan. Saya
tidak tahu di Pasal 28J kalau tidak salah itu mereka katakan. Jadi interpretasi
yang digunakan oleh Pemerintah dan DPR. Dan yang kedua mereka mengatakan bahwa
retroaktif itu sifatnya juga tidak absolut. Nah tidak absolutnya itu kalau
dikaitkan dengan impunity. Kalau itu diterapkan secara absolut maka nanti padsa
akhirnya akan ada kejahatan tanpa ada hukuman. Itu yang disebutkan dengan
impunity. Nah saya kira dipaparkan argumentasi itu dalam putusan saya kira
sangat baik. Tinggal saya kira pada akhirnya nanti dengan hakim bagaimana dia
akan menempatkan posisi. Jadi uraian yang disebut dengan retroaktif dan uraian
tentang impunity tadi. Dan kemudian juga dikatakan bahwa, ini argumentasi
mengenai UUD dan saya bukan ahli UUD, bahwa UUD 1945 juga menganut satu konsep,
bahwa yang namanya hukum dasar itu tidak hanya yang tertulis tapi juga yang
tidak tertulis.
Kemudian
saya kira di dalam putusan MK, pertimbangan MK masuk konsep keadilan dan
kepastian saya kira. Itu ada teorinya Hans Kelsen. Tapi argumentasi itu saya
kira cukup masuk akal apa yang akan disampaikan. Kemudian lebih jauh lagi yang
banyak diulas berkaitan dengan asas legalitas, yaitu asas nullum delictum nulla puna sine previe lege poenali. Yang kemudian ada di dalam perundang-undangan
kita ada di dalam KUHP. Tapi yang saya lihat di sana, dikatakan di sana bukan
UU tapi perundang-undangan ada yang menterjemahkan hukum. Jadi kalau misalnya
yang dimaksudkan adalah hukum, maka konsep keadilan itu menjadi bisa diterima.
Jadi maksud saya bahwa argumentasi yang mengatakan bahwa asas retroaktif itu
tidak mutlak menjadi bisa diterima manakala bisa dibenarkan oleh
penjelasan-penjelasan mengenai keadilan. Yang mungkin oleh filsafat dinamakan mazhab
hukum alam. Memang selalu begitu di dalam filsafat ada mazhab hukum positip dan
mazhab hukum alam. Jadi kalau yang dimaksudkan, itu, diterjemahkan
perundang-undangan atau hukum, saya tidak tahu persis bahasa Belandanya. Tapi
kalau perundang-undangan atau hukum berarti dia mempunyai konsepsi yang lebih
luas. Dan dikatakan juga bahwa yang mendahului asas nullum delictum ini ada asas nullum crimen sine poena, yaitu artinya yang disebut tadi dengan impunity, jadi kejahatan harus
ada hukumannya. Jadi di dalam putusan ini tidak ada satu akhir di dalam diskusi
ini, tapi ada satu yang sudah menjadi ketentuan di dalam perundang-undangan
kita, khususnya diberikan kepada hakim, bahwa hakim itu diwajibkan mengikuti hukum yang hidup dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Jadi artinya bahwa pada akhirnya saya kira,
dengan asas hukum yang mengatakan bahwa hakim boleh menggunakan hukum yang
hidup termasuk juga di dalamnya hukum yang tidak tertulis, di dalam putusannya,
karena hakim Indonesia kan tidak dilarang untuk menggunakan hukum yang tidak
tertulis dalam mengambil suatu putusan. Karena kan ada juga asas misalnya, tapi
ini di dalam hukum perdatra, hakim itu tidak boleh menolak perkara yang
diajukan kepadanya. Tapi di dalam ketentuan-ketentuan yang lain, hakim itu
mempunyai kewajiban, jadi sifatnya imperatif, untuk menangkap hukum yang hidup
dan menerapkan di dalam putusannya.
Saya
lihat bahwa perdebatan antara yang pro dan kontra di dalam putusan ini, saya
kira dapat menjadi bahan untuk hakim. Dan dasarnya itu adalah yang saya katakan
tadi bahwa di dalam UU Kekuasaan Kehakiman, dia wajib untuk mengikuti hukum
yang hidup dan berkembang yang disebut leading law. Jadi oleh karena itu kalau
ini diajukan ke MA dalam proses PK, kalau diajukan oleh Penuntut saya kira
tidak bisa karena ini akan ne bis
in idem. Dan kalau diajukan melalui
proses PK dan terjadi juga proses pemikiran yang sama di MA, dengan argumentasi
yang tadi,maka menurut hemat saya, kita akan mendapat satu sumber hukum yang
disebut dengan yurisprudensi. Yang barangkali nanti bisa mengimbangi sumber
hukum yang lain yang bernama UU melalui satu proses legislasi. Dan kenyataannya
sumber hukum kita itu masih mayoritas atau didominasi proses legislasi.
Sementara sumber dari putusan-putusan pengadilan itu masih kurang. Padahal
sistem hukum kita mengatakan bahwa dua-duanya dapat diterapkan di dalam
masyarakat. Saya kira itu secara singkat yang ingin saya sampaikan. Terima
kasih.
Firmansyah Arifin
Terima
kasih Bang Luhut. Saya langsung saja mau lanjutkan kepada Pak Frans Hendra
Winarta, dan selanjutnya nanti akan kita buka satu sesi forum diskusi sebelumnya
dengan para saksi ahli dan beberapa pihak yang terlibat dengan putusan MK ini.
Silahkan Pak Frans.
Frans Hendra Winarta
Baik
terima kasih saudara moderator. Jadi setelah kita mendengarkan 3 pembicara
terlebih dahulu, jadi pekerjaan saya lebih mudah. Saya tinggal merangkum saja
dari yang sudah ada. Tetapi terlepas dari itu saya juga ingin menambahkan
hal-hal yang sudah secara padat disampaikan oleh 3 pembicara. Karena saya
sendiri berpendapat putusan MK itu tentang pembatalan UU No. 16/2003 sebagai
sesuatu putusan bersejarah, yang biasa dikenal sebagai landmark decisions. Karena ini kan mempengaruhi ke arah mana nanti sistem hukum kita akan
berkembang. Mengingat begitu padatnya pertimbangan-pertimbangan dan para ahli
yang sudah memberikan sedemikian banyak masukan, sebelum putusan ini
dijatuhkan.
Ada hal
yang perlu diperhatikan dan saya catat dalam putusan MK ini adalah ketika ada dissenting
opinion dari 4 hakim di sana, bahwa menurut mereka UUD 1945 khususnya Pasal
28I ayat (1) tidaklah bersifat mutlak. Karena keberadaan Pasal 28J UUD 1945 itu
juga membatasi hak asasi seseorang dengan hak asasi orang lain. Dengan kata
lain hak asasi seseorang juga harus menghormati hak asasi orang lain, apalagi
jika berhubungan dengan hak asasi orang banyak yang bersifat umum. Keempat
hakim tersebut setuju diberlakukannya asas retroaktif secara terbatas. Dan
khusus mengenai para pelaku bom Bali ini karena rasa keadilan perlu
diberlakukan asas retroaktif yang terbatas. Dalam hal ini menurut mereka, rasa
keadilanlah yang harus diutamakan. Tadi sudah dibahas mengenai impunity dan
rasa keadilan. Inilah pendapat 4 hakim yang mengajukan dissenting opinion itu. Terlepas dari itu semua kita harus menghormati apa yang
diputuskan MK. Dan mengenai 3 hal yang dibicarakan pada pertemuan ini adalah
masalah kekosongan hukum, yang menurut saya secara singkat bisa dikatakan bahwa
sebetulnya tidak terjadi kekosongan hukum karena putusan MK ini. Apakah dengan
adanya putusan MK itu bisa membuat juga selain kekosongan hukum, mengakibatkan
para pelaku bom Bali bisa dibebaskan dari tuntutan. Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, kita bisa berpegang pada Pasal 58 UU No. 58 tentang MK. Inilah yang
belum dibicarakan oleh para pembicara tadi bahwa Pasal 58 ini dkatakan bahwa “UU
yang diuji oleh MK berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan UU tersebut
bertentangan dengan UUD 1945.” Berdasarkan Pasal tersebut, jelas bahwa UU
No. 16/2003 itu masih tetap berlaku bagi para pelaku peledakan bom Bali. Jadi
pada waktu sebelum ada putusan ini, itu berlaku, jadi putusan MK ini tidak bisa
berlaku surut. Dan inilah nanti perdebatan mengenai novum ini mungkin dari titik tolak
inilah MA bisa menganggap itu novum atau bukan. Apalagi terhadap putusan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap kasus peledakan bom Bali ini, bisa
menjadi bahan pertimbangan oleh MA.
Selanjutnya
bagaimana status perkara bom Bali yang masih dalam pemeriksaaan pengadilan itu,
setelah adanya putusan MK? Untuk menjawab itu kita harus kembali kepada prinsip
nullum delictum tadi. Para pelaku ini masih bisa dituntut dengan
menggunakan Pasal 340 jo barangkali tadi Pasal 55 dan juga UU Darurat Tahun
1951. Lalu bagaimana dengan putusan itu sendiri apakah itu bisa lebih ringan
atau tidak? Kalau menurut hemat saya UU Drt No. 12/1951, sebagai lex generali yang
sudah lebih dulu ada dan berlaku jauh sebelum UU No. 16/2003, itu diberlakukan
prinsip lex specialis
derogat lex generali, yang artinya tidak perlu
saya jelaskan lagi. Jadi tidak ada kekosongan hukum dalam hal ini, karena UU
yang sudah ada bisa diberlakukan kepada pelaku peledakan bom Bali. Implikasi
hukum terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana akan saya kupas lagi di sini.
Dengan
adanya pembatalan UU No. 16 tadi, juga akan menimbulkan akibat hukum kepada
tersangka, terdakwa, dan juga terpidana. Khususnya kepada tersangka, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak ada kekosongan hukum terhadap peristiwa
peledakan bom Bali. Sekarang yang dapat jadi permasalahan adalah bagaimana
landasan hukum dan implikasi permasalahannya terhadap para tersangka itu?
Terhadap para tersangka yang masih dalam proses penyidikan tidak dapat lagi
digunakan sebagai dasar hukum UU No. 16 untuk mengadili mereka. Aparat
Kepolisian, Kejaksaan harus kembali kepada KUHP dan UU No. 12/1951 dan juga
KUHAP. Hal ini disebabkan karena batalnya UU No. 16/2003. sedangkan terhadap
terdakwa kasus bom Bali yang telah, yang masih dalam proses persidangan atau
sedang mengajukan upaya hukum banding atau kasasi, tidak dapat digunakan lagi
UU No. 16/2003. seandainya dengan asumsi JPU menuntut terdakwa dengan dakwaan
berlapis dan ternyata itu Masykur Abdul Kadir tadi tidak akan kena hanya dengan
UU Anti Terorisme saja. Dan berdasarkan UU No. 16 maka dakwaan tersebut akan
dianggap gugur karena dasar hukum yang dipakainya sudah tidak mengikat lagi.
Untuk perkara yang sedang berjalan. Tetapi kalau nanti pengadilan menolak
dakwaan, dan menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima, maka JPU dapat
menuntut lagi berdasarkan UU yang berlaku, berdasarkan UU Drt No. 12/1951 atau
Pasal 340 KUHP. Akan tetapi jika JPU mendakwa terdakwa dengan dakwaan berlapis
dan juga menggunakan dasar hukum selain UU No. 16, misalnya dengan KUHP dan UU
Drt, maka dakwaan dari Jaksa masih tetap dapat diproses.
Bagi
para terpidana kasus bom Bali yang telah diputus oleh pengadilan, dengan
putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka putusan itu tetap berlaku dan dapat
dijalankan. Pembatalan UU No. 16 tidak berpengaruh terhadap putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Dasarnya adalah Pasal 58 UU MK. Satu-satunya peluang
bagi terpidana kasus bom Bali menurut hemat saya, untuk bebas dari putusan
pengadilan adalah dengan mengajukan PK. Dengan mengajukan PK ini nanti akan
tergantung dari pandangan MA sendiri apakah putusan MK dapat dianggap sebagai novum atau tidak. Saya juga tidak
akan menguraikan apa yang disebut dengan novum, karena sudah diuraikan
sebelumnya. Apakah nanti dianggap sebagai keadaan baru atau tidak itu terserah
kepada MA. Tapi yang akan saya tambahkan di sini adalah bahwa pada prinsipnya
asas retroaktif itu juga ditentang oleh International Criminal Court dan Declaration
of Human Rights. Namun prinsip retroaktif itu telah juga dipakai untuk
mengadili salah satu kasus perang dunia II. Dalam putusan Peradilan Nuremburg diperbolehkan prinsip retroaktif
diberlakukan. Salah satu argumentasi
yang dikemukakan Majelis Hakim pada waktu itu adalah bahwa prinsip non
retroaktif hanya berlaku bagi kejahatan biasa, sedangkan bagi kejahatan luar
biasa itu bisa diberlakukan. Nah ini mengenai apakah terorisme termasuk
dalam extra ordinary crime atau tidak juga menjadi perdebatan yang menarik untuk
diperhatikan. Peradilan Nuremberg dan Peradilan Tokyo, telah menciptakan satu
konsep hukum internasional baru yang penting yang kemudian diakui oleh PBB dan
diadopsi oleh hukum internasional dan dilaksanakan oleh Pengadilan Pidana
Internasional lainnya, yaitu prinsip baru yang diatur dalam Statuta International Military Tribunal,
Nuremburg dan International Military Tribunal for The Far East, Tokyo
antara lain pertanggungjawaban pribadi dan asas retroaktif tadi. Prinsip
pertanggungjawaban pribadi diatur dalam Pasal 6. Dalam persidangan tersebut
telah ditolak oleh para pengacara terdakwa prinsip retroaktif tersebut. Oleh
karena prinsip retroaktif tersebut bertentangan dengan prinsip hukum pidana
yang berlaku. Namun argumentasi ini ditolak oleh Majelis Hakim IMT dengan
alasan bahwa prinsip non retroaktif hanya berlaku bagi kejahatan biasa (ordinary crime). Sedangkan untuk extra ordinary crime dapat diberlakukan.
Pada kasus bom Bali kita harus
menelaah lebih jauh apakah kasus peledakan ini yang menewaskan 202 jiwa manusia
apakah dapat diberlakukan asas retroaktif ini karena peristiwa itu telah
menyebabkan ratusan nyawa melayang, dan banyak yang luka, cacat seumur hidup,
juga kerugian materiil dan immateriil yang tentunya bertentangan denga asas
keadilan, kalau pelakunya ini lepas dari tuntutan hukum. Kasus bom Bali, juga
mengakibatkan dampak negatif terhadap Indonesia di dunia internasional. Sebagai
salah satu sumber terorisme dan menjadi kantong teroris di Asia Tenggara.
Inilah yang mungkin seharusnya juga diperhatikan oleh majelis hakim MK pada
waktu itu. Rasa keadilan dan sifat kejahatan yang dilakukan harus benar-benar
dipertimbangkan dengan lebih teliti dan hati-hati. Terorisme sebagai kejahatan
luar biasa (extra ordinary crime) tidak bisa dihadapi secara
konvensional dan biasa seperti menghadapi kejahatan biasa (ordinary crime) tetapi harus dihadapi secara luar biasa pula antara
lain dengan memberlakukan asas retroaktif. Sebagai negara yang berdaulat
Indonesia tidak boleh tunduk begitu saja pada kemauan asing, tetapi juga bukan
berarti tidak sensitif terhadap isu global mengenai terorisme yang sudah
mendunia. Sebagai kejahatan berskala internasional terorisme ini. Kalau kita
catat ini kurang lebih sudah 60 negara meratifikasi Statuta Roma, kalau saya
tidak salah. Maka Statuta Roma itu juga perlu diperhatikan oleh kita. Mengingat
sudah demikian banyak negara yang meratifikasi Statuta Roma ini. Saya kira itu
saja yang ingin saya sampaikan sebagai tambahan terhadap para pembicara.
Firmansyah Arifin
Terima kasih Pak Frans Hendra.
Rasanya menurut saya tidak jauh berbeda dari 2 pembicara kita yang terakhir
ini, Pak Luhut Pangaribuan dan Pak Frans Hendra Winarta melihat idealis pokok
yang akan kita diskusikan pada kesempatan kali ini yaitu dengan melihat
implikasi putusan dari MK. Apakah memang terjadi kekosongan hukum? Bagaimana
implikasinya terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana dari kasus pemboman di
Bali? Dan apakah putusan MK tersebut bisa dijadikan dasar bagi pengajuan PK ke
MA? Beberapa argumentasi yang disampaikan juga tidak jauh berbeda. Tetapi yang
menarik menurut saya adalah dari kedua pembicara yang terakhir ini adalah
mencoba melihat putusan MK ini berimplikasi yang cukup positip atau menurut Pak
Frans Hendra bersejarah bagi penentuan
sistem hukum kita ke depan, mau diarahkan kemana nanti putusan yang dihasilkan
oleh MK ini.
Baiklah sesuai dengan yang sudah
direncanakan saya kira kita akan memberikan kesempatan kepada pihak yang lain,
yang terkait dengan putusan MK ini, yang berperan bagi dihasilkannya putusan MK
yang kita ketahui ini. Pertama kita berikan kesempatan, tanggapan kepada para
saksi ahli yang dihadirkan oleh MK dan juga hadir di tengah-tengah kita. Yang
pertama saya persilahkan Ibu Maria Farida untuk bisa memberikan sedikit
tanggapan terhadap apa yang didiskusikan kita pada hari ini.
DR. Maria Farida
Terima kasih. Pada waktu saya menjadi saksi ahli di
MK. Memang akhirnya saya yang pertama-tama, saya meninginkan bahwa apa yang
ingin saya ucapkan di sana. Dan pemikiran ini sudah jauh-jauh hari sebelumnya,
saya sudah melihat akan terjadi persoalan. Persoalan ini saya sudah dapat
mengira pada waktu kedua Perpu ini ditetapkan oleh Presiden. Di dalam Perpu ini
kita dapat melihat apa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Terorisme, itupun
tidak jelas dalam Perpu No. 1. Bisa dikatakan secara intinya yang dimaksud
Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan pidana yang diatur dalam
peraturan pemerintah pengganti UU ini.
Jadi dengan kata ini kalau saya ditanya apa yang
dimaksud dengan Tindak Pidana Terorisme, saya baca dulu Pasal 1 sampai Pasal
terakhir dari Perpu ini. Itu satu. Kemudian di dalam Perpu ini di Pasal yang
terakhir dikatakan bahwa ketentuan di dalam Perpu ini dapat diberlakusurutkan
apabila ditetapkan di dalam UU atau Peraturan Pemerintah Pengganti UU. Dari
segi perundang-undangan, sebetulnya dari Pasal ini, Presiden tidak usah
membentuk Perpu yang kedua yang menetapkan Perpu No. 1 berlaku untuk Bali. Tapi
dalam Pasal itu cukup ditambahkan kata “dan
untuk pertama kalinya Perpu ini ditetapkan untuk peedakan di Bali”. Jadi
saya sudah mengatakan dari awal bahwa Perpu No. 2 sebetulnya tidak perlu
dibentuk. Tapi dari segi perundang-undangan ini ada segi positip dan
negatipnya. Apalagi sekarang telah ada keputusan, kalau Perpu No. 1 dan Perpu
No. 2 itu digabung, maka orang akan menanyakan, jadi Perpu atau UU itu yang
dibatalkan yang mana, apakah yang hanya berlaku untuk Bali atau semuanya. Jadi
di sini kekosongan hukum lebih tajam lagi disoroti. Tapi dengan dituangkan
dalam 2 Perpu dan menjadi 2 UU maka Tindak Pidana Terorisme tetap ada
aturannya, tetapi untuk Bali ini yang dipermasalahkan.
Pada waktu saya ditanya oleh para Hakim MK, saya
memberikan kesaksian sesuai dengan peraturan dan hukum positip yang ada. Karena
saya pengajar perundang-undangan jadi saya melihat pada hukum positip
yangberlaku, maka pertama kali saya buka wetboek
van strafrecht Pasal 1 ayat (1) dan (2). Saya membaca di sana
dikatakan bahwa tidak ada satupun perbuatan dapat dipidana kalau tidak ada
undang-undang yang mengaturnya. Kalau ditanyakan apakah itu peraturan
perundang-undangan atau bukan? Karena di dalam wetboek van
strafrecht dalam eerste
boek Algemeene Bepalingen (Wet AB) itu dikatakan bahwa ”geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene
daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling.” Dan “bij verandering in
de wetgeving na het tijdstip waarop het feit begaan is, worden de voor den
verdachte gunstigste bepalingen toegepast.” Jadi aturannya adalah aturan UU
bukan peraturan perundang-undangan, karena kalau peraturan perundang-undangan bisa
yang lebih di bawah.
Kalau
saya melihat di sini pada waktu saya ditanyakan, “apakah betul kok demikian
perkara bom Bali tidak termasuk ke suatu kejahatan?”. Saya mengatakan bahwa
saya menganggap dan saya yakin bahwa bom Bali itu adalah suatu peristiwa
kejahatan, tetapi apakah itu merupakan kejahatan terorisme? Itu yang harus
dibuktikan dari unsur-unsurnya dan juga dia tetap dapat dipidana berdasarkan
peraturan-peraturan yang ada. Tetapi tidak dengan peraturan yang berlaku surut.
Dan pada waktu saya ditanya, “jadi apakah kok demikian adil bahwa yang bom Bali
itu adalah bukan Tindak Pidana Terorisme?”
Saya mengatakan, saya pengajar hukum teori perundang-undangan, saya
mengajar pada hukum positip, dan saya melihat pada peraturan-peraturan yang ada
dan ini juga dituangkan dalam UU tentang HAM, dan Pasal 28 UUD’45, di mana
dikatakan di sana bahwa tidak seorangpun dapat dituntut berdasarkan peraturan
yang berlaku surut dalam keadaan apapun. Jadi saya mengatakan di sini itu
sangat jelas di sana. Dan saya menganggap Pasal 28J itu suatu landasan yang
memperkuat Pasal 28I tersebut. Jadi di sini saya mengatakan, kalau peraturannya
hukum positip itu yang berlaku, tapi masalah keadilan itu tergantung pada
Bapak-Bapak hakim ybs.
Jadi
saya mengatakan di sini bahwa sebetulnya kalau kita melihat retroaktifnya,
memang saya ditanya tentang Statuta Roma, Perjanjian Internasional, saya
mengatakan saya tidak ahli dalam hukum Internasional. Jadi saya melihat itu,
dan kalau kita mengatakan bahwa, selalu orang mengatakan bahwa di samping hukum
dasar yang tertulis itu kita juga mengenal hukum dasar yang tidak tertulis.
Saya rasa bahwa sekarang ini orang mulai bingung juga, karena dalam aturan
tambahan No. 3 UUD dikatakan bahwa setelah ditetapkan UUD 1945 ini, maka UUD 1945
adalah Pembukaan dan Pasal-pasalnya. Sehingga orang menganggap itu semua
penjelasan tidak termasuk dalam UUD 1945, sehingga orang mengatakan, jadi hukum
tidak tertulis itu masih ada atau tidak? Tapi saya mengatakan bahwa tentu
selain hukum dasar yang tertulis ini saya masih mengenal adanya hukum dasar
yang tidak tertulis. Jadi menurut keyakinan saya sebetulnya putusan MK itu
betul, tapi saya melihat dampaknya, implikasinya terhadap putusan-putusan yang
sudah ada, atau yang baru akan diputus itu menjadi suatu perdebatan. Saya
justru tidak hanya melihat pada sisi implikasi yang satu ini. Saya melihat
implikasi yang lebih jauh, dan saya selalu mempertanyakan, kalau demikian,
orang selalu mengatakan bahwa di dalam puncak kekuasaan dan kehakiman atau
kekuasaan yudisial itu di 2 tempat yang sama. Dan orang mengatakan, bahkan
Prof. Jimly mengatakan pada pidato 1 tahun MK kemarin bahwa kita bersaudara
kembar, MK dan MA itu saudara kembar. Jadi saya mengatakan di sini, oleh karena
kalau memang putusan MK yang dianggap saudara kembar, sederajat itu, dapat
berpengaruh pada putusan MA maka saya akan melihat apakah akan ada kepastian
hukum nantinya dengan 2 keputusan itu? Kalau dari segi fungsi , kedua lembaga
ini berbeda. Tapi dari segi putusannya itu yang bisa berdampak. Walaupun saya
melihat dalam kasus ini betul putusannya, tapi saya akhirnya juga melihat
implikasinya ini akan bisa dipertanyakan oleh masyarakat. Saya kira itu.
Firmansyah Arifin
Ya
terima kasih Ibu Maria. Selanjutnya saya persilahkan Prof. Dr. Harun Alrasid.
Prof. Harun Alrasid
Terima kasih saudara moderator. Pertama-tama
mengenai kedudukan MK. Ini yang saya rasa dalam tahap pertumbuhan, di mana di
Amerika Serikat itu sudah mantap. Jadi kalau di Amerika berlaku, sudah dianggap
Supremacy of
Supreme Court, maka saya
menganggap juga di sini berlaku Supremacy of the Constitutional Court. Tadi
dikatakan bahwa putusan yang merupakan landmark decisions itu memang
betul sekali. Argumentasi yang terjadi sangat ruwet dan berbobot. Sekali lagi
mengenai putusan MK ini oleh masyarakat itu harus dihormati. Memang mereka itu
harus disegani dan dihormati. Jadi inti masalahnya itu soal berlaku surut.
Sebenarnya ini bukan barang baru. Sejak abad ke-19 sudah dikatakan bahwa UU itu
berlaku untuk masa ke depan tidak untuk ke belakang. Kemudian dalam abad ke-20,
bahwa tidak dapat berlaku surut. Nah yang terakhir itu dalam UUD, tapi ini ada
masalah, amandemen kedua itu tidak berlaku, ini masalahnya. Satu peraturan itu
harus ada mulai kapan dia berlaku, amandemen kedua ini tidak ada, ini masalah
besar. Ada tanggal mulai berlaku, ini
tidak ada. Artinya ini titik kelemahan amandemen kedua itu.
Selanjutnya mengenai perbandingan, di
Amerika Serikat asas retroaktif itu tidak boleh. Dan yang kedua adalah UU itu
biasanya berlaku umum, barang siapa. Tidak hanya satu kasus. Itu wewenang
hakim, bukan wewenang UU. Ini agak aneh, keanehan dari pembuat UU ini. Jadi
tadi disebutkan juga bahwa tidak ada hukuman tanpa kesalahan, kan mereka tidak
bersalah, sebagai pejuang Islam ini ditujukan kepada orang Amerika yang
menindas orang Islam. Sama saja. Tidak kalah dengan UU Terorisme. Jadi ini
memang masalah yang menarik. Kasus bom Bali tanggal 12 Oktober, UU nya tanggal
18 Oktober akan diberlakukan surut 6 hari. Jadi saya rasa apa yang akan
dilakukan oleh MK itu memang sudah benar. Perlu kita taati. Soal implikasinya
itu tadi sudah diuraikan panjang lebar. Bagaimanapun itu nanti kasusnya yang masih
pending, yang berlaku, tidak mengikat lagi, tidak valid, hanya kasus yang masih pending. Nah kasus yang masih pending ini jadi masalah implikasi putusan MK
ini. Saya rasa tergantung pada putusan pengadilan. Seberapa jauh nanti
implikasi dari putusan MK mengenai berlaku surut. Tapi saya tetap beranggapan
bahwa kasus bom Bali harus dipakai UU yang berlaku pada waktu itu. Tidak
berlaku yang muncul kemudian. Ini prinsip yang perlu mendapat perhatian.
Kecuali tadi dianggap ini extra ordinary crime. Ini juga masalah juga
definisi terorisme, pengertian extra ordinary crime apa itu. Di samping lagi
secara sosiologis ini ordinary Amerika Serikat. Secara politis
banyak masalah ini. Tapi bagaimanapun yang ingin saya tekankan bahwa putusan MK
itu merupakan landmark
decisions yang harus kita hormati, kita taati, seperti
halnya di Amerika Serikat. Sekian terima kasih.
Firmansyah Arifin
Terima kasih Prof. Harun. (ada tambahan dari
Prof. Harun). Selanjutnya saya persilahkan kembali..
Prof.
Harun Alrasid
Ada yang lupa. Tadi disinggung soal .......
Ide de straaf itu ada 3, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan
(kemaslahatan). Yang diutamakan di sini adalah keadilannya itu. Jadi ini juga
tugas hakim untuk menerapkan cita-cita hukum ini. Ditegakkan tiga-tiganya atau
salah satu.
Firmansyah Arifin
Terima kasih kembali Prof. Harun.
Selanjutnya saya persilahkan Pak Mahendradatta, bisa sedikit memberikan
tanggapan dari implikasi putusan MK.
Mahendradatta
Terima kasih, assalamu’alaikum wr. wb, salam
sejahtera untuk kita semua. Jadi yang pertama bilamana boleh sebelum kita
membicarakan mengenai kasus bom Bali, terlebih dahulu kita hilangkan masalah
“kemarahan”. Kemarahan kita terhadap peristiwa tragedi bom Bali. Yang berbahaya
adalah kalau kemarahan itu tidak diungkapkan namun menjadi bias terhadap
pemikiran. Sehingga berdasarkan itu pemikiran kita menjadi bias dalam melihat
satu negara hukum. Kemudian untuk mengurangi kemarahan itu, sebagai salah
seorang yang ikut serta dalam pembelaan kasus bom Bali, saya harus sampaikan
bahwa bagaimanapun juga di mata kami kasus bom Bali ini masih tidak jelas.
Sampai hari ini tidak pernah diungkap siapa suplier bomnya. Seorang Amrozi,
seorang Imam Samudera, Muklas dsb, tidak akan berbahaya tanpa bom. Dia masuk ke
sini dengan pisau dapur bisa kita telikung berdua. Tapi seorang anak SD umur 10
tahun masuk ke sini dengan dililiti bom, saya berani jamin sehotel ini keluar
semua. Jadi tolong, masih ada pertanyaan-pertanyaan dalam kasus bom Bali yang
belum terjawab.
Kemudian yang kedua kami mengajukan judicial review, dari awal kami melihat bahwa ada beberapa hal antara lain sebagaimana
yang ternyata ada kecocokan dengan beberapa ahli yang tampil ke permukaan. Yang
pertama kami hanya melihat dari sini bahwa secara awam saja, secara kasar, secara
general, dari Pasal 28I. Pasal 28I UUD 1945 amandemen kedua itu hak untuk
tidak dituntut berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku surut itu bersama
dengan hak-hak lain. Hak untuk tidak disika, untuk kemerdekaan hidup, dsb,
terutama hak untuk beragama, dst. Berarti itu satu kesatuan. Kalau satu tidak
dapat dikurangi dalam bentuk apapun, itu kan termasuk semuanya. Hak-hak lainnya
juga tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapaun. Kalau satu saja sudah kita
tawar, jangan-jangan besok kita akan menawar hak untuk tidak disiksa. Besok
pula kita akan menawar hak-hak lainnya dengan berbagai macam alasan. Yang
tentunya bisa dipoles dengan manis dan teori-teori hukum yang mendukungnya.
Namun kembalilah bahwa tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun, ini harus kita
hormati. Itu yang pertama kali kita sampaikan ke MK.
Jadi kekhawatiran kami, kalau satu saja hak
itu sudah ditawar dengan berbagai macam alasan, akhirnya dia juga akan menawar
hak-hak lainnya. Kemudian yang kedua yang juga ternyata diambil alih sebagai
pertimbangan MK, adalah mengapa UU No. 16 ini hanya kasuistis, hanya menujuk
pada satu kasus saja. Ini juga dibenarkan oleh MK. Pendapat dari Prof. Harus
Alrasid. Ini juga menarik bagi kami. Kami sebetulnya pada waktu itu siap kalah,
siap untuk ditetapkan bahwa hak berlaku surut itu boleh, asas retroaktif itu
boleh. Namun yang kami tidak siap adalah kenapa hanya untuk bom Bali? Kenapa
kemudian Perpu No. 2 disahkan oleh UU No. 16 tersebut? Itu tidak mengatakan
bahwa ini berlaku surut untuk segala tindakan-tindakan terorisme atau
tindakan-tindakan yang masuk seperti terorisme di masa yang lalu. Oleh
karenanya kami mempertanyakan mengenai itu.
Kalau ukurannya adalah extra ordinary crime adalah korban, tanpa mengurangi
kekejaman dalam peristiwa itu. Setahun sebelumnya atau 2 tahun sebelumnya,
pernah ada kekejaman-kekejaman yang jumlah korbannya melampaui bom Bali yaitu
peristiwa Iedul Fitri berdarah, peristiwa Tobelo, itu dalam waktu 1 hari, 3000
orang meninggal dan meninggalnya tidak secepat bom Bali. Oleh karenanya kami
setuju, kalau saja retroaktif itu akhirnya harus kita ambil, jangan hanya untuk
1 kasus. Berlakulah umum terhadap suatu tindakan-tindakan di masa lalu yang
masuk dalam konteks anti terorisme.
Kemudian
terakhir adalah nasib dari putusan MK ini. Kami secara bodoh saja ingin
bertanya. Pertama, kami menyampaikan masalah ini dalam eksepsi kami di muka PN.
Jadi ini sudah kami ungkapkan bahwa UU berlaku surut tidak boleh. Jawaban
majelis hakim terhadap eksepsi kami adalah “ini bukan wewenang kami, karena ini
adalah judicial review terhadap UU. UU Itu ada. Silahkan saudara
ke lembaga yang lebih berwenang”. Saat itu MK sudah ada. Kami bawa ke MK, itu
karena ada sengketa antara kami dengan majelis hakim. Kami tidak akan ke MK
kalau tidak ada sengketa ini. Dan di MK yang pertama kali ditanyakan adalah,
ada tidak hak konstitusional yang dilanggar, yang pribadi sifatnya dan terhadap
si pemohon. Jadi pemohon ini tidak bisa sembarangan. Jadi mandatory entry ke MK harus ada pelanggaran konstitusi. Nah kemudian, namanya Masykur
Abdul Kadir, kemudian mendapatkan putusan MK, kemudian semuanya beramai-ramai,
o... tidak berlaku lagi. Kemudian sekarang saya mempertanyakan apa gunanya MK?
Sekarang kalau misalnya kita mempunyai satu permasalahan konstitusi, tidak ada pemecahan,
misalnya antara Presiden dan DPR, kemudian di bawa ke MK. Karena lamanya proses
bersidang kemudian Presiden sudah keburu dipecat dsb, kemudian begitu MK
mengatakan bahwa tindakan menggeser Presiden atau meng-impeach Presiden ini tidak benar, tapi kita
semua bersama, o... sudah telat, buat apa kita ke MK? Hanya apa? Hanya
menorehkan sejarah-sejarah dalam ilmu hukum baru? Atau benarkah MK ini sesuai
UUnya sebagai penyelesaian dari sengketa konstitusi. Yang namanya penyelesaian
sengketa, kalau dia buat putusan, buat mereka yang dimenangkan tentunya
mendapatkan hasil. Itulah tanggapan saya. Terima kasih, mohon maaf kalau ada
kelancangan yang tidak saya sengaja. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Firmansyah Arifin
Terima
kasih Pak Mahendradatta. Bapak Ibu hadirin sekalian kita punya waktu kurang
lebih 1,5 jam untuk mendiskusikan lagi beberapa hal. Paling tidak sudah ada
catatan-catan yang dibuat oleh Bapak Ibu Sdr/i sekalian berkaitan dengan apa
yang sudah disampaikan oleh nara sumber maupun tanggapan yang diberikan oleh
para ahli yang dihadirkan atau pihak yang bersengketa di MK. Catatan yang
berkaitan dengan 3 isu pokok tadi atau mungkin ada catatan-catatan lain yang
dimiliki oleh Bapak Ibu Sdr/i sekalian, melihat implikasi dari putusan MK. Atau
barangkali ada hal-hal lain yang berkaitan dengan fungsi atau peran dan
keberadaan dari MK ini juga terjadi yang terjadi, yang saya secara langsung
mengalami dari beberapa dislkusi berkaitan dengan implikasi dari putusan MK,
mencoba melihat kembali peran dan fungsi MK. Tidak hanya dilihat dari aspek
komplikasi hukum yang terjadi dari putusan MK yang membatalkan UU NO. 16/2003.
Tidak hanya sebatas catatan, barangkali juga ada anggapan setuju atau tidak
sehubungan dengan apa yang telah disampaikan oleh nara sumber kita berkaitan
dengan 3 hal itu tadi. Saya persilahkan. Kalau begitu saya buka untuk sesi
pertama ini sekitar 4 orang. (peserta ada yang mengangkat tangan). Yang pertama
Pak Assegaf, kedua Tommy Sihotang,
ketiga Pak Suhadibroto, satu lagi kalau ada. Baik sambil menunggu yang lain, Pak Assegaf yang pertama.
M. Assegaf
Terima
kasih. Kita tentunya sudah sepakat bahwa kita harus dan wajib menghormati
putusan MK. Itu kesepakatan kita. Bagaimana bentuk penghormatan tadi? Diskusi
hari ini adalah membicarakan implikasinya. Pertanyaannya sekarang adalah proses
pemeriksaaan kasus yang ada kaitan dengan bom Bali sementara ini dalam catatan
saya, ada yang sedang diperiksa oleh pihak kepolisian, ada yang sedang diadili,
ada yang sedang dalam proses banding, dan ada yang sedang diperiksa MA karena
kasasi. Saya tidak berbicara yang sudah in kracht dalam masalah PK.
Tadi ada
pertanyaan dari Sdr. Luhut yang menarik. Sebetulnya mereka yang disangka ada
kaitan dengan kasus bom Bali itu dituduh apa saja? Menurut Sdr. Luhut tadi bermacam-macam
sebaiknya, ada teroris, KUHP dsb. Biasanya selalu ada alternatif. Tetapi kalau
saya perhatikan, terutama menyangkut kasus yang sedang ditangani, yaitu kasus
yang menyangkut Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Ustadz Abu Bakar Ba’asyir setelah
dia menjalani hukuman karena pelanggaran KUHP, kemudian ditahan dan ditangkap
lagi. Di dalam surat penangkapan, penahanan itu jelas-jelas disebutkan karena
melanggar UU No. 15, 16 yang ada kaitan dengan masalah bom Bali. Pertanyaannya
sekarang setelah ada keputusan oleh MK yang menyatakan bahwa UU Itu sudah tidak
punya kekuatan mengikat lagi, apa yang harus dilakukan oleh pihak kepolisian?
Dari pihak tim penasehat hukumnya telah mengajukan semacam permintaan agar
segera setelah putusan MK itu diucapkan, segera dikeluarkan, karena tuduhannya
tadi tunggal. Kita juga ingin tahu bagaimana pendapat dari Kejaksaan? Terhadap
permintaan kita ini, kemudian ada statement
dari pihak Kepolisian, o... dia tidak hanya dituduh kasus bom Bali tetapi juga
dengan kasus-kasus lainnya yang berkaitan dengan terorisme. Padahal sama sekali
tidak ada. Dalam dokumennya jelas kaitannya dengan kasus bom Bali. Kemudian
kasus-kasus lain yang sekarang sedang diperiksa di PN Denpasar. Tuduhannya
seingat saya juga tunggal. Dan sepanjang yang saya ketahui, tuduhan terhadap
Amrozi Cs itu juga tunggal. Bagaimana implikasinya kalau keputusan ini tidak
mempunyai kekuatan mengikat? Apa yang akan dilakukan oleh pihak Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, dan MA.
Kalau
misalnya Abu Bakar Ba’asyir tetap ditahan dengan mendasarkan kepada UU No. 15
dan 16 tadi, sejak dikatakan UU tadi tidak mempunyai kekuatan mengikat,
tentunya kan harus dikeluarkan. Tidak bisa dengan gampang switch
begitu saja, nanti kita carikan Pasal yang lain. Ini kan lucu namanya, “akrobat
hukum.” Mestinya kan dilepaskan dulu, setelah itu kalau nanti ada alasan bahwa
ada ketentuan peraturan lain yang barangkali dilanggar tentunya diterapkan.
Tapi tidak bisa penahanannya terus diberlakukan hanya dengan men-switch UU
nya yang sudah tidak punya kekuatan lalu diganti dengan UU lain. Inilah yang
menarik kalau kita membicarakan tentang implikasi terhadap masalah
dibatalkannya UU No. 16 tadi. Sekian dan terima kasih.
Firmansyah Arifin
Terima
kasih Pak Assegaf. Silahkan selanjutnya Bung Tommy Sihotang.
Tommy Sihotang
Baik
terima kasih Pak. Karena ini forum ilmiah, jadi tidak ada take personal
di sini, semua adalah ungkapan-ungkapan ilmiah. Yang pertama tadi beberapa
istilah telah muncul putusan landmark, bersejarah dsb. Saya harus katakan
bahwa ini bukan putusan bersejarah, bukan putusan yang landmark, ini putusan kontroversial. Suatu
putusan menjadi landmark kalau sekian lama, sekian puluh tahun,
masyarakat hukum menerimanya. Ketika Lord Pertkin membuat putusan yang terkenal
dan kemudian diterima oleh kalangan maritim, itu menjadi landmark.
Ini tidak ada landmark. Mengapa saya katakan demikian. Ketika MK
membuat putusannya, sebagai pengamat ada beberapa hal yang saya cermati.
Pertama dengan semua argumentasi tadi, sepertinya Hukum Tata Negara sedang menjalankan
arogansinya. Bicara mengenai retroaktif, macam-macam. Tanpa melihat kenyataan
di lapangan bahwa masyarakat membutuhkan UU Terorisme ini. Catatan tadi, saya
baca kemarin, urutan yang benar adalah yang pertama keadilan, kedua
kemanfaatan, ketiga baru kepastian hukum. MK hanya bicara masalah kepastian
hukum tanpa yang lain. Padahal kita perlu keadilan dan hukum itu harus
bermanfaat. Yang tidak bermanfaat bukan hukum, kalau kita belajar filsafat
hukum. Sehingga kalau kita berakrobat dengan dalil-dalil hukum tata negara ini,
maka kita bingung. Maka jadilah terorisme ini suatu kejahatan tanpa UU.
Tadi Ibu
saksi ahli mengatakan, “saya sampai susah payah mencari definisi terorisme”,
itu karena dalam tembok berpikir hukum tata negara, maafkan saya. Definisinya
sudah jelas yaitu kejahatan, jangan dicari lagi definisi-definisi yang lain.
Itu membuat pikiran kita rancu. Jadi yang mau saya katakan di sini adalah bahwa
sebetulnya kalau MK mau konsisten dengan sikapnya, hukum positip Pasal 28I itu,
itu kan harus diadu juga dengan Pasal 28J yang sudah dengan tepat disitir tadi.
Bahwa perlindungan hak asasi seseorang itu tidak boleh juga menabrak hak asasi
orang lain. Jadi apa yang kita inginkan sekarang ini? Dengan pongahnya kita
katakan bahwa tidak boleh retroaktif dsb. Padahal di masyarakat kita butuh itu
untuk kejahatan yang luar biasa ini, saya hanya katakan ini adalah dosa
intelektual yang masing-masing kita menanggungnya sesuai dengan porsi kita
masing-masing. Baik secara hukum saya adalah pengacara para pelanggar HAM yang
sudah terbukti tentunya.
Kami juga
sedang mencoba mengajukan guagatan ke MK karena pelanggaran HAM yang diadili
berdasarkan UU No. 26/2000 melanggar asa non retroaktif. Dan kami akan melihat
apakah konsisten MK membatalkan UU itu atau tidak. Inilah dosa-dosa kita semua
betapa pongahnya kita dengan dalil-dalil itu. Terima kasih.
Firmansyah Arifin
Selanjutnya
Pak Suhadibroto.
Suhadibroto
Saya
ingin memberikan tanggapan dan pertanyaan kepada siapa saja dalam forum. Saya
sependapat dengan Pak Luhut, putusan MK ini sangat menarik. Dan saya ingat
kepada vonis-vonis pada jaman yang lalu selalu penuh dengan reasoning,
baik yang bersifat akademik maupun yang bersifat yurisprudensi. Dan vonis-vonis
pengadilan yang sekarang ini, sebagaimana tadi dikatakan itu demikian kering
dengan sesuatu yang akan bermanfaat khususnya bagi perkembangan dunia hukum.
Ini sungguh kita sesalkan. Pertama, amar daripada putusan MK itu tepatnya
bagaimana? Tidak mempunyai kekuatan mengikat, begitu ya? Kalimat yang terakhir itu.
Tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Saya ini confuse apa artinya ini? Apakah ini van rechtswigenietteg atau vernietverbaar? Sebab kalau van rechtswigenietteg tentunya akan mempunyai implikasi
yang berbeda. Kalau van rechtswigenietteg tentunya sejak semula itu memang
sudah nietteg. Kalau vernietverbaar
tentunya mulai saat putusan itu diucapkan baru tidak mempunyai kekuatan hukum.
Ini nanti implikasinya apakah di dalam upaya hukum yang akan ditempuh yaitu PK
dan yang sudah in kracht, tetapi juga di dalam banding dan kasasi.
Kedua, PK itu mempunyai 3 pintu, 3 alasan, novum itu hanya alasan pertama. Di
samping itu ada alasan kedua dan ketiga. Alasan yang ketiga itu kira-kira
secara kasar, terjadi kekhilafan daripada hakim. Nah, ini nanti implikasinya
akan berkait dengan kalau putusan ini nietteg atau vernietverbaar? Oleh karena itu kami mohon
penjelasan dalam forum ini siapa saja yang akan menjawab 2 pertanyaan saya ini.
Ketiga, dari Ibu Maria, dikhawatirkan kalau akan terjadi 2 putusan dari puncak
kekuasaan kehakiman. Sebetulnya itu sudah terjadi, karena putusan MK jelas
tidak sejalan dengan keputusan MA di dalam tahap kasasi. Dan sangat menarik
nantinya apakah MA akan mengeluarkan 2 putusan yang berbeda, yaitu putusan PK
dan putusan kasasi? Terima kasih.
Firmansyah Arifin
Yang
terakhir. Silahkan Pak.
Tanpa nama
Terima
kasih Pak. Prinsip bahwa suatu peraturan apalagi untuk tindak pidana tidak
boleh berlaku surut dalam suatu UU. Itu bukan sesuatu yang pongah atau tidak
pongah. Itu adalah sustu prinsip hukum yang akan menjadi dasar daripada
kepastian hukum. Oleh karena itu prinsip itu sebaiknya memang diberlakukan di
dalam masyarakat kita. Nah apakah suatu kejahatan itu merupakan terorisme atau
tidak, barangkali juga harus diperhatikan aspek-aspek yang ada di luar daripada
hukum atau ilmu hukum itu. Sudah pernah dikatakan apakah ini bukan pesanan dari
Amerika? Ada juga hal lain yang harus diperhatikan untuk mengukur apakah suatu
tindakan itu besar atau tidak. Yaitu kekuatan daripada media massa untuk membesar
atau mengecilkan atau bahkan meniadakan suatu tindakan hukum yang mungkin
mempunyai korban yang lebih banyak seperti yang disampaikan oleh beliau itu.
Itu saja yang ingin saya sampaikan, terima kasih.
Firmansyah Arifin
Oke. Baik
untuk sesi pertama ada 4 penanya atau penanggap daripada nara sumber atau para
ahli yang dihadirkan juga dalam diskusi kita pada hari ini. Selanjutnya saya
persilahkan dari Kejaksaan Pak Sudhono, silahkan menanggapi.
Sudhono Iswahyudi
Terima
kasih. Saya menghindari untuk menanggapi yang berkaitan dengan masalah
diskursus putusan MK dan implikasinya dengan MA. Karena itu di luar porsi kami.
Saya hanya akan menyampaikan mengenai aspek praktis dari proses peradilan kasus
bom Bali. Tadi sudah saya sampaikan data-datanya, dari 33 kasus, 25 sudah
berkekuatan hukum tetap, kemudian ada 8 yang masih dalam proses. Yang ada di
dalam proses tadi di tingkat banding maupun kasasi, saya tadi menyampaikan
memang masih mungkin hakim mempertimbangkan dalam amarnya nanti putusan MK
tersebut itu yang menyangkut atau terkait dengan dakwaan pelanggaran Perpu No.
1 jo No. 2 dan jo UU No. 16. Tetapi juga perlu saya sampaikan, tapi Pak Assegaf
mengatakan bahwa dakwaan itu hanya Perpu itu tidak benar.
Dari
data-data dakwaan yang dikirim ke Kejaksaan Agung, para terdakwa itu selain
didakwakan dengan Perpu yang dimasalahkan ini, juga didakwakan dengan UU lain.
Ada yang didakwakan UU No. 12/Drt/1951, dan ada juga dengan KUHP Pasal 365,
karena ada di dalam kasus bom Bali itu ada yang melakukan pencurian dengan
kekerasan untuk memperoleh dana. Dengan demikian para terdakwa itu seandainya
majelis hakim akan membebaskan terhadap dakwaan melanggar Perpu, masih akan ada
instrumen lain yang akan diterapkan di dalam memutus perkara-perkara tersebut.
Kemudian mengenai masalah kemungkinan akan ada review terhadap kasus-kasus pelanggaran
berat yang disampaikan oleh Pak Tommy Sihotang. Tentu saja hal ini selalu
terbuka, bagi Kejaksaan. Kejaksaan melaksanakan aturan perundang-undangan
berdasarkan ketentuan yang berlaku pada saat ini. UU No. 26/2000 yang
menyangkut pelanggaran HAM berat, juga proses dikenakannya para pelaku-pelaku
pelanggaran HAM berat sebelum UU itu, sudah melalui proses konstitusional.
Yaitu melalui rekomendasi dari DPR yang
kemudian ditetapkan di dalam Keppres. Dengan demikian proses terhadap
pelanggaran HAM berat pun sudah melalui proses konstitusional menurut ketentuan
yang berlaku. Lalu kemudian mengenai novum saya kira tadi sudah banyak
disampaikan. Bagi kejaksaan tetap berpendapat bahwa putusan MK tersebut,
sepanjang sesuai dengan Pasal 47 dan 58, putusan itu berlaku pada saat
diumumkan. Jadi berlakunya mulai tanggal 23 Juli. Sedangkan di dalam Pasal 263
ayat (1), keadaan baru itu seharusnya sudah ada tetapi belum diungkapkan pada
saat proses persidangan berlaku. Tapi ini tentu saja masih dipredictable
dan mari kita ikuti saja prosesnya. Tapi Kejaksaan berpendapat bahwa itu bukan novum. Saya
kira demikian, mengenai hal-hal lain yang di luar porsi kami, kami tidak
menanggapi. Terima kasih.
Firmansyah Arifin
Terima
kasih Pak Sudhono. Silahkan selanjutnya Bang Luhut mungkin ada tanggapan yang
bisa diberikan.
Luhut MP Pangaribuan
Ya saya
sedikit saja. Mengapa saya katakan putusan ini, putusan yang baik. Sebenarnya
kalau kita cermati putusan itu sangat berbeda dengan putusan-putusan yang ada
selama ini. Di sana ini penuh dengan pendekatan saya kira dari segi hukum. Saya
katakan tadi ada aspek sejarah hukum, ada mengenai teori hukum, ada mengenai
filsafat di sana. Terlepas dari posisi kita dmana melihatnya di mana, apakah
pro dan kontra. Bahwa sebutannya itu landmark atau tidak itu definisinya belum
ada Bung Tommy saya kira. Tapi kalau satu putusan penuh dengan argumentasi,
menurut saya komprehensif dan lengkap, menurut saya kita harus hormati dan kita
harus apresiasi karena di sana berjalan satu pemikiran yang berkembang. Jadi
istilahnya Pak Suhadibroto kering memang, putusan-putusan pengadilan kita.
Sehingga sampai hari ini saya kira ada 59 tahun MA di Republik Indonesia ini,
putusan MA yang menjadi stare decisis
seperti di Amerika hampur tidak ada saya kira. Mungkin ada satu dua seperti di
soal warisan dsb. Tetapi sangat minim yang diperoleh dari suatu putusan
pengadilan. Umumnya hukum kita selalau proses legislasi. Padahal sebenarnya
secara teoritis mungkin melalui suatu proses yurisprudensi. Oleh karena itu
saya pribadi melihat hal itu adalah suatu putusan yang sangat baik. Terlepas
dari posisi saya setuju tidak.
Yang
kedua Pak Assegaf, andaikata tadi asumsinya bahwa tuduhannya tunggal, saya kira
dia harus dinyatakan batal demi hukum. Tindakan-tindakan hukum yang dilakukan,
kalau tuduhannya tunggal. Tapi dari Kejaksaan mengatakan ternyata ada
alternatif-alternatif yang dituduhkan. Memang kita sebagai di luar dari
penyidik ini tidak pernah tahu secara persis. Sebenarnya, kalau ada suatu
tindak pidana, pasal berapa sih yang dituduhkan. Jadi belum pernah ada
pernyataan resmi, kita hanya indikasi-indikasi saja. Ketika kita menerima surat
panggilan, dikatakan peristiwanya bom Bali, diduga melanggar Pasal sekian-sekian.
Padahal, belum tentu saya kira, itu menjadi rujukan yang resmi. Saya tidak tahu
ini merupakan kelemahan dari praktik atau hukum acara saya kira. Nah, oleh
karena itu ketika kita menanggapi sesuatu itu bisa keliru. Dia mengatakan
bahwa, o... ketika surat keputusan soalpenyidikan dilakukan, maka Pasalnya
adalah sekian dan ini ini ini. Tapi kalau memang benar asumsinya demikian, saya
kira tidak ada jalan lain bahwa asas legalitas harus diterapkan, khususnya
masalah penangkapan dan penahanan, itu harus secara absolut, dia harus demi
hukum.
Mengenai
memang ada 3 pintu implikasinya untuk PK, termasuk di dalamnya kekhilafan tadi.
Tapi ternyata memang pernyataan atau amar putusan dari MK itu tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat. Padahal yang kita kenal adalah batal demi hukum
atau dinyatakan batal, dengan bahasa Belanda yang dikatakan Pak Suhadibroto
tadi. Tapi ini menggunakan terminologi tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Ini berarti
harus ke depan. Tidak bisa ke belakang. Kalau batal demi hukum ada pernyataan
berarti bisa ke belakang. Kan gitu. Saya kira itu, terima kasih.
Firmansyah Arifin
Selanjutnya
Pak Frans.
Frans Hendra Winarta
Ya
mungkin saya tambahkan sedikit mengenai landmark
decisions ini tadi
ya. Yang saya maksud dengan landmark decisions bukan berarti putusan itu sempurna
tanpa ada kekurangan. Tapi paling tidak seperti Sdr. Luhut bilang tadi, saya
melihat argumentasi hukum yang ada di situ. Perdebatan-perdebatan,
pertimbangan-pertimbangannya begitu mendalam. Teori-teori hukum, filsafat
hukum, doktrin-doktrin hukum, semua itu dimasukkan di situ di dalam
pertimbangan-pertimbangan, sehingga saya anggap ini sesuatu yang bersejarah
untuk lembaga peradilan kita, yang notabene masih muda, masih berumur 1 tahun.
Memang perjalanan kita masih jauh. Oleh karena itu saya tidak berpretensi bahwa
putusan ini sempurna. Kalau saya boleh bilang mungkin ada beberapa kekurangan.
Kalau saya tidak salah ahli-ahli kita sudah lihat, ada 2 orang di sini.
Pertanyaan
saya putusan MK ini kan berdampak pada perkara-perkara pidana baik yang kasus
bom Bali maupun yang lain-lain yang masuk dalam kategori Terorisme, yang tadi
masih diperdebatkan jelas atau tidak jelas. Jadi sebetulnya kenapa juga tidak,
sepengetahuan saya mungkin saya salah, ahli-ahli hukum pidana atau pidana
internasional juga tidak dilibatkan di dalam pertimbangan-pertimbangan MK ini.
Padahal kita tahu putusan ini akan berakibat ke perkara-perkara kasus bom Bali
ini. Ini disayangkan menurut saya. Ini suatu perjalanan jauh yang saya bilang,
tapi at least sebagai sutu permulaaan, saya bilang ini putusan yang bersejarah.
Tidak sempurna tapi dari bobot atau kualitasnya sangat luar biasa. Karena
melihat putusan-putusan yang ada selalu kering dengan perdebatan-perdebatan
hukum atau argumentasi hukum. Apakah itu perkara perdata maupun pidana. Ini
pengalaman berpraktik selama kurang lebih 30 tahun. Seringkali putusan-putusan
itu kurang pertimbangan hukumnya. Banyak putusan-putusan yang loncat, tidak
disebutkan kenapa pertimbangan-pertimbangannya, langsung mengambil kesimpulan.
Nah ini yang disayangkan. Dalam hal ini, saya lihat pertimbangan-pertimbangan
itu diambil atau dikemukakan sedemikian mendalam sebelum putusan tidak
mengikat, bahwa UU No. 16 tidak sesuai dengan UUD. Nah kembali secara teknis,
saya kok Pak Suhadibroto, saya lihat-lihat, kita pernah diskusikan ini di
Komisi Hukum Nasional, saya tidak melihat di dalam UU MK ini vernietverbaar, van rechtswigenietteg ini. Apakah ini berlaku atau tidak, saya
tidak tahu karena saya bukan ahli hukum tata negara. Nanti Pak Harun barangkali
Ibu Maria bisa menjawab. Apakah itu termasuk, di dalam hukum ketatanegaraan ini
bisa berlaku dalam hukm perdata atau pidana. Ini pertanyaan saya Pak, secara
akademis kita gali lebih jauh. Kemudian mengenai selain bersejarah tadi saya
juga melihat ada kekurangannya yaitu bagaimana dengan Statuta Roma, implikasi
dari putusan ini. Toh kalau saya tidak salah lihat, sudah 60 negara lebih
meratifikasi Statuta Roma. Berarti dunia ini sudah mengakui asas retroaktifitas
terbatas. Apakah kita akan menjadi suatu kekecualian dengan argumentasi hukum
tadi? Apakah kita cukup kuat untuk berada di luar itu, dimana 60 negara sudah
menyatakan setuju dengan Statuta Roma ini. Nah kita berarti di luar itu.
Konteks
secara globalnya bagaimana hubungan kita nanti dengan negara-negara lain.
Dengan konteks memerangi katakanlah terorisme, terlepas dari setuju atau tidak,
tapi ini sedang mendunia sekarang. Apakah kita akan turut atau tidak? Apakah
kita bisa diikutsertakan atau tidak? Itu juga pertanyaan-pertanyaan yang perlu
kita jawab ke depan. Mengenai novum itu sendiri, saya anggap dengan
adanya Pasal 58 di UU MK, maka sebetulnya putusan MK ini berlaku ke depan tapi
tidak ke belakang. Tapi bisa saja MA menganggap ini sebagai keadaan baru.
Tetapi kalau pernah dalam persidangan itu diungkapkan, mengenai retroaktifitas,
saya anggap itu secara pribadi bukan novum. Novum itu adalah segala sesuatu yang ada
atau diketahui, tapi kemudian diungkapkan setelah putusan itu in kracht,
sekali lagi ini pengalaman perdata dan pidana Bu Maria, barulah itu dianggap
novum. Tapi kalau itu pernah diungkapkan, bukti itu, atau keadaan itu pernah
diungkapkan selama persidangan sebelum putusan ini in
kracht, menurut
saya ini bukan novum. Sekian dulu terima kasih.
Firmansyah Arifin
Sebelum
dilanjutkan kepada Pak Ronny ada keinginan dari Pak Sudhono untuk meninggalkan
tempat karena ada acara lain. Oke bisa kita lanjutkan ke Pak Ronny, mungkin ada
beberapa hal yang ingin ditanggapi, silahkan.
Ronny Rahman Nitibaskara
Terima
kasih Pak. Sebagai seorang akademisi saya merasa senang sekali dengan diskusi
yang berlangsung. Ijinkanlah saya sebagai seorang akademisi untuk urun rembug
menyampaikan beberapa pendapat. Dan kalau tadi Pak Frans mengatakan merupakan
putusan bersejarah sedangkan Pak Tommy Sihotang mengatakan putusan
kontroversial, seorang ahli Tata Negara dari Andalas, mengatakan justru MK itu
telah menjadi guard of constitution, penjaga konstitusi. Sebetulnya
kalau kita teliti, putusan MK tentang pembatalan UU No. 16/2003, perbedaan
pendapat Majelis Hakim sebetulnya berpusat pada perbedaan pemahaman terhadap
Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2). Nah Pasal 28 ayat (1) menyatakan hak
untuk hidup, untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan, hak untuk beragama dst itu, tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.
Sementara
Pasal 28J ayat (2) menyatakan menjalankan hak dan kebebasannya tiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang telah ditetapkan dengan UU dengan maksud untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, ketertiban, dan masyarakat yang demokratis. Kalau kita lihat
posisi hakim yang ada, 5 hakim yang dipimpin oleh Pak Jimly Asshiddiqie,
melawan 4 orang hakim, nampaknya kalau dilihat dari saksi ahli, Prof. Harun dan
Dr. Maria, itu dua-duanya mendukung Pak Jimly saya kira. Nah misalnya saja
dikatakan di sini, 5 hakim yang mengabulkan permohonan-permohonan pemohon
memahami Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 itu mengukuhkan Perpu sebelumnya dan
menempatkan asas aquo dalam tingkat peraturan perundang-undangan
yang tertinggi, pada tataran hukum konstitusional. Pemahaman ini saya kira
mengacu pada pendapatnya Bu Maria, kalau saya tidak salah. Diperkuat lagi,
menurut Pak Harun Alrasid, pada saat bersaksi mengatakan tidak ada penafsiran
lain bahwa asas non retroaktif adalah sesuatu yang bersifat mutlak. Tetapi
betul juga sebagaimana yang disampaikan Pak Frans Hendra Winarta bahwa
sebetulnya 5 hakim itu secara jujur mengakui, dalam ilmu hukum masih ada pro
dan kontra terhadap pembenaran justifikasi atau penyangkalan terhadap
pemberlakuan suatu UU. Di sini asas non retroaktif tidak bersifat mutlak dan
karenanya mengenal pengecualian dalam rangka memenuhi tuntutan yang adil sesuai
pertimbangan moral, agama, dst.
Tadi juga
sudah disinggung oleh Pak Suhadibroto bahwa jangan kemudian penguasa
menggunakan hukum sebagai sarana katakanlah balas dendam terhadap lawanan
politik sebelumnya termasuk tekanan Amerika Serikat dst. Saya cuma sekedar
ingin menambahkan bahwa perbadaan pandangan ini memperkaya khasanah perdebatan
hukum tata negara saya kira. Dan tentu kita tidak bisa menilai mana yang paling
benar. Tapi saya cuma ingin menambahkan, apalagi kalau dikaitkan dengan Statuta
Roma mengenai terorisme yang disampaikan Pak Frans tadi, sebetulnya apa yang
ditanyakan Pak Tommy Sihotang sehubungan dengan terorisme itu identik dengan
kejahatan, saya sepenuhnya setuju. Karena Pasal 7 Perpu mengatakan, setiap
orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan
maksud untuk menimbulkan teror atau rasa takut kepada orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang sifatnya massal, dengan cara merampas kemerdekaan,
hilangnya nyawa atau harta benda lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup,
atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana
penjara paling lama seumur hidup. Pasal 7 Perpu.
Saya
melihat sebagai seorang kriminolog bahwa keterbatasan Perpu itu ada. Tadi di
awal saya menyampaikan makalah saya, saya katakan ada kelemahan mengenai
konsep-konsep terorisme. Oleh karena itu menurut hemat saya salah satu
kelemahan batasan mengenai terorisme itu tidak dimasukkannya unsur kondisi
bukan perang, khususnya menyangkut non-combatant yang tidak terlibat dalam perang.
Kalau kita lihat UU Terorisme Philipina misalnya saja, itu masukkan unsur
tersebut. UU ini mendefinisikan terorisme as an
ideology ..... motivated use of violence or any means of destruction of .....
to use of violence or any means of destruction againts non-combatant target. Jadi unsur-unsur yang tercakup
dalam definisi ini adalah adanya motivasi ideologis, penggunanan kekerasan,
melalui berbagai alat untuk merusak, dan ditujukan kepada non-combatant.
Dimasukkannya unsur motif yang bersifat limitatif seperti pada definisi di
atas, sebetulnya bisa menyulitkan di dalam penerapannya. Tindakan teror yang
bukan dilandasi motif politik tidak bisa dijaring dengan UU ybs. Oleh karena
itu setelah saya mencermati konsep terorisme saya mempunyai pendapat bahwa
terorisme adalah penggunanan kekerasan atau ancaman kekerasan, secara sistemtias,
tidak dalam kondisi perang yang mengakibatkan timbulnya ketakutan yang meluas,
kerusakan harta benda, dan hilangnya nyawa untuk berbagai tujuan. Jadi
unsur-unsurnya adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan secara
sistematis, tidak dalam kondisi perang, mengakibatkan timbulnya ketakutan yang
meluas, kerusakan harta benda, dan hilangnya nyawa, dan keempat adalah untuk
berbagai tujuan.
Nah kalau
kita melihat Pasal 7 Statuta Roma, International Criminal Court ada 11 jenis
tindakan yang dapat digolongkan sebagai crime againts
humanity. Di antara
pengaturannya itu yang kemudian bisa kita gunakan sebagai kerangka untuk
memasukkan terorisme sebagai kejahatan kemanusiaan adalah di dalam huruf h dan
k. Jadi apabila terorisme dimasukkan dalam yuridiksi Statuta Roma, apabila
dalam persidangan bom Bali dirasakan oleh kalangan internasional tertutup belum
capable, mereka bisa menuntut. ICC menggelar sidang untuk kasus yang sama. Ada
kemungkinan seperti ini. Jadi apa yang disampaikan ini, saya hanya sekedar
menambah wawasan dari segi akademik, belum tentu juga benar, di sini ada
senior-senior saya, ahli hukum tata negara. Saya ulangi nampaknya kalau Ibu
Maria dan Pak Harun Alrasid itu mendukung 5 hakim yang ada Jimly nya, bukan
karena Jimmly sama-sama satu almamater, tapi memang nampaknya kebanyakan ahli
hukum Tata Negara mendukung itu. Dianggap toh sekalipun UU Pasal 16 itu tidak
digunakan lagi, masih banyak Pasal lain yang akhirnya, ujung-ujungnya juga
sanksinya cukup berat. Jadi tidak usah kuatir, ada novum dsb, belum tentu
diterima oleh MA, ujung-ujungnya saya memprediksi kalau ada back up pun
nampaknya MA akan menolak. Terima kasih.
Firmansyah Arifin
Terima
kasih Pak Ronny. Sebetulnya saya mau mengundang juga Ibu Maria, Prof. Harun
untuk bisa menanggapai beberapa hal yang tadi ditanyakan atau direspon oleh
peserta diskusi. Dari aspek tata negaranya. Tapi saya buka kesempatan kedua
dulu untuk para peserta. Nanti saya kira bisa sekalian. Oke kalau tidak ada
dari peserta mungkin dari Ibu, oooo..... ada. Mohon singkat dan padat.
M. Rizal Lubis
Terima
kasih. Jadi tadi sudah kita dengarkan masalah implikasi putusan MK terhadap
kasus bom Bali. Jadi apakah asas retroaktif tadi dapat digunakan atau tidak.
Saya sudah mendengar bahwa untuk kasus bom Bali khususnya untuk masalah yang
menjadi tersangka, terdakwa itu bisa UU No. 16/2003 itu dapat dibatalkan.
Tetapi untuk yang telah mendapat kekuatan hukum tetap, terhadap terdakwa itu UU
No.16/2003 itu tidak dapat dibatalkan, karena ada masalah terhadap Pasal 58 UU
No. 58/2003 tentang MK. Saya kira kalau kita mau menyelesaikan masalah ini
secara tuntas, harus ada lagi judicial review terhadap UU mengenai MK. Karena UU
mengenai MK tadi menyatakan, UU yang diuji oleh MK berlaku sebelum ada putusan
yang mengatakan UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Jadi kalau kita mau
tuntas saya rekomendasikan didiskusi ini kita adakan lagi, kita ajukan lagi judicial review terhadap UU No. 58 tadi khususnya Pasal 58. hanya itu yang ingin saya
sampaikan, supaya kita dapat tuntas ini. Terima kasih.
Firmansyah Arifin
Ya,
menarik yang disampaikan terakhir tadi. Lalu pertanyaanya siapa yang akan
mengajukan itu? Apakah MK itu sendiri. Ini dulu sempat kita diskusikan ketika
UU MK pertama kali dibuat atau disahkan, karena ada pembatasan di Pasal 50
tentang kewenangan judicial review di MK. Yang dibatasi hanya UU
setelah amandemen. Baik kalau begitu saya lanjut ke Ibu Maria dan Prof. Harun
mungkin ada beberapa hal yang ingin ditanggapi dari aspek tata negaranya.
Harun Alrasid
Terima
kasih. Pertama fokus saya itu adalah soal berlaku surut. Di sinilah bahwa itu
merupakan tonggak sejarah bahwa MK itu yang putusan bersifat final dan
terakhir, bahwa itu tidak bisa berlaku surut. Dan guru saya Pak Djokosoetono
pernah itu penting sekali untuk hakim itu motivaring terhadap vonis. Motivoring
itu sangat meyakinkan, sampai saya ketiduran, sampai 2 jam lebih. Menimbang,
menimbang, menimbang. Tapi dalam hal ini saya rasa motivaring dari putusan MK itu sangat
meyakinkan. Jadi kalau Sdr. Sihotang itu menganggap, saya mohon supaya Bapak
Sihotang itu dituangkan secara tertulis, supaya bisa dibantah. Kalau secara
lisan agak sulit.
Pokoknya
tidak masalah mengenai urutan. Yang penting ada 3 itu yaitu keadilan, kepastian
hukum, dan kemaslahatan. Pokoknya yang penting menurut saya itu, mana ini, apa
ketiga-tiganya atau hanya keadilan hukum, atau hanya kepastian hukum atau
kemaslahatan. Itu terserah pada hakim yang mengambil putusan. Dan sekali lagi
fokusnya itu adalah bahwa dalam hukum positip kita sejak abad 19, abad ke 20
dan saya juga mengambil perbandingan. Karena menurut saya Amerika itu
dikatakan, jadi ini perbandingan hukum, bahwa juga di Amerika Serikat itu, ”such a law violates Art. I, Secs. 9 & 10 of the Constitution of the
United States which provide that neither Congress nor any state shall pas an ex
post facto law.”
Ini jelas bahwa tidak boleh itu berlaku surut itu. Tidak hanya kita tapi di
Amerika Serikat juga idem begitu. Terima kasih.
Firmansyah Arifin
(Ada
beberapa pembicara yang akan meninggalkan ruangan karena ada acara di tempat
lain) Oke kalau begitu kita tanya kepada panitia apakah bisa diakhiri berkaitan
dengan beberapa kehadiran pembicara dan beberapa yang lain sudah mau
meninggalkan tempat. Kalau saya diberi mandat untuk segera mengakhiri, akan
saya akhiri juga diskusi kali ini. Oke kalau begitu terima kasih para nara
sumber, Pak Ronny, Pak Frans Hendra, Bang Luhut beserta para Bapak, Ibu, para
hadirin sekalian. Ibu Maria, Prof. Harun, Bapak Mahendradatta atas kehadirannya
di diskusi KHN pada kali ini. Saya tidak akan menyarikan lagi beberapa jawaban,
catatan, dan beberapa hal yang barangkali masih menjadi pertanyaan-pertanyaan
yang menggantung, berkaitan dengan implikasi putusan MK dalam pemberantasan
terorisme di peristiwa pemboman di Bali.
Pertanyaan-pertanyaan itu yang saya kira nanti akan bisa menjadi satu discourse
yang menarik buat menentukan entah itu sistem, prinsip, dsb dalam arah
reformasi hukum kita ke depan. Mungkin itu saja yang bisa saya katakan di akhir
acara ini. Selanjutnya saya berikan kesempatan kepada pembawa acara. Terima
kasih.
Master of Ceremony (MC)
Terima
kasih kepada para pembicara dan moderator serta para undangan. Berakhir sudah
acara dikusi kita pada hari ini. Dari kami mohon maaf apabila dalam pelaksanaan
diskusi ini ada yang kurang berkenan. Dan sebagai pemberitahuan sudah disiapkan
makan siang. Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar