Minggu, 04 Desember 2016

TRANSKRIP DISKUSI PUBLIK Bom Bali



TRANSKRIP
DISKUSI PUBLIK
“IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
TERHADAP KASUS BOM BALI”
Hotel Acacia, Jakarta, 19 Agustus 2004



Mardjono Reksodiputro
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Diskusi ini merupakan salah satu dari sejumlah diskusi publik yang telah diselenggarakan selama ini oleh Komisi Hukum Nasional (KHN). Maksud diselenggarakan acara ini adalah mengajak masyarakat pers, awam, maupun dari kalangan komunitas hukum untuk memperdebatkan isu-isu hukum yang penting untuk pembangunan hukum dan sistem hukum di Indonesia.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan UU No. 16/2003 mempunyai implikasi luas. Dampak jangka panjangnya berkaitan dengan kewenangan penuntutan pelaku kasus bom Bali dengan memakai UU Terorisme yaitu UU No. 2/2002. Dampak ini menyinggung para terpidana, maupun mereka yang merupakan terdakwa (sedang disidangkan), ataupun tersangka (belum disidangkan). Para advokat pembela mereka tertantang akan memberi penafsiran atas putusan ini untuk keuntungan klien-klien mereka. Yang jelas,  MK dan putusan-putusannya sekarang ini di Indonesia, haruslah diperhitungkan, harus diperhatikan benar-benar oleh komunitas hukum karena dapat membuat landmark decisions, yaitu putusan-putusan yang memberi arah baru di dalam perkembangan hukum di Indonesia. Putusan semacam ini akan mengubah penafsiran atas konsep dan asas hukum tertentu, yang dikaitkan tentu dengan konstitusi kita.

Serupa tapi tidak sama dengan putusan Supreme Court di Amerika Serikat, yaitu tentang segregasi di bidang pendidikan antara kulit putih dan kulit hitam, serta putusan tentang bantuan hukum bagi tersangka dalam rangka due process of law yang diamanatkan oleh konstitusi Amerika Serikat. Putusan-putusan tersebut telah menimbulkan gelombang debat yang luas, tidak saja di komunitas hukum, tetapi jauh ke dalam lingkungan warga masyarakat umumnya. Pada waktu itu persoalan yang diangkat oleh Supreme Court Amerika Serikat menyangkut soal hak asasi warga berkulit hitam dan orang miskin yang tidak dapat membiayai advokat.

Implikasi putusan MK terhadap pelbagai kehidupan hukum di Indonesia sebaiknya kita simak dengan cermat, khususnya yang terkait dengan asas non-retroaktif maupun tentang delik dalam hukum pidana internasional. KHN pada hari ini mengajak partisipasi sejumlah pakar di bidang penuntutan, dari kalangan advokat, dari kalangan akademisi untuk turut berdiskusi. Atas kesedian mereka berpartisipasi disampaikan terima kasih. Kami pun telah mengundang sejumlah tokoh utama dalam rangka putusan MK di atas, yaitu dari Tim Pengacara Muslim, wakil dari Mahkamah Konstitusi, dan seorang Pakar Hukum Tata Negara yang pernah menjadi saksi ahli untuk putusan tersebut. Terima kasih pula atas kehadiran mereka. Semoga diskusi ini akan ada manfaatnya untuk para hadirin sekalian. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Master of Ceremony (MC)
Terima kasih kepada Bapak Prof. Mardjono. Selanjutnya untuk mengawali diskusi kami persilahkan kepada moderator Bapak Firmansyah Arifin, S.H. dan kepada para pembicara Bapak Frans Hendra Winarta, S.H., Bapak Prof. DR. Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Bapak Sudhono Iswahyudi, S.H, serta Bapak Luhut MP Pangaribuan, S.H., LL.M untuk menempati tempat yang telah disediakan.

Moderator: Firmansyah Arifin
Terima kasih atas waktu yang telah diberikan oleh panitia atau pembawa acara. Selamat pagi, Assalamu’alaikum Wr. Wb, salam sejahtera untuk kita semua. Para peserta diskusi publik, Bapak ibu serta saudara-saudara sekalian yang  berbahagia, para nara sumber yang telah hadir di tengah-tengah kita semua.

Berkaitan dengan putusan MK yang membatalkan UU No. 16/2003 sebagaimana kita telah ketahui, banyak mengakibatkan atau berimplikasi pada beberapa persoalan yang terkait dengan kompleksitas atau persoalan-persoalan hukum yang terjadi kemudian. Paling tidak ada 3 hal yang kemungkinan terjadi atau diimplikasikan terjadi dari putusan MK. Pertama, barangkali apakah kemudian tidak terjadi semacam kekosongan hukum terhadap para pelaku bom Bali dengan kejadian instrumen yang telah dibatalkan oleh MK yang digunakan untuk menjerat pelaku atau orang-orang yang diduga menjadi pelaku peledakan bom di Bali. Kedua, paling tidak apakah tidak terjadi semacam implikasi hukum terhadap baik tersangka, terdakwa, maupun terpidana yang sudah diproses lewat pengadilan sebelumnya, dengan pembatalan pemberlakukan UU No. 16/2003 ini. Yang terakhir yang saya kira menarik juga untuk didiskusikan adalah apakah putusan MK dapat dijadikan sebagai novum, khususnya bagi terpidana untuk mengajukan Peninjauan Kembali kepada MA.

Tiga hal ini memang sudah didiskusikan, diperdebatkan di beberapa tempat, di mass media juga. Tapi paling tidak pada kesempatan kali ini kita coba menelaah lebih lanjut, mencoba melihat secara komprehensif beberapa hal yang sudah saya coba garisbawahi tadi. Atau juga mungkin dari Bapak Ibu sekalian punya catatan-catatan sendiri dari implikasi putusan MK ini.

Seperti yang telah disampaikan tadi, di tengah-tengah kita sekarang ini sudah ada 4 (empat) nara sumber yang akan menyampaikan permasalahannya berkaitan dengan tema diskusi kita kali ini. Yang pertama Bapak Sudhono Iswahyudi, dari Kejaksaan, sebagai nara sumber pertama. Yang kedua dilajutkan dengan Bapak Prof. DR. Ronny Rahman Nitibaskara, yang ketiga Bapak Luhut MP Pangaribuan, yang keempat dari Komisi Hukum Nasional Bapak Frans Hendra Winarta. Kita langsung saja saya kira untuk kesempatan pertama saya persilahkan Bapak Sudhono Iswahyudi untuk menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan tema kita kali ini. Silahkan Pak, selama 10 menit kurang lebih.

Sudhono Iswahyudi
Bismillahirrohmannirohiim. Assalamu’alaikum wr. Wb. Bapak ketua Komisi Hukum Nasional beserta anggota, para hadirin sekalian terutama para pakar yang hadir pada kesempatan kali ini. Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada jajaran Kejaksaan sebagai salah satu pilar penegakan hukum di Republik ini, untuk menyampaikan beberapa pemikiran sehubungan dengan putusan MK yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap kasus bom Bali. Kita katakan saja demikian. Waktunya singkat sehingga langsung saja kami sampaikan pokok-pokok pemikiran yang dapat menjadi bahan mewarnai dalam diskusi yang menyangkut implikasi putusan MK tersebut.

Dari aspek yuridis praktis, pertama, putusan MK yang substansinya telah menolak pemberlakukan UU NO. 16/2003 tentang Pemberlakuan Perpu No. 2/2002 yang memberlakukan Perpu No. 1/2002 khusus untuk kasus bom bali. Dan substansi kedua adalah putusan MK yang menyatakan bahwa UU No. 16/2003 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Walaupun mungkin Bapak-Bapak sudah mengetahui latar belakang putusan tersebut tapi kiranya kita bisa mereview sebentar yaitu tentang substansi dari tuntutan atau permohonan kunci pelaku kasus bom Bali yang bernama Masykur Abdul Kadir.

Substansi tuntutan dari Masykur Abdul Kadir pada intinya adalah sebagai berikut. Pertama, Amandemen II UUD 1945 Pasal 28I ayat (1) berbunyi “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Kemudian alasan Kedua, TAP MPR RI No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan Pasal 2 menyatakan bahwa “tata urutan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya”. Pasal 4 ayat (1) dalam TAP tersebut berbunyi “sesuai dengan tata urut perundang-undangan di Indonesia, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi.” Yang Ketiga, bahwa UU No. 16/2003 jo Perpu No. 2/2002 secara materiil bertentangan dengan UUD 1945 yang telah diamandemen, karena memberlakukan secara surut atau retroaktif terhadap UU No. 15/2003 jo Perpu No. 1/2002 tentang Terorisme. Oleh karena itu Perpu atau UU No. 16/2003 tersebut batal demi hukum, oleh karena itu harus dicabut. Yang Keempat, jaksa dalam dakwaannya mendakwakan Masykur Abdul Kadir (pemohon uji), membantu para pelaku Tindak Pidana Terorisme di Denpasar Bali yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002, yaitu sebelum keluarnya UU No. 16/2003 jo Peprpu No. 2/2002 yang memberlakukan Perpu No. 1/2002 tentang Terorisme. Yang Kelima, bahwa tindakan DPR RI yang telah mengesahkan kedua UU tersebut dinilai telah bertindak secara tidak adil/diskriminatif dalam menyikapi kasus bom Bali dibandingkan dengan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan lainnya di Indonesia seperti di Ambon, Poso, dan Kalteng sehingga hanya memberlakukan kasus bom Bali sebagai kejahatan kemanusiaan.

Kemudian kalau latar belakang pembentukkan Perpu saya kira kita semua sudah dapat mengikuti semuanya. Kemudian implikasinya dari penegakkan hukumnya bahwa dari segi penerapan dan penegakkan hukum dari kasus bom Bali, putusan MK No. 013/PUU-I/2003 atau kita sebut saja putusan MK No. 013, memberi implikasi yuridis, menurut hemat kami adalah sebagai berikut, Pertama, memberi para terdakwa perkara bom Bali yang sudah memperoleh putusan pengadilan – pertama yang dikelompokkan bagi mereka yang sudah berkekuatan hukum tetap dan yang kedua adalah bagi mereka yang belum berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan Pasal 47 UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa putusan MK mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Dengan demikian putusan MK tersebut secara yuridis mulai berlaku sejak 23 Juli 2004. Oleh karena jumlah kasus perkara bom Bali seluruhnya adalah 33 berkas perkara. Dari 33 itu, 25 sudah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, artinya sudah pada proses banding dan kedua pihak sudah terima, belum ada yang mengajukan PK. Yang memohonkan grasi sudah ada, dan 2 permohonan sudah ditolak. Dari 25 putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut, berdasarkan bunyi materi Pasal 47 UU No. 24/2003, maka kami berpendapat bahwa putusan MK No. 013 tersebut tidak mempunyai implikasi secara yuridis terhadap kasus bom Bali yang sudah diputus dan berkekuatan hukum tetap, termasuk di antaranya adalah kasus yang diajukan oleh pemohon uji materiil UU yaitu Masykur Abdul Kadir. Dengan demikian putusan MK tersebut sudah tidak ada pengaruhnya dengan si pemohon uji, dan 24 berkas perkara lainnya. Dan kemudian terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai hukum tetap jumlahnya ada 8 perkara. Dari 8 berkas perkara itu yang 2 pada proses tahap banding dan yang 6 dalam proses tahap kasasi. Dengan adanya putusan MK tersebut kami berpendapat tentunya akan menjadi bahan pertimbangan bagi hakim untuk menentukan sikap, apakah akan memutus perkara tersebut dengan memperhatikan putusan MK yaitu akan menghentikan proses hukumnya dengan suatu penetapan. Terhadap sikap yang akan diambil oleh hakim tersebut, tentu saja masing-masing pihak baik JPU maupun terdakwa masih dapat melakukan upaya hukum selanjutnya, yaitu pada proses atau jenjang tingkat peradilan yang sedang berlangsung. Bahwa diantara para terdakwa kasus bom Bali tersebut perlu juga kami sampaikan selain didakwakan dengan dakwaan melanggar Perpu No.1/2002 jo UU No. 15/2003 mereka juga didakwakan dengan ketentuan-ketentuan pidana di luar Perpu yaitu UU No. 12/Drt/1951 Pasal 1 dan Pasal 2. Dakwaan diajukan secara berlapis baik kumulatif maupun subsidair. Walaupun kemudian hakim akan mempertimbangkan putusan selanjutnya berdasarkan putusan MK di atas namun berdasarkan fakta yuridis di persidangan mereka masih tetap dapat dikenakan berdasarkan UU Pidana yang didakwakan yang lain.

Kemudian Kedua, bagi perkara-perkara yang sedang dalam proses peradilan yang belum memperoleh putusan pengadilan sampai saat ini belum ada. Oleh karena itu apabila mungkin nanti akan ditemukan pelaku kasus bom Bali yang lain yang memang masih ada beberpa orang, antara lain adalah Dulmafin, DR. Ashari, dan satu orang lagi yang masih anonim. Apabila mereka ditemukan tentu saja penegak hukum akan menyikapi dengan menggunakan instrumen aturan hukum yang lain, untuk dikenakan terhadap mereka. Antara lain tentu saja dengan mengacu aturan umum KUHP serta yang selalu bisa dikenakan adalah UU Drt No.12/1951. sampai saat ini masih belum ada proses tersebut.

Kemudian Ketiga, implikasi putusan MK terhadap terpidana kasus bom Bali yang sudah berkekuatan hukum tetap, apakah mungkin akan diajukan PK dengan alasan novum. Kami berpendapat berdasarkan ketentuan dalam Bab XVII bagian 2 Pasal 263 KUHAP ayat (2) butir a menentukan bahwa upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya, yaitu atas dasar, ayat (1) apabila terdapat keadaan baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang yang masih berlangsung, maka hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Atau terhadap perkara itu diterapkan dengan ketentuan pidana yang lebih ringan, ayat (2) dst. Menurut rumusan Pasal 263 ayat (1) butir a yang tersebut di atas, maka kami berpendapat bahwa keadaan baru (novum) yang dimaksud adalah suatu keadaan yang pada saat kejadian memang sudah ada, namun tidak dimunculkan di dalam proses persidangan. Sehingga hakim bisa menyikapi dengan membebaskan atau melepaskan dst. Oleh karena putusan MK No. 013 dikeluarkan pada tanggal 23 Juli 2004, yaitu pada waktu sesudah selesainya perbuatan yang didakwakan oleh Jaksa terjadi, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UU No. 24/2003 jo ketentuan di dalam Pasal 263 KUHAP  ayat (2) butir a, kami berpendapat bahwa putusan MK tersebut tidak masuk dalam kategori novum (hal yang baru) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 263 KUHAP. Dengan demikian putusan MK tersebut tidak dapat digunakan alasan untuk mengajukankan PK terhadap putusan pengadilan kasus bom Bali yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Kemudian tentu saja kami mencoba masuk kepada masalah teoritis, apakah putusan MK tersebut masih mungkin dikategorikan novum berdasarkan perkembangan teori tentang hukum pidana yang sedang ada perubahan setiap saat di dunia ilmu pengetahuan? Perkembangan hukum saat ini memang telah mengenal dengan apa yang disebut sebagai aliran hukum normatif dan sosiologis. Pandangan para ahli hukum normatif mengedepankan pentingnya prinsip kepastian hukum khususnya di dalam hukum pidana. Karena dengan adanya kepastian hukum akan adanya jaminan kepada masyarakat tentang adanya perlindungan atas kepentingan-kepentingannya dan kepentingan masyarakat yang telah dicederai oleh pelanggar hukum. Bagi penganut aliran hukum normatif maka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali dengan adanya fakta baru yang bisa dikategorikan novum tersebut, maka putusan tersebut tidak dapat ditinjau ulang atau direview. Berdasarkan fakta yang berlangsung selama ini, putusan MK bukan merupakan hal yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHAP. Oleh karena itu tidak mungkin dilakukan review atau PK.

Namun kita juga mengenal bahwa di samping pandangan tersebut, bagi penganut aliran hukum sosiologis yang mengutamakan rasa keadilan masyarakat. Dari aliran ini berpendapat, apabila memang ada suatu keadaan yang dinilai dapat lebih mewujudkan rasa keadilan masyarakat yang sebenarnya, maka selalu terbuka kemungkinan untuk dilakukan koreksi terhadap setiap putusan walaupun sudah berkekuatan hukum tetap. Masalahnya apakah dengan adanya putusan MK No. 013 tersebut dapat dijadikan alasan bagi para terpidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk mengajukan PK? Hal tersebut dapat diterima oleh rasa keadilan masyarakat secara umum di Indonesia. Apalagi bila sampai putusan PK itu dapat membebaskan para terpidana dari jerat hukum, apakah rasa keadilan masyarakat dapat terpenuhi atau justru sebaliknya? Penulis berpendapat baik dari pandangan aliran hukum normatif maupun sosiologis dengan logika hukum apapun sungguh tidak dapat diterima dan sangat menusuk rasa keadilan masyarakat, apabila sampai para terdakwa kasus bom Bali yang jelas-jelas telah terbukti dan mengakui perbuatannya tersebut dapat dibebaskan demi predikat novum dan mereka bisa kembali berkeliaran di tengah masyarakat. Sungguh merusak nilai-nilai keadilan yang sedang kita tegakkan. Saya kira itulah yang ingin saya sampaikan, terima kasih, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Firmansyah Arifin
Terima kasih Pak Sudhono. Sedikit saya mau memperjelas beberapa poin yang tadi Pak Sudhono sudah sampaikan. Yang pertama soal jumlah berkas perkara itu, tadi Pak Sudhono menyampaikan ada 33 berkas perkara berkaitan dengan kasus bom Bali, itu diklasifikasikan menjadi 2. Jadi 25 berkas perkara yang sudah mempunyai putusan tetap, dianggap sudah berkekuatan hukum tetap karena ada proses banding, dan dalam proses banding itu ada beberapa yang sudah menerima putusan pengadilan. Kemudian yang kedua belum mempunyai kekuatan hukum tetap, karena ada proses banding.

Sudhono Iswahyudi
Sebentar kami jelaskan. Dari 33 berkas perkara 25 sudah berkekuatan tetap, sisanya tinggal 8. Dari 8 itu, 2 sedang proses banding dan 6 dalam proses kasasi.


Firmansyah Arifin
Dari klasifikasi yang sudah dibuat oleh Pak Sudhono, paling tidak poin yang sudah saya catat juga tadi adalah bagi si Pemohon itu sendiri, Masykur Abdul Kadir, dianggap tidak ada implikasi atau pengaruh dari putusan MK. Karena sudah masuk dalam kategori, putusan pengadilan sebelumnya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kemudian di luar proses pembatalan itu, masih bisa sebenarnya digunakan beberapa peraturan perundangan yang lain, baik dari KUHP maupun UU Drt No. 12/1951. Yang menarik juga yang dikatakan Pak Sudhono tadi adalah berkaitan dengan implikasi tadi. Yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap dari seluruh tersangka atau terdakwa perkara bom Bali, itu putusan MK ini dianggap tidak masuk atau tidak bisa digunakan sebagai novum. Apakah ini pendapat Pak Sudhono atau bisa mewakili sebagian kalangan Kejaksaan yang melihat proses perkara ini?

Sudhono Iswahyudi
Jadi yang mungkin ada implikasinya adalah putusan pengadilan terhadap perkara-perkara bom Bali yang belum berkekuatan hukum tetap, karena masih ada proses banding atau kasasi. Dan untuk ini hakim masih bisa mungkin mempertimbangkan adanya putusan MK yang bisa berakibat pada penemuan keputusannya.

Firmansyah Arifin
Baik kalau begitu kita lanjut kepada pembicaar kedua, Pak Ronny Rahman Nitibaskara, mungkin yang akan disampaikan adalah lebih banyak meninjau iimplikasi putusan MK dari aspke atau bidang sosiologis. Silahkan Pak Ronny.

Ronny Rahman Nitibaskara
Terima kasih Pak. Bismillahirrohmanirrohiim, Assalamu’alaikum wr. wb, salam sejahtera selamat pagi. Yang saya hormati Prof. Mardjono Reksodiputro, kawan-kawan dari KHN, rekan-rekan para panelis dan yang hadir di acara ini. Pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk turut serta urun rembug dalam forum ini, saya merasa sangat terhormat dan kebetulan para panelis saya kenal semua. Mulai dari yang paling ujung sebelah kiri itu adalah pengacara terkenal Pak Luhut Pangaribuan, itu orang batak tapi gayanya gaya Solo, mirip Prof. Dr. Bismar Siregar, Pak Jampidsus saya kenal waktu di Bandung dan Pak Frans Hendra Winarta adalah saya lebih kenal baik dengan anaknya yang cantik, mahasiswa saya yang cantik, S2. Karena waktunya sangat singkat saya akan mencoba memenuhi waktu yang hanya 10 menit.

Sebagaimana yang kita ketahui 4 dari 9 hakim majelis mengajukan dissenting opinion. Dan menurut hemat saya kalau kita mencoba memeras masalahnya menjadi 2 persoalan saja, yaitu pertama adalah asas non-retroaktif, dan kedua mengenai definisi terorisme. Saya ingin mulai membahas yang kedua karena terorisme yang sekarang lebih dipahami condong pada one dimentional conception on terrorism, padahal realitanya batasan terorisme itu masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Implikasi dari tiadanya definisi yang disepakati, barangkali dalam logika hukum MK tentu pada perumusan teoriknya menjadi terganggu. Sehingga perlu adanya parameter yang sahih untuk meletakkan peledakan bom di Bali sebagai kejahatan yang luar biasa, extraordinary crime. Sementara untuk meningkatkannya lagi menjadi kejahatan kemanusiaan, crime against humanity, tentulah dibutuhkan ukuran yang lebih ketat lagi.

Saya ingin menyinggung sedikit pendapat Prof. Muladi yang mengatakan bahwa Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala perse atau mala inse dan bukan mala prohibita. Artinya kejahatn terhadap hati nurani menjadi jahat bukan karena diatur diatur oleh UU, tapi pada dasarnya memang tercela. Nah untuk mendukung argumentasinya MK merujuk negara pun dapat menjadi pelaku terorisme, state terrorism. Untuk ini ada beberapa tulisan saya di Kompas yang membahas state terrorism. Alur pemikirannya kira-kira begini. Kalau memang jatuhnya korban non combatant atau warga sipil dijadikan patokan bahwa peristiwa bom Bali itu merupakan terorisme, lalu mengapa Amerika Serikat yang membom Afganistan dan Irak dengan korban rakyat sipil yang ratusan ribu bahkan sekarang telah menjadi jutaan, tidak secara resmi dunia menempatkannya sebagai teroris. Demikian pula Israel tidak satupun negara di dunia ini yang berani memperjuangkan di PBB bahwa negara Zeonis itu sebagai teroris. Sulitnya menempatkan kedua negara itu sebagai teroris, nampaknya karena istilah hegemoni makna. Mereka yang seakan-akan berkuasa untuk menentukan siapa yang teroris siapa yang bukan. Hal semacam ini telah menjadi klasik dalam studi kriminologi, bidang yang saya geluti, yaitu buah hukum untuk dikenakan yang diatur bukan yang mengatur. Apabila mereka berperilaku sudah siap dengan payung hukum sebagai pembenaran. Misalnya melakukan perang melawan terorisme (war terrorism), karena perang melawan terorisme apapun sepak terjang pelaku bahkan yang melebihi terorisme tidakdikategorikan sebagai terorisme malainkan excessive use of force, tindakan berlebihan dalam penggunaan sarana paksa. Yang kedua alasan perang, alibi ini dalam wacana penggunaan kekerasan tentu lebih santun dalam terorisme. Karena dalam perang ada payung hukum yang membenarkan kekerasan yang mematikan (deadly force). Tapi dalam praktiknya sebagaimana kita lihat perang seringkali hanya menjadi ajang penghancuran dan pertumpahan darah. Legitimasi AS untuk menumpahkan darah di Irak bisa saja menggunakan dalil-dalil hukum yang indah dan masuk akal tetapi hal itu tidak menghapus realita bahwa yang dilakukan itu tidak jauh dari terorisme.

Sementara kembali kepada problema definisi terorisme, perlu saya sampaikan bahwa seorang ahli pakar yang mempelajari terorisme Walter Riguld, dikatakan bahwa tidak kurang dari 160 konsep terorisme dengan berbagai sudut pandang. Di sini kita lihat tidak mudah untuk merumuskan terorisme itu seperti apa. Jika serangan AS atau Israel dianggap bukan sebagai teror karena tindakan itu dianggap sebagai memperjuangkan ideologi hukum, pihak yang dituding sebagai teroris juga memiliki motif yang sama, terutama bagi mereka yang selama ini ditempatkan sebagai pengusung simbol-simbol garis keras. Seperti yang terungkap dalam persidangan beberapa pelaku bom Bali, bahwa peledakan itu ditujukan kepada AS dan sekutunya. Disini alasannya cukup logis bahwa AS memusuhi dan menghancurkan Islam. Itu dalam pandangan Samudra dan kawan-kawan. Peledakan bom di Bali bukanlah terorisme, melainkan war. Karakter perang inilah yang menjadikan sebagian besar pelaku peledakan bom di Bali tampak merasa tidak bersalah atas perbuatannya. Maka jatuhnya korban sipil dianggap sebagai keniscayaan yang lumrah terjadi pada setiap orang. Pertanyaanya lagi adalah mengapa harus di Bali? Hal ini semata-mata alasan strategi. Perang ini digelar di semua front dan lini. Kawasan yang menjadi target secara teoritis dalam kategori extended territory, termasuk JW Marriot, yakni bagian tak terpisahkan dari sasaran utama, yaitu AS. Karena itu, sasaran tersebar di segala arah sepanjang simbolisasi sasaran inilah yang menyebabkan serangan kepada AS dalam wacana negeri adikuasa itu diberi istilah global terrorism. Pihak barat, khususnya AS, cukup mahfum atas perkembangan perang ini. Tak sedikit penulis yang menyadari bahwa “a global jihad movement that sees the West and secular values as the enemy of islam” (Newsweek 2/2004). Bahkan mereka juga menangkap dengan jelas dan cukup paham terhadap pesan-pesan seperti yang disampaikan tokoh Al-Qaeda, Azman Al-Zawahiri, 52 tahun, yang mengatakan we Muslims are under attack, and we must strike back. Tetapi penulis ini, meski telah paham dengan pesan tersebut, tetap mengatakan pada tulisannya yang sama bahwa Al-Zawahiri sebagai, “the most powerfull terrorism in the world”. Oleh karena itu penamaan teroris menunjukkan adanya relativitas makna terorisme.

Relativitas tersebut pada akhirnya jelas semakin menyulitkan perumusan apa itu yang disebut terorisme. Padahal kita tahu, implikasi dari kesulitan ini langsung berpengaruh pada ketentuan pidana tindak pidana terorisme yang hendak dirumuskan. Sampai di sini, barangkali problematika definisi sebagaimana dijadikan konsideran oleh MK dapat kita dimengerti. Adalah tidak adil bahwa suatu perbuatan dengan kualitas yang sama, bahkan lebih merusak, tidak disebut dan dihukum sebagai terorisme, sementara perbuatan lain yang serupa justru ditempatkan sebagai terorisme.

Saya sampai pada problematika hukumnya. Pak Yusril pernah mengatakan bahwa kasus peledakan bom Bali yang sudah selesai disidangkan, penggunaan UU No.16/2003 tetap sah. Hal ini merujuk pada Pasal 58 MK. Namun terhadap kasus yang dalam tahap persidangan, kalau tuntutan belum dibacakan, maka UU No. 16/2003 akan dikesampingkan. Yang akan diteruskan adalah tuntutan subsider yang didasarkan atas Pasal KUHP dan UU No. 12/1951. Untuk kasus yang belum dilimpahkan ke pengadilan, masih dalam tahap penyidikan, maka UU No. 16/2003 itu akan dikesampingkan sama sekali. Berpijak pada Pasal 58 UU No. 58 Tahun 2003 tentang MK mengatakan, ”UU yang diuji oleh MK berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945”, maka terhadap putusan yang sudah in kracht dalam kasus bom Bali seperti sudah final, karena memang UU No. 16/2003 itulah hukumnya. Tetapi persoalannya, untuk kasus yang sama, kemudian para pelaku mendapat ganjaran hukuman yang sangat berbeda karena perbedaan hukum yang mengaturnya, apakah pertanyaannya, adil? Untuk itu, besar kemungkinan mereka yang sudah diputus akan mengajukan peninjauan kembali, dengan novum pembatalan UU tersebut.

Sebagaimana kita ketahui Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP mengatakan, PK dapat diajukan apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu telah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Apabila PK itu diajukan, kita tinggal menunggu sikap dan pandangan MA terhadap terorisme, khususnya peledakan bom Bali. Apabila MA berpendapat bahwa peristiwa di Legian, Kuta, patut dipercaya pengadilan tertinggi itu akan tetap memberi ganjaran hukuman yang berat. Dasar hukum yang dipergunakan sampai pada tingkat hukuman mati tidak terjadi kekosongan, paling tidak dapat dipergunakan Pasal 340 jo Pasal 55 dan 56 KUHP serta UU No. 12 (Drt) Tahun 1951 tentang Senjata Api. Ketentuan pidana dalam UU No. 12/1951 cukup berat, yaitu pidana mati bagi mereka yang membawa, menyimpan dan seterusnya senjata api dan bahan peledak. Rekan saya Pak Andi Hamzah pernah mengatakan, kalau terdakwa bebas atau lepas dari tuntutan pembunuhan, perampokan, dan pembajakan, ia tidak lepas dari delik membawa senjata api. Artinya, terdakwa bom Bali bisa saja lepas dari ancaman hukuman yang terdapat dalam UU No. 15/2003 tentang Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU, tetapi mereka sulit lepas dari ancaman pidana yang sama beratnya dalam KUHP dan UU No. 12/1951. Uraian yang saya sampaikan dari segi yuridis tersebut, walaupun sangat sederhana, semoga dapat menjawab permasalahan yang diajukan dalam TOR diskusi publik ini.

Jelaslah menurut hemat saya, tidak sepenuhnya terjadi kekosongan hukum. Karena masih ada instrumen hukum lain yang dapat dipergunakan untuk menjerat para pelaku. Karena tiadanya kekosongan hukum tersebut, implikasi hukumnya terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana kasus bom Bali tidak banyak. Pembatalan UU No. 16/2003 itu mungkin akan dijadikan batu pijakan untuk PK, tetapi melihat realitas yang terjadi, rasanya sulit bagi MA membebaskan para pelaku dari tuntutan hukum. Mungkin saja MA tidak menilai pembatalan UU tersebut sebagai novum, sehingga permohonannya, ujung-ujungnya PK akan ditolak. Wallahu a’lam bissawab. Wassalamu’alaikum wr. wb.

Firmansyah Arifin

Ya beberapa poin yang disampaikan oleh Pak Ronny diantaranya apakah bisa dijadikan sebagai novum atau juga ada poin-poin yang sudah disampaikan oleh pembicara sebelumnya, bahwa kemungkinan tidak akan terjadi kekosongan hukum terhadap pembatalan UU No. 16/2003. Kemudian Pak Ronny juga melihat kayaknya, kesannya MK tidak akan menerima putusan MK ini sebagai novum. Walaupun di awal, ini menarik apa yang disampaikan oleh Pak Ronny dari sudut sosiologis atau kriminologis untuk melihat relativitas terrorism itu berkaitan dengan adanya sebuah hegemoni makna yang menunjukkan sebuah hukum itu bisa dikenakan bagi yang akan diatur bukan yang mengatur. Ini dilihat dari aspek kasus bom Bali mencoba membandingkan dengan kasus yang lain, masih terjadinya relativitas terrorism itu sendiri yang kemudian dibakukan dalam bentuk hukum. Kemudian Bang Luhut saya persilahkan untuk melihat dari beberapa aspek pidana yang menunjukkan nanti ada implikasi-implikasi yang mungkin dari putusan MK.

Luhut MP Pangaribuan
Terima kasih saudara moderator. Bapak dan Ibu sekalian mungkin saya akan berbicara kurang dari 10 menit, sebagaimana yang direncanakan. Karena apa yang disampaikan 2 panelis sebelumnya sudah cukup padat untuk bahan diskusi. Oleh karena itu tidak perlu mengulang lagi apa yang disampaikan secara panjang lebar. Dan yang kedua barangkali dalam diskusi publik siang hari ini, adalah baik untuk memberikan kesempatan yang luas kepada 2 saksi ahli, yang saya baca putusan MK itu, kepada mereka disandarkan pertimbangan-pertimbangan hukum. Sehingga sampai pada amar yang mengatakan bahwa UU No. 16 itu bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.

Kalau saya baca argumentasinya, Majelis MK itu banyak menyandarkan pada pendapat ahli, yaitu yang pertama DR. Maria Farida dan Prof. Harun Alrasid. Terus terang pengalaman saya sebagai praktisi dalam waktu yang cukup lama, terlepas dari pro dan kontra terhadap putusan MK ini, argumentasi yang ada di dalam, jadi argumentasi hukum yang ada dalam putusan ini, menurut hemat saya, itu sangat kaya, sangat berbobot. Jadi kalau kita bandingkan dengan putusan MA, putusan pengadilan sebelumnya, apa yang dilakukan oleh MK itu merupakan satu proses reasoning dalam dunia hukum yang sangat baik. Terlepas dari posisi mana kita menempatkan diri, apakah pro dan kontra. Dan apa yang dikatakan oleh Prof. Harun dan Ibu Maria sangat baik. Termasuk di dalamnya mengenai dissenting opinion yang dilakukan oleh Majelis yang lain. Oleh karena itu, mudah-mudahan saya kira kalau kita punya produk putusan seperti ini dan kemudian ada kesempatan untulk mendiskusikannya, maka para ahli hukum kita ini atau hukum kita itu pada waktunya akan baik. Sebab adalah dalam praktiknya sekarang ini orang hanya melihat amar putusan, bukan pertimbangan-pertimbangan hukumnya. Karena kita tidak pernah melihat sesuatu di dalam pertimbangan hukum itu, tetapi kita mendapatkan sesuatu di dalam amar putusannya. Jadi pertama, saya ingin menyampaikan bahwa ini suatu putusan yang penuh dengan satu pendekatan, baik saya lihat dari aspek hukumnya yang normatif, baik dalam yang bersifat hukum internasional maupun nasional, termasuk juga di dalamnya diskusi mengenai filsafat hukum. Saya kira secara hukum saya lihat ada di dalam putusan-putusan itu. oleh karena itu barangkali dalam segala aspek itu kalau ada waktu bisa kita diskusikan pada siang hari ini. Yang kedua, sebagaimana di dalam TOR disampaikan ada 3 isu yang utama, tetapi ini lebih pada sasaran praktis saya kira, yang juga di dalam tataran praktis terjadi juga pro dan kontra.

Yang pertama yang menjadi pertanyaan apakah terjadi kekosongan hukum? Tadi Prof. Nitibaskara sudah menjawab dengan baik. Saya kira tidak akan terjadi kekosongan hukum, karena yang dinyatakan bertentangan dengan UUD adalah UU No. 16, sementara ada juga UU No. 15 yang berkaitan dengan terorisme. Jadi artinya masih ada hukum yang berkaitan dengan terorisme, tapi tentu saja itu nanti untuk perkara-perkara yang akan datang. Disamping juga ada perundang-undangan yang lain yang berkaitan dengan tindak pidana. Tadi dikatakan ada yang diatur di dalam KUHP, UU Drt Tahun 1951, dan saya kira ada berbagai perundang-undangan. Jadi artinya bahwa hukum materiilnya tetap ada, tapi barangkali secara teknis, mungkin pihak Penyidik atau Penuntut Umum, termasuk Pengadilan, kalau tidak ada UU Teroris yang No. 16 ini pembuktiannya itu mungkin lebih sulit, karena dalam proses pembuktian itu sangat ketat. Ditanyakan faktanya apa, kemudian alat bukti apa yang bisa menerangkan fakta itu. Di dalam UU Teroris saya kira yang dinyatakan tidak mengikat itu dan bertentangan dengan UUD 1945, relatif saya kira, mungkin secara teknis untuk membuktikannya. Jadi untuk mengajukan orang yang dianggap ada kaitannya dengan teroris itu lebih mudah untuk dibawa ke Pengadilan dan diperiksa. Jadi banyak pada aspek teknisnya. Oleh karena itu menjawab pertanyaan apakah akan terjadi kekosongan hukum? Saya kira tidak akan terjadi kekosongan hukum dalam arti yang umum. Mengenai pertanyaan yang kedua yaitu implikasi terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana. Jadi ada 3 statusnya terhadap tersangka yang memang sekarang ini, yang menjadi tersangka yang diduga menjadi teroris ini jumlahnya cukup banyak, seperti yang sudah dikatakan oleh Pak Jampidsus tadi. Tapi kalau saya lihat berita di Tempo, ini cukup banyak. Jadi yang masih belum diproses. Sepengetahuan saya biasanya penyidik itu selalu menggunakan begitu banyak pasal-pasal hukum yang dikenakan. Mungkin di dalam satu segi ini bisa merupakan satu kelemahan karena di dalamnya bisa ada kesewenang-wenangan. Saya tidak tahu, di sini ada Bapak Jaksa. Pengalaman saya kalau menemukan kasus-kasus pidana, kalau ada peristiwa, pasal berapa saja yang akan dikenakan itu sangat bergantung atau pada diskresi penyidik ybs. Dan tidak ada saya kira suatu proses kontrol terhadap penentuan tuduhan apa yang akan dikenakan dalam suatu peristiwa yang dilaporkan kepada penyidik. Jadi kalau misalkan kita pergi ke Penyidik untuk membuat laporan, nanti bisa keluar berbagai macam pasal-pasal perundang-undangan yang disebut “pukat harimau”. Oleh karena itu di dalam proses Pasal 335 KUHP itu menjadi terkenal yaitu perbuatan tidak menyenangkan. Terhadap semua peristiwa itu bisa dikenakan tindakan perbuatan tidak menyenangkan, karena apa? Tentu ada alasan-alasannya, antara lain yang saya tahu bahwa perbuatan tidak menyenangkan itu bisa ditahan. Jadi dikaitkan dengan pertanyaan ini, saya tidak tahu persis Pasal berapa saja yang disangkakan kepada para tersangka itu, saya kira banyak pasal. Nah yang dikatakan oleh MK sebagai tidak lagi berlaku tentu saja dapat diteruskan penyidikannya dengan pasal-pasal tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan yang lain. Karena peristiwanya ada di sana tapi hukumnya saya kira yang menjadi persoalan. Nah sama juga dengan yang sudah menjadi terdakwa sekarang ini. Mungkin yang menjadi soal nanti adalah soal terpidana dan ini tadi sudah disampaikan yang berkaitan dengan PK.

Apakah putusan MK ini dapat dijadikan sebagai novum? Tadi sudah dikutip oleh Prof. Nitibaskara Pasal 263 KUHAP, bahwa di sana dikatakan apabila ada keadaan baru yang tidak diketahui ketika proses itu berjalan. Apa yang dimaksud dengan keadaan baru itu tidak dijelaskan secara persis. Tapi menurut saya adanya putusan MK ini bisa dianggap atau dijadikan sebagai keadaan baru sebagai alasan untuk mengajukan PK. Karena dalam bagian yang lain Pasal 263 KUHP itu dikatakan supaya jangan diterapkan ketentuan pidana yang lebih berat. Jadi kepada yang bersangkutan supaya diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Antara lain saya kira dengan penerapan UU No. 16/2003 ini lebih berat daripada UU yang lain. Yang bersangkutan berhak untuk menggunakan ketentuan ini dalam melakukan PK. Jadi itu implikasinya saya kira terhadap tiga isu yang menjadi pokok diskusi ini.

Selanjutnya ada hal yang menarik dari putusan MK ini yang saya lihat. Ada beberapa isu yang dibicarakan, yaitu antara retroaktif,  dan impunity. Jadi 2 hal ini saya kira yang didiskusikan dan dipertentangkan saya kira, dengan argumentasi-argumentasi yuridis. Sama seperti yang dikatakan DPR dan Pemerintah bahwa itu penerapan UU No. 16 tidak melanggar UUD 1945. Karena UUD 1945 itu dia merujuk kepada satu kewajiban. Ada satu kewajban kalau ada kejahatan. Saya tidak tahu di Pasal 28J kalau tidak salah itu mereka katakan. Jadi interpretasi yang digunakan oleh Pemerintah dan DPR. Dan yang kedua mereka mengatakan bahwa retroaktif itu sifatnya juga tidak absolut. Nah tidak absolutnya itu kalau dikaitkan dengan impunity. Kalau itu diterapkan secara absolut maka nanti padsa akhirnya akan ada kejahatan tanpa ada hukuman. Itu yang disebutkan dengan impunity. Nah saya kira dipaparkan argumentasi itu dalam putusan saya kira sangat baik. Tinggal saya kira pada akhirnya nanti dengan hakim bagaimana dia akan menempatkan posisi. Jadi uraian yang disebut dengan retroaktif dan uraian tentang impunity tadi. Dan kemudian juga dikatakan bahwa, ini argumentasi mengenai UUD dan saya bukan ahli UUD, bahwa UUD 1945 juga menganut satu konsep, bahwa yang namanya hukum dasar itu tidak hanya yang tertulis tapi juga yang tidak tertulis.

Kemudian saya kira di dalam putusan MK, pertimbangan MK masuk konsep keadilan dan kepastian saya kira. Itu ada teorinya Hans Kelsen. Tapi argumentasi itu saya kira cukup masuk akal apa yang akan disampaikan. Kemudian lebih jauh lagi yang banyak diulas berkaitan dengan asas legalitas, yaitu asas nullum delictum nulla puna sine previe lege poenali. Yang kemudian ada di dalam perundang-undangan kita ada di dalam KUHP. Tapi yang saya lihat di sana, dikatakan di sana bukan UU tapi perundang-undangan ada yang menterjemahkan hukum. Jadi kalau misalnya yang dimaksudkan adalah hukum, maka konsep keadilan itu menjadi bisa diterima. Jadi maksud saya bahwa argumentasi yang mengatakan bahwa asas retroaktif itu tidak mutlak menjadi bisa diterima manakala bisa dibenarkan oleh penjelasan-penjelasan mengenai keadilan. Yang mungkin oleh filsafat dinamakan mazhab hukum alam. Memang selalu begitu di dalam filsafat ada mazhab hukum positip dan mazhab hukum alam. Jadi kalau yang dimaksudkan, itu, diterjemahkan perundang-undangan atau hukum, saya tidak tahu persis bahasa Belandanya. Tapi kalau perundang-undangan atau hukum berarti dia mempunyai konsepsi yang lebih luas. Dan dikatakan juga bahwa yang mendahului asas nullum delictum ini ada asas nullum crimen sine poena, yaitu artinya yang disebut tadi dengan impunity, jadi kejahatan harus ada hukumannya. Jadi di dalam putusan ini tidak ada satu akhir di dalam diskusi ini, tapi ada satu yang sudah menjadi ketentuan di dalam perundang-undangan kita, khususnya diberikan kepada hakim, bahwa hakim itu diwajibkan mengikuti hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Jadi artinya bahwa pada akhirnya saya kira, dengan asas hukum yang mengatakan bahwa hakim boleh menggunakan hukum yang hidup termasuk juga di dalamnya hukum yang tidak tertulis, di dalam putusannya, karena hakim Indonesia kan tidak dilarang untuk menggunakan hukum yang tidak tertulis dalam mengambil suatu putusan. Karena kan ada juga asas misalnya, tapi ini di dalam hukum perdatra, hakim itu tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya. Tapi di dalam ketentuan-ketentuan yang lain, hakim itu mempunyai kewajiban, jadi sifatnya imperatif, untuk menangkap hukum yang hidup dan menerapkan di dalam putusannya.

Saya lihat bahwa perdebatan antara yang pro dan kontra di dalam putusan ini, saya kira dapat menjadi bahan untuk hakim. Dan dasarnya itu adalah yang saya katakan tadi bahwa di dalam UU Kekuasaan Kehakiman, dia wajib untuk mengikuti hukum yang hidup dan berkembang yang disebut leading law. Jadi oleh karena itu kalau ini diajukan ke MA dalam proses PK, kalau diajukan oleh Penuntut saya kira tidak bisa karena ini akan ne bis in idem. Dan kalau diajukan melalui proses PK dan terjadi juga proses pemikiran yang sama di MA, dengan argumentasi yang tadi,maka menurut hemat saya, kita akan mendapat satu sumber hukum yang disebut dengan yurisprudensi. Yang barangkali nanti bisa mengimbangi sumber hukum yang lain yang bernama UU melalui satu proses legislasi. Dan kenyataannya sumber hukum kita itu masih mayoritas atau didominasi proses legislasi. Sementara sumber dari putusan-putusan pengadilan itu masih kurang. Padahal sistem hukum kita mengatakan bahwa dua-duanya dapat diterapkan di dalam masyarakat. Saya kira itu secara singkat yang ingin saya sampaikan. Terima kasih.

Firmansyah Arifin

Terima kasih Bang Luhut. Saya langsung saja mau lanjutkan kepada Pak Frans Hendra Winarta, dan selanjutnya nanti akan kita buka satu sesi forum diskusi sebelumnya dengan para saksi ahli dan beberapa pihak yang terlibat dengan putusan MK ini. Silahkan Pak Frans.

Frans Hendra Winarta
Baik terima kasih saudara moderator. Jadi setelah kita mendengarkan 3 pembicara terlebih dahulu, jadi pekerjaan saya lebih mudah. Saya tinggal merangkum saja dari yang sudah ada. Tetapi terlepas dari itu saya juga ingin menambahkan hal-hal yang sudah secara padat disampaikan oleh 3 pembicara. Karena saya sendiri berpendapat putusan MK itu tentang pembatalan UU No. 16/2003 sebagai sesuatu putusan bersejarah, yang biasa dikenal sebagai landmark decisions. Karena ini kan mempengaruhi ke arah mana nanti sistem hukum kita akan berkembang. Mengingat begitu padatnya pertimbangan-pertimbangan dan para ahli yang sudah memberikan sedemikian banyak masukan, sebelum putusan ini dijatuhkan.

Ada hal yang perlu diperhatikan dan saya catat dalam putusan MK ini adalah ketika ada dissenting opinion dari 4 hakim di sana, bahwa menurut mereka UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (1) tidaklah bersifat mutlak. Karena keberadaan Pasal 28J UUD 1945 itu juga membatasi hak asasi seseorang dengan hak asasi orang lain. Dengan kata lain hak asasi seseorang juga harus menghormati hak asasi orang lain, apalagi jika berhubungan dengan hak asasi orang banyak yang bersifat umum. Keempat hakim tersebut setuju diberlakukannya asas retroaktif secara terbatas. Dan khusus mengenai para pelaku bom Bali ini karena rasa keadilan perlu diberlakukan asas retroaktif yang terbatas. Dalam hal ini menurut mereka, rasa keadilanlah yang harus diutamakan. Tadi sudah dibahas mengenai impunity dan rasa keadilan. Inilah pendapat 4 hakim yang mengajukan dissenting opinion itu. Terlepas dari itu semua kita harus menghormati apa yang diputuskan MK. Dan mengenai 3 hal yang dibicarakan pada pertemuan ini adalah masalah kekosongan hukum, yang menurut saya secara singkat bisa dikatakan bahwa sebetulnya tidak terjadi kekosongan hukum karena putusan MK ini. Apakah dengan adanya putusan MK itu bisa membuat juga selain kekosongan hukum, mengakibatkan para pelaku bom Bali bisa dibebaskan dari tuntutan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa berpegang pada Pasal 58 UU No. 58 tentang MK. Inilah yang belum dibicarakan oleh para pembicara tadi bahwa Pasal 58 ini dkatakan bahwa “UU yang diuji oleh MK berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945.” Berdasarkan Pasal tersebut, jelas bahwa UU No. 16/2003 itu masih tetap berlaku bagi para pelaku peledakan bom Bali. Jadi pada waktu sebelum ada putusan ini, itu berlaku, jadi putusan MK ini tidak bisa berlaku surut. Dan inilah nanti perdebatan mengenai novum ini mungkin dari titik tolak inilah MA bisa menganggap itu novum atau bukan. Apalagi terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap kasus peledakan bom Bali ini, bisa menjadi bahan pertimbangan oleh MA.

Selanjutnya bagaimana status perkara bom Bali yang masih dalam pemeriksaaan pengadilan itu, setelah adanya putusan MK? Untuk menjawab itu kita harus kembali kepada prinsip nullum delictum tadi. Para pelaku ini masih bisa dituntut dengan menggunakan Pasal 340 jo barangkali tadi Pasal 55 dan juga UU Darurat Tahun 1951. Lalu bagaimana dengan putusan itu sendiri apakah itu bisa lebih ringan atau tidak? Kalau menurut hemat saya UU Drt No. 12/1951, sebagai lex generali yang sudah lebih dulu ada dan berlaku jauh sebelum UU No. 16/2003, itu diberlakukan prinsip lex specialis derogat lex generali, yang artinya tidak perlu saya jelaskan lagi. Jadi tidak ada kekosongan hukum dalam hal ini, karena UU yang sudah ada bisa diberlakukan kepada pelaku peledakan bom Bali. Implikasi hukum terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana akan saya kupas lagi di sini.

Dengan adanya pembatalan UU No. 16 tadi, juga akan menimbulkan akibat hukum kepada tersangka, terdakwa, dan juga terpidana. Khususnya kepada tersangka, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak ada kekosongan hukum terhadap peristiwa peledakan bom Bali. Sekarang yang dapat jadi permasalahan adalah bagaimana landasan hukum dan implikasi permasalahannya terhadap para tersangka itu? Terhadap para tersangka yang masih dalam proses penyidikan tidak dapat lagi digunakan sebagai dasar hukum UU No. 16 untuk mengadili mereka. Aparat Kepolisian, Kejaksaan harus kembali kepada KUHP dan UU No. 12/1951 dan juga KUHAP. Hal ini disebabkan karena batalnya UU No. 16/2003. sedangkan terhadap terdakwa kasus bom Bali yang telah, yang masih dalam proses persidangan atau sedang mengajukan upaya hukum banding atau kasasi, tidak dapat digunakan lagi UU No. 16/2003. seandainya dengan asumsi JPU menuntut terdakwa dengan dakwaan berlapis dan ternyata itu Masykur Abdul Kadir tadi tidak akan kena hanya dengan UU Anti Terorisme saja. Dan berdasarkan UU No. 16 maka dakwaan tersebut akan dianggap gugur karena dasar hukum yang dipakainya sudah tidak mengikat lagi. Untuk perkara yang sedang berjalan. Tetapi kalau nanti pengadilan menolak dakwaan, dan menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima, maka JPU dapat menuntut lagi berdasarkan UU yang berlaku, berdasarkan UU Drt No. 12/1951 atau Pasal 340 KUHP. Akan tetapi jika JPU mendakwa terdakwa dengan dakwaan berlapis dan juga menggunakan dasar hukum selain UU No. 16, misalnya dengan KUHP dan UU Drt, maka dakwaan dari Jaksa masih tetap dapat diproses.

Bagi para terpidana kasus bom Bali yang telah diputus oleh pengadilan, dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka putusan itu tetap berlaku dan dapat dijalankan. Pembatalan UU No. 16 tidak berpengaruh terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dasarnya adalah Pasal 58 UU MK. Satu-satunya peluang bagi terpidana kasus bom Bali menurut hemat saya, untuk bebas dari putusan pengadilan adalah dengan mengajukan PK. Dengan mengajukan PK ini nanti akan tergantung dari pandangan MA sendiri apakah putusan MK dapat dianggap sebagai novum atau tidak. Saya juga tidak akan menguraikan apa yang disebut dengan novum, karena sudah diuraikan sebelumnya. Apakah nanti dianggap sebagai keadaan baru atau tidak itu terserah kepada MA. Tapi yang akan saya tambahkan di sini adalah bahwa pada prinsipnya asas retroaktif itu juga ditentang oleh International Criminal Court dan Declaration of Human Rights. Namun prinsip retroaktif itu telah juga dipakai untuk mengadili salah satu kasus perang dunia II. Dalam putusan Peradilan Nuremburg diperbolehkan prinsip retroaktif diberlakukan. Salah satu argumentasi yang dikemukakan Majelis Hakim pada waktu itu adalah bahwa prinsip non retroaktif hanya berlaku bagi kejahatan biasa, sedangkan bagi kejahatan luar biasa itu bisa diberlakukan. Nah ini mengenai apakah terorisme termasuk dalam extra ordinary crime atau tidak juga menjadi perdebatan yang menarik untuk diperhatikan. Peradilan Nuremberg dan Peradilan Tokyo, telah menciptakan satu konsep hukum internasional baru yang penting yang kemudian diakui oleh PBB dan diadopsi oleh hukum internasional dan dilaksanakan oleh Pengadilan Pidana Internasional lainnya, yaitu prinsip baru yang diatur dalam Statuta International Military Tribunal, Nuremburg dan International Military Tribunal for The Far East, Tokyo antara lain pertanggungjawaban pribadi dan asas retroaktif tadi. Prinsip pertanggungjawaban pribadi diatur dalam Pasal 6. Dalam persidangan tersebut telah ditolak oleh para pengacara terdakwa prinsip retroaktif tersebut. Oleh karena prinsip retroaktif tersebut bertentangan dengan prinsip hukum pidana yang berlaku. Namun argumentasi ini ditolak oleh Majelis Hakim IMT dengan alasan bahwa prinsip non retroaktif hanya berlaku bagi kejahatan biasa (ordinary crime). Sedangkan untuk extra ordinary crime dapat diberlakukan.

Pada kasus bom Bali kita harus menelaah lebih jauh apakah kasus peledakan ini yang menewaskan 202 jiwa manusia apakah dapat diberlakukan asas retroaktif ini karena peristiwa itu telah menyebabkan ratusan nyawa melayang, dan banyak yang luka, cacat seumur hidup, juga kerugian materiil dan immateriil yang tentunya bertentangan denga asas keadilan, kalau pelakunya ini lepas dari tuntutan hukum. Kasus bom Bali, juga mengakibatkan dampak negatif terhadap Indonesia di dunia internasional. Sebagai salah satu sumber terorisme dan menjadi kantong teroris di Asia Tenggara. Inilah yang mungkin seharusnya juga diperhatikan oleh majelis hakim MK pada waktu itu. Rasa keadilan dan sifat kejahatan yang dilakukan harus benar-benar dipertimbangkan dengan lebih teliti dan hati-hati. Terorisme sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) tidak bisa dihadapi secara konvensional dan biasa seperti menghadapi kejahatan biasa (ordinary crime) tetapi harus dihadapi secara luar biasa pula antara lain dengan memberlakukan asas retroaktif. Sebagai negara yang berdaulat Indonesia tidak boleh tunduk begitu saja pada kemauan asing, tetapi juga bukan berarti tidak sensitif terhadap isu global mengenai terorisme yang sudah mendunia. Sebagai kejahatan berskala internasional terorisme ini. Kalau kita catat ini kurang lebih sudah 60 negara meratifikasi Statuta Roma, kalau saya tidak salah. Maka Statuta Roma itu juga perlu diperhatikan oleh kita. Mengingat sudah demikian banyak negara yang meratifikasi Statuta Roma ini. Saya kira itu saja yang ingin saya sampaikan sebagai tambahan terhadap para pembicara.

Firmansyah Arifin

Terima kasih Pak Frans Hendra. Rasanya menurut saya tidak jauh berbeda dari 2 pembicara kita yang terakhir ini, Pak Luhut Pangaribuan dan Pak Frans Hendra Winarta melihat idealis pokok yang akan kita diskusikan pada kesempatan kali ini yaitu dengan melihat implikasi putusan dari MK. Apakah memang terjadi kekosongan hukum? Bagaimana implikasinya terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana dari kasus pemboman di Bali? Dan apakah putusan MK tersebut bisa dijadikan dasar bagi pengajuan PK ke MA? Beberapa argumentasi yang disampaikan juga tidak jauh berbeda. Tetapi yang menarik menurut saya adalah dari kedua pembicara yang terakhir ini adalah mencoba melihat putusan MK ini berimplikasi yang cukup positip atau menurut Pak Frans Hendra bersejarah  bagi penentuan sistem hukum kita ke depan, mau diarahkan kemana nanti putusan yang dihasilkan oleh MK ini.

Baiklah sesuai dengan yang sudah direncanakan saya kira kita akan memberikan kesempatan kepada pihak yang lain, yang terkait dengan putusan MK ini, yang berperan bagi dihasilkannya putusan MK yang kita ketahui ini. Pertama kita berikan kesempatan, tanggapan kepada para saksi ahli yang dihadirkan oleh MK dan juga hadir di tengah-tengah kita. Yang pertama saya persilahkan Ibu Maria Farida untuk bisa memberikan sedikit tanggapan terhadap apa yang didiskusikan kita pada hari ini.

DR. Maria Farida
Terima kasih. Pada waktu saya menjadi saksi ahli di MK. Memang akhirnya saya yang pertama-tama, saya meninginkan bahwa apa yang ingin saya ucapkan di sana. Dan pemikiran ini sudah jauh-jauh hari sebelumnya, saya sudah melihat akan terjadi persoalan. Persoalan ini saya sudah dapat mengira pada waktu kedua Perpu ini ditetapkan oleh Presiden. Di dalam Perpu ini kita dapat melihat apa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Terorisme, itupun tidak jelas dalam Perpu No. 1. Bisa dikatakan secara intinya yang dimaksud Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan pidana yang diatur dalam peraturan pemerintah pengganti UU ini.

Jadi dengan kata ini kalau saya ditanya apa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Terorisme, saya baca dulu Pasal 1 sampai Pasal terakhir dari Perpu ini. Itu satu. Kemudian di dalam Perpu ini di Pasal yang terakhir dikatakan bahwa ketentuan di dalam Perpu ini dapat diberlakusurutkan apabila ditetapkan di dalam UU atau Peraturan Pemerintah Pengganti UU. Dari segi perundang-undangan, sebetulnya dari Pasal ini, Presiden tidak usah membentuk Perpu yang kedua yang menetapkan Perpu No. 1 berlaku untuk Bali. Tapi dalam Pasal itu cukup ditambahkan kata “dan untuk pertama kalinya Perpu ini ditetapkan untuk peedakan di Bali”. Jadi saya sudah mengatakan dari awal bahwa Perpu No. 2 sebetulnya tidak perlu dibentuk. Tapi dari segi perundang-undangan ini ada segi positip dan negatipnya. Apalagi sekarang telah ada keputusan, kalau Perpu No. 1 dan Perpu No. 2 itu digabung, maka orang akan menanyakan, jadi Perpu atau UU itu yang dibatalkan yang mana, apakah yang hanya berlaku untuk Bali atau semuanya. Jadi di sini kekosongan hukum lebih tajam lagi disoroti. Tapi dengan dituangkan dalam 2 Perpu dan menjadi 2 UU maka Tindak Pidana Terorisme tetap ada aturannya, tetapi untuk Bali ini yang dipermasalahkan.

Pada waktu saya ditanya oleh para Hakim MK, saya memberikan kesaksian sesuai dengan peraturan dan hukum positip yang ada. Karena saya pengajar perundang-undangan jadi saya melihat pada hukum positip yangberlaku, maka pertama kali saya buka wetboek van strafrecht  Pasal 1 ayat (1) dan (2). Saya membaca di sana dikatakan bahwa tidak ada satupun perbuatan dapat dipidana kalau tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Kalau ditanyakan apakah itu peraturan perundang-undangan atau bukan? Karena di dalam wetboek van strafrecht dalam eerste boek Algemeene Bepalingen (Wet AB) itu dikatakan bahwa ”geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling.” Dan “bij verandering in de wetgeving na het tijdstip waarop het feit begaan is, worden de voor den verdachte gunstigste bepalingen toegepast.” Jadi aturannya adalah aturan UU bukan peraturan perundang-undangan, karena kalau peraturan perundang-undangan bisa yang lebih di bawah.

Kalau saya melihat di sini pada waktu saya ditanyakan, “apakah betul kok demikian perkara bom Bali tidak termasuk ke suatu kejahatan?”. Saya mengatakan bahwa saya menganggap dan saya yakin bahwa bom Bali itu adalah suatu peristiwa kejahatan, tetapi apakah itu merupakan kejahatan terorisme? Itu yang harus dibuktikan dari unsur-unsurnya dan juga dia tetap dapat dipidana berdasarkan peraturan-peraturan yang ada. Tetapi tidak dengan peraturan yang berlaku surut. Dan pada waktu saya ditanya, “jadi apakah kok demikian adil bahwa yang bom Bali itu adalah bukan Tindak Pidana Terorisme?”  Saya mengatakan, saya pengajar hukum teori perundang-undangan, saya mengajar pada hukum positip, dan saya melihat pada peraturan-peraturan yang ada dan ini juga dituangkan dalam UU tentang HAM, dan Pasal 28 UUD’45, di mana dikatakan di sana bahwa tidak seorangpun dapat dituntut berdasarkan peraturan yang berlaku surut dalam keadaan apapun. Jadi saya mengatakan di sini itu sangat jelas di sana. Dan saya menganggap Pasal 28J itu suatu landasan yang memperkuat Pasal 28I tersebut. Jadi di sini saya mengatakan, kalau peraturannya hukum positip itu yang berlaku, tapi masalah keadilan itu tergantung pada Bapak-Bapak hakim ybs.

Jadi saya mengatakan di sini bahwa sebetulnya kalau kita melihat retroaktifnya, memang saya ditanya tentang Statuta Roma, Perjanjian Internasional, saya mengatakan saya tidak ahli dalam hukum Internasional. Jadi saya melihat itu, dan kalau kita mengatakan bahwa, selalu orang mengatakan bahwa di samping hukum dasar yang tertulis itu kita juga mengenal hukum dasar yang tidak tertulis. Saya rasa bahwa sekarang ini orang mulai bingung juga, karena dalam aturan tambahan No. 3 UUD dikatakan bahwa setelah ditetapkan UUD 1945 ini, maka UUD 1945 adalah Pembukaan dan Pasal-pasalnya. Sehingga orang menganggap itu semua penjelasan tidak termasuk dalam UUD 1945, sehingga orang mengatakan, jadi hukum tidak tertulis itu masih ada atau tidak? Tapi saya mengatakan bahwa tentu selain hukum dasar yang tertulis ini saya masih mengenal adanya hukum dasar yang tidak tertulis. Jadi menurut keyakinan saya sebetulnya putusan MK itu betul, tapi saya melihat dampaknya, implikasinya terhadap putusan-putusan yang sudah ada, atau yang baru akan diputus itu menjadi suatu perdebatan. Saya justru tidak hanya melihat pada sisi implikasi yang satu ini. Saya melihat implikasi yang lebih jauh, dan saya selalu mempertanyakan, kalau demikian, orang selalu mengatakan bahwa di dalam puncak kekuasaan dan kehakiman atau kekuasaan yudisial itu di 2 tempat yang sama. Dan orang mengatakan, bahkan Prof. Jimly mengatakan pada pidato 1 tahun MK kemarin bahwa kita bersaudara kembar, MK dan MA itu saudara kembar. Jadi saya mengatakan di sini, oleh karena kalau memang putusan MK yang dianggap saudara kembar, sederajat itu, dapat berpengaruh pada putusan MA maka saya akan melihat apakah akan ada kepastian hukum nantinya dengan 2 keputusan itu? Kalau dari segi fungsi , kedua lembaga ini berbeda. Tapi dari segi putusannya itu yang bisa berdampak. Walaupun saya melihat dalam kasus ini betul putusannya, tapi saya akhirnya juga melihat implikasinya ini akan bisa dipertanyakan oleh masyarakat. Saya kira itu.

Firmansyah Arifin
Ya terima kasih Ibu Maria. Selanjutnya saya persilahkan Prof. Dr. Harun Alrasid.

Prof. Harun Alrasid
Terima kasih saudara moderator. Pertama-tama mengenai kedudukan MK. Ini yang saya rasa dalam tahap pertumbuhan, di mana di Amerika Serikat itu sudah mantap. Jadi kalau di Amerika berlaku, sudah dianggap Supremacy of Supreme Court, maka saya menganggap juga di sini berlaku Supremacy of the Constitutional Court. Tadi dikatakan bahwa putusan yang merupakan landmark decisions itu memang betul sekali. Argumentasi yang terjadi sangat ruwet dan berbobot. Sekali lagi mengenai putusan MK ini oleh masyarakat itu harus dihormati. Memang mereka itu harus disegani dan dihormati. Jadi inti masalahnya itu soal berlaku surut. Sebenarnya ini bukan barang baru. Sejak abad ke-19 sudah dikatakan bahwa UU itu berlaku untuk masa ke depan tidak untuk ke belakang. Kemudian dalam abad ke-20, bahwa tidak dapat berlaku surut. Nah yang terakhir itu dalam UUD, tapi ini ada masalah, amandemen kedua itu tidak berlaku, ini masalahnya. Satu peraturan itu harus ada mulai kapan dia berlaku, amandemen kedua ini tidak ada, ini masalah besar. Ada tanggal mulai  berlaku, ini tidak ada. Artinya ini titik kelemahan amandemen kedua itu.

Selanjutnya mengenai perbandingan, di Amerika Serikat asas retroaktif itu tidak boleh. Dan yang kedua adalah UU itu biasanya berlaku umum, barang siapa. Tidak hanya satu kasus. Itu wewenang hakim, bukan wewenang UU. Ini agak aneh, keanehan dari pembuat UU ini. Jadi tadi disebutkan juga bahwa tidak ada hukuman tanpa kesalahan, kan mereka tidak bersalah, sebagai pejuang Islam ini ditujukan kepada orang Amerika yang menindas orang Islam. Sama saja. Tidak kalah dengan UU Terorisme. Jadi ini memang masalah yang menarik. Kasus bom Bali tanggal 12 Oktober, UU nya tanggal 18 Oktober akan diberlakukan surut 6 hari. Jadi saya rasa apa yang akan dilakukan oleh MK itu memang sudah benar. Perlu kita taati. Soal implikasinya itu tadi sudah diuraikan panjang lebar. Bagaimanapun itu nanti kasusnya yang masih pending, yang berlaku, tidak mengikat lagi, tidak valid, hanya kasus yang masih pending. Nah kasus yang masih pending ini jadi masalah implikasi putusan MK ini. Saya rasa tergantung pada putusan pengadilan. Seberapa jauh nanti implikasi dari putusan MK mengenai berlaku surut. Tapi saya tetap beranggapan bahwa kasus bom Bali harus dipakai UU yang berlaku pada waktu itu. Tidak berlaku yang muncul kemudian. Ini prinsip yang perlu mendapat perhatian. Kecuali tadi dianggap ini extra ordinary crime. Ini juga masalah juga definisi terorisme, pengertian extra ordinary crime apa itu. Di samping lagi secara sosiologis ini ordinary Amerika Serikat. Secara politis banyak masalah ini. Tapi bagaimanapun yang ingin saya tekankan bahwa putusan MK itu merupakan landmark decisions yang harus kita hormati, kita taati, seperti halnya di Amerika Serikat. Sekian terima kasih.

Firmansyah Arifin
Terima kasih Prof. Harun. (ada tambahan dari Prof. Harun). Selanjutnya saya persilahkan kembali..

Prof. Harun Alrasid
Ada yang lupa. Tadi disinggung soal ....... Ide de straaf itu ada 3, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan (kemaslahatan). Yang diutamakan di sini adalah keadilannya itu. Jadi ini juga tugas hakim untuk menerapkan cita-cita hukum ini. Ditegakkan tiga-tiganya atau salah satu.

Firmansyah Arifin
Terima kasih kembali Prof. Harun. Selanjutnya saya persilahkan Pak Mahendradatta, bisa sedikit memberikan tanggapan dari implikasi putusan MK.

Mahendradatta
Terima kasih, assalamu’alaikum wr. wb, salam sejahtera untuk kita semua. Jadi yang pertama bilamana boleh sebelum kita membicarakan mengenai kasus bom Bali, terlebih dahulu kita hilangkan masalah “kemarahan”. Kemarahan kita terhadap peristiwa tragedi bom Bali. Yang berbahaya adalah kalau kemarahan itu tidak diungkapkan namun menjadi bias terhadap pemikiran. Sehingga berdasarkan itu pemikiran kita menjadi bias dalam melihat satu negara hukum. Kemudian untuk mengurangi kemarahan itu, sebagai salah seorang yang ikut serta dalam pembelaan kasus bom Bali, saya harus sampaikan bahwa bagaimanapun juga di mata kami kasus bom Bali ini masih tidak jelas. Sampai hari ini tidak pernah diungkap siapa suplier bomnya. Seorang Amrozi, seorang Imam Samudera, Muklas dsb, tidak akan berbahaya tanpa bom. Dia masuk ke sini dengan pisau dapur bisa kita telikung berdua. Tapi seorang anak SD umur 10 tahun masuk ke sini dengan dililiti bom, saya berani jamin sehotel ini keluar semua. Jadi tolong, masih ada pertanyaan-pertanyaan dalam kasus bom Bali yang belum terjawab.

Kemudian yang kedua kami mengajukan judicial review, dari awal kami melihat bahwa ada beberapa hal antara lain sebagaimana yang ternyata ada kecocokan dengan beberapa ahli yang tampil ke permukaan. Yang pertama kami hanya melihat dari sini bahwa secara awam saja, secara kasar, secara general, dari Pasal 28I. Pasal 28I UUD 1945 amandemen kedua itu hak untuk tidak dituntut berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku surut itu bersama dengan hak-hak lain. Hak untuk tidak disika, untuk kemerdekaan hidup, dsb, terutama hak untuk beragama, dst. Berarti itu satu kesatuan. Kalau satu tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun, itu kan termasuk semuanya. Hak-hak lainnya juga tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapaun. Kalau satu saja sudah kita tawar, jangan-jangan besok kita akan menawar hak untuk tidak disiksa. Besok pula kita akan menawar hak-hak lainnya dengan berbagai macam alasan. Yang tentunya bisa dipoles dengan manis dan teori-teori hukum yang mendukungnya. Namun kembalilah bahwa tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun, ini harus kita hormati. Itu yang pertama kali kita sampaikan ke MK.

Jadi kekhawatiran kami, kalau satu saja hak itu sudah ditawar dengan berbagai macam alasan, akhirnya dia juga akan menawar hak-hak lainnya. Kemudian yang kedua yang juga ternyata diambil alih sebagai pertimbangan MK, adalah mengapa UU No. 16 ini hanya kasuistis, hanya menujuk pada satu kasus saja. Ini juga dibenarkan oleh MK. Pendapat dari Prof. Harus Alrasid. Ini juga menarik bagi kami. Kami sebetulnya pada waktu itu siap kalah, siap untuk ditetapkan bahwa hak berlaku surut itu boleh, asas retroaktif itu boleh. Namun yang kami tidak siap adalah kenapa hanya untuk bom Bali? Kenapa kemudian Perpu No. 2 disahkan oleh UU No. 16 tersebut? Itu tidak mengatakan bahwa ini berlaku surut untuk segala tindakan-tindakan terorisme atau tindakan-tindakan yang masuk seperti terorisme di masa yang lalu. Oleh karenanya kami mempertanyakan mengenai itu.

Kalau ukurannya adalah extra ordinary crime adalah korban, tanpa mengurangi kekejaman dalam peristiwa itu. Setahun sebelumnya atau 2 tahun sebelumnya, pernah ada kekejaman-kekejaman yang jumlah korbannya melampaui bom Bali yaitu peristiwa Iedul Fitri berdarah, peristiwa Tobelo, itu dalam waktu 1 hari, 3000 orang meninggal dan meninggalnya tidak secepat bom Bali. Oleh karenanya kami setuju, kalau saja retroaktif itu akhirnya harus kita ambil, jangan hanya untuk 1 kasus. Berlakulah umum terhadap suatu tindakan-tindakan di masa lalu yang masuk dalam konteks anti terorisme.

Kemudian terakhir adalah nasib dari putusan MK ini. Kami secara bodoh saja ingin bertanya. Pertama, kami menyampaikan masalah ini dalam eksepsi kami di muka PN. Jadi ini sudah kami ungkapkan bahwa UU berlaku surut tidak boleh. Jawaban majelis hakim terhadap eksepsi kami adalah “ini bukan wewenang kami, karena ini adalah judicial review terhadap UU. UU Itu ada. Silahkan saudara ke lembaga yang lebih berwenang”. Saat itu MK sudah ada. Kami bawa ke MK, itu karena ada sengketa antara kami dengan majelis hakim. Kami tidak akan ke MK kalau tidak ada sengketa ini. Dan di MK yang pertama kali ditanyakan adalah, ada tidak hak konstitusional yang dilanggar, yang pribadi sifatnya dan terhadap si pemohon. Jadi pemohon ini tidak bisa sembarangan. Jadi mandatory entry ke MK harus ada pelanggaran konstitusi. Nah kemudian, namanya Masykur Abdul Kadir, kemudian mendapatkan putusan MK, kemudian semuanya beramai-ramai, o... tidak berlaku lagi. Kemudian sekarang saya mempertanyakan apa gunanya MK? Sekarang kalau misalnya kita mempunyai satu permasalahan konstitusi, tidak ada pemecahan, misalnya antara Presiden dan DPR, kemudian di bawa ke MK. Karena lamanya proses bersidang kemudian Presiden sudah keburu dipecat dsb, kemudian begitu MK mengatakan bahwa tindakan menggeser Presiden atau meng-impeach Presiden ini tidak benar, tapi kita semua bersama, o... sudah telat, buat apa kita ke MK? Hanya apa? Hanya menorehkan sejarah-sejarah dalam ilmu hukum baru? Atau benarkah MK ini sesuai UUnya sebagai penyelesaian dari sengketa konstitusi. Yang namanya penyelesaian sengketa, kalau dia buat putusan, buat mereka yang dimenangkan tentunya mendapatkan hasil. Itulah tanggapan saya. Terima kasih, mohon maaf kalau ada kelancangan yang tidak saya sengaja. Wassalamu’alaikum wr. wb.

Firmansyah Arifin
Terima kasih Pak Mahendradatta. Bapak Ibu hadirin sekalian kita punya waktu kurang lebih 1,5 jam untuk mendiskusikan lagi beberapa hal. Paling tidak sudah ada catatan-catan yang dibuat oleh Bapak Ibu Sdr/i sekalian berkaitan dengan apa yang sudah disampaikan oleh nara sumber maupun tanggapan yang diberikan oleh para ahli yang dihadirkan atau pihak yang bersengketa di MK. Catatan yang berkaitan dengan 3 isu pokok tadi atau mungkin ada catatan-catatan lain yang dimiliki oleh Bapak Ibu Sdr/i sekalian, melihat implikasi dari putusan MK. Atau barangkali ada hal-hal lain yang berkaitan dengan fungsi atau peran dan keberadaan dari MK ini juga terjadi yang terjadi, yang saya secara langsung mengalami dari beberapa dislkusi berkaitan dengan implikasi dari putusan MK, mencoba melihat kembali peran dan fungsi MK. Tidak hanya dilihat dari aspek komplikasi hukum yang terjadi dari putusan MK yang membatalkan UU NO. 16/2003. Tidak hanya sebatas catatan, barangkali juga ada anggapan setuju atau tidak sehubungan dengan apa yang telah disampaikan oleh nara sumber kita berkaitan dengan 3 hal itu tadi. Saya persilahkan. Kalau begitu saya buka untuk sesi pertama ini sekitar 4 orang. (peserta ada yang mengangkat tangan). Yang pertama Pak Assegaf,  kedua Tommy Sihotang, ketiga Pak Suhadibroto, satu lagi kalau ada. Baik sambil menunggu yang lain,  Pak Assegaf yang pertama.

M. Assegaf
Terima kasih. Kita tentunya sudah sepakat bahwa kita harus dan wajib menghormati putusan MK. Itu kesepakatan kita. Bagaimana bentuk penghormatan tadi? Diskusi hari ini adalah membicarakan implikasinya. Pertanyaannya sekarang adalah proses pemeriksaaan kasus yang ada kaitan dengan bom Bali sementara ini dalam catatan saya, ada yang sedang diperiksa oleh pihak kepolisian, ada yang sedang diadili, ada yang sedang dalam proses banding, dan ada yang sedang diperiksa MA karena kasasi. Saya tidak berbicara yang sudah in kracht dalam masalah PK.

Tadi ada pertanyaan dari Sdr. Luhut yang menarik. Sebetulnya mereka yang disangka ada kaitan dengan kasus bom Bali itu dituduh apa saja? Menurut Sdr. Luhut tadi bermacam-macam sebaiknya, ada teroris, KUHP dsb. Biasanya selalu ada alternatif. Tetapi kalau saya perhatikan, terutama menyangkut kasus yang sedang ditangani, yaitu kasus yang menyangkut Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Ustadz Abu Bakar Ba’asyir setelah dia menjalani hukuman karena pelanggaran KUHP, kemudian ditahan dan ditangkap lagi. Di dalam surat penangkapan, penahanan itu jelas-jelas disebutkan karena melanggar UU No. 15, 16 yang ada kaitan dengan masalah bom Bali. Pertanyaannya sekarang setelah ada keputusan oleh MK yang menyatakan bahwa UU Itu sudah tidak punya kekuatan mengikat lagi, apa yang harus dilakukan oleh pihak kepolisian? Dari pihak tim penasehat hukumnya telah mengajukan semacam permintaan agar segera setelah putusan MK itu diucapkan, segera dikeluarkan, karena tuduhannya tadi tunggal. Kita juga ingin tahu bagaimana pendapat dari Kejaksaan? Terhadap permintaan kita ini, kemudian ada statement dari pihak Kepolisian, o... dia tidak hanya dituduh kasus bom Bali tetapi juga dengan kasus-kasus lainnya yang berkaitan dengan terorisme. Padahal sama sekali tidak ada. Dalam dokumennya jelas kaitannya dengan kasus bom Bali. Kemudian kasus-kasus lain yang sekarang sedang diperiksa di PN Denpasar. Tuduhannya seingat saya juga tunggal. Dan sepanjang yang saya ketahui, tuduhan terhadap Amrozi Cs itu juga tunggal. Bagaimana implikasinya kalau keputusan ini tidak mempunyai kekuatan mengikat? Apa yang akan dilakukan oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan MA.

Kalau misalnya Abu Bakar Ba’asyir tetap ditahan dengan mendasarkan kepada UU No. 15 dan 16 tadi, sejak dikatakan UU tadi tidak mempunyai kekuatan mengikat, tentunya kan harus dikeluarkan. Tidak bisa dengan gampang switch begitu saja, nanti kita carikan Pasal yang lain. Ini kan lucu namanya, “akrobat hukum.” Mestinya kan dilepaskan dulu, setelah itu kalau nanti ada alasan bahwa ada ketentuan peraturan lain yang barangkali dilanggar tentunya diterapkan. Tapi tidak bisa penahanannya terus diberlakukan hanya dengan men-switch UU nya yang sudah tidak punya kekuatan lalu diganti dengan UU lain. Inilah yang menarik kalau kita membicarakan tentang implikasi terhadap masalah dibatalkannya UU No. 16 tadi. Sekian dan terima kasih.

Firmansyah Arifin
Terima kasih Pak Assegaf. Silahkan selanjutnya Bung Tommy Sihotang.

Tommy Sihotang
Baik terima kasih Pak. Karena ini forum ilmiah, jadi tidak ada take personal di sini, semua adalah ungkapan-ungkapan ilmiah. Yang pertama tadi beberapa istilah telah muncul putusan landmark, bersejarah dsb. Saya harus katakan bahwa ini bukan putusan bersejarah, bukan putusan yang landmark, ini putusan kontroversial. Suatu putusan menjadi landmark kalau sekian lama, sekian puluh tahun, masyarakat hukum menerimanya. Ketika Lord Pertkin membuat putusan yang terkenal dan kemudian diterima oleh kalangan maritim, itu menjadi landmark. Ini tidak ada landmark. Mengapa saya katakan demikian. Ketika MK membuat putusannya, sebagai pengamat ada beberapa hal yang saya cermati. Pertama dengan semua argumentasi tadi, sepertinya Hukum Tata Negara sedang menjalankan arogansinya. Bicara mengenai retroaktif, macam-macam. Tanpa melihat kenyataan di lapangan bahwa masyarakat membutuhkan UU Terorisme ini. Catatan tadi, saya baca kemarin, urutan yang benar adalah yang pertama keadilan, kedua kemanfaatan, ketiga baru kepastian hukum. MK hanya bicara masalah kepastian hukum tanpa yang lain. Padahal kita perlu keadilan dan hukum itu harus bermanfaat. Yang tidak bermanfaat bukan hukum, kalau kita belajar filsafat hukum. Sehingga kalau kita berakrobat dengan dalil-dalil hukum tata negara ini, maka kita bingung. Maka jadilah terorisme ini suatu kejahatan tanpa UU.

Tadi Ibu saksi ahli mengatakan, “saya sampai susah payah mencari definisi terorisme”, itu karena dalam tembok berpikir hukum tata negara, maafkan saya. Definisinya sudah jelas yaitu kejahatan, jangan dicari lagi definisi-definisi yang lain. Itu membuat pikiran kita rancu. Jadi yang mau saya katakan di sini adalah bahwa sebetulnya kalau MK mau konsisten dengan sikapnya, hukum positip Pasal 28I itu, itu kan harus diadu juga dengan Pasal 28J yang sudah dengan tepat disitir tadi. Bahwa perlindungan hak asasi seseorang itu tidak boleh juga menabrak hak asasi orang lain. Jadi apa yang kita inginkan sekarang ini? Dengan pongahnya kita katakan bahwa tidak boleh retroaktif dsb. Padahal di masyarakat kita butuh itu untuk kejahatan yang luar biasa ini, saya hanya katakan ini adalah dosa intelektual yang masing-masing kita menanggungnya sesuai dengan porsi kita masing-masing. Baik secara hukum saya adalah pengacara para pelanggar HAM yang sudah terbukti tentunya.

Kami juga sedang mencoba mengajukan guagatan ke MK karena pelanggaran HAM yang diadili berdasarkan UU No. 26/2000 melanggar asa non retroaktif. Dan kami akan melihat apakah konsisten MK membatalkan UU itu atau tidak. Inilah dosa-dosa kita semua betapa pongahnya kita dengan dalil-dalil itu. Terima kasih.

Firmansyah Arifin
Selanjutnya Pak Suhadibroto.

Suhadibroto
Saya ingin memberikan tanggapan dan pertanyaan kepada siapa saja dalam forum. Saya sependapat dengan Pak Luhut, putusan MK ini sangat menarik. Dan saya ingat kepada vonis-vonis pada jaman yang lalu selalu penuh dengan reasoning, baik yang bersifat akademik maupun yang bersifat yurisprudensi. Dan vonis-vonis pengadilan yang sekarang ini, sebagaimana tadi dikatakan itu demikian kering dengan sesuatu yang akan bermanfaat khususnya bagi perkembangan dunia hukum. Ini sungguh kita sesalkan. Pertama, amar daripada putusan MK itu tepatnya bagaimana? Tidak mempunyai kekuatan mengikat, begitu ya? Kalimat yang terakhir itu. Tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Saya ini confuse apa artinya ini? Apakah ini van rechtswigenietteg atau vernietverbaar? Sebab kalau van rechtswigenietteg tentunya akan mempunyai implikasi yang berbeda. Kalau van rechtswigenietteg tentunya sejak semula itu memang sudah nietteg. Kalau vernietverbaar tentunya mulai saat putusan itu diucapkan baru tidak mempunyai kekuatan hukum. Ini nanti implikasinya apakah di dalam upaya hukum yang akan ditempuh yaitu PK dan yang sudah in kracht, tetapi juga di dalam banding dan kasasi. Kedua, PK itu mempunyai 3 pintu, 3 alasan, novum itu hanya alasan pertama. Di samping itu ada alasan kedua dan ketiga. Alasan yang ketiga itu kira-kira secara kasar, terjadi kekhilafan daripada hakim. Nah, ini nanti implikasinya akan berkait dengan kalau putusan ini nietteg atau vernietverbaar? Oleh karena itu kami mohon penjelasan dalam forum ini siapa saja yang akan menjawab 2 pertanyaan saya ini. Ketiga, dari Ibu Maria, dikhawatirkan kalau akan terjadi 2 putusan dari puncak kekuasaan kehakiman. Sebetulnya itu sudah terjadi, karena putusan MK jelas tidak sejalan dengan keputusan MA di dalam tahap kasasi. Dan sangat menarik nantinya apakah MA akan mengeluarkan 2 putusan yang berbeda, yaitu putusan PK dan putusan kasasi? Terima kasih.

Firmansyah Arifin
Yang terakhir. Silahkan Pak.

Tanpa nama
Terima kasih Pak. Prinsip bahwa suatu peraturan apalagi untuk tindak pidana tidak boleh berlaku surut dalam suatu UU. Itu bukan sesuatu yang pongah atau tidak pongah. Itu adalah sustu prinsip hukum yang akan menjadi dasar daripada kepastian hukum. Oleh karena itu prinsip itu sebaiknya memang diberlakukan di dalam masyarakat kita. Nah apakah suatu kejahatan itu merupakan terorisme atau tidak, barangkali juga harus diperhatikan aspek-aspek yang ada di luar daripada hukum atau ilmu hukum itu. Sudah pernah dikatakan apakah ini bukan pesanan dari Amerika? Ada juga hal lain yang harus diperhatikan untuk mengukur apakah suatu tindakan itu besar atau tidak. Yaitu kekuatan daripada media massa untuk membesar atau mengecilkan atau bahkan meniadakan suatu tindakan hukum yang mungkin mempunyai korban yang lebih banyak seperti yang disampaikan oleh beliau itu. Itu saja yang ingin saya sampaikan, terima kasih.

Firmansyah Arifin
Oke. Baik untuk sesi pertama ada 4 penanya atau penanggap daripada nara sumber atau para ahli yang dihadirkan juga dalam diskusi kita pada hari ini. Selanjutnya saya persilahkan dari Kejaksaan Pak Sudhono, silahkan menanggapi.

Sudhono Iswahyudi
Terima kasih. Saya menghindari untuk menanggapi yang berkaitan dengan masalah diskursus putusan MK dan implikasinya dengan MA. Karena itu di luar porsi kami. Saya hanya akan menyampaikan mengenai aspek praktis dari proses peradilan kasus bom Bali. Tadi sudah saya sampaikan data-datanya, dari 33 kasus, 25 sudah berkekuatan hukum tetap, kemudian ada 8 yang masih dalam proses. Yang ada di dalam proses tadi di tingkat banding maupun kasasi, saya tadi menyampaikan memang masih mungkin hakim mempertimbangkan dalam amarnya nanti putusan MK tersebut itu yang menyangkut atau terkait dengan dakwaan pelanggaran Perpu No. 1 jo No. 2 dan jo UU No. 16. Tetapi juga perlu saya sampaikan, tapi Pak Assegaf mengatakan bahwa dakwaan itu hanya Perpu itu tidak benar.

Dari data-data dakwaan yang dikirim ke Kejaksaan Agung, para terdakwa itu selain didakwakan dengan Perpu yang dimasalahkan ini, juga didakwakan dengan UU lain. Ada yang didakwakan UU No. 12/Drt/1951, dan ada juga dengan KUHP Pasal 365, karena ada di dalam kasus bom Bali itu ada yang melakukan pencurian dengan kekerasan untuk memperoleh dana. Dengan demikian para terdakwa itu seandainya majelis hakim akan membebaskan terhadap dakwaan melanggar Perpu, masih akan ada instrumen lain yang akan diterapkan di dalam memutus perkara-perkara tersebut. Kemudian mengenai masalah kemungkinan akan ada review terhadap kasus-kasus pelanggaran berat yang disampaikan oleh Pak Tommy Sihotang. Tentu saja hal ini selalu terbuka, bagi Kejaksaan. Kejaksaan melaksanakan aturan perundang-undangan berdasarkan ketentuan yang berlaku pada saat ini. UU No. 26/2000 yang menyangkut pelanggaran HAM berat, juga proses dikenakannya para pelaku-pelaku pelanggaran HAM berat sebelum UU itu, sudah melalui proses konstitusional. Yaitu melalui rekomendasi dari DPR yang  kemudian ditetapkan di dalam Keppres. Dengan demikian proses terhadap pelanggaran HAM berat pun sudah melalui proses konstitusional menurut ketentuan yang berlaku. Lalu kemudian mengenai novum saya kira tadi sudah banyak disampaikan. Bagi kejaksaan tetap berpendapat bahwa putusan MK tersebut, sepanjang sesuai dengan Pasal 47 dan 58, putusan itu berlaku pada saat diumumkan. Jadi berlakunya mulai tanggal 23 Juli. Sedangkan di dalam Pasal 263 ayat (1), keadaan baru itu seharusnya sudah ada tetapi belum diungkapkan pada saat proses persidangan berlaku. Tapi ini tentu saja masih dipredictable dan mari kita ikuti saja prosesnya. Tapi Kejaksaan berpendapat bahwa itu bukan novum. Saya kira demikian, mengenai hal-hal lain yang di luar porsi kami, kami tidak menanggapi. Terima kasih.

Firmansyah Arifin
Terima kasih Pak Sudhono. Silahkan selanjutnya Bang Luhut mungkin ada tanggapan yang bisa diberikan.

Luhut MP Pangaribuan
Ya saya sedikit saja. Mengapa saya katakan putusan ini, putusan yang baik. Sebenarnya kalau kita cermati putusan itu sangat berbeda dengan putusan-putusan yang ada selama ini. Di sana ini penuh dengan pendekatan saya kira dari segi hukum. Saya katakan tadi ada aspek sejarah hukum, ada mengenai teori hukum, ada mengenai filsafat di sana. Terlepas dari posisi kita dmana melihatnya di mana, apakah pro dan kontra. Bahwa sebutannya itu landmark atau tidak itu definisinya belum ada Bung Tommy saya kira. Tapi kalau satu putusan penuh dengan argumentasi, menurut saya komprehensif dan lengkap, menurut saya kita harus hormati dan kita harus apresiasi karena di sana berjalan satu pemikiran yang berkembang. Jadi istilahnya Pak Suhadibroto kering memang, putusan-putusan pengadilan kita. Sehingga sampai hari ini saya kira ada 59 tahun MA di Republik Indonesia ini, putusan MA yang menjadi stare decisis seperti di Amerika hampur tidak ada saya kira. Mungkin ada satu dua seperti di soal warisan dsb. Tetapi sangat minim yang diperoleh dari suatu putusan pengadilan. Umumnya hukum kita selalau proses legislasi. Padahal sebenarnya secara teoritis mungkin melalui suatu proses yurisprudensi. Oleh karena itu saya pribadi melihat hal itu adalah suatu putusan yang sangat baik. Terlepas dari posisi saya setuju tidak.

Yang kedua Pak Assegaf, andaikata tadi asumsinya bahwa tuduhannya tunggal, saya kira dia harus dinyatakan batal demi hukum. Tindakan-tindakan hukum yang dilakukan, kalau tuduhannya tunggal. Tapi dari Kejaksaan mengatakan ternyata ada alternatif-alternatif yang dituduhkan. Memang kita sebagai di luar dari penyidik ini tidak pernah tahu secara persis. Sebenarnya, kalau ada suatu tindak pidana, pasal berapa sih yang dituduhkan. Jadi belum pernah ada pernyataan resmi, kita hanya indikasi-indikasi saja. Ketika kita menerima surat panggilan, dikatakan peristiwanya bom Bali, diduga melanggar Pasal sekian-sekian. Padahal, belum tentu saya kira, itu menjadi rujukan yang resmi. Saya tidak tahu ini merupakan kelemahan dari praktik atau hukum acara saya kira. Nah, oleh karena itu ketika kita menanggapi sesuatu itu bisa keliru. Dia mengatakan bahwa, o... ketika surat keputusan soalpenyidikan dilakukan, maka Pasalnya adalah sekian dan ini ini ini. Tapi kalau memang benar asumsinya demikian, saya kira tidak ada jalan lain bahwa asas legalitas harus diterapkan, khususnya masalah penangkapan dan penahanan, itu harus secara absolut, dia harus demi hukum.

Mengenai memang ada 3 pintu implikasinya untuk PK, termasuk di dalamnya kekhilafan tadi. Tapi ternyata memang pernyataan atau amar putusan dari MK itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Padahal yang kita kenal adalah batal demi hukum atau dinyatakan batal, dengan bahasa Belanda yang dikatakan Pak Suhadibroto tadi. Tapi ini menggunakan terminologi tidak mempunyai  kekuatan hukum yang mengikat. Ini berarti harus ke depan. Tidak bisa ke belakang. Kalau batal demi hukum ada pernyataan berarti bisa ke belakang. Kan gitu. Saya kira itu, terima kasih.


Firmansyah Arifin
Selanjutnya Pak Frans.

Frans Hendra Winarta
Ya mungkin saya tambahkan sedikit mengenai landmark decisions ini tadi ya. Yang saya maksud dengan landmark decisions bukan berarti putusan itu sempurna tanpa ada kekurangan. Tapi paling tidak seperti Sdr. Luhut bilang tadi, saya melihat argumentasi hukum yang ada di situ. Perdebatan-perdebatan, pertimbangan-pertimbangannya begitu mendalam. Teori-teori hukum, filsafat hukum, doktrin-doktrin hukum, semua itu dimasukkan di situ di dalam pertimbangan-pertimbangan, sehingga saya anggap ini sesuatu yang bersejarah untuk lembaga peradilan kita, yang notabene masih muda, masih berumur 1 tahun. Memang perjalanan kita masih jauh. Oleh karena itu saya tidak berpretensi bahwa putusan ini sempurna. Kalau saya boleh bilang mungkin ada beberapa kekurangan. Kalau saya tidak salah ahli-ahli kita sudah lihat, ada 2 orang di sini.

Pertanyaan saya putusan MK ini kan berdampak pada perkara-perkara pidana baik yang kasus bom Bali maupun yang lain-lain yang masuk dalam kategori Terorisme, yang tadi masih diperdebatkan jelas atau tidak jelas. Jadi sebetulnya kenapa juga tidak, sepengetahuan saya mungkin saya salah, ahli-ahli hukum pidana atau pidana internasional juga tidak dilibatkan di dalam pertimbangan-pertimbangan MK ini. Padahal kita tahu putusan ini akan berakibat ke perkara-perkara kasus bom Bali ini. Ini disayangkan menurut saya. Ini suatu perjalanan jauh yang saya bilang, tapi at least sebagai sutu permulaaan, saya bilang ini putusan yang bersejarah. Tidak sempurna tapi dari bobot atau kualitasnya sangat luar biasa. Karena melihat putusan-putusan yang ada selalu kering dengan perdebatan-perdebatan hukum atau argumentasi hukum. Apakah itu perkara perdata maupun pidana. Ini pengalaman berpraktik selama kurang lebih 30 tahun. Seringkali putusan-putusan itu kurang pertimbangan hukumnya. Banyak putusan-putusan yang loncat, tidak disebutkan kenapa pertimbangan-pertimbangannya, langsung mengambil kesimpulan. Nah ini yang disayangkan. Dalam hal ini, saya lihat pertimbangan-pertimbangan itu diambil atau dikemukakan sedemikian mendalam sebelum putusan tidak mengikat, bahwa UU No. 16 tidak sesuai dengan UUD. Nah kembali secara teknis, saya kok Pak Suhadibroto, saya lihat-lihat, kita pernah diskusikan ini di Komisi Hukum Nasional, saya tidak melihat di dalam UU MK ini vernietverbaar, van rechtswigenietteg ini. Apakah ini berlaku atau tidak, saya tidak tahu karena saya bukan ahli hukum tata negara. Nanti Pak Harun barangkali Ibu Maria bisa menjawab. Apakah itu termasuk, di dalam hukum ketatanegaraan ini bisa berlaku dalam hukm perdata atau pidana. Ini pertanyaan saya Pak, secara akademis kita gali lebih jauh. Kemudian mengenai selain bersejarah tadi saya juga melihat ada kekurangannya yaitu bagaimana dengan Statuta Roma, implikasi dari putusan ini. Toh kalau saya tidak salah lihat, sudah 60 negara lebih meratifikasi Statuta Roma. Berarti dunia ini sudah mengakui asas retroaktifitas terbatas. Apakah kita akan menjadi suatu kekecualian dengan argumentasi hukum tadi? Apakah kita cukup kuat untuk berada di luar itu, dimana 60 negara sudah menyatakan setuju dengan Statuta Roma ini. Nah kita berarti di luar itu.

Konteks secara globalnya bagaimana hubungan kita nanti dengan negara-negara lain. Dengan konteks memerangi katakanlah terorisme, terlepas dari setuju atau tidak, tapi ini sedang mendunia sekarang. Apakah kita akan turut atau tidak? Apakah kita bisa diikutsertakan atau tidak? Itu juga pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita jawab ke depan. Mengenai novum itu sendiri, saya anggap dengan adanya Pasal 58 di UU MK, maka sebetulnya putusan MK ini berlaku ke depan tapi tidak ke belakang. Tapi bisa saja MA menganggap ini sebagai keadaan baru. Tetapi kalau pernah dalam persidangan itu diungkapkan, mengenai retroaktifitas, saya anggap itu secara pribadi bukan novum. Novum itu adalah segala sesuatu yang ada atau diketahui, tapi kemudian diungkapkan setelah putusan itu in kracht, sekali lagi ini pengalaman perdata dan pidana Bu Maria, barulah itu dianggap novum. Tapi kalau itu pernah diungkapkan, bukti itu, atau keadaan itu pernah diungkapkan selama persidangan sebelum putusan ini in kracht, menurut saya ini bukan novum. Sekian dulu terima kasih.

Firmansyah Arifin
Sebelum dilanjutkan kepada Pak Ronny ada keinginan dari Pak Sudhono untuk meninggalkan tempat karena ada acara lain. Oke bisa kita lanjutkan ke Pak Ronny, mungkin ada beberapa hal yang ingin ditanggapi, silahkan.

Ronny Rahman Nitibaskara
Terima kasih Pak. Sebagai seorang akademisi saya merasa senang sekali dengan diskusi yang berlangsung. Ijinkanlah saya sebagai seorang akademisi untuk urun rembug menyampaikan beberapa pendapat. Dan kalau tadi Pak Frans mengatakan merupakan putusan bersejarah sedangkan Pak Tommy Sihotang mengatakan putusan kontroversial, seorang ahli Tata Negara dari Andalas, mengatakan justru MK itu telah menjadi guard of constitution, penjaga konstitusi. Sebetulnya kalau kita teliti, putusan MK tentang pembatalan UU No. 16/2003, perbedaan pendapat Majelis Hakim sebetulnya berpusat pada perbedaan pemahaman terhadap Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2). Nah Pasal 28 ayat (1) menyatakan hak untuk hidup, untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan, hak untuk beragama dst itu, tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Sementara Pasal 28J ayat (2) menyatakan menjalankan hak dan kebebasannya tiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang telah ditetapkan dengan UU dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban, dan masyarakat yang demokratis. Kalau kita lihat posisi hakim yang ada, 5 hakim yang dipimpin oleh Pak Jimly Asshiddiqie, melawan 4 orang hakim, nampaknya kalau dilihat dari saksi ahli, Prof. Harun dan Dr. Maria, itu dua-duanya mendukung Pak Jimly saya kira. Nah misalnya saja dikatakan di sini, 5 hakim yang mengabulkan permohonan-permohonan pemohon memahami Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 itu mengukuhkan Perpu sebelumnya dan menempatkan asas aquo dalam tingkat peraturan perundang-undangan yang tertinggi, pada tataran hukum konstitusional. Pemahaman ini saya kira mengacu pada pendapatnya Bu Maria, kalau saya tidak salah. Diperkuat lagi, menurut Pak Harun Alrasid, pada saat bersaksi mengatakan tidak ada penafsiran lain bahwa asas non retroaktif adalah sesuatu yang bersifat mutlak. Tetapi betul juga sebagaimana yang disampaikan Pak Frans Hendra Winarta bahwa sebetulnya 5 hakim itu secara jujur mengakui, dalam ilmu hukum masih ada pro dan kontra terhadap pembenaran justifikasi atau penyangkalan terhadap pemberlakuan suatu UU. Di sini asas non retroaktif tidak bersifat mutlak dan karenanya mengenal pengecualian dalam rangka memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, agama, dst.

Tadi juga sudah disinggung oleh Pak Suhadibroto bahwa jangan kemudian penguasa menggunakan hukum sebagai sarana katakanlah balas dendam terhadap lawanan politik sebelumnya termasuk tekanan Amerika Serikat dst. Saya cuma sekedar ingin menambahkan bahwa perbadaan pandangan ini memperkaya khasanah perdebatan hukum tata negara saya kira. Dan tentu kita tidak bisa menilai mana yang paling benar. Tapi saya cuma ingin menambahkan, apalagi kalau dikaitkan dengan Statuta Roma mengenai terorisme yang disampaikan Pak Frans tadi, sebetulnya apa yang ditanyakan Pak Tommy Sihotang sehubungan dengan terorisme itu identik dengan kejahatan, saya sepenuhnya setuju. Karena Pasal 7 Perpu mengatakan, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan maksud untuk menimbulkan teror atau rasa takut kepada orang secara meluas atau menimbulkan korban yang sifatnya massal, dengan cara merampas kemerdekaan, hilangnya nyawa atau harta benda lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup. Pasal 7 Perpu.

Saya melihat sebagai seorang kriminolog bahwa keterbatasan Perpu itu ada. Tadi di awal saya menyampaikan makalah saya, saya katakan ada kelemahan mengenai konsep-konsep terorisme. Oleh karena itu menurut hemat saya salah satu kelemahan batasan mengenai terorisme itu tidak dimasukkannya unsur kondisi bukan perang, khususnya menyangkut non-combatant yang tidak terlibat dalam perang. Kalau kita lihat UU Terorisme Philipina misalnya saja, itu masukkan unsur tersebut. UU ini mendefinisikan terorisme as an ideology ..... motivated use of violence or any means of destruction of ..... to use of violence or any means of destruction againts non-combatant target. Jadi unsur-unsur yang tercakup dalam definisi ini adalah adanya motivasi ideologis, penggunanan kekerasan, melalui berbagai alat untuk merusak, dan ditujukan kepada non-combatant. Dimasukkannya unsur motif yang bersifat limitatif seperti pada definisi di atas, sebetulnya bisa menyulitkan di dalam penerapannya. Tindakan teror yang bukan dilandasi motif politik tidak bisa dijaring dengan UU ybs. Oleh karena itu setelah saya mencermati konsep terorisme saya mempunyai pendapat bahwa terorisme adalah penggunanan kekerasan atau ancaman kekerasan, secara sistemtias, tidak dalam kondisi perang yang mengakibatkan timbulnya ketakutan yang meluas, kerusakan harta benda, dan hilangnya nyawa untuk berbagai tujuan. Jadi unsur-unsurnya adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan secara sistematis, tidak dalam kondisi perang, mengakibatkan timbulnya ketakutan yang meluas, kerusakan harta benda, dan hilangnya nyawa, dan keempat adalah untuk berbagai tujuan.

Nah kalau kita melihat Pasal 7 Statuta Roma, International Criminal Court ada 11 jenis tindakan yang dapat digolongkan sebagai crime againts humanity. Di antara pengaturannya itu yang kemudian bisa kita gunakan sebagai kerangka untuk memasukkan terorisme sebagai kejahatan kemanusiaan adalah di dalam huruf h dan k. Jadi apabila terorisme dimasukkan dalam yuridiksi Statuta Roma, apabila dalam persidangan bom Bali dirasakan oleh kalangan internasional tertutup belum capable, mereka bisa menuntut. ICC menggelar sidang untuk kasus yang sama. Ada kemungkinan seperti ini. Jadi apa yang disampaikan ini, saya hanya sekedar menambah wawasan dari segi akademik, belum tentu juga benar, di sini ada senior-senior saya, ahli hukum tata negara. Saya ulangi nampaknya kalau Ibu Maria dan Pak Harun Alrasid itu mendukung 5 hakim yang ada Jimly nya, bukan karena Jimmly sama-sama satu almamater, tapi memang nampaknya kebanyakan ahli hukum Tata Negara mendukung itu. Dianggap toh sekalipun UU Pasal 16 itu tidak digunakan lagi, masih banyak Pasal lain yang akhirnya, ujung-ujungnya juga sanksinya cukup berat. Jadi tidak usah kuatir, ada novum dsb, belum tentu diterima oleh MA, ujung-ujungnya saya memprediksi kalau ada back up pun nampaknya MA akan menolak. Terima kasih.

Firmansyah Arifin
Terima kasih Pak Ronny. Sebetulnya saya mau mengundang juga Ibu Maria, Prof. Harun untuk bisa menanggapai beberapa hal yang tadi ditanyakan atau direspon oleh peserta diskusi. Dari aspek tata negaranya. Tapi saya buka kesempatan kedua dulu untuk para peserta. Nanti saya kira bisa sekalian. Oke kalau tidak ada dari peserta mungkin dari Ibu, oooo..... ada. Mohon singkat dan padat.

M. Rizal Lubis
Terima kasih. Jadi tadi sudah kita dengarkan masalah implikasi putusan MK terhadap kasus bom Bali. Jadi apakah asas retroaktif tadi dapat digunakan atau tidak. Saya sudah mendengar bahwa untuk kasus bom Bali khususnya untuk masalah yang menjadi tersangka, terdakwa itu bisa UU No. 16/2003 itu dapat dibatalkan. Tetapi untuk yang telah mendapat kekuatan hukum tetap, terhadap terdakwa itu UU No.16/2003 itu tidak dapat dibatalkan, karena ada masalah terhadap Pasal 58 UU No. 58/2003 tentang MK. Saya kira kalau kita mau menyelesaikan masalah ini secara tuntas, harus ada lagi judicial review terhadap UU mengenai MK. Karena UU mengenai MK tadi menyatakan, UU yang diuji oleh MK berlaku sebelum ada putusan yang mengatakan UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Jadi kalau kita mau tuntas saya rekomendasikan didiskusi ini kita adakan lagi, kita ajukan lagi judicial review terhadap UU No. 58 tadi khususnya Pasal 58. hanya itu yang ingin saya sampaikan, supaya kita dapat tuntas ini. Terima kasih.

Firmansyah Arifin
Ya, menarik yang disampaikan terakhir tadi. Lalu pertanyaanya siapa yang akan mengajukan itu? Apakah MK itu sendiri. Ini dulu sempat kita diskusikan ketika UU MK pertama kali dibuat atau disahkan, karena ada pembatasan di Pasal 50 tentang kewenangan judicial review di MK. Yang dibatasi hanya UU setelah amandemen. Baik kalau begitu saya lanjut ke Ibu Maria dan Prof. Harun mungkin ada beberapa hal yang ingin ditanggapi dari aspek tata negaranya.


Harun Alrasid
Terima kasih. Pertama fokus saya itu adalah soal berlaku surut. Di sinilah bahwa itu merupakan tonggak sejarah bahwa MK itu yang putusan bersifat final dan terakhir, bahwa itu tidak bisa berlaku surut. Dan guru saya Pak Djokosoetono pernah itu penting sekali untuk hakim itu motivaring terhadap vonis. Motivoring itu sangat meyakinkan, sampai saya ketiduran, sampai 2 jam lebih. Menimbang, menimbang, menimbang. Tapi dalam hal ini saya rasa motivaring dari putusan MK itu sangat meyakinkan. Jadi kalau Sdr. Sihotang itu menganggap, saya mohon supaya Bapak Sihotang itu dituangkan secara tertulis, supaya bisa dibantah. Kalau secara lisan agak sulit.

Pokoknya tidak masalah mengenai urutan. Yang penting ada 3 itu yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemaslahatan. Pokoknya yang penting menurut saya itu, mana ini, apa ketiga-tiganya atau hanya keadilan hukum, atau hanya kepastian hukum atau kemaslahatan. Itu terserah pada hakim yang mengambil putusan. Dan sekali lagi fokusnya itu adalah bahwa dalam hukum positip kita sejak abad 19, abad ke 20 dan saya juga mengambil perbandingan. Karena menurut saya Amerika itu dikatakan, jadi ini perbandingan hukum, bahwa juga di Amerika Serikat itu, ”such a law violates Art. I, Secs. 9 & 10 of the Constitution of the United States which provide that neither Congress nor any state shall pas an ex post facto law.” Ini jelas bahwa tidak boleh itu berlaku surut itu. Tidak hanya kita tapi di Amerika Serikat juga idem begitu. Terima kasih.

Firmansyah Arifin
(Ada beberapa pembicara yang akan meninggalkan ruangan karena ada acara di tempat lain) Oke kalau begitu kita tanya kepada panitia apakah bisa diakhiri berkaitan dengan beberapa kehadiran pembicara dan beberapa yang lain sudah mau meninggalkan tempat. Kalau saya diberi mandat untuk segera mengakhiri, akan saya akhiri juga diskusi kali ini. Oke kalau begitu terima kasih para nara sumber, Pak Ronny, Pak Frans Hendra, Bang Luhut beserta para Bapak, Ibu, para hadirin sekalian. Ibu Maria, Prof. Harun, Bapak Mahendradatta atas kehadirannya di diskusi KHN pada kali ini. Saya tidak akan menyarikan lagi beberapa jawaban, catatan, dan beberapa hal yang barangkali masih menjadi pertanyaan-pertanyaan yang menggantung, berkaitan dengan implikasi putusan MK dalam pemberantasan terorisme di peristiwa pemboman di  Bali. Pertanyaan-pertanyaan itu yang saya kira nanti akan bisa menjadi satu discourse yang menarik buat menentukan entah itu sistem, prinsip, dsb dalam arah reformasi hukum kita ke depan. Mungkin itu saja yang bisa saya katakan di akhir acara ini. Selanjutnya saya berikan kesempatan kepada pembawa acara. Terima kasih.

Master of Ceremony (MC)
Terima kasih kepada para pembicara dan moderator serta para undangan. Berakhir sudah acara dikusi kita pada hari ini. Dari kami mohon maaf apabila dalam pelaksanaan diskusi ini ada yang kurang berkenan. Dan sebagai pemberitahuan sudah disiapkan makan siang. Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb.

Tidak ada komentar: