Jumat, 02 Desember 2016

Suasana Jompo



Suasana Jompo
"Subhanakallahuma wa bihamdika, asyhadu
alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik (Maha Suci Engkau ya
Allah dan segala puji bagiMu, aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan
Engkau. Aku memohon ampun kepadaMu dan aku bertobat kepadaMu)."
Kisah pertama
Sebagai renungan buat kita sebagai seorang anak ......................
Orangtua kita tidak terlalu membutuhkan materi, tapi mereka lebih membutuhkan perhatian dari kita.

Panti Jompo adalah pelayanan untuk Lanjut Usia (LANSIA) terlantar (tidak mempunyai keluarga dan tempat tinggal) dengan cara pemberian santunan berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, dan penyuluhan keagamaan. Mereka mendapatkan pelayanan khusus sampai akhir hayat (pengurusan kematian).
Saya mendapatkan cerita yang unik. Suatu hari seorang sahabat saya pergi ke rumah orang jompo atau lebih terkenal dengan sebutan panti werdha bersama dengan teman-temannya.  Kebiasaan ini mereka lakukan untuk lebih banyak mengenal bahwa akan lebih membahagiakan kalau kita bisa berbagi pada orang-orang yang kesepian dalam hidupnya.

Ketika teman saya sedang berbicara dengan beberapa ibu-ibu tua, tiba-tiba mata teman saya tertumpu pada seorang opa tua yang duduk menyendiri sambil menatap kedepan dengan tatapan kosong.

Lalu sang teman mencoba mendekati opa itu dan mencoba mengajaknya berbicara.
Perlahan tapi pasti sang opa akhirnya mau mengobrol dengannya sampai akhirnya si opa menceritakan kisah hidupnya.

Si opa memulai cerita tentang hidupnya sambil menghela napas panjang. Sejak masa muda saya menghabiskan waktu saya untuk terus mencari usaha yang baik untuk keluarga saya, khususnya untuk anak-anak yang sangat saya cintai. Sampai akhirnya saya mencapai puncaknya dimana kami bisa tinggal dirumah yang sangat besar dengan segala fasilitas yang sangat bagus.

Demikian pula dengan anak-anak saya, mereka semua berhasil sekolah sampai keluar negeri dengan iaya yang tidak pernah saya batasi. Akhirnya mereka semua berhasil dalam sekolah juga dalam usahanya dan juga dalam berkeluarga.

Tibalah dimana kami sebagai orangtua merasa sudah saatnya pensiun dan menuai hasil panen kami. Tiba-tiba istri tercinta saya yang selalu setia menemani saya dari sejak saya memulai kehidupan ini meninggal dunia karena sakit yang sangat mendadak. Lalu sejak kematian istri saya tinggallah saya hanya dengan para pembantu kami karena anak-anak kami semua tidak ada yang mau menemani saya karena mereka sudah mempunyai rumah yang juga besar. Hidup saya rasanya hilang, tiada lagi orang yang mau menemani saya setiap saat saya memerlukannya.

Tidak sebulan sekali anak-anak mau menjenguk saya ataupun memberi kabar melalui telepon. Lalu tiba-tiba anak sulung saya datang dan mengatakan kalau dia akan menjual rumah karena selain tidak effisien juga toh saya dapat ikut tinggal dengannya. Dengan hati yang berbunga saya menyetujuinya karena toh saya juga tidak memerlukan rumah besar lagi tapi tanpa ada orang-orang yang saya kasihi di dalamnya. Setelah itu saya ikut dengan anak saya yang sulung. Tapi apa yang saya dapatkan ? setiap hari mereka sibuk sendiri-sendiri dan kalaupun mereka ada di rumah tak pernah sekalipun mereka mau menyapa saya. Semua keperluan saya pembantu yang memberi. Untunglah saya selalu hidup teratur dari muda maka meskipun sudah tua saya tidak pernah sakit-sakitan.

Lalu saya tinggal dirumah anak saya yang lain. Saya berharap kalau saya akan mendapatkan sukacita didalamnya, tapi rupanya tidak. Yang lebih menyakitkan semua alat-alat untuk saya pakai mereka ganti, mereka menyediakan semua peralatan dari kayu dengan alasan untuk keselamatan saya tapi sebetulnya mereka sayang dan takut kalau saya memecahkan alat-alat mereka yang mahal-mahal itu. Setiap hari saya makan dan minum dari alat-alat kayu atau plastik yang sama dengan yang mereka sediakan untuk para pembantu dan anjing mereka. Setiap hari saya makan dan minum sambil engucurkan airmata dan bertanya dimanakah hati nurani mereka?

Akhirnya saya tinggal dengan anak saya yang terkecil, anak yang dulu Sangat saya kasihi melebihi yang lain karena dia dulu adalah seorang anak yang sangat memberikan kesukacitaan pada kami semua. Tapi apa yang saya dapatkan? Setelah beberapa lama saya tinggal disana akhirnya anak saya dan istrinya mendatangi saya lalu mengatakan bahwa mereka akan mengirim saya untuk tinggal di panti jompo dengan alasan supaya saya punya teman untuk  berkumpul dan juga mereka berjanji akan selalu mengunjungi saya.

Sekarang sudah 2 tahun saya disini tapi tidak sekalipun dari mereka yang datang untuk mengunjungi saya apalagi membawakan makanan kesukaan saya.Hilanglah semua harapan saya tentang anak-anak yang saya besarkan dengan segala kasih sayang dan kucuran keringat. Saya bertanya-tanya mengenai kehidupan hari tua saya demikian menyedihkan padahal saya bukanlah orangtua yang menyusahkan, semua harta saya mereka ambil. Saya hanya minta sedikit perhatian dari mereka tapi mereka sibuk dengan diri sendiri.

Kadang saya menyesali diri mengapa saya bisa mendapatkan anak-anak yang demikian buruk. Masih untung disini saya punya teman-teman dan juga kunjungan dari sahabat - sahabat yang mengasihi saya tapi tetap saya merindukan anak-anak saya.
Sejak itu sahabat saya selalu menyempatkan diri untuk datang kesana dan berbicara dengan sang opa. Lambat laun tapi pasti kesepian di mata sang opa berganti dengan keceriaan apalagi kalau sekali-sekali teman saya membawa serta anak-anaknya untuk berkunjung.

Sampai hatikah kita membiarkan para orangtua kesepian dan menyesali hidupnya
hanya karena semua kesibukan hidup kita.
Bukankah suatu haripun kita akan sama dengan mereka, tua dan kesepian ? Ingatlah bahwa tanpa Ayah dan Ibu, kita tidak akan ada di dunia dan  menjadi seperti ini. Jika kamu masih mempunyai orang tua, bersyukurlah sebab banyak anak yatim-piatu yang merindukan kasih sayang orang tua.
Kisah Kedua

Tgl 21 Januari 2007
  Kunjungan ke Panti Wredha Wisma Mulia, Jelambar
Kami ber-6 (Anwar, ko Handoyo, Gunawan, Linda, Susan, dan aku) mengadakan kunjungan ke panti jompo. Ini adalah kado ‘Continuation Day’ dari Bro Anwar. Hadiah yg kreatif sekali..   Aku akan coba menuliskan apa yg muncul dalam diriku, mulai dari sebelum pergi;sesampainya disana, & setelah kunjungan selesai. Bukan hanya apa yg terjadi dalam diri ini, tapi juga keadaan disana, suasana yg terlihat, serta curhat dari para penghuninya. Kegembiraan mereka, kemanjaan mereka, ketakutan mereka, dan lainnya. Setelah KPD selesai, dari patra kami pun pergi ke vihara Ekayana terlebih dahulu, sebelum menuju ke lokasi. Ada beberapa teman yg telah menyiapkan makanan ringan dan sedikit buah-buahan. 
  Perjalanan menuju ke panti tidak terlalu lama, hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Dan kami pun harus agak terburu-buru, karena waktu kunjungan hanya dibatasi sampai jam 13.00 Dan sekarang kami telah sampai di panti. Dalam teriknya matahari, kami berjalan turun dari mobil, dan membuka pintu pagar, yang dicat dengan warna hitam. “Rumah” ini cukup luas, masih ada halaman, ‘kolam’, dan beberapa pohon. 
Setidaknya suasananya lumayan adem disini. Dan cukup bersih. Terus terang aja, sebelum sampai ada persepsi akan suatu ruangan yg kotor, tidak terawat, dan bau, dan sebagainya. 
     Sewaktu dimobil, aku sempat berpikir, apa yang akan aku lakukan disana nanti, harus memeluk mereka? Mau bicara apa? Bahasa apa yg akan aku gunakan? Jika aku melontarkan pertanyaan, apakah tidak akan membuat mereka tersinggung, dll, dkk, dst, dsb…….
     Tapi begitu sampai, pikiran yg suram itupun tergantikan. Sambil menunggu Anwar yg menelepon pengurusnya, kami berdiri di samping halaman, disebuah koridor panjang. Sebelum kami berjalan masuk ke koridor, ada yg menarik perhatianku. Seorang nenek, dia berjalan memutari sebuah meja yg terletak di teras depan. Semula aku mengira dia adalah pengurusnya, tapi ternyata bukan. Dia terus mengulangi hal tsb, entah sudah berapa kali. 
     Tak lama kemudian, ibu pengurusnya pun muncul menyambut kami, dia mungkin telah berumur sekitar 60 tahun, berkacamata. Dan tampak cekatan. Kurus. Tampak ramah. Dia datang sambil ditemani seorang karyawan, yg membawa sebuah dorongan besi. Karena barang yg kita bawa juga tidak banyak, yah akhirnya kami bawa sendiri. Sewaktu sedang mengangkat barang2, terdengar suara2 dari oma-oma, yg bertanya, “apa itu…wah ada yg datang..dikasih apa yah..” Suara lain menjawab, “itu roti, nanti kita makan. Nanti dibagiin itu.” Ada sahutan lagi dari 
temannya, “yah..disini mah, ga mungkin itu, ada uang…Disini ga mungkin dikasi duit..”
     Dalam hati ada rasa kecut, sebenarnya apa yg mereka harapkan? Apa mereka akan menerima pemberian kami, apa kami tidak akan ditolak? Hhh….Buang semua pikiran itu, toh kita datang kesini, karena suatu niat yg, mungkin tidak bisa disebut baik/murni, tapi setidaknya kita datang tanpa niat jahat. Minimal itu. Akhirnya kami pun masuk, dan membagi-bagikan roti pada mereka. Kamar yg kami masuki pertama, luas sekali, mungkin didalamnya ada sekitar 10 orang. Kamarnya agak gelap, dan berbau. Bau orangtua… 
  Enggan aku akui; tapi rasa ingin menjauh, tak ingin berlama-lama  disana, rasa takut, rasa ingin menghindar, rasa malas & segan, itu muncul.  Tapi, alangkah sombongnya aku untuk merasa seperti itu.  Semua perasaan yg muncul itu, tak kugubris. Bersama dengan teman-teman yg 
lain, kami mulai membagi roti pada semua. Aku berhenti pada ranjang terakhir, di paling sudut. Nenek ini duduk sendiri, wajahnya tidak terlalu berseri, dan sepertinya tidak begitu antusias melihat kedatangan kami. 
    Dalam hati berkata, setelah kasih roti ini, “mau ngajak ngobrol ga yah…Kelihatannya, dia ga gitu nyambut de. Daripada ntar dicuekin..”  “Nek, maaf mengganggu, ini ada roti dari kami, diterima yah…” Dan nenek ini pun tersenyum lebar, dan menerima roti, terus mengulurkan tangannya sambil mengucapkan terimakasih, dan kami pun berjabat tangan. Aku langsung duduk disampingnya. Dan mulai menggali tentang kehidupannya 
selama di panti ini. Dalam hati ini, ada sedikit kontra dengan keberadaan panti jompo. Dan oleh karena itulah, aku ingin tau lebih banyak tentang mereka, cara hidup mereka, dan semua informasi yg mungkin aku dapatkan. 
     Nenek ini bernama Farida. (Nama yg bagus yah..), umurnya 84 tahun. 
Penampilannya terlihat seperti awal 70-an. Dan diatas tempat tidurnya ada kayu salib tergantung. Ketika menyentuh tangannya yg tua dan keriput itu, sungguh dia telah tua sekali, dan sangat keriput, bukan hanya cuma keriput saja. Aku malu mengakui bahwa, aku begitu narcis, ketika tangan kami bersentuhan, aku merasa, koq kulitnya kasar sekali, jangan-jangan dia ada penyakit kulit de…
  Aduuu….ternyata aku adalah seperti ini. Tapi ada suara sinis yg menjawab, trus kenapa kalau dia sakit? Kamu takut tertular? Ck..ck…ternyata… Rasa takut itu aku tepis lagi. Dan meneruskan kembali percakapan kami. Informasi yang aku dapatkan dari nenek ini; dia disini sudah sekitar 1 tahun, dan setiap minggu pasti ada kunjungan dari gereja. Mereka datang sambil membawakan makanan. Kemudian kenapa dia bisa sampai disini? Aku bertanya, dimana anak-anaknya..? Dia bilang anak-anaknya sudah mati. Dan tidak ada lagi keluarga yg merawat mereka. Dia terlihat begitu suka berbicara, enjoy sekali, dengan giginya yg sudah hampir keropos dimakan usia. Ada beberapa kata yg tidak begitu jelas. Kemudian dia juga menceritakan tentang keadaan panti ini. (Aku sungguh ingin tau, karena banyak beredar kabar miring tentang panti-panti yang memperlakukan penghuninya dengan tidak manusiawi).
  Syukurlah dari ceritanya, tampaknya panti ini cukup memperhatikan penghuninya. Hanya ada beberapa gangguan kecil yg dirasakan nenek Farida. Dia bilang, bahwa suster yang biasa mengurus dia, suka mengambil barang miliknya, seperti baju, makanan, dll. Dan nenek sudah pernah menceritakan pada pengurusnya, tapi tidak ada tindakan.    Kemudian aku bertanya, berapa kali mereka makan disini? Dia menjawab, 
seperti biasa, 3 kali juga. Pada jam 10 pagi, dan jam 4 sore (Nek Farida ini tidak suka sarapan). Kalau mandi biasa sekali doank, yaitu pada jam 2 malam..!!!
  Hah? Aku kaget..kenapa bisa begini, apakah nenek sendiri yg mau mandi jam segitu atau memang hanya diijinkan pada jam segitu?  Dia menjawab, bahwa pada jam segitu, mereka dibangunkan..(Dalam hati kayanya masih ragu dee…Masa siii…) Terus dia juga bilang, bahwa kayanya diruang ini, ada setannya, karena nenek ini sering jatuh. Baru-baru ini dia jatuh, dan pinggangnya yg kena. Kemudian beberapa waktu sebelumnya, dia jatuh juga, dan pelipisnya yg luka, dan masih cacat sampai sekarang. Aku pun menyentuh luka itu. Seketika raut wajahnya berubah, menjadi selembut anak kecil, begitu manja, sepertinya haus akan belaian, sepertinya dia senang sekali, ternyata ada yg memperhatikan. Dan dia juga bercerita, bahwa dia ga begitu akrab dengan penghuni lainnya. Mereka suka ngomong yang tidak2, dan dia ga bisa bergaul dengan mereka, mending sendirian. 
Oyah, ada yg lucu juga..Waktu dia bilang pinggangnya sakit, sambil memijat ringan, aku menawarkan jasa untuk mengurut. Dia balik bertanya: “Kamu bisa mengurut?” Yah dengan agak malu, aku menjawab,” Yah, ga bisa sih nek, tapi kalau cuma sekedar memijat bisalah..Hehehe” Dan nenek pun dengan tersenyum, bilang “yah, ga usah, gapapa”..Hehhee…Aku pun cuma bisa nyengir kuda….
     Setelah cukup lama berbincang, akhirnya kami pun pergi, dan mengunjungi kamar yg lain. Sebelum pergi, kupeluk ringan dia yang begitu ringkih. Kamar berikut yang kami datangi lebih kecil dari kamar pertama. Dan beberapa diantara mereka duduk santai di luar, dan ada yg masih kuat, ada juga yang sudah ga tau apa-apa lagi.
     Aku kembali masuk kedalam satu kamar, disini penghuninya ada 3, yaitu: Nek Akim (hampir setahun disini), Nek Ong Ango (baru 4 bulan disini), dan Nek Fatimah(namanya klo gak salah). Kita pun ngobrol singkat. Yang paling banyak menceritakan dirinya adalah Nek Fatimah. Dia dulunya menikah dengan seorang pria Surabaya. Ternyata setelah menikah, suaminya ini sering berjudi, pulang rumah jam 2 pagi. Semua uang hasil kerjanya tidak bersisa. Untuk menutupi hutang pun, mereka terpaksa menjual rumah. Setelah itu mereka pun harus menumpang di rumah adik Nek Fatimah. Namun, tidak berapa lama kemudian, suaminya mendadak minta cerai. Dan setelah cerai, suaminya entah kabur kemana, meninggalkan 2  anak cowonya. Anak cowonya, pun ada satu yang hampir stress, karena beban ekonomi. Dulunya, mereka masih punya sebuah toko yang menjual segala bumbu masak. Tapi karena hutang, itu semua harus ditutup. Dan sepeninggal suaminya, Nek Fatimah pun stress karena kesal. Sehingga ga lama kemudian,  Nek Fatimah dipindah lagi ke tempat adiknya yg di Jakarta ini. Ga lama kemudian, Nek Fatimah pun di masukin ke panti ini, karena dia sudah tidak mampu lagi menjaga toko. 
  Nek Fatimah terlihat masih menyimpan kekesalan akan masa lalunya, terhadap suaminya (yg paling besar), terhadap anaknya, dan kegetiran akan sikap adiknya (atau mungkinkah kegetiran ini cuma perasaan aku doank?) Ketika sedang menceritakan suaminya, suaranya menjadi agak keras, dan terdengar gusar. Kemudian aku bertanya juga, bagaimana dengan air minum mereka, waktu makan mereka, jenis air yg digunakan. 
  Semuanya baik, dan setiap seminggu sekali pasti ada yg datang berkunjung menjenguk Nek Fatimah, atau kalau tidak; pasti ada telepon untuk dia. Nek Fatimah ini masih cukup segar; selain penyakit darah tinggi yg dia derita, dan mungkin usianya sekitar 50 an. Kalau dikamar ini, hubungan mereka bertiga cukup baik, dan tampak saling mengenal kehidupan pribadi. 
     Ketika sedang asyik bercerita, terdengar ketukan dipintu, ternyata Handoyo yang memanggil. Sudah waktunya bagi kami untuk menyudahi kunjungan kali ini. Sambil mengucapkan salam perpisahan, mereka juga bilang semoga bisa kembali bertemu lagi. Kalau ada kesempatan, silakan datang kesini. Sampai dipintu depan, kami berbincang sebentar dengan pengurusnya. Setiap orangtua yang tinggal disini, harus ada keluarganya yang mengantarnya & bertanggungjawab atasnya, atau pihak yayasan (seperti gereja). Kalau tidak ada, maka tidak diijinkan. Panti ini akan menyediakan semua keperluan yang mereka butuhkan (tentu ada biaya perbulannya). Jika ada penghuni yang meninggal, maka ini menjadi urusan dari pihak penanggungjawab, bukan lagi tanggujawab pihak panti.
  Dari ibu pengurusnya juga, kami tau, ada penghuni yang begitu rajin, setiap minggu pasti pergi ke gereja yang terletak di cideng, dengan naik ojek..!!! Dan catatan; nenek ini berjalan dengan terpincang-pincang..Semangatnya tidak pincang sama sekali..
     Kemudian kami mampir sebentar ke kantornya, dan mengobrol sedikit lagi. Setiap satu bulan sekali, ada seorang dokter yang datang memeriksa para penghuni. 
  Dan nenek yang di awal cerita tadi aku ceritakan, masih saja berjalan 
memutari meja, tanpa henti. Entah sudah keberapa kalinya. Ibu pengurusnya menjelaskan bahwa sekarang ini sudah mendingan. Dulu waktu awal-awal kedatangannya, lebih parah lagi. Jika dia sedang dalam kondisi yang ‘ga mood’, maka dia bisa merobek-robek baju yg sedang dipakainya sendiri. Namun setelah menjalani perawatan, dan meminum obat dari dokter secara teratur, sekarang dia sudah mulai membaik.
  Setelah Anwar menyerahkan bingkisan kecil, kami pun meneruskan perjalanan kembali ke daerah Tanjung Duren lagi. 
Metta, 
Julie
 
Saya ingat almarhum nenek saya, begitu kami datang, kami akan diajari cara menggunakan bel, dimana bel tersebut berfungsi memanggil perawat nenek, akibat dari bunyi tersebut perawat akan datang. Saya jadi ingin berkunjung ke panti jompo. Apakah aku bisa menjadi anak yang baik bagi orang tua ku ya?

Tidak ada komentar: