Sabtu, 27 Desember 2014

Yudhistira dalam Keangkuhan

Yudhistira dalam Keangkuhan

Bumi gonjang ganjing, langit kelap kelap!!!!!!!! Dong dong dong

Indoesia akrab dengan epik mahabarata ataupun ramayana. Epik warisan sejarah yang dimodifikasi oleh sunan kalijaga ini memang memiliki alur tersendiri dalam bertutur.
Mahabarata adalah suatu kisah (fokusnya) antara pandawa dan kurawa. Bukan hal yang istimewa sebenarnya apabila kisah tersebut hanya berjalan lurus dan statis. Pastilah yang baik akan menang dan  yang buruk akan kalah. Kalau dibuat film oleh Holliwood, pasti akan menjadi film ini berakhir dengan gaya holliwood, karena bila ditilik dari kasus cerita yang dianggap statis saja, maka baik akan menang, dan yang jahat akan kalah.
Pandawa dan kurawa. Pandawa terdiri dari lima bersaudara, putera dari prabu Pandu Dewanata dari putri Kunthi dan putri Madrim. Sedangkan kurawa adalah kumpulan anak anak sejumlah seratus, anak dari Pabu Destarata (jangan dibayangkan bagaimana bentuk istri (putrid Gandari) Pabu Destarata karena melahirkan seratus anak. Kisah itu sudah dibikin kacau agar terlahir seratus anak oleh si pembuat dahulu).
Dalam epik tersebut, indraparasta adalah negara yang “gemah ripah loh jinawi” atau “Baldatun toyyibatun wa robun ghoffur”lah. Pemerintahan yang oke punya. Tidaklah mengherankan, hastinapura dan pancala menjadi iri dengan kenyataan tersebut.
Yudistira adalah suatu kisah yang tercungkil dari epik. Raja yang memiliki kekuatan dalam tata negara, terkesan tidak ada cacat dalam pengelolaan negaranya. Memerintah dengan kerapiannya dan adem ayem.
Kekuasaan tersebut sempat hilang selama 13 tahun dari tangan yudhistira dan hal ini menjadi suatu pembelajaran yang berharga bagi suatu keadaan seperti yudhistira.
Yudhistira merupakan anak yang dididik oelh Dewa (batara) Dharma, seorang dewa budi pekerti. Makanya dalam kisah tersebut, Yudhistira dgambarkan seseorang yang memiliki dharma yang tinggi.
Hal yang menggelitik saya adalah ketika dalam lakon Pandawa Seda, Yudhistira tercatat satu-satunya yang pertama masuk sorga. Keempat saudara lainnya masih harus menghadapi rintangan lain untuk menuju sorga. Hal yang membuat aku bertanya-tanya adalah kemana ya kasus dadunya dulu, kemana ya efek dari pertaruhan dadunya dulu, dan kemana ya efek konspirasi dia dengan saudara-saudara dia ketika akan berakhirnya masa pengasingan? (konspirasi dalam membunuh orang). Apakah hanya karena dia didikan dewa dharma, dia menjadi pemegang kunci sorga ? entahlah, hanya dalang yang tahu
Konsep Yudhistra sebenarnya lebih cocok dimasukkan dalam metode yesus, penyorongan pipi kiri ketika pipi kanan disakiti. Sangat tidak relevan dengan islam. Tersakiti yang tidak ada sebab alasan bukan harus dilakukan dalam proses penyerahan. Proses yang berserah diri dalam titik kulminasi. Mungkin taraf sufistik cocok untuk karakter seperti yudistira. Hal yang belum bisa aku pahami juga adalah, dimana letak keadilan dengan tingkat sufistik seperti itu. Apakah tidak ada peran saudara-saudara lainnya? Maksud saya dalam pemerintahannya.   
Yudhistira adalah tetap yudhistira. Dia adalah tetap saudara tua pandawa yang disegani oleh saudara-saudaranya. Lepas dari konsekuensi negatif yang sedikit menghinggapi di dalam diri dia. Semua sudah mengetahuinya. Kesalahan Yudhistira menjadi termaafkan dengan kisah yang berujung apik, entah benar atau tidak.
Drupadi tidak menyalahkan Yudhistira atas kasus judi yang mempertaruhkan dirinya, justru mengangkat sumpah terhadap Dursasana. Hal yang ganjil, sebenarnya bisa jadi yang kejam seharusnya malah Yudhistira, karena dialah yang mempertaruhkan Drupadi dalam meja perdaduan.

Tapi itulah, setting cerita itu menjadi kisah yang terlupakan bahwa kesalahn yudhitira mengakibatkan terjerumusnya banyak orang dalam pendertitaan dan Yudhistira masih menjadi yang pertama dalam sorga pewayangan. Hidup jikalau disamakan dengan pewayangan, sudah dipastikan bahwa orang yang tidak memiliki pengaruh lebih mudah mengalami kesengsaraan 

Tidak ada komentar: