Dok
V Atas Itu…
Apose.. kokondao Ya Rabee………..
Aku
masih ingat, hari itu minggu tanggal 11 Februari 2002 sekitar jam 04.00 sore WITA,
kapal Sinabung merapat di Jayapura.
Kami
saat itu berempat di kapal itu, namun dua teman kami masih harus melanjutkan
perjalanan ke Merauke dan Wamena. Empat orang teman kami atau lebih tepat kakak
tingkat kami yang sudah kerja di sana
lebih dahulu menjemput kami disana. Kami benarbenar bersyukur kala itu. Boleh dikata kami ini kala itu
benar-benar buta akan luar jawa. Kami belum bisa membentuk image kami terhadap
kota luar jawa kala itu.
Kami seperti orang tersesat kala itu,
tanpa bermaksud apa-apa, kami tidak bisa menghindar dari stigma itu.
Lengak-lengok jalan dan terdiam sembari
melihat jalan yang terkesan aneh dan sangat terasa terasing.
Logat papua mulai aku rasakan kental
ketika kita turun, aku jadi ingat ketika pertama kali aku kejakarta kala itu,
bahasaku memang menggunakan bahasa Indonesia, tapi kekentalan logat asalku
sangat mengejawantah, sehingga ketika berbicara otak masih harus mengeksekusi
kata-kata yang keluar. Hehe.. aku hanya bisa tersenyum.
Yang tidak bisa aku sangkal dari Jayapura
adalah keindahan kawasannya. Kesatuan pantai dan hutan menjadi daya tarikku
tersendiri yang selalu kuingat sampai sekarang. Pantai, laut, dan kawasan
puncak yang masih perawan membuatku seakan jengah dengan keadaan. Ibukota
propinsi dengan keadaan ini tidak akan didapat dikota jawa sekalipun. Keluar
dari pelabuhan, kami disewakan sebuat taksi (bahasa mereka terhadap angkot) untuk
menuju mess.
Ternyata orang Papua senang sekali makan
sirih. Mulut mereka banyak yang merah dan mengeluarkan ludah merah dijalan.
Jalan yang berliku membuatku mau tidak mau harus melihat keluar dari dalam
taksi. Hari itu minggu, pantas aktivitas kota itu serasa mati, menurut mereka,
minggu adalah hari suci, jadi aktivitas yang kentara adalah aktivitas gereja.
Kami tiba di mess kami sekitar jam 5 sore.
Tahu nggak view yang kudapat, wow very excellent. Mess kami terletak
sekitar 50 meter dari laut dan berkontur perbukitan, semakin membelakangi mess,
semakin tinggi kontur tanahnya. Dibawah mess kami sekitar 5 meter terdapat
jalan, kemudian turun lagi beberapa meter ada rumah penduduk, turun lagi, baru
ketemu jalan utama. Nah turun lagi, lapangan Mandala (lapangan olahraga kota Jayapura) berdiri. Turun
lagi ketemu laut deh. Jadi dari mess, aku bisa melihat lalu lalang kapal yang
masuk atau keluar Jayapura. Untuk nonton bola, tidak perlu beli tiket, cukup
bermodalkan teropong, nongkrong didepan mess, ditemani teh atau kopi panas, aku
bisa berteriak-teriak sepuasnya.
Didepan
mess tumbuh mangga dan kelapa yang subur, sering muncul buah yang sampai
sekarang aku tidak tahu rasanya. Katanya sih enak.
Aneh,
ternyata di Jayapura aku tidak menemui pengamen dan peminta-minta yang biasanya
lazim terdapat di jawa. Aku
benar-benar kagum pada mereka, harga diri mereka ternyata sangat tinggi.
Paling-paling orang malak, itupun dalam kondisi mabuk, selebihnya mereka adalah
orang yang (sangat) ramah. Hal ini yang aku tak habis pikir, para pendatang
malah yang tidak memiliki etika sopan santun. Keramahan mutiara hitam tidak begitu membekas
pada diri beberapa pendatang.
Aku memiliki beberapa teman asli,
mereka sangat baik dan melindungi aku. Entah kenapa aku pada satu sisi kadang sangat
merasa terlindungi disamping mereka.
Mess kami terletak di kawasan Dok V
atas. Merupakan komplek pemda dan komplek Departemen Keuangan Direktorat
Jenderal Anggaran, aku merasa beruntung sekali karena mendapat tempat di kota
Jayapura, dan dekat dengan transportasi, berbeda dengan beberapa teman yang
jauh dari transport dan riuhnya suasana, sebelah kiri mess sekitar radius 100
meter terdapat masjid, meskipun kecil, masjid itu terhitung ramai untuk kawasan
Jayapura, takmirnya, tahu nggak? Ternyata orang betawi asli, bahasa bapak itu
tidak berubah sama sekali meskipun sudah lama menetap di Jayapura, keponakannya
lumayan cakep. Di sebelah kanan mes, juga sekitar 100 meter terdapat gereja
besar jayapura, namanya gereja kathedral apa itu, aku lupa. Jauh dilaut ada dua
pulau. Pulau kalau aku bilang memiliki keunikan yang aku rasakan banget. Pulau
itu memiliki karakter yang sangat berbeda pulau satu dipuncaknya dibangun salib
yang besar. Pulau sebelah sangat terlihat kubah masjid yang besar. Aku ketahui
kemudian ternyata dua pulau tersebut memiliki karakter agama dan budaya yang
berbeda, tetapi tetap saja tidak terjadi masalah.
Sekilas tentang messku yang menurut aku
benar-benar dapat deh viewnya. Hal itu yang sering membuatku teringat-ingat
tentang eloknya Jayapura. Kota ujung timur yang mau tidak mau ikut membentuk
karakter pada diriku. Hal yang sangat membekas dihatiku adalah ketika kita
memberikan kebaikan kepada mereka, mereka akan memberikan kebaikan yang lebih.
Harga diri mereka tinggi, hanya untuk meminta-minta saja, mereka tidak akan
mau, tapi hargapun menjadi tinggi untuk sebuah tawar-menawar. Mudah-mudahan
mutiara hitam tetap mampu bertahan dan berkehendak atas daerahnya serta tidak
termarginalkan oleh jaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar