Jumat, 26 Desember 2014

Dok V Atas Itu…

Dok V Atas Itu…
Apose.. kokondao Ya Rabee………..
Aku masih ingat, hari itu minggu tanggal 11 Februari 2002 sekitar jam 04.00 sore WITA, kapal Sinabung merapat di Jayapura.
Kami saat itu berempat di kapal itu, namun dua teman kami masih harus melanjutkan perjalanan ke Merauke dan Wamena. Empat orang teman kami atau lebih tepat kakak tingkat kami yang sudah kerja di sana lebih dahulu menjemput kami disana. Kami benarbenar bersyukur kala itu. Boleh dikata kami ini kala itu benar-benar buta akan luar jawa. Kami belum bisa membentuk image kami terhadap kota luar jawa kala itu.
Kami seperti orang tersesat kala itu, tanpa bermaksud apa-apa, kami tidak bisa menghindar dari stigma itu. Lengak-lengok jalan dan terdiam  sembari melihat jalan yang terkesan aneh dan sangat terasa terasing.
Logat papua mulai aku rasakan kental ketika kita turun, aku jadi ingat ketika pertama kali aku kejakarta kala itu, bahasaku memang menggunakan bahasa Indonesia, tapi kekentalan logat asalku sangat mengejawantah, sehingga ketika berbicara otak masih harus mengeksekusi kata-kata yang keluar. Hehe.. aku hanya bisa tersenyum.
Yang tidak bisa aku sangkal dari Jayapura adalah keindahan kawasannya. Kesatuan pantai dan hutan menjadi daya tarikku tersendiri yang selalu kuingat sampai sekarang. Pantai, laut, dan kawasan puncak yang masih perawan membuatku seakan jengah dengan keadaan. Ibukota propinsi dengan keadaan ini tidak akan didapat dikota jawa sekalipun. Keluar dari pelabuhan, kami disewakan sebuat taksi (bahasa mereka terhadap angkot) untuk menuju mess.
Ternyata orang Papua senang sekali makan sirih. Mulut mereka banyak yang merah dan mengeluarkan ludah merah dijalan. Jalan yang berliku membuatku mau tidak mau harus melihat keluar dari dalam taksi. Hari itu minggu, pantas aktivitas kota itu serasa mati, menurut mereka, minggu adalah hari suci, jadi aktivitas yang kentara adalah aktivitas gereja.
Kami tiba di mess kami sekitar jam 5 sore. Tahu nggak view yang kudapat, wow very excellent. Mess kami terletak sekitar 50 meter dari laut dan berkontur perbukitan, semakin membelakangi mess, semakin tinggi kontur tanahnya. Dibawah mess kami sekitar 5 meter terdapat jalan, kemudian turun lagi beberapa meter ada rumah penduduk, turun lagi, baru ketemu jalan utama. Nah turun lagi, lapangan Mandala (lapangan olahraga kota Jayapura) berdiri. Turun lagi ketemu laut deh. Jadi dari mess, aku bisa melihat lalu lalang kapal yang masuk atau keluar Jayapura. Untuk nonton bola, tidak perlu beli tiket, cukup bermodalkan teropong, nongkrong didepan mess, ditemani teh atau kopi panas, aku bisa berteriak-teriak sepuasnya.
Didepan mess tumbuh mangga dan kelapa yang subur, sering muncul buah yang sampai sekarang aku tidak tahu rasanya. Katanya sih enak.
Aneh, ternyata di Jayapura aku tidak menemui pengamen dan peminta-minta yang biasanya lazim terdapat di jawa. Aku benar-benar kagum pada mereka, harga diri mereka ternyata sangat tinggi. Paling-paling orang malak, itupun dalam kondisi mabuk, selebihnya mereka adalah orang yang (sangat) ramah. Hal ini yang aku tak habis pikir, para pendatang malah yang tidak memiliki etika sopan santun. Keramahan mutiara hitam tidak begitu membekas pada diri beberapa pendatang.
Aku memiliki beberapa teman asli, mereka sangat baik dan melindungi aku. Entah kenapa aku pada satu sisi kadang sangat merasa terlindungi disamping mereka.
Mess kami terletak di kawasan Dok V atas. Merupakan komplek pemda dan komplek Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Anggaran, aku merasa beruntung sekali karena mendapat tempat di kota Jayapura, dan dekat dengan transportasi, berbeda dengan beberapa teman yang jauh dari transport dan riuhnya suasana, sebelah kiri mess sekitar radius 100 meter terdapat masjid, meskipun kecil, masjid itu terhitung ramai untuk kawasan Jayapura, takmirnya, tahu nggak? Ternyata orang betawi asli, bahasa bapak itu tidak berubah sama sekali meskipun sudah lama menetap di Jayapura, keponakannya lumayan cakep. Di sebelah kanan mes, juga sekitar 100 meter terdapat gereja besar jayapura, namanya gereja kathedral apa itu, aku lupa. Jauh dilaut ada dua pulau. Pulau kalau aku bilang memiliki keunikan yang aku rasakan banget. Pulau itu memiliki karakter yang sangat berbeda pulau satu dipuncaknya dibangun salib yang besar. Pulau sebelah sangat terlihat kubah masjid yang besar. Aku ketahui kemudian ternyata dua pulau tersebut memiliki karakter agama dan budaya yang berbeda, tetapi tetap saja tidak terjadi masalah.

Sekilas tentang messku yang menurut aku benar-benar dapat deh viewnya. Hal itu yang sering membuatku teringat-ingat tentang eloknya Jayapura. Kota ujung timur yang mau tidak mau ikut membentuk karakter pada diriku. Hal yang sangat membekas dihatiku adalah ketika kita memberikan kebaikan kepada mereka, mereka akan memberikan kebaikan yang lebih. Harga diri mereka tinggi, hanya untuk meminta-minta saja, mereka tidak akan mau, tapi hargapun menjadi tinggi untuk sebuah tawar-menawar. Mudah-mudahan mutiara hitam tetap mampu bertahan dan berkehendak atas daerahnya serta tidak termarginalkan oleh jaman.         

Tidak ada komentar: