Sabtu, 27 Desember 2014

Mati Itu Kapan Saja

Mati itu Kapan Saja
Tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?"
"Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah
Kematian memang sangatlah mudah, bila itu sudah merupakan kehendak-Nya. Orang muda yang sehat wal afiat tidak terhalang akan kematian. Maut tidak membutuhkan sesuatu yang rumit. Seribu cara kematian siap menghampiri siapa saja. Apakah kecelakaan, tersedak, terlamun, atau lain sebagainya. Ia merupakan sebuah bagian ketetapan-Nya yang tidak bisa diganggu gugat.
Kadang kita tidak sadar dengan kekuatan kematian. Usia yang masih muda, tubuh yang segar bugar, kondisi tercapai, terkadang menjadikan kita lupa bahwa kematian itu sangatlah mudah, dan siap mendatangi kita kapan saja.
Yang menjadi persoalan mungkin : siapkah? Padahal kematian tidak membutuhkan keadaan siap tidak siap. Artinya, kapan dan bagaimanapun harus siap menghadapi kematian tersebut. Sebelum maut menjelang, kita persiapkan diri kita dengan amal kebaikan sebanyak-banyaknya. Paling tidak, maksiat harus kita hindari secara mutlak.
“Kebanyakan kita percaya bahwa manusia pasti mati, tapi tak satupun yang percaya kalau kematian kita bisa datang amat cepat.”
Itulah mungkin yang menjadi sebab beberapa dari kita jarang memikirkan bagaimana cara menghadapi mati. Otomatis tidak pernah pula berusaha untuk belajar bagaimana cara hidup.
Kita menganggap kematian masih terhampar jauh. Padahal sedetik kemudian bukan tidak mungkin dia tiba dengan kereta expresnya. Kita hidup tanpa arah, tanpa tujuan. Kita berusaha mencari uang untuk bertahan hidup, hidup untuk apa kita tidak tahu. Kita bekerja dan berusaha memenuhi kebutuhan lahiriah dan batiniah saja, bukan untuk keperluan spiritual. Kita bahkan, mungkin, tidak tahu persis makna spiritual.Paling hanya merupakan sarana untuk menghilangkana penderitaan. Ketika kesenangan menghampiri, kekuatan spiritual itu seakan menjadi gudang yang hanya patut ditertawakan saja.
Apakah hidup kita sudah sesuai dengan yang diajarkan oleh agama dan Tuhan. Itu kalau kita menganut agama dan percaya Tuhan. Jika tidak, yah, setidaknya kita yakin kalau hidup selama ini tidak sia-sia. Hati nurani kita dapat menjawabnya dengan cerdas.
Bagaimana bila di alam kubur itu kita mendapat siksa kubur? Rasanya seperti mimpi buruk berkepanjangan hingga kiamat tiba, tanpa kesempatan untuk bangun sama sekali!
Rasa sakit saat mengalami kematian itu mengerikan. Namun hilangnya kesempatan dan ketidakpastian di alam kematian nanti terasa lebih mengerikan.
Allah memegang jiwa ketika matinya dan jiwa yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan . Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. (QS 39-Az-Zumar:42)
Dan ditiuplah sangkalala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya kepada Tuhan mereka. Mereka berkata: “Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami ?”. Inilah yang dijanjikan Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul. (QS 36-Yaasiin:51-52)
Pembicaraan tentang makna mati sebenarnya berpangkal dari tiga pertanyaan abadi yang berlangsung sepanjang sejarah manusia, yaitu Dari mana, mau kemana dan untuk apa hidup manusia di muka bumi ini, min aina, ila aina wa limadza ?
Pertanyaan pertama dan kedua hanya ada dua jawaban, yaitu orang beragama menjawab bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, sedang orang atheis menjawab bahwa manusia itu berasal dari proses alamiah dan akan hilang secara alamiah. Meski demikian rincian dari jawaban itu, terutama untuk pertanyaan ke tiga, sangat beragam dan rumit, serumit dan se ragam manusia itu sendiri.
“Sesungguhnya kematian adalah haq, pasti terjadi, tidak dapat disangkal lagi. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.” (QS: Qaaf: 19)
Kematian adalah terputusnya hubungan ruh dengan badan, kemudian ruh berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan seluruh lembaran amal ditutup, pintu taubat dan pemberian tempo pun terputus.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama belum sekarat.” (HR: At-Turmu-dzi dan Ibn Majah, dishahihkan Al-Hakim dan Ibn Hibban)

Pagi itu, Rasulullah dengan suara tidak seperti biasa memberikan kutbah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua perkara pada kalian, Al Qur'an dan sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan masuk syurga bersama-sama aku."

Tidak ada komentar: