Selasa, 30 Desember 2014

Konsep Jilbab

Konsep Jilbab
Pewajiban jilbab dan busana islami (bagi orang Islam) dan anjuran memakainya (untuk non-Islam) yang diberlakukan lewat Instruksi Walikota Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret 2005, di Padang. Formalisasi syariat di banyak tempat berlangsung dengan menguritanya. Pewajiban jilbab ditopang pula oleh klaim sosio-kultural masyarakat Padang yang konon tidak mengenal lagi keterbelahan antara adat dan agama. Kredo ‘adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’ yang secara historis menjadi formula untuk mendamaikan kelompok adat dan kelompok paderi, kini sudah bergeser pemahaman. Aspirasi adat dan agama, bahkan antara keminangan dan keislaman, kini telah bersatu. Mungkin orang Padang kini mengklaim bahwa keminangan adalah keislaman itu sendiri. Menjadi orang Minang atau sekadar tinggal di Padang, seakan-akan sama artinya dengan menjadi Islam, persis seperti salah satu ciri kemelayuan. Karena itu, orang-orang yang menentang kebijakan ini, tak ayal akan tertumbuk ‘dua karang’ sekaligus: karang keislaman dan keminangan. Penentang islamisasi yang formalistik itu akan divonis durhaka pada agama (Islam) sekaligus mendelegitimasi identitas keminangannya sendiri.
Pakaian pada dasarnya merujuk pada peran dan fungsinya. Untuk wanita muslimah, pakaian pergaulan umumnya mengenakan jilbab dan kerudung. Jilbab itu penutup tubuh (ada yang mengartikannya mantel), dan kerudung itu penutup kepala. Pakaian penutup tubuh dan penutup kepala sebagai bagian dari budaya terkadang dikenakan dengan cara yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Untuk itu melalui QS 33:59 kaum wanita diminta melonggarkan jilbabnya hingga menutup seluruh tubuh. Dan melalui QS 24 : 31 kaum wanita muslimah diminta mengenakan kerudung sehingga menutupi dadanya. Jadi prinsip pakaian pergaulan umum wanita muslimah itu terletak pada upaya menutupi tubuh dan bentuknya agar tidak terlihat dengan cara melonggarkan pakaian penutup tubuh (jilbab) dan menjulurkan kerudung hingga menutup dada.
Di negeri Islam lainnya, jilbab lebih merujuk pada pakaian terusan panjang menutupi seluruh badan kecuali tangan, kaki dan wajah yang biasa dikenakan oleh para wanita muslim. Penggunaan jenis pakaian ini terkait dengan tuntunan ajaran Islam untuk menggunakan pakaian yang menutup aurat atau dikenal dengan istilah hijab. Sementara kerudung sendiri di dalam Al Qur'an disebut dengan istilah khumur, sebagaimana terdapat pada surat An Nuur ayat 31 : "Hendaklah mereka menutupkan khumur (kerudung-nya) ke dadanya."
Menurut Muhammad Nashiruddin Al-Albany kriteria jilbab yang benar harus menutup seluruh badan, kecuali wajah dan dua telapak , jilbab bukan merupakan perhiasan, tidak tipis, tidak ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh, tidak disemprot parfum, tidak menyerupai pakaian kaum pria atau pakaian wanita-wanita kafir dan bukan merupakan pakaian untuk mencari popularitas.
Pakaian penutup kepala perempuan di Indonesia semula lebih umum dikenal dengan kerudung, tetapi permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.
Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijâb di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hanya saja pergeseran makna hijâb dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perem-puan semenjak abad ke-4 H.
Terlepas dari istilah yang dipakai, sebenarnya konsep hijab bukanlah ‘milik’  Islam. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijâb seperti tif’eret. Demiki-an pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani juga ditemukan isti-lah semakna. Misalnya istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.
Bahkan kata Eipstein yang dikutip Nasaruddin Umar dalam tulisannya yang pernah dimuat di Ulumul Quran,konsep hijâb dalam arti penutup kepala sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi (Yahudi dan Nasrani). Bahkan kata pak Nasar, pakaian seperti ini sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. (Kompas, 25/11/02)
Pada Asian Games di Busan yang lalu, seorang perempuan Iran –lengkap dengan jilbabnya—berhasil meraih medali perunggu taekwondo.
Iran memang tidak bisa dijadikan contoh sebagai negara yang –secara praktis-- benar-benar ketat menerapkan aturan hijab. Tapi, ada satu bukti tak terbantahkan yang berhasil ditunjukkan Iran, yaitu: jilbab dihadirkan bukan untuk mengekang perempuan. Apa buktinya? Di Iran, semua lapangan pekerjaan bisa dipegang oleh perempuan, mulai dari wakil presiden (menjadi presiden memang belum pernah terjadi, meskipun dibenarkan oleh undang-undang),  pilot, insinyur, dokter, sopir taksi, petani, penyanyi, olahragawan, dan bintang film. Jangan bayangkan bahwa film Iran berkisar pada tema-tema religius atau diperankan anak-anak melulu sebagaimana beberapa film pemenang festival yang pernah diputar di Indonesia. Tema film apapun, termasuk kisah cinta ala Rano Karno dan Yessi Gusman bisa dibuat di Iran dengan bintang film berjilbab atau ber-chadur sekalipun.
yang harus sama-sama diakui ketika kita ingin membicarakan masalah jilbab adalah apakah Islam itu agama hukum (syariat) atau bukan? Artinya, apakah kita mengakui Islam itu adalah agama dengan seperangkat aturan hukum atau tidak? Bila tidak, jilbab malah sama sekali tidak perlu dibahas. Buat apa? Ketika kita menganggap bahwa ayat-ayat Al-Quran tidak bisa dijadikan landasan utama batasan atau hukum – atau dalam istilah Ulil Abshar-Abdalla dalam artikelnya Agama, Akal, dan Kebebasan, wahyu hanyalah sekedar ”...membawa suatu wawasan tertentu mengenai yang baik dan yang jahat. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. “—adalah non-sense membicarakan aspek-aspek hukum dalam Islam. Artinya, sah-sah saja bila kita menafikan semua aturan yang (dianggap) ada dalam Islam. Tidak perlu kita capek-capek sholat lima kali sehari semalam bila kita tidak meyakini adanya syariat itu. Tidak perlu takut dianggap kafir, karena istilah kafir itupun akan menjadi bias dalam konteks ini.
Bila kita sudah menyepakati bahwa Islam adalah agama yang memberikan segenap aturan yang berupa syariat, mana yang boleh, mana yang tidak, (dengan pembahasan filosofis yang panjang, dan saya kira amat dangkal bila disimpulkan “O...kalau begitu, Islam itu hanya buat keledai, yang harus diatur-atur, dikasih tahu mana yang benar, mana yang salah), kita bisa melangkah ke premis kedua, bagaimana proses tasyri’ (penetapan hukum) terjadi?
Proses tasyri’ dalam masalah ibadah (misalnya, mengapa haji harus mengelilingi Ka’bah) terjadi –ringkasnya—secara arbitrer alias: suka-suka Tuhan, Dia yang menentukan. Tapi, proses tasyri’ dalam masalah sosial selalu bersifat kontekstual (dan masuk akalnya memang seharusnya begitu). Proses ini bisa saja berupa imdha’ (pengukuhan—budaya yang ada memang sesuai dengan prinsip islam lalu diadopsi dan ditetapkan sebagai hukum Islam) atau sebaliknya, berupa rad (penolakan). Seluruh fenomena budaya direspons secara proaktif oleh hukum Islam (kadang-kadang hukum yang muncul melebar melebihi keperluan temporer). Justru inilah yang menjadi salah satu ciri progresivitas hukum Islam.

            Dari sini, bisa disimpulkan bahwa ayat jilbab (QS 33:59) memang kontekstual. Bisa dicatat di sini, artinya, mengenakan jilbab bukan berasal dari budaya orang Arab, tapi, justru Islam yang memerintahkan kepada perempuan Arab saat itu untuk mengubah cara berpakaiannya. Nah, di sinilah proses tasyri’  Islam terjadi. Ketika sudah ditetapkan, maka akan menjadi hukum abadi, tidak peduli bagaimana asalnya dan bagaimana konteksnya ketika diturunkan.

            Bila kita membantah proses ini, pada saat yang sama akan terbantah pula seluruh proses tasyri’ yang lain dalam bangunan Islam. Misalnya dalam budaya Arab Jahiliah, anak angkat tidak ada bedanya dengan anak kandung. Tuhan memberikan respon syar’i dengan memerintahkan Rasul menikahi Zainab binti Jahsy, mantan istri anak angkatnya. Dengan demikian terjadi aturan syar’i baru bahwa anak angkat tetaplah anak angkat, yang bukan muhrim dan tidak berhak dimasukkan dalam pembagian warisan mendapatkan warisan (tentu saja, berhak mendapat hibah harta dari orang tua angkatnya—hibah berbeda aturannya dengan waris). Atau, kaum Arab Jahiliah dulu tidak punya aturan dalam menikah (boleh berapa saja), Islam memberi aturan, maksimal empat.
“Hai Nabi, katakanlah kepada istrimu, anak-anakmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, yang demikian itu supaya mereka mudah dikenal dan tidakdiganggu dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”—artinya, yang dimaksud dengan “mereka” itu sudah amat eksplisit
berjilbab di Iran (yang artinya juga mengenakan pakaian panjang dengan warna yang gelap  atau minimalnya kalem) saya lihat justru membebaskan kaum perempuan dari mode. Pergi kuliah atau ke kantor memakai baju dan jilbab yang itu-itu selama bertahun-tahun bukanlah aib atau aneh. Tidak ada yang peduli. Bahkan, bila seorang perempuan ber-chadur, dia akan lebih merdeka lagi dari yang namanya mode. Mau pakai pakaian apapun tidak akan terlihat orang. Tapi, fitrah perempuan pun bukannya hilang. Berdandan adalah fitrah perempuan. Kompensasinya, perempuan Iran cenderung berpakaian cantik dan seksi di rumah. Hasilnya, secara sosial kaum laki-laki (terutama yang belum menikah) terbebas dari “siksaan batin” menonton keindahan tubuh perempuan yang tidak bisa dia “jamah”, kaum perempuan tidak perlu sibuk-sibuk berdandan ketika akan keluar rumah, dan di rumah, suami-suami disuguhi istri dengan pakaian seksi.


Tidak ada komentar: