Jumat, 26 Desember 2014

Anggi’s School

Anggi’s School
“Kamu mau nggak nyumbang buku untuk anak-anak jalanan?” “Buku?” “Buku apaan?” “Enggak, kita-kita ini sedang siap-siap cari duwit untuk beliin mereka buku pelajaran, kami ngajarin mereka baca dulu, karena sekarang masuk sd aja harus udah bisa baca”.
“Dimana itu?” “Dikawasan menteng atas”. “Aku ikut besok kalo kamu mau kesana”. Ok, “kamu jemput aku aja disini”.
Motorku memasuki kawasan kuburan nasrani dimenteng atas, kuburan tua yang masih terurus. Kami melewatinya seperti melewati sebuah pematang sawah yang besar, bedanya yang kami lewati adalah kuburan. Jalan kami akhirnya terhenti pada sebuah kelurahan, yap, kelurahan di menteng atas. Aku muter-muter dulu di seputar kawasan itu, ketika jalan aku teruskan, aku menemukan sebuah pasar yang rame banget, tidak begitu terlihat kawasan slum, kontras tapi, setelah kuburan langsung menyambung pasar dan apartemen.
Kujejakkan kaki di aula kelurahan. Anak-anak kecil sekitar berumur antara 3 tahun sampai 5 atau 6 tahun berjejal mengerumuni seorang cewek (yang kekuketahui namanya kemudian  dengan sebutan Jacky). Dia begitu luwes berhadapan dengan anak-anak kecil itu. Temenku  si Yudi memandang sambil senyam-senyum ke arah anak-anak, lalu menuju ke anak-anak lain yang kira-kira berumur antara 7 tahun sampai 11 tahun. Mereka sudah membawa kertas masing-masing. Oh ternyata mereka juga termasuk yang diajari.
Ibu-ibu duduk dengan agak (kalau boleh dibilang) rapi. Mereka melihat-lihat anak-anak mereka diajari. Ada yang memperhatikan anaknya, memperhatikan yang ngajar, ngrumpi, ngemil, marahin anaknya, wah pokoknya gak beraturan deh.tahu entah dari mana, tiba-tiba aja ada beberapa cewek yang membawa kertas untuk membuat origami, ada beberapa anak-anak yang tertarik, tapi lama-lama malah banyak ibu-ibu yang pindah ke meja tempat kertas untuk membuat origami.
Mereka anak-anak menteng atas. Orang tua mereka ada yang bekerja sebagai pemulung, pembantu, tukang ojek, jualan warung, ngemis, udahlah pokoknya beragam dan posisi mereka adalah penduduk ilegal yang berada kawasan kemiskinan nasional.
Tapi apakah mereka patut disalahkan akibat ketidakberdayaan mereka terhadap stagnasi mereka melihat peran pendidikan? Mereka hanya anak-anak yang dilahirkan ditempat itu, aku hanya lebih beruntung dari mereka. Dasar mereka sama, aku hanya berpikir bahwa jikalau aku hidup diantara mereka, apakah aku akan dapat hidup layak seperti sekarang ini. Sudah menjadi hal yang biasa ketika mendekati mereka, bau keringat mereka terkalahkan oleh bau sampah di badan mereka.  
Anak-anak itu tertawa riang, aku langsung membayangkan, mungkin anak-anakku akan sama bahagianya dengan mereka, tapi dengan kondisi anakku akan masuk ke pre-school yang tidak mungkin hanya membutuhkan biaya lima ratus ribu rupiah persemester.
Kontras bukan, anak-anak itu merasakan keriangan edukatif yang jarang mereka dapat. Mereka hanya akan meluapkan keriangan mereka pada got, kali kotor, rumah petak, sampah, dan hal-hal yang menurut kita menjijikkan. Pastel bukan merupakan barang yang murah bagi mereka, pensil apalagi. Mereka begitu berbinar kalau lihat makanan, tapi hal tersebut rasional untuk anak-anak segala segmen, tapi tetap ada perbedaan yang aku rasakan. Ada anak kecil yang datang lagi dan bilang, kak boleh minta lagi nggak, buat adikku?.
Aku mulai berkenalan dengan pengajarnya satu-persatu, hatiku terusik dengan mereka. Aku terus terang malu dengan mereka. Mereka masih saja mau melongok sekeping kemiskinan jakarta dan merasakannya. Mereka datang dengan riang dan pulang dengan tertawa, tidak ada beban pada mereka. I feel like at home. Terus terang hari itu aku masih kaku dan malu untuk mengajar, mampu nggak ya aku untuk ngajari mereka, mampu nggak ya aku menjawab pertanyaan mereka.
Mereka anak yang sebenarnya terlahir di situ dan tertaruh disitu. Anak yang kalau boleh memilih untuk dilahirkan, pasti tidak akan memilih untuk dlahirkan begitu. Tapi kita tidak akan disuruh untuk memilih. Aku sangat-sangat beruntung terlahir tidak seperti itu. Ada teman-teman yang ngajar berasal dari tempat seperti itu asalnya, meskipun sekarang keluarga mereka terhitung sudah meningkat taraf hidupnya. Hal itu baru aku ketahui kemudian setelah kami berbincang-bincang. Aku lihat sinar matanya yang seakan sudah terbiasa melihat dan berdamai dengan masa itu. Aku jadi merinding dan memilih diam untuk menjadi pendengar dan pengamat yang bodoh.
Aku hanya punya satu janji pada hatiku, aku besok harus kesini lagi dan ngajar mereka entah gimana caranya…….. 


1 komentar:

Seribu satu mimpi anak manusia mengatakan...

Halo, assalamualaikum. Saya, Jacky.... hehehehe