Jumat, 26 Desember 2014

Setitik Cerah untuk Pulang

Setitik Cerah Untuk Pulang

Aku tetap saja naik bis Raya meskipun aku tahu bahwa fasilitas yang kudapat dari Raya memang minim. Televisi dan radio pun gak ada.

Entah kenapa, but  that’s thrue. Aku pikir titik loyalitas bis sudah kumasukkan ke bis raya tersebut. Iya sih dari segi safety dan kenyaman, raya memang bisa termasuk yang diandalkan. Entah kenapa bis itu tetap saja melaju pada satu titik, maksudku ketika dia sudah bisa melaju cepat, masih saja bisa disalip. Konon katanya sih speed dari raya sudah distel dengan kecepatan tertentu. Mungkin itu yang dinamakan dengan loyalitas terhadap brand.
Aku biasa turun di kerten, suatu daerah disolo, masih  daerah jalan utama slamet riyadi. Cuman jalan kok kalau menuju ke KPPN Solo. Dari sana aku biasanya naik becak, tapi kadang juga aku naik angkot. Rumahku berada dijalan Mangkuyudan, suatu kawasan perumahan penduduk, bukan berbentuk perumahan. Rumahku berada sekitar dua blok dari jalan utama, tidak bagus-bagus amat sih, tapi that’s my home.
Aku datang biasanya pagi buta, bel berbunyi, kling klong, biasanya yang membuka pintu ibu aku. Ternyata sudah sekitar empat bulan aku tidak menginjak rumahku di solo ini. Masih saja tidak berubah, masih hommy for me. Aku mencium tangan ibuku, beliau kemudian mencium pipi kiri dan kananku. Lalu aku masuk rumah sembari bercerita pepesan kosong dengan ibu, hal yang kadang kuimpikan. Aku cari poci teh (tahu gak, aku rasa teh di rumah adalah teh terenak didunia), hal yang unpredictable bahwa aku sudah dewasa, aku masih ingat kalo aku suka main basket dihalaman, pagi-pagi buta suka keluyuran dengan skate board hijauku. Sekarang aku merasa hal tersebut masih saja kemarin. Dan aku ingat banget ketika aku pindah ke rumah ini pertama kali, rumah tua yang tidak terawat. Pintu yang berderit, dan atap yang roboh ketika kubuka pintunya, aku benar-benar tidak menyangka kalau sekarang rumah tua itu sekarang menjadi rumah yang menjadi tujuan pulangku, entah sampai kapan aku akan merasakan itu. Aku hanya takut ketika api ini menjadi padam ditelan jaman dan aku hanya mampu memimpikannya sampai hati ini tersayat tangis. Ah bodo, aku lagi malas mikir sekarang.
Kami sholat bareng dimushola rumah, sedang bapak kemasjid, biasa takmir masjid (gak kebayang aku, bapaknya alim kok anaknya kayak gini). Kemudian adikku bangun satu persatu, tapi masih error gitu deh, mereka biasanya udah gak error kalau masuk jam enam, nah jam segitu mereka baru nyadar kalau aku pulang, hehehe adik-adik yang aneh. Sepulang dari masjid, bapak aku salamin kemudian ngobrol-ngobrol ayam lagi dengan beliau. Masuk jam enam bapak ngajak jalan-jalan ke manahan, kalau di jakarta, ya senayan. Tapi pagi itu gak jadi karena ibu pengen makan soto gading, so we moving to there so quickly, aku lapar banget.
Tapi, yang bisa aku ambil adalah udah lama aku gak balik. Mereka (bapak-ibukku) hanya ingin dilihat anaknya, that’s all. Mereka masih bisa menghasilkan uang sendiri. Gak perlu uang kita. Dan terus terang juga aku juga kangen dengan rumah, mereka makan dengan bercerita riang dari a sampai z, aku pun senyam-senyum saja mendengarkan mereka, bak anak kecil yang diambilkan lauk (padahal kan gue udah gede banget).
Adikku mulai pada beraktivitas dan bangun satu persatu. Ekspresi mereka pada aneh, yah itulah adik-adikku yang aneh. Cerita merekapun pada aneh dan kadang bikin ketawa. Aku masuk kamarku, ya ampun kok jadi gudang gini, adikku yang paling kecil, cicik, senyam senyum dan bilang itu transit kok mas, ntar aku ambil, hehehe. Wah kamarku sekarang berfungsi ganda, sebagai kamar dan gudang bayangan, kamar yang aneh.

Cuaca solo waktu itu cerah bukan main. Kota yang dulu sangat asik dinikmati, sekarang mulai mengenal kata-kata macet, tapi yah itulah kotaku yang aku sukai sampai kapan aku tidak tahu, oh ya tetap intip  merupakan makanan yang terbayang saat ini saat aku balik Jakarta.  

Tidak ada komentar: