Jumat, 26 Desember 2014

GIE, entah kenapa aku suka

GIE, entah kenapa aku suka
Panggil aku Soe atau Gie, tapi jangan panggil saya pak. 
Soe Hok Gie, saya hanya bisa bilang, dia memiliki kadar sosialis sejati pada satu titik. Tanpa sadar, penekanan pada kesamaan derajat membuatnya semakin jelas terhadap keyakinannya akan kebenaran yang dia inginkan.
Seorang mahasiswa Universitas Indonesia (yellow Jacket Boo!) fakultas sastra yang memiliki hobi hiking, dengan Mapala UInya, tidak disangka-sangka ikut menorehkan sejarah pegerakan Indonesia dengan guratan intelektualnya. Catatan Harian Gie menegaskan bagaimana dia berkelakar akan kehidupan yang dia picingkan.
Lebih jauh tentang Gie, saya jadi teringat film ekponen ’66 yang dibintangi oleh Didi Petet dan Cok Simbara. Dua karakter yang berbeda, bersatu dalam perjuangan menuju orde baru. Ketika orde baru mampu berdiri dengan megahnya, jalan mereka dalam menikmati orde baru, mengalami perbedaan. Satu, jalur birokratis yang koruptif dan yang satu lagi dengan mobil bobroknya tetap dengan idealis yang tersisa.
Itulah kurang lebih dengan Gie. Memilih menjadi dosen yang tak seberapa, masih saja berjalan kaki menyusuri jalan. Namun, siapa sangka orang yang hidup apa adanya ini memiliki pena yang mampu menggoreskan mata dan hati orang yang terkena sayatan itu ”Darah itu merah Jenderal”.
Kesetaraan dia mengingatkan saya pada Karl Mark. Memang sih masih jauh kalau Gie memiliki kesamaan dengan Karl, tapi yang menjadi gambaran di otak saya pertama kali adalah suatu kepuasan batin mereka dalam beraktifitas tanpa dibatasi oleh uang. kendala uang bukan menjadi momok mereka dalam beraktifitas mencari kesenangan dan ketenangan batininya. Hatta juga ikut terbersit dalam hati saya, ketika memperhatikan Gie. ”Bikin orang pinter” kata sederhana yang saya dapat, dan dia tidak butuh sanjungan untuk memintarkan orang. Orang tahu kapasitas dia, dan orang respek dengan dia. Tulisan bisa merupakan salah satu alat pembunuh yang tajam.
Gie pun sempat juga saya persamakan dengan H. Agus Salim, dimana dia merupakan orang yang mampu bersama-sama dengan orang disekitarnya, dan merasa nyaman dengan orang-orang yang memiliki keadaan yang sama. Namun, begitu ada ancaman, intelektualitas akan menjadi tameng yang ampuh dan benar-benar menakutkan.
Gie memang bukan seperti Soekarno yang jago pidato, dia hanya menjadi koseptor dalam tanda kutip bagi Herman Lantang. Gie memang bukan seperti Ahmad Natsir yang sangat religius dalam tingkah lakunya, seakan tidak terlihat apa religi Gie.
Dia tahu PKI, dia sadar akan PKI dan diapun hidup disekitar orang-orang PKI. Hal tersebut tidak membuatnya menjadi komunis. Dalam kehidupan akademisnya, dia banyak bergaul dengan berbagai tingkat pendidikan dalam kampus, bacaannya tidak sekedar sastra, politikpun dilahapnya seakan menjadi seperti bacaan mangga (komik jepang) bagi dia.
Ketika HMI dan GMNI ribut tentang posisi GESTAPU, dia dan teman-teman malah asyik masyuk dengan mengkritisi film, hal yang tak terperikan dalam pikiran seorang mahasiswa yang memiliki keluasan intelektualitas seperti dia kala itu. Tapi tanpa sadar dan diketahui oleh banyak orang, dia menjalin jalinan khusus dengan Sumitro Djojohadikusumo, bekas pemberontak PRRI/PERMESTA dan menjadi salah satu pemikir muda yang dibina Sumitro, yah sosialislah aliran Sumitro.
Gie bukan lahir dari keluarga yang berada. Gie belum bisa menikmati secuil kenikmatan akan kekayaan hidup. Dan Gie bukanlah penghambur kehidupan yang tertata. Dia sama dengan anak mahasiswa lain. Suka merokok, suka lihat cewek cakep, dan kadang suka hal yang berbau kapitalisme. Tapi itu bukan gaya hidup yang menjadi tujuannya. Pola pikir Gie akan susah dimengerti oleh wanita yang bukan pengikut gaya pikirnya, kalau dalam film Gie hal tersebut sangat ditonjolkan.
Soe Hok Gie seorang warga Indonesia berdarah turunan yang mampu menjadikan merah putih bagi dirinya melebihi merah putihnya seorang Indonesia tulen masa itu. Keinginannya untuk mendobrak ketidakbenaran langkah Soekarno diimbangi dengan watch dog dia terhadap proses berdirinya orde baru yang terlumuri oleh darah orang-orang yang seharusnya tidak tertumbalkan
Panggil saya Soe atau Gie, tapi jangan panggil saya pak.     


Tidak ada komentar: