Rabu, 31 Desember 2014

“Aku Paling Tidak Tahan Melihat Perempuan Menangis”

“Aku Paling Tidak Tahan Melihat Perempuan Menangis”
Suara Fahri di telepon genggam Maria ketika melihat Nauro tersakiti.......
Habiburahman El Shirazi dengan Ayat-Ayat Cintanya mampu menjadi magnet yang kuat terhadap antusiasme pemutaran film ini di beberapa kota besar di Indonesia. Bahkan dibeberapa kota di Indonesia yang tidak ada bioskop, VCD bajakannya menjadi laris manis.
Setting yang manis. Teknik sinematografi yang menawan. Pemakaian warna yang soft.
Sepanjang melihat film ini kita akan melihat sudut pengambilan gambar yang bagus. Perpindahan dari scene satu ke scene lain yang halus membuat kita tidak akan sering merasa terjadi perubahan set. Fahri ditampilkan lebih biasa dari karakternya di novel. Orang yang memiliki kemampuan begitu terbatas terhadap media elektronik. Orang yang sering minta bantuan terhadap sahabat-sahabatnya, dan orang yang mudah bertanya terhadap sesuatu yang dirasa mengganjal dihati (kita akan bertemu pada dialog tentang taaruf antara Fahri dan Saiful). Nurul yang dibuat dengan gaya lebih atraktif dari novelnya, hingga membuat Nurul agak menjadi keluar, sayang porsi Nurul kurang terasa dalam Film ini.Noura, tetap dengan karakter gadis pendiamnya, tidak begitu dirubah oleh Hanung.
Yang menjadi terlalu keluar jalur adalah karakter Maria dan Aisha. Maria, gadis non muslim yang menyukai surat Mariam, bahkan dia mampu menghafalnya. Tinggal di flat yang sama dengan Fahri, hanya terpaut satu lantai. Dalam novel, pengammbaran dia terlihat begitu intelek dan terpelajar, tapi karakter yang terbentuk ketika film tersebut diputar adalah sebagaimana biasa perempuan yang jatuh cinta, ya..... dia mencintai Fahri. Aisha,.......Karakter yang muncul pada novel adalah karakter yang memiliki kadar keagamaan yang lumayan dalam, terlahir dari keluarga yang kaya. Kekauatan agamanya kental dalam diri Aisha, membuat dirinya seakan berjalan dalam lingkup agama. Hal ini berbeda dengan karakter dalam film. Dalam film Aisha menjadi seorang yang melankolis, pencemburu, dan sensitif, rapuh, dan masih menggunakan harta sebagai pegangan.
Perubahan karakter ini begitu terasa dalam film, tidaklah heran, banyak yang kaget, ketika bayangan film sudah  terkotak oleh novel. Fahri juga terasa mengagetkan ketika mau berdua saja dengan Maria, padahal konsep yang melekat pada Fahri adalah konsep islam kuat. Kalau kita ingat scene setelah pernikahan dengan Maria, Fahri baru mau memegang tangan Maria. Hal ini kontradiksi dengan keberduaan mereka di sungai Nil. Kemudian scene dimana Fahri menyambut jawaban salam wartawan dari Amerika yang notabene non muslim, masih terasa mengganggu di kuping, harap maklum, hal ini masih terhitung kontradiksi. Dan juga, perhatikan ketika Fahri benar2 melakukan tatapan terhadap Maria, Noura, Nurul, dan Aisha. Kesan kekuatan islam pada diri Fahri tidak ada. Saya malah teringat Ferdi Nuril ketika main di Garasi, tidak lebih. Memang banyak film  film China yang menggunakan bahasa China kembali ketika setnya bukan china, tapi terkesan menjadi aneh ketika muncul dalam awal film ini, bahasa mesirnya keluar, nah pas pertengahan film ini, kok muncul bahasa indonesianya ya? Dan para ustadz di Al Azhar kan bukan orang Indonesia semua. Anehnya juga, para polisi, hakim, dan suster Mesir ini apakah berasal dari Indonesia juga?
Ada lagi manuver Hanung Bramantyo yang membuat film ini menjadi film yang keluar jalur. Penambahan alur cerita paska bebasnya Fahri dari penjara sudah bukan merupakan kekuatan film tapi seperti penghalusan film ini masuk ke MD Entertainment, atau ketidak tegaan Hanung akan cepatnya kisah pernikahan Maria, entah apa yang mendasari Hanung menambah scene tersebut.
Masih dengan kekuatan sinetron, padahal Hanung dulu sukses membuat film seperti Brownies, Jomblo, dan Lentera Merah. Dalam film ini ada beberapa scene yang begitu nyinetron. Anggap saja. Scene para wanita itu ngelamun membayangkan Fahri, yang dibikin lama. Scene penggambaran malam pertama, dilakukan dengan tidur bersama. Ada pula scene pemerkosaan terhadap Noura yang dijelaskan dengan gamblang dengan visualisasi. Kemudian scene menutup kain putih dalam tubuh maria yang sudah meninggal. Masih banyak lagi. Membuat saya berfikir, kenapa simbolisasi seperti ini malah dimunculkan oleh Hanung. Ketika Hanung menggarap Jomblo, proses-proses tanda banyak dilakukan. Dan tanda tersebut bisa terbaca dengan jelas.
”Jangan-jangan Kau Sholat kalo ada masalah”
Diutarakan dengan cerdas oleh teman satu selnya yang berwajah dan berbahasa Indonesia. Aneh memang, ternyata banyak TKI yang dipenjara di Mesir
”Dikeluarkan dari Al Azhar bukan kiamat, Fachri.Bangun Fachri, Bagun Fachri, Allah sedang berbicara padamu agar tidak sombong!” (lagi-lagi diucapkan oleh teman satu penjara Fahry yang Ngindonesia itu).


Tidak ada komentar: