Jumat, 26 Desember 2014

Taruna Merah dan Kerudung Itu

Taruna Merah dan Kerudung Itu

Saat itu bulan romadhon. Malam masih  belum menusuk, maklum sholat model orang-orang betawi cepat selesai, apalagi aku hanya mengambil 11 rekaat saja. Mungkin orang muda seperti aku ini masih menikmati indahnya sholat tarawih yang cepat selesai. Puasss, tidak ada beban lagi.
Maklum, yang biasanya setelah sholat, ya nongkrong ke pusat perbelanjaan. Sendirian pula. Motor aku parkir di perpakiran motor, hehe, masih saja peci menempel di kepala, padahal baju koko sudah kusampirkan di motorku. Dengan santainya aku berjalan memutari perparkiran mobil. Saat itu nyanyi apa ya…. Ah entahlah, pokoknya menikmati hari yang beranjak gelap. Tiba-tiba mataku tertarik pada satu mobil, mobil yang aneh! Masak ditempat yang agak pojok, pemiliknya malah menyalakan lampu mobilnya, yang didalam pula. Aku dekati mobil itu. Pelan dan pelan. Mobil itu taruna berwarna merah marun
Aku dekati lagi. Kaget, aku, ternyata ada cewek berkerudung didalam mobil itu, sendirian pula. Akhirnya kuputuskan untuk melewati saja  sembari melirik cewek berjilbab itu lagi ngapain. Tahu gak?, Masya Allah, Subhanallah, dia sedang membaca Al Quran kecil!. Merinding aku, malu yang menjalari tubuh ini. Segera saja aku masuk pusat perbelanjaan, hanya sebentar, untuk keluar lagi dan melihat kembali gadis berjilbab dalam taruna merah itu membaca Al Quran itu dari kejauhan. Terus terang hatiku terasa adem. Aku tidak tahu siapa dia, wajah perempuan itu, jelek atau cantikkah. Tapi aku mengagumi dia yang dengan khusyunya membaca Al Quran diantara kekuatan pasar kapitalis merayapi perkotaan ini. Aku menjadi jatuh cinta pada gadis itu. Kulihat dia sedari jauh lama sekali, dan dia terus saja membaca Al Quran itu dengan khusyunya.
Aku jadi teringat dengan konsep jilbab hati yang pernah dilontarkan oleh seorang temanku. Aku termenung, mungkin malah tercenung. Jilbab hati menurut ia adalah kekuatan hati ysng tejilbabi dari tingkah  dan kelakuan. Tapi menurutku jilbab hati adalah lebih dari itu. Lebih dari perempuan berjilbab yang membaca Al Quran  di mobil tadi. Dia lebih eksklusif. Jilbab hati bukan hanya milik wanita, tetapi miliki lelaki. Karena posisi kata-kata jilbab hati sudah menjadi universal. Konsepku jilbab hati harusnya sudah melewati jilbab fisik, selama dia belum melewati jilbab fisik , belum bisa dikatakan dia memasuki jilbab hati.
Sekali lagi temanku mengeluarkan argumen dari Quraish Shihab yang ambigu dalam memutuskan masalah jilbab. Mendasarkan pada kekuatan argumen dia dan dalam hal ini menyalahkan beberapa argumen orang lain yang sudah pada rel (menurutku),. Hal yang tidak patut diperdebatkan, masih banyak yang harus dibangun, begitu yang aku simpulkan dari temanku ini.
Entahlah, temanku ini berargumen untuk memperkuat dirinya atau apalah aku tidak tahu. Atau upaya mencari pembenaran dirinya sendiri tanpa mencoba melihat Al Quran, aku tidak tahu. Atau menganggap bahwa jilbab hanya kekuatan budaya timur tengah saja, dan bukan lah “budaya” islam yang jelas? Aku juga ,masih tidak tahu. aku tidak berani berasumsi bahwa dia belum mampu, jika dia hanya berargumen begitu, aku malah salut pada temanku,  karena aku lebih bisa berpikir jelas dan tidak terbias pada pemikiran-pemikiran yang menguras pikiran dan terlalu absurd.
Aku pulang kembali ke kostku dan tetap saja kucoba memalingkan muka ke arah perempuan itu. Suasana mobil itu terasa adem dan menyenangkan, aku tidak melihat wajahnya, dan aku tidak bisa melihatnya bentuk fisiknya. Tapi, aneh aku jatuh cinta pada pemandangan ini. Tai kucing dengan argumentasi yang tidak jelas. Surga itu tidak butuh argumentasi. Sorga itu butuh orang yang sesuai dengan Quran dan Hadits. Ketika rel ke arah sana yang sudah pasti itu dicoba untuk dilakukan argumentasi ulang, tai kucing! Aku tidak butuh itu! Setelah mati yang kutahu hanya ada sorga dan neraka, tidak ada argumentasi lain! 




Tidak ada komentar: