Jumat, 01 April 2016

Ular Keempatnya Gus TF Sakai




Ular Keempatnya Gus TF Sakai
Jika 700 calo-calon haji yang berangkat dalam rangka “tour taaruf” yang diselenggarakan oleh Husami itu kini berontak di atas kapal, dan bersedia mati syahid, jika mereka tidak diizinkan meneruska perjalanan ke Tanah Sucibenar-benar melaksanakan tekad mereka, maka sungguh beratlah buat Pemerintah. Alangkah besar dosanya bagi pemerintah melarang mereka yang hendak menunaikan ibadah haji mereka, yang mereka ongkosi sendiri pula. Karena itu peraturan pemerintah hendaknya dibuat lebih fleksibel dan khusus terhadap 700 calon-calon haji yang kini kandas di Port Swettenham sebaiknyalah pemerintah memberikan izin untuk meneruskan perjalanan mereka ke Tanah Suci. (Harian Indonesia Raya, 28 Januari 1970)
Gus TF Sakai menulis buku berjudul Ular Keempat. Buku ini diterbitkan sekitar tahun 2005 oleh Kompas. Salah satu pemikiran yang lumayan menyenangkan adalah bentuk penulisan yang berbentuk buku harian. Pola tersebut bukan bersifat buku harian yang resmi, namun tulisan yang terkandung memiliki bobot yang bagus. Haji pada medio tahun 1970 memiliki warna yang baru. Kisah mengharukan itu tergambar manis dalam Ular Keempat ini. Penggambaran tentang  ketegangan antara jadi tidaknya berangkat naik haji membuat cerita ini lumayan mengharu biru. Sang tokoh begitu runtut dalam menceritakan kisahnya dengan beberapa selingan kisah PRRI yang masih memanas kala itu.
Centilan-centilan kekuasaan orde baru dimainkan Gus TF Sakai dengan halus. Kisah tentang pertanyaan seputar pengganti pak karno, yang militer begitu menggelitik saya. Kisah tentang polemik dalam kapal (ironis kapal yang menghantar jamah haji kala itu adalah kapal miliki Singapura). Titik klimaks antara menuruti pemerintah untuk tidak jadi berangkat haji dan semangat untuk melaksanakan haji dikemas secara simultan. Perjalanan haji ini mengingatkan saya pada bukunya Ali Syariati yang berjudul tentang haji. Meskipun Gus TF tidak melakoni tata cara haji dan syariatnya secara runtut dan buku Gus TF tidak bersifat pedoman, buku ini secara tidak sadar menovelkan langkah-langkah haji.
Hamka pun pernah mencoba membuat novel yang berlatar kabah dengan membuat Di Bawah Lindungan Kabah. Tetapi karya yang dibuat oleh Hamka ini bukan merupakan pedoman untuk beribadah Haji. Buku ini hanya merupakan kisah perjalanan cinta muda-mudi dalam balutan agama religiusitas yang mengental. Tidak lebih dari kisa roman muda masa dulu.
Kisah ini masih diragukan merupakan kisah yang non fiksi. Karena Gus TF sendiri lahir pada medio 1965. dan kisah tersebut dibuat oleh Gus TF pada awal Januari sampai Februari 1970. kalo kisah tersebut merupakan kisah nyata dari penulis, berarti Gus TF masih berumur lima belas tahun untuk kisah tersebut. Hal yang tidak mungkin. Tapi apabila kisah tersebut merupakan kisah fiksi, imajinasi Gus TF memang liar. Tapi, mantapnya, Gus TF mendasarkan kekisruhan Haji yang nyata pada tahun itu sebagai dasar untuk membuat kisah fiksi Penggambaran kapal pengangkut untuk naik haji masa lampau merupakan suatu bentuk yang nyata. Karena kisah itu, saya mencoba membuka kembali album foto nenek saya  yang juga naik haji pada masa tersebut, penggambaran tentang kapal tersebut bisa begitu terlihat pada foto-foto nenek saya. Kapal besar dengan fasilitas yang tersedia didalamnya.
Suatu kisah yang tidak bermain pada alur percintaan. Suatu hal yang langka di Indonesia. Dan bagusnya, kisah ini berdasarkan pada konsep perjalanan dan buku harian. Suatu bentuk yang kadang malas diruntut oleh pembaca. Kisah ini bukan buku harian biasa. Kisah ini bukan juga model buku harian seperti bukunya Ahmad Wahib yang fenomenal. Tapi inilah buku Gus TF yang saya rekomendasikan untuk calon jemaah haji disamping menggamit buku Haji-nya Ali Syariati.

    

Tidak ada komentar: