Jumat, 01 April 2016

Malin Kundang yang Kondang



Malin Kundang yang Kondang
Legenda akan anak yang durhaka bernama Malin Kundang sudah menjadi cerita yang dimiliki Indonesia. Sampai sekarangpun sulit memastikan keaslian legenda tersebut Terlepas dari semua itu di Pantai ini terdapat patung manusia sedang telungkup ke tanah. Batu tersebut diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai kutukan yang diterima oleh Malin Kundang. Alamat  Desa Air Manis Kecamatan Padang Selatan Padang.
Malin Kundang adalah kaba yang berasal dari provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Legenda Malin Kundang berkisah tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi batu. Sebentuk batu di pantai Air Manis, Padang, konon merupakan sisa-sisa kapal Malin Kundang.  Cerita rakyat yang mirip juga dapat ditemukan di negara-negara lain di Asia Tenggara. Di Malaysia cerita serupa berkisah tentang Si Tenggang, sedangkan di Brunei Nakhoda Manis. Dramawan dan sastrawan Wisran Hadi menjadikan kisah Malin Kundang sebagai dasar dalam dramanya Malin Kundang (1978) dan Puti Bungsu (1979). Sinetron Malin Kundang merupakan sinetron yang diputar di SCTV sejak 11 Januari 2005. Dalam sinetron ini latar cerita Malin Kundang dibawa ke alam modern. Malin Kundang diperankan oleh Fachri Albar. Dalam versi sinetron ini ibu Malin Kundang bernama Zainab dan diperankan Dessy Ratnasari.
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.

Pada kesempatan berkabar terakhir dengan bundanya, sebelum perempuan tua ini berangkat menyusul ke kota, Malin Kundang mengingatkan dengan setengah bercanda, “Emak, apabila tekad Emak sudah bulat hendak menyusulku ke kota, siapakah yang nanti akan menyapa unggas di halaman, menghalau domba di pekarangan?” Emak pun hanya menukas kecil, “Malin, kerinduanku terhadap buah hati lebih dari semua itu. Aku ingin menjumpai orang yang telah aku timang-timang.” Emak tua telah bersikeras hendak pergi.
 
Karena merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. malin memutuskan untuk pergi merantau agar dapat menjadi kaya raya setelah kembali ke kampung halaman kelak.

Kendati unggas nanti akan dengan sendirinya melupakan wajah tua itu, dan domba-domba berlarian hanya menjejak rumput hijau untuk dimakan, angin sepoi-sepoi berbisik. Seperti apakah pemandangan di kota? Apakah diriku akan hilang di tengah padang luas mereka, tersedot oleh gorong-gorong air sebesar pintu lumbung padi itu? Emak menatap ke empat penjuru mata angin dan sekilas dia melihat di satu sudut ufuk langit gemintang berkelip lebih terang. Ia tidak mengerti penampakan seperti itu: yang dipandanginya sebuah gugus melingkar seperti pusaran air. Dari luar seperti terseret ke arah dalam, membentuk lingkaran lagi yang lebih kecil.

Awalnya Ibu Malin Kundang kurang setuju, mengingat suaminya juga tidak pernah kembali setelah pergi merantau tetapi Malin tetap bersikeras sehingga akhirnya dia rela melepas Malin pergi merantau dengan menumpang kapal seorang saudagar.Selama berada di kapal, Malin  Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman.

Tanggal yang digurat-gurat di ujung antan sudah genap. Emak sudah pula menukar hasil dari kebun belakang dengan segenggam uang logam. Ia mendengar bahwa di kota mereka “makan dengan uang”, bukan “makan nasi.” Kupu-kupu dan lebah seperti melepas Emak pergi, sekalipun keduanya tetap sibuk menghisap madu bunga. Tidak ada yang perlu diusik dengan ritual flora dan fauna di halaman. Mereka mengerjakan itu semua seperti otomatis, dikendalikan oleh pikiran sehat dari Pembuatnya.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang beruntung, dia sempat bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu sehingga tidak dibunuh oleh para bajak laut.

Seperti ditorehkan oleh para penulis legenda, seperti telah diterima tanpa pertanyaan oleh telinga bocah-bocah: Malin Kundang memperlakukan Emaknya dengan nista. Simpul tersebut secara singkat tanpa penjelasan apapun oleh para ninik-mamak yang melantangkan legenda ditandai dengan cap durhaka. Malin Kundang berlaku durhaka kepada Emaknya, dan kita semua sampai bermasa-masa selanjutnya masih berdiri tegak di belakang Emak.

Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan tenaga yang tersisa, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.

Namun, apakah sebab dari kedurhakaan itu? Apakah karena Malin Kundang beroleh pangkat, bertimbun harta, berpijak pada kebanggaan sebagai orang yang terangkat martabatnya? Bagaimana seandainya dia ingin membuang sejarah? Siapa tahu pada dirinya terdapat perasaan malu atau rendah diri bahwa selama ini lingkungannya yang hanya seluas batok kelapa itu telah dianggap mengerdilkannya. Dan Emak adalah perlambang dunia lama itu yang kemudian muncul dan mengusik pada masa kekiniannya. Anak durhaka itu — demikian orang menyebut — tidak kuasa menampik Emak secara kenyataan substansial, namun pada perlawanannya menguasai perasaan rendah diri itu Malin Kundang harus mengusirnya. Barangkali ia sadar bahwa tinta sejarah akan menulisnya sebagai lancung, namun pikiran pendek dan kegeraman terhadap perulangan kondisi buruk yang disangkanya akan muncul, menguasai pertimbangan seperti itu. “Akulah Malin Kundang. Aku tidak terusik sedikitpun dengan caraku bertingkah laku seperti ini.”


Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.

Apakah tidak sepatutnya anak durhaka ini dikasihani? Karena ia terang-terangan melakukan perbuatan keji yang nantinya akan membawa dirinya pada kesulitan-kesulitan lain yang lebih jauh. Sebelum terlambat. Sebelum lebih akut. Dan siapa orang di muka bumi ini yang lebih mengerti seorang anak selain bundanya sendiri? Pikiran-pikiran seperti itu yang pertama muncul di dalam benak Emak. Ia memang gusar melihat perubahan perilaku anaknya. Ia kecewa. Ia marah karena seperti tidak dianggap.

Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin yang melihat kedatangan kapal itu ke dermaga melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.

Apakah tidak sepatutnya anak durhaka ini dikasihani? Karena ia terang-terangan melakukan perbuatan keji yang nantinya akan membawa dirinya pada kesulitan-kesulitan lain yang lebih jauh. Sebelum terlambat. Sebelum lebih akut. Dan siapa orang di muka bumi ini yang lebih mengerti seorang anak selain bundanya sendiri? Pikiran-pikiran seperti itu yang pertama muncul di dalam benak Emak. Ia memang gusar melihat perubahan perilaku anaknya. Ia kecewa. Ia marah karena seperti tidak dianggap.

Ibu Malin pun menuju ke arah kapal. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang.  ”Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi melihat wanita tua yang berpakaian lusuh dan kotor memeluknya Malin Kundang menjadi marah meskipun ia mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya, karena dia malu bila hal ini diketahui oleh istrinya dan juga anak buahnya.

Namun seperti bercermin terhadap dirinya, Emak menangkap bayang-bayang kesadaran. “Aku harus setimbang, karena ini bukan semata-mata miring ke arah kanan atau beralih ke kiri.” Ia berbicara dengan hatinya sendiri, yang seperti bertanya jawab satu dan banyak hal. “Emak, akulah Atijembar. Engkau lihat cahayaku berkelebat membentuk pusaran pada saat engkau hendak meninggalkan rumahmu. Akulah makhluk yang paling dekat denganmu, karena engkau dapat mendengarkan aku bahkan seandainyapun telingamu tuli dan engkau dapat berbicara denganku sekalipun mulutmu bungkam. Aku hanya tidak dapat dijangkau oleh mereka yang telah pekak dan bisu.” Tanpa dijelaskan maksud kehadirannya pun, Emak sudah mafhum.
Mendapat perlakukan seperti itu dari anaknya ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menyumpah anaknya "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu".

“Aku sudah mengingatkannya, sudah mengajaknya untuk bertobat, apakah dengan demikian kutukanku menjadi keniscayaan? Akulah yang dengan izin-Nya telah melahirkan dirinya ke dunia, pantaskah apabila sekarang aku pula yang mengantarkan dirinya kepada kebinasaan? Bukankah seharusnya aku yang mencintai darah keturunanku lebih dari yang lainnya? Sebenarnya siapa aku ini yang sekarang sedemikian gusar sehingga berencana mengeluarkan kutukan? Apakah kebaikan yang menyertai, pembalasan terhadap kenistaan, atau hanya nafsu amarah yang menyala-nyala?”

Tidak berapa lama kemudian Malin Kundang kembali pergi berlayar dan di tengah perjalanan datang badai dahsyat menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang. Sampai saat ini Batu Malin Kundang masih dapat dilihat di sebuah pantai bernama pantai Aia Manih, di selatan kota Padang, Sumatera Barat.

Atijembar hanya bergumam lirih, “Emak, gunung pun akan meledak mendengar kutukan bunda. Awan menjadi pekat, langit mendung dan murung. Kehidupan terhenti oleh kutukan bunda — orang yang mengantar awal kehidupan. Apakah demikian yang menjadi dorongan hatimu?” Keluh kesah Emak, pertanyaan Atijembar, kesadaran dan kebimbangan, keraguan dan perasaan ingin berontak, semua berputar dari sebuah dorongan yang memang sebenarnya satu sumbernya. Alam semesta ini sedemikian luas tiada terkira, namun hati manusia yang membuka terhadap cahaya jauh lebih lapang lagi. Demikian pula, butir-butir pergulatan batin jauh lebih halus dari pikiran-pikiran manusia tentang ukuran superkecil. Seolah-olah alam semesta ini hendak bergerak atau diam, hati manusialah yang menjadi pusaran. Karena demikianlah kekuasaan Tuhan menitipkan sejumput cahaya-Nya bersemai di dalam hati.

Suatu hari Gus Dur sedang mendongeng pada anak-anaknya. "Anak-anak...Di sebuah hutan di suatu masa ada pemuda yang suka berburu bernama Malin Kundang..." Seorang anaknya yang kritis, tahu kalau Gus Dur keliru, sehingga ia menyela. "Maaf, Pak... Pemburu itu kan mestinya bernama..." "Sssttt...Jangan memotong dulu...kalau mau bertanya nanti saja..." sergah Gus Dur. "Nah, saya teruskan ya ...suatu hari si Malin Kundang sedang berburu, dan di tengah hutan ada suatu telaga. Nah di tengah telah itu dia melihat 7 bidadari sedang mandi. Dia pun mengintip ke-7 bidadari itu di balik sebuah pohon besar" Sementara anak-anaknya mulai senyam-senyum, sadarlah Gus Dur bahwa ia keliru. Tapi ia terlalu gengsi untuk mengakui kesalahannya. Setelah berpikir sejenak, ia pun mendapat ide. "Namun kemudian salah seorang bidadari terkejut melihatnya dan berseru: Hai Malin Kundang, ngapain kamu di situ...Seharusnya kan Jaka Tarub yang ngintip kami di situ. Sana pulang!! (ahm)
Sumber: Wikipedia murni dan sumber-sumber lain


Tidak ada komentar: