Minggu, 10 April 2016

Ketika Poligami Dalam Polemik



Ketika Poligami Dalam Polemik
Hanya 2 peradaban dalam sejarah peradaban dunia yang sama sekali tidak pernah mempraktekkan poligini yaitu Romawi Kuno dan Yunani Kuno; akar dari sejarah peradaban eropa modern. Tetapi sejarah mencatat, di 2 peradaban yang menentang poligini itulah, praktek pelacuran, perzinahan dan perselingkuhan meraja lela bahkan diijinkan. Monogami hanyalah praktek hukum diatas kertas. Kebutuhan sosial poligini (baca: sex) ditoleransi dengan menggelar praktek pelacuran, perzinahan dan perselingkuhan. Disanalah wanita hanya dijadikan simbol cinta, disanjung dan dinomersatukan, tanpa diperhatikan harga dirinya.
Dari jaman dulu ,kecuali jamannya Nabi Adam, praktek poligami memang sudah menjadi hal yang umum. Dari kisah kerajaan yang memiliki selir, sampai dengan model arab yang berbentuk harem. Poligami tak hanya terjadi di kalangan pejabat tetapi di semua lapisan masyarakat dalam segala macam strata sosial. Sejarah mencatat bahwa kegigihan kaum perempuan menolak poligami tidak bisa dibendung,
November 1952 sembilan belas organisasi perempuan menyatakan menentang pemborosan uang negara untuk membayar poligami . Puncak penolakan terjadi 17 Desember 1953 saat berbagai organisasi perempuan menggelar aksi demonstrasi. Saat ini,  78 tahun sejak Kongres Perempuan Indonesia I 1928 kaum perempuan Indonesia masih berhadapan dengan persoalan sama yaitu poligami, yang disahkan dalam Undang-undang Perkawinan tahun 1974. UU tersebut menjustifikasi poligami meski dengan izin pengadilan, dan khususnya bagi PNS dengan izin pejabat. (PP 10/1983 dan PP 45/1990)
Undang-undang Perkawinan yang saat ini diterapkan oleh Pemerintah Indonesia secara nyata dan tegas mendiskriminasikan perempuan, salah satu pasalnya membolehkan suami untuk beristri lebih dari satu dengan syarat tertentu. Pasal tersebut merupakan pasal terfokus pada suami/laki-laki. Koridor pasal ini membatasi pola kebebasan kaum adam dalam melakukan perkawinan yang asal kawin. Namun bukan berarti dengan munculnya peraturan tersebut, praktek poligami menjadi berkurang dan berkurang.
Poligami dalam Islam adalah rahmat Allah yang besar. Tapi sayangnya, sebagian orang dimasa sekarang menolaknya dengan keras. Penetrasi pemikiran (fikroh) sekuler, liberalisme dan feminisme telah mengaburkan pemahaman tentang poligami dalam Islam. Akhirnya, sebagian orang secara membabi-buta menolak poligami.
Sebelum memahami persoalan poligami, sudah sewajarnya kita mempelajari definisi, sejarah dan tujuan poligami itu sendiri. Tidak hanya pandai menolak dan gebyah-uyah mendangkalkan kebaikan yang ada pada poligami itu sendiri. Dengan pemahaman yang memadai, diharapkan dukungan dan penolakan terhadap poligami benar-benar lahir dari sebuah jawaban rasional.
Selain istilah poligami, dikenal pula istilah poligini. Poligini adalah menikahi wanita lebih dari satu dalam waktu bersamaan. Poligami memiliki makna yang sama dengan poligini. Perbedaannya adalah dalam poligami jumlah wanita yang boleh dinikahi dibatasi. Sedangkan poligini tidak membatasi jumlah wanita yang boleh dinikahi. Kebanyakan orang hanya mengenal poligami tanpa mengetahui bahwa istilah poligami hanyalah turunan dari istilah poligini. Sehingga poligini yang sering dilihatnya, dikiranya/disebutnya poligami. Bagi orang yang berlatar belakang pendidikan Matematika dan Hukum, mereka memandang penting perbedaan definisi ini.
Selain soal batasan jumlah wanita yang boleh dinikahi, perbedaan poligini dan poligami lebih banyak menyangkut maksud dan tujuan kedepannya. Poligini muncul bertujuan untuk menyalurkan libido lelaki. Secara biologis, produksi sperma lelaki berlangsung terus menerus tanpa henti sejak akil baligh hingga ajal menjemputnya. Bahkan di umur 70 tahun, kelenjar teosteron lelaki masih memproduksi sperma. Sedangkan produksi ovum perempuan bisa beristirahat tiap bulannya. Bahkan perempuan memiliki masa menapause.
Poligami memiliki maksud mengatasi persoalan sosial yang muncul dari poligini; yaitu kehormatan, keturunan, dan keadilan. Pertama, mengangkat kehormatan perempuan menuju perikatan suci yaitu pernikahan. Kedua, menjaga silsilah keturunan dan masa depan keturunan deri persoalaan budaya, sosial, dan ekonomi di kemudian hari. Ketiga, menegakkan keadilan ekonomi dan biologis diantara para perempuan yang dipoligini.
Dan jika kami tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[An Nisaa: 3] Dalam ayat tersebut, Allah memberi toleransi kepada lelaki untuk menikahi wanita yang mereka senangi: dua, tiga atau empat. Ini bukan perintah, tetapi toleransi poligini yang dibatasi. Itupun masih ditambahi syarat: Adil! Jika tidak mampu adil, maka nikahi satu wanita saja.
Perdebatanpun terjadi seputar definisi ‘adil’. Jika kita menggunakan definisi adil dari buah pikiran manusia, maka kesepakatan arti ‘adil’ tidak akan pernah tercapai [2]. Seperti bantahan orang-orang yang selalu menolak poligami dalam Islam dengan alasan: lelaki tidak akan pernah bisa adil, sembari memebri pengecualian “tapi kalau Rasul bisa!” Inilah ayat yang selalu menjadi dalil para pengingkar poligami, baik kelompok sekuler maupun Islam Terselubung (baca: Islam Liberal).
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [An Nisaa: 129] Karena konteks pembicaraan kita adalah tentang tafsir firman Tuhan maka definisi ‘adil’ harus menggunakan definisi dari Tuhan, bukan manusia. Al Quran bukan ayat yang bisa dibentur-benturkan demikian. Lihatlah konteks pembicaraan Tuhan dalam kata adil di kedua ayat tersebut.
Dalam ayat yang mengijinkan poligami, Allah sedang berbicara soal harta anak yatim (materi). –Bacalah-An-Nisa-ayat-2–. Karena dikhawatirkan terjadi perbuatan memakan harta anak yatim (baca: ketidakadilan), maka Islam menghimbau untuk menikahi wanita biasa saja (bukan anak yatim) yang disenangi paling banyak empat. Jadi, adil yang lagi dibicarakan dalam ayat 3 surat An Nisaa adalah adil soal material. Bagaimanapun soal material, sangat mungkin sekali terjadi keadilan –kalau-mau-adil–, karena ukurannya cukup jelas: angka matematis. Sedangkan kata ‘adil’ dalam An Nisa ayat 129, “Dan sekali-kali kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin…“, konteksnya ada di ayat 128: yaitu sikap nusyuz (acuh tak acuh). Lebih jelasnya, maksud “… kamu tidak akan dapat berlaku adil…” adalah soal sikap/kecenderungan, yang umumnya diterima perempuan dalam bentuk perasaan mereka.
Tercatat dalam sejarah, bagaimana cemburunya Aisyah pada Hafsah sebagai istri yang paling dicintai Rasul. Dan bagaimana mereka selalu melakukan tindakan cemburunya apabila Rasulullah beristri baru. Tercatat dalam sejarah pula, bagaimana Rasulullah tersinggung saat mengetahui putrinya Fatimatuzzahra sedih mengetahui Ali bin Abu Thalib akan menikah lagi. Sampai-sampai Rasul mengeluarkan kata-kata, “Barang siapa yang menyakiti putriku, maka ia menyakiti Rasul Allah.”. Sekali lagi, ini soal perasaan. Meskipun demikian, kecintaannya kepada putrinya tidak sampai menolak poligami. Rasul tetap melakukan poligami dan mengijinkan para sahabat melakukannya. Ketika Rasulullah melakukan protes tersebut adalah satu keadaan dfimana Rasulullah sebagai ayah yang tidak menyetujui konsep poligami menyentuh keadaan putrinya.
Bicara soal poligami, ada kisah menarik, saya pernah membaca suatu tulisa, bagaimana seorang anak yang disuruh pergi ke lokalisasi pelacuran. Kemudian anak itu disuruh bertanya kepada pelacur tersebut tersebut; sukakah mereka dengan profesi mereka sebagai pelacur. Dan jawabannya adalah: “Saya lebih baik dinikahi jadi istri simpanan daripada harus bergelimang dosa.”. Ternyata, mereka lebih memilih jalan kehormatan: dipoligami. Masalahnya, pelanggan mereka adalah penganut monogami totok, ya sudah.....
Apabila anda perempuan yang memegang teguh prinsip monogami. Dan prinsip tersebut coba anda angkat dengan memburukkan hal-hal mengenai poligami. Sadarilah bu, kondisi anda berbeda, dan ibu harus bersyukur, malah mungkin harus sujud syukur mendapatkan suami yang tetap pada jaurnya. Lihat kondisi yang beda. Apakah hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, sekali lagi poligami bukanlah hal yang buruk, kekuatan ibu bahwa ibu tidak suka poligami bukanlah merupakan hak ibu untuk melakukan penghasutan menjelekkan poligami. Konsep ibu aan termentahkan apabila ibu dihadapkan pada kondisi janda, pelacuran, dan kondisi-kondisi lain yang memungkinkan.
Mungkin anda seorang lelaki yang mendukung monogami. Bersyukurlah karena istri anda masih bisa memenuhi semua kebutuhan cinta anda. Saya cuma berdoa, semoga anda benar-benar mencintai pasangan hidup anda: tidak berselingkuh, tidak berzina, dan tidak melacur. Jika anda melakukannya, tanyakan pada hati nurani anda: Apakah anda setuju dengan saya soal Poligami?
Sumber:comotan dari Internet....

Tidak ada komentar: