Konsepsi Poligami
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad
SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi
pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa
keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan
putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan,
sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin
Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka.
Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah
menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku
juga." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).
Syekh Muhammad Abduh
menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan
hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang,
dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar,
4/287).
Nyatanya,
sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Dalam
kondisi Rasulullah, Rasulullah mampu membina konsep monogami dengan Khadijah
Binti Khuwalid selama kurang lebih 25 tahun. Hal yang sangat tidak lumrah pada
masa itu.
Sunah, seperti
yang didefinisikan Imam Syafi'i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap
wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi mengimpuls Ayat An-Nisa 2-3
mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan
menelusuri kitab Jami' al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya
Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah
media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang
ada belum cukup kukuh untuk solusi.
Dalam kitab Ibn
al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat
pada Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi
merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal
Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda
sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka
suka.
Ketika Nabi
melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan,
mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan
Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin
al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan
poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
Pada banyak
kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami.
Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barangsiapa yang mengawini dua
perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari
akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi' al-Ushûl,
juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW
menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.
Sama dengan Nabi
yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika
putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati
perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya. Jika pernyataan Nabi ini
dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan
poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA
sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.
Dalam karakter
fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan
parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku
Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari
satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah
sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada
prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak
mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).
Sumber:
Faqihuddin Abdul
Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus
Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah (Sumber Asli), dan sumber-sumber lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar