Minggu, 14 Januari 2018

Serangan Terhadap Gerwani



Serangan Terhadap Gerwani
 “Tarian Bunga Harum itu merupakan tarian perangsang jang kotor, sehingga menimbulkan kelakuan-kelakuan asusila di antara para peserta gerakan Kontrev G30S di Lubang Buaja,” bunyi petikan berita harian Kompas, Senin 13 Desember 1965.
Dalam berita-berita yang tersebut disebutkan bahwa anggota Gerwani melakukan ritual setan dengan bertelanjang dada dan kalung bunga di dada. Mereka menari-nari erotis dan melakukan pesta seks dengan anggota PR. Seperti orang yang kesetanan, para anggota Gerwani dikabarkan mencongkel mata dan memotong-motong kemaluan para jenderal, sebelum jasadnya dilempar ke dalam sumur tua di daerah Lubangbuaya. Selain Gerwani, fitnah keji juga ditujukan kepada anggota Pemuda Rakyat yang saat penyiksaan para jenderal terjadi ikut mengiringinya dengan musik sambil menyanyikan lagu Genjer-genjer karangan seniman asal Banyuwangi yang bernama Muhammad Arief. Lagu Genjer-genjer menceritakan masa kelaparan pada zaman pendudukan Jepang, tahun 1940. Tulisan koran saaat itu, tarian mistis para anggota Gerwani disebut-sebut sebagai Tari Harum Bunga. Sejak peristiwa di Lubangbuaya, nama tarian ini menjadi cukup populer.
Dalam beberapa wawancara penulis dengan sejumlah tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), tidak ada yang pernah mendengar Tari Harum Bunga Gerwani. Mereka hanya tahu lagu Genjer-genjer yang memang sudah ngetop di tengah masyarakat pedesaan di Jawa Timur dan sekitarnya.

Benarkah Gerwani melakukan kekejaman dengan mencongkel mata dan memotong kelamin para jenderal seperti yang telah diberitakan oleh media-media saat itu? Ataukah ini hanya fitnah yang dimaksudkan untuk membakar kemarahan rakyat terhadap Gerwani? Dalam laporan dua orang dokter tentara dan Tim Forensik yang salah satunya adalah dokter Rubiono Kertopati yang merupakan pendiri Lembaga Sandi Negara Indonesia, dan tiga orang dokter sipil yang juga ahli forensik yang satu di antaranya adalah dokter Sutomo Tjokronegoro disebutkan, bahwa tidak ada kerusakan pada alat kelamin dan mata para jenderal yang dibunuh oleh tentara yang melakukan putsch. Hasil forensik itu telah diketahui sejak tanggal 5 Oktober 1965, saat jenazah para jenderal akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Kendati kebohongan berita kekejaman Gerwani di Lubangbuaya telah terbongkar, namun informasi ini tidak pernah diberitakan media-media yang telah dikuasai oleh Orde Baru saat itu. Sehingga, kebenaran ini tetap tidak diketahui masyarakat saat itu.

Presiden Soekarno yang mengetahui berita bohong itu masih tersebar di media pernah merasa sangat marah dengan wartawan yang ikut menyebarkan informasi menyesatkan yang berakibat pada terjadinya pembunuhan besar-besaran di daerah-daerah.
  "Apa dikira kita ini orang bodoh! Tidak! Artinya, apa masuk akal, pen** dipotong-potong met 100 giletten? Zijn wij nou een volk van zoon lage kwaliteit (Apakah bangsa kita berkualitas sedemikian rendah) untuk menulis di surat kabar barang yang bukan-bukan!" kata Soekarno dengan gusar. Meski Soekarno meminta kepada media saat itu untuk menulis dengan benar sesuai fakta yang terjadi di lapangan, permintaannya tidak digubris wartawan. Kata-kata Presiden Soekarno saat itu sudah tidak didengar lagi, karismanya sudah pudar dan kekuasaannya telah runtuh meski saat itu dirinya masih seorang Presiden.

Gerwani yang sedari awal mendukung politik dan kebijakan progresif Presiden Soekarno lalu membuat buletin Pendukung Komando Presiden Soekarno atau PKPS yang salah satu donaturnya adalah Ali Sadikin. Buletin ini diedarkan secara sembunyi-sembunyi oleh para pengurus DPP Gerwani yang berhasil untuk sementara waktu meloloskan diri dari penangkapan para tentara Orde Baru. Selain membuat berita tandingan tentang apa yang terjadi di Lubangbuaya dan hasil forensik yang menyatakan tidak adanya jasad para jenderal yang matanya dicungkil dan kemaluannya dipotong, buletin yang dicetak dengan sangat terbatas itu tidak memberikan hasil apa-apa. Masyarakat yang terlanjur memakan fitnah terhadap Gerwani, tetap melakukan serangan-serangan terhadap para anggota dan kantor Gerwani di pusat dan cabang di daerah.
Para anggota Gerwani diburu, tidak peduli tua maupun muda. Dengan kasar, mereka dilemparkan ke atas truk, dibawa ke dalam gedung lalu disiksa oleh tentara. Tidak jarang mereka yang disiksa harus meninggal dunia. Tidak hanya terhadap Gerwani, anggota organisasi pemuda, buruh, tani, dan seniman yang dekat dengan PKI juga diburu. Salah satu gedung yang dijadikan tempat penyiksaan anggota Gerwani dan anggota organisasi lainnya yang memiliki kedekatan dengan PKI berada di Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Gedung itu merupakan bekas sekolah Thionghoa dan dikenal sebagai rumah setan oleh para tahanan politik saat itu.

Dengan masih beradanya relief kekejaman PKI dalam monumem itu, berita bohong mengenai Tari Harum Bunga Gerwani masih terus dipertahankan oleh pemerintah yang berkuasa saat ini. Demikian, kebohongan yang dilakukan selama puluhan tahun itu telah menjadi kebenaran. Sampai di sini ulasan Cerita Pagi menyambut 50 tahun Gerakan 30 September 1965.

Sumber Tulisan
* Penyusupan PKI ke dalam Tubuh Gerwani, dikutip dari Alex Dinuth, Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis, Kumpulan Tulisan Terpilih tentang Gerakan Komunis dan Bahaya Ekstrim Lainnya di Indonesia, Penerbit Intermasa, 1997.
* Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang, Riwayat Wartawati dalam Penjara Orde Baru, Pustaka Utan Kayu, Maret 2003.
* Fransisca Ria Susanti, Kembang-Kembang Genjer, Jejak, Oktober 2007.
* John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Hasta Mitra, 2008.
* H Maulwi Saelan, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66, Visi Media, 2008.
(san)

Tidak ada komentar: