Rabu, 10 Januari 2018

Chairul Saleh, Tokoh Murba yang Moncer



Chairul Saleh, Tokoh Murba yang Moncer

“Saya melihat Bung Karno menguraikan pidatonya, tanpa memihak kepada siapa pun. Dia mengatakan bahwa kita semua harus memperbaiki keadaan itu. Dia menyalahkan PKI, dia juga menyalahkan Partai Murba, bahkan dia mungkin kecewa dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada waktu itu,” kata Sabam Sirait, yang hadir di pertemuan itu sebagai wakil Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Chairul Saleh menjabat sebagai Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (1940-1942). Setelah Jepang menduduki Indonesia, Chairul menjadi anggota panitia Seinendan, dan masuk menjadi anggota Angkatan Muda Indonesia yang dibentuk Jepang. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba berbalik arah anti Jepang dan bertujuan Indonesia Merdeka 100 persen. Chairul ikut membentuk Barisan benteng, menjadi anggota PUTERA, dan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Masih kurang lagi, Chairul menjabat Wakil Ketua Gerakan Angkatan Baru dan Pemuda.
Chairul Saleh bergabung dalam kelompok Persatuan Perjuangan yang dibentuk atas prakarsa Tan Malaka di Surakarta pada tanggal 4-5 Januari 1946. Awalnya Persatuan Perjuangan bernama Volksfront. Pada tanggal 15-16 Januari 1946 dibentuk Badan Tetap bernama Persatuan Perjuangan (PP). Program utama PP adalah menolak perundingan tanpa dasar pengakuan kemerdekaan 100%. Kala itu, PP didukung KNIP dan semua ormas. Dalam sidang KNIP di Solo, 28 Februari – 2 Maret 1946, KNIP menolak kebijakan Perdana Mentri Syahrir yang kooperatif dengan Belanda dengan hasil yang merugikan Indonesia. Akibatnya, Kabinet Syahrir jatuh. Persatuan Perjuangan mengharapkan Tan Malaka sebagai Perdana Menteri. Adam Malik mengajukan permohonan agar mandat diserahkan ke Tan Malaka, tetapi ditolak Soekarno. Bahkan, Soekarno menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Mentri (Kabinet Syahrir II) yang dibentuk 12 Maret 1946 dengan mengkompromikan sebagian pendapat Persatuan Perjuangan.
Pada 17 Maret 1946, beberapa tokoh politik, terutama dari Persatuan Perjuangan, ditangkap dan ditahan antara lain Tan Malaka, Sukarni, Abikusno Cokrosuyoso, Chairul Saleh, M. Yamin, Suprapto dan Wondoamiseno. Persatuan Perjuangan dibubarkan pada 4 Juni 1946. Tanggal 26 Juni 1946 pengikut Tan Malaka menculik Syahrir. Tanggal 3 Juli 1946 memaksa Soekarno membentuk pemerintahan sesuai konsep Persatuan Perjuangan. Namun, Soekarno tetap menunjuk Syahrir sebagai Perdana Menteri (Kabinet Syahrir III) yang dilantik pada 2 Oktober 1946.
Kabinet Syahrir mengadakan Perjanjian Linggarjati di selatan Cirebon tanggal 10 Nopember 1946. Didukung PKI, Pesindo, BTI, Lasykar Rakyat, Partai Buruh, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Namun, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai wanita, Angkatan Comunis Muda (ACOMA), Partai Rakyat Indonesia, Laskar Rakyat Jawa Barat, Partai Rakyat Jelata menolak. Sementara, Dewan Pusat Kongres Pemuda tidak menyatakan pendapat untuk menjaga anggota mereka yang berbentuk federasi. Pada 27 Juni 1947 Syahrir mengundurkan diri dan digantikan Amir Syarifuddin 3 Juli 1947. Kabinet Amir Syarifuddin jatuh karena mengadakan Perjanjian Renville. Pada 23 Januari 1948, Amir menyerahkan mandatnya. Kabinet Hatta diumumkan 31 Januari 1948. Hatta berusaha mengakomodasi koalisi Nasasos. Hatta menawarkan tiga kursi kepada sayap kiri, tetapi mereka menuntut 4 kursi termasuk menteri pertahanan. Hatta menolak dan akhirnya hanya memberikan satu kursi kepada sayap kiri yakni Supeno atas nama perorangan sebagai Menteri Pembangunan dan Pemuda. Sisanya diduduki oleh Masyumi, PNI, Parkindo dan Partai Katolik.
Amir Syarifuddin beroposisi dengan membentuk FDR dan mengadakan pemogokan Delanggu. Soekarno melepaskan Tan Malaka, 3 Juli 1948. Tan Malaka dan pengikutnya mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner pada tanggal 6 Juni 1948 dengan pimpinan Dr. Muwardi (Ketua), Syamsu Harya Udaya (Wakil Ketua) dan Chairul Saleh (Sekretaris). Tanggal 13 September 1948, Dr Muwardi diculik dan dibunuh PKI. Pecah perang antara Barisan Banteng (pro GRR) dengan Pesindo (FDR). Tanggal 17 September Kolonel Gatot Subroto ditunjuk menjadi Gubernur Militer Surakarta, Madiun, Semarang dan sekitarnya. Perintah Gatot untuk menghentikan tembak menembak 18 September 1948 tidak efektif karena di Madiun PKI memberontak dipimpin Muso.
Setelah PKI ditumpas, M. Yamin menganjurkan membentuk pemerintahan atas dasar triple platform, agama, nasionalis dan sosialis, untuk memperoleh dukungan rakyat. Tanggal 3 Oktober 1948, GRR dengan partai sehaluan yakni Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata, Partai Buruh Merdeka, Angkatan Comunis Muda (ACOMA) dan wanita Rakyat bergabung menjadi Murba. Chairul Saleh ikut bergabung dalam Partai Murba, bersama Adam Malik, Sukarni, Prijono dan lain-lain.
Agresi Militer Belanda II pecah pada Desember 1948, Murba bergerilya, Chairul Saleh dengan Barisan Bambu Runcing di Jawa Barat, Sukarni dan kawan-kawan di Yogya dan Jawa Tengah, Tan Malaka bergabung dengan batalion Mayor Sabaruddin di Jawa Timur. Chairul Saleh bersama Divisi Siliwangi melakukan Long March dari Presiden RI (1972-1978) Yogyakarta ke Karawang dan Sanggabuana. Chairul bergabung dengan Divisi Tentara Nasional 17 Agustus di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wahidin Nasution.
 Berdirinya Persatuan Perjuangan dipicu pergeseran orientasi politik pemerintahan dari presidensial yang Sukarno centris sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, menjadi kabinet parlementer berbasis multi-partai (Sutan Sjahrir ditunjuk sebagai perdana menteri Indonesia pertama). Dan Komite Nasional Indonesia yang semula berfungsi koordinasi kemudian berubah berfungsi legislative. Namun yang lebih krusial, kebijakan politik Sjahrir dan Syarifuddin  justru membuka perundingan dengan pemerintah kolonial Belanda. Sikap Sjahrir dan Syarifuddin berbenturan dengan sikap politik Tan Malaka yang mendapat dukungan kalangan muda seperti Adam Malik, Chairul Saleh, Maruto Nitimiharjo, Sukarni, dan Wikana. Juga dapat dukungan dari beberapa politisi senior seperti Muhammad Yamin, Achmad Subarjo, Iwa Kusumasumantri dan lain-lain. Perundingan Linggajati yang diprakarsai Sjahrir hasilnya merugikan posisi Indonesia. Amir Syarifuddin menggantikan Sjharir sebagai perdana menteri, dengan perundingan Renvile, hasilnya lebih buruk lagi.
Di sela-sela antara pemerintahan Sjahrir dan Syarifuddin antara 1945-1948, cerita seputar Tan Malaka dan para pengikutnya yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan menarik untuk diungkap. Ketika Sjahrir terbukti gagal membawa posisi menguntungkan Indonesia terhadap Belanda melalui medan diplomasi, Adam Malik mendesak Bung Karno agar Tan Malaka ditunjuk sebagai perdana menteri. Dengan halus Bung Karno menolak desakan Adam Malik. “Jangan terburu nafsu Adam, waktu masih panjang. Jangan terlalu banyak menembakkan peluru.”  Apapun maksud Bung Karno pada Adam, nampaknya itu isyarat Bung Karno masih memberi kesempatan kedua kali kepada Sjahrir untuk menjabat perdana menteri. Tan Malaka  dan para pendukung Persatuan Perjuangan malah ditangkap dan ditahan. Antara lain Achmad Subarjo, Muhammad Yamin, Wondoamiseno, Suprapto, dan Abikusno Cokrosuyoso. Sedangkan para pendukung Bung Tan dari kalangan pemuda adalah Adam Malik, Sukarni, Chairul Saleh, Wikana dan lain-lain.
Ketika Amir Syarifuddin yang ditunjuk Bung Karno sebagai perdana menteri menggantikan Sjahrir pada 3 Juli 1947, Amir seperti halnya Sjahrir, gagal memperjuangkan posisi yang menguntungkan Indonesia di dunia internasional. Perjanjian Renville yang ternyata semakin merugikan posisi  Indonesia, maka Amir menyerahkan mandat pemerintahan pada 23 Januari 1948. Situasi ini mendorong kekuasaan beralih kembali ke dwitunggal Sukarno-Hatta. Bung Hatta ditunjuk sebagai perdana menteri pada 31 Januari 1948. Titik balik mulai terjadi. Amir Syarifuddin dan partai-partai kiri dan komunis pendukungnya yang semula gigih mendukung Renville, berbalik menyerang pemerintahan kabinet Hatta. Hatta dan pemerintahannya yang didukung oleh partai-partai nasionalis, agama dan sosialis, menjadi mendukung hasil Renville meski dengan sangat terpaksa hanya karena perlu untuk mempertahankan otoritas pemerintahan.
Sedemikian rupa gencarnya serangan kubu Amir Syarifuddin terhadap pemerintahan Hatta, sehingga Tan Malaka dan para pendukungnya kemudian dibebaskan dari tahanan untuk mengimbangi Amir dan golongan sayap kiri yang kemudian membentuk Fron Demokrasi Rakyat (FDR). Maka untuk mengimbangi FDR inilah, Bung Karno mengeluarkan keputusan pembebasan Tan Malaka pada 3 Juli 1948. Pengikutnya sudah dilepas beberapa waktu sebelumnya. Tan mengaktifkan Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) yang sudah didirikan sejak 6 Juni 1948 oleh pendukung Tan Malaka, ketika Tan masih dalam masa tahanan. Maka ditunjukklah beberapa pimpinan GRR dengan Dr Muwardi sebagai ketua, Syamsu Harya Udaya sebagai wakil ketua, dan Chairul Saleh sebagai sekretaris. Clash antara GRR dan PKI tak terelakkan lagi. Pemberontakan Madiun yang dimotori Amir Syarifuddin dan Muso yang sejak 1926 dianggap terafiliasi dengan PKI berhasil ditumpas. GRR atas prakarsa Yamin Cs kemudian melebur beberapa partai yang sehaluan seperti Partai Rakyat, Partai Rakyat Jelata, Partai Buruh Merdeka, Angkatan Comunis Muda (Acoma), dan Wanita Rakyat, menjadi satu kesatuan dan berfusi menjadi Partai Murba.
Ketika agresi militer II Belanda meletus pada Desember 1948, Chairul Saleh ikut bergerilya di Jawa Barat, bergabung bersama  Barisan Bambu Runcing Jawa Barat. Sukarno berjuang angkat senjata di Jawa Tengah. Tan Malaka bergabung dengan Brigade Mayor Sabaruddin di Jawa Timur. Chairul Saleh ikut Long March bersama Divisi Siliwangi dari Yogyakarta ke Karawang dan Sanggabuana.
Tidak setuju dengan adanya KMB, Chairul Saleh melarikan diri dari Jakarta ke Banten bersama anggota kesatuan lainnya yang menyebabkan terjadinya Peristiwa Banten Selatan. Bulan Februari 1950-1952, Chairul ditangkap dan dipenjarakan karena dianggap pelanggar hukum Pemerintah RI. Soekarno kemudian memberangkatkannya melanjutkan sekolah di Fakultas Hukum Universitas Bonn di Jerman Barat 1952-1955. Di Jerman, dia menghimpun para pelajar Indonesia dan mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).
Kader-kader Murba mendapat posisi strategis di kabinet pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 seperti Yamin, Chairul Saleh, Adam Malik, dan Sukarni, sempat memicu rasa iri dari kalangan kader-kader PKI yang merasa juga sangat revolusioner. Perbenturan antara PKI dengan Murba jadi sangat tajam sejak 1963-1965. Chairul Saleh dan Ketua PKI Aidit terjadi perang mulut yang nyaris terjadi baku fisik dalam rapat kabinet di istana Bogor. Inti pertengkaran, Chairul mendapat informasi bahwa PKI menyiapkan operasi politik untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah. Ketika perseteruan Murba versus PKI meruncing, Sukarno membuat keputusan yang aneh. Ketika Murba membentuk Badan Pendukung Sukarnoisme sebagai bentuk pertahanan melawan PKI, Bung Karno membekukan BPS dan menahan salah satu pengurusnya yaitu Sukarni. Selanjutnya, oleh Soekarno Partai Murba dibubarkan pada September 1965. Pada tahun 1966, Sukarno mengeluarkan keputusan merehabilitasi partai Murba melalui Keputusan Presiden No 223 tahun 1966. Ironisnya, salah satu pengurus utama Murba, Chairul Saleh, justru harus masuk tahanan atas perintah dari Pemerintahan Presiden Suharto.
Atas jasa Chairul Saleh di bidang kemiliteran, dia mendapat pangkat Jenderal Kehormatan TNI AD. Dia pun menerima sejumlah bintang jasa, antara lain Bintang Gerilya, Satyalencana Peristiwa Aksi Militer II, Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, Bintang Mahaputra Tingkat III, Satyalencana Satya Dharma, Lencana Kapal Selam RI, dan Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Kemasyarakatan dari Universitas Hasanuddin.

Sumber :

Tidak ada komentar: