Selasa, 09 Januari 2018

Sang pahlawan Komunis :Alimin



Sang pahlawan Komunis :Alimin
“Mereka (Tan Malaka dan Alimin) adalah komunis di antara para pahlawan nasional, yang menjadi alasan mengapa mereka dibungkam sesudah tahun 1965,” tulis Schreiner termuat dalam Outward Appearances.

Ruth McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia (2010), bercerita bahwa Alimin bin Prawirodirdjo lahir di Solo pada 1889 dari keluarga miskin, tidak diketahui latar belakang yang lengkap. Alimin di angkat menjadi anak angkat oleh GAJ Hazeu. Ketika Alimin masih kecil, orang Belanda bernama G.A.J. Hazeu, ketika itu bekerja sebagai Penasehat Urusan Pribumi, memberikan uang receh kepada Alimin, Alimin langsung membagikan uang tersebut kepada teman-teman mainannya. Perilaku tersebut membuat hati G.A.J. Hazeu terpikat dan mengangkatnya jadi anak. Alimin disekolahkan di sekolah Eropa di Betawi. G.A.J. Hazeu berharap Alimin akan berkarir menjadi pegawai negeri pemerintah. Namun, pada akhirnya, Alimin memilih jalur dunia politik dan menjadi jurnalis.
Alimin awalnya menjadi wartawan koran Djawa Moeda dan bergabung dengan Budi Utomo. Sarekat Islam berdiri, Alimin bergabung dengan Sarekat Islam dan pernah tinggal di rumah kost nya Tjokroaminoto. Alimin juga menimba ilmu bersama HOS Tjokroaminoto, di Gang Peneleh VII, Surabaya. Sejumlah tokoh nasional pernah ngekost di rumah Tjokroaminoto yakni Sukarno, Musso, Semaun, Suherman Kartowisastro, Samanhudi, dan Kartosuwiryo. Bersama dengan Musso, Alimin mendapat kamar depan, sementara Sukarno kamar paling belakang, paling gelap. Di rumahnya, Tjokroaminoto selalu berdiskusi dengan berbagai elemen dan berbagai tema. Diskusi=-diskusi kecil tersebut menghasilkan tokoh-tokoh berbagai aliran. Sukarno menjadi nasionalis. Kartosuwiryo religious islam. Alimin, Musso, dan Semaun, menjadi tokoh Komunis.
Revolusi Bolshevik pecah di Rusia pada 1917. Sarekat Islam, organisasi pergerakan yang diketuai oleh Tjokroaminoto sejak 1914, saat itu banyak dihuni oleh tokoh kiri. Saat pecahnya revolusi Bolshevik, Semaun menjadi ketua Sarekat Islam Semarang. Semaun merupakan salah satu murid dari Sneevliet, orang belanda yang menyebarkan komunisme di Indonesia. Alimin bergabung ke insulinde Bersama dengan dokter Tjipto Mangunkusumo. Bersamaan dengan itu, Alimin menjadi editor di jurnal Modjopahit di Batavia. Alimin saat itu aktif mengorganisir para buruh pelabuhan dan pelaut, dan Bersama-sama mendirikan Sarekat Buruh Pelabuhan (sebelumnya bernama Sarekat Pegawai Pelabuhan dan Lautan). Menurut Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 (2010), Alimin bergerak di pelabuhan Tanjung Priok juga berhubungan dengan jawara Banten. PKI wilayah Jakarta merekrut para jawara dalam pergerakan. Sikap militansi dan solidaritas kaum jagoan dari dunia hitam itu memberi perlindungan bagi PKI dari gangguan pihak lain baik oleh penguasa kolonial maupun kaum kapitalis sekitar Jakarta.
Alimin yang memilih Marxisme merupakan pengaruh dari Henk Sneevliet, tokoh komunis Belanda di Indonesia (Surabaya pada 1913). Sneevliet mendirikan Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) pada tahun 1914 di Semarang. Alimin tercatat sebagai anggota ISDV dan berperan dalam menyebarkan Marxisme di SI. Bebas dari penjara, pada tahun 1923 Alimin bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang didirikan oleh Semaun, pada 1920.
Tan Malaka adalah tokoh PKI yang menolak pemberontakan periode 1926-1927. Tan Malaka mendapat informasi soal rencana pemberontakan dari Alimin di Manila, Filipina. Alimin melaporkan keputusan pertemuan di Prambanan kepada Tan Malaka sebagai wakil Komunis Internasional (Komintern) wilayah Asia Tenggara. Pertemuan digelar pada 25 Desember 1925. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa PKI akan memberontak terhadap pemerintah Belanda pada Juli 1926. Pemberontakan diawali dengan pemogokan-pemogokan dan disambung aksi bersenjata.
Tan Malaka menilai rencana pemberontakan masih mentah dan PKI belum siap memberontak. Jika dipaksakan malah akan membahayakan gerakan di tanah air. Pemerintah Belanda pasti akan semakin memperketat ruang gerak dunia gerakan. Tan Malaka meminta agar keputusan tersebut dirundingkan kembali. Tan memberi Alimin dokumen yang berisi alasan penolakan terhadap rencana pemberontakan. Dokumen itu harus diberikan kepada para elite PKI yang ada di Singapura, Sumatera dan Jawa. Dokumen itu berisi berbagai ringkasan usul atau tuntutan terkait dengan massa aksi, seperti mogok umum tuntutan ekonomi, mengadakan majelis permusyawaratan rakyat, memproklamirkan kemerdekaan dan membentuk pemerintah sementara dan lain-lain. Tan menilai PKI belum siap memberontak dalam waktu dekat.
Alimin berangkat ke Singapura untuk merundingkan kembali rencana Prambanan dengan para tokoh PKI seperti Musso, Boedisoetjitro, Sugono, Subakat, Sanusi dan Winata. Ternyata Alimin tak pernah menyerahkan dokumen Tan Malaka tersebut kepada para tokoh PKI di Singapura. Alimin ke Moskow dengan Musso meminta restu untu menjalankan pemberontakan. Moskow tak merestui, pemberontakan PKI pada 1926-1927 tetap dilaksanakan. Hasilnya sesuai prediksi
Tan Malaka. Pemberontakan di Banten pada 1926 dan Sumatera Barat pada 1927 gagal total. 1.300 anggota PKI Banten ditangkap. Empat orang divonis mati, sembilan orang divonis seumur hidup, dan 99 orang dibuang ke Boven Digul, termasuk para ulama PKI Banten, seperti Tubagus KH Achmad Chatib, Tubagus H Abdulhamid, KH Mohammad Gozali, Tubagus KH Abdul Hadi, Puradisastra (kakak Sukaesih), Alirachman (Aliarcham), dan Tubagus Hilman.
Setelah keluar dari penjara, Alimin pergi ke Moskow dan bergabung dengan Komintern. Alimin tidak lama di sana karena bertemu dengan Ho Chi Minh dan diajak ke Kanton (Guangzhou). Pada saat itu ia terlibat secara ilegal untuk mendidik kader-kader komunis di Vietnam, Laos, dan Kamboja untuk melawan penjajah dan merebut kemerdekaan dari jajahan Perancis. Ketika Jepang melakukan agresi terhadap Cina, Alimin pergi ke daerah basis perlawanan di Yenan dan bergabung bersama tentara merah. Alimin kembali ke Indonesia pada tahun 1946, setelah Republik Indonesia diproklamasikan. Alimin kembali bergabung dengan PKI.
 Pernyataan mengejutkan dikeluarkan oleh Kementerian Kehakiman Mr. Soesanto Tirtoprodjo mengenai nasib PKI setelah pemberontakan PKI 1948 di Madiun. Kepastian itu mengenai pemerintah tidak akan melarang PKI dan tidak akan menangkap tokoh-tokohnya, kecuali yang melanggar hukum. Kebijakan pemerintah tersebut kemudian disambut positif, banyaknya tokoh PKI yang muncul dari tempat persembunyiannya. Salah satunya adalah Alimin bin Prawirjodirdjo, yang muncul di Yogyakarta. Alimin menjadi ketua PKI menggantikan Musso. Pada waktu ia menjabat, hal pertama yang dihadapinya di dalam partai adalah hancurnya struktur partai akibat pemberontakan Madiun. Konsekuensi lainnya adalah mengenai citra buruk partai. Begitu berada di bawah kendalinya, langkah awal yang diambil adalah menghimpun kembali para anggota dari awal dan mengkadernya dengan selektif. Di samping itu Alimin juga menyusun kembali Sekretariat Central Comite (CC) dan menandai kemunculan PKI dengan susunan Sekretariat CC tersebut yang disiarkan pada 10 Juni 1950. Susunan tersebut terdiri dari Sukisman (mantan Sekjen Pesindo), Djaetun (mantan Digulis), dan Ngadiman. Akan tetapi secara praktis kegiatan partai belum ada kecuali pekerjaan di parlemen yang dilakukan oleh Tan Ling Djie. Dalam kondisi partai yang belum memiliki kegiatan inilah, Alimin mulai mengupayakan langkah kongkret guna menghapus citra buruk partai. Demi mengembalikan kekuatan partai, ia menerapkan kebijakan yang lebih ketat dengan memperhitungkan kualitas para anggotanya. Alimin membentuk PKI sebagai partai kader.

Menggunakan strategi seperti yang diterapkan Sneeveliet untuk menginfiltrasi SI, Alimin menggunakan metode yang sama. Strategi infiltrasi yang diterapkan Alimin terbukti jitu. Alimin memerintahkan kader partainya masuk ke berbagai organisasi kepemudaan, buruh, petani, dan wanita. Ada perbedaan visi antara kelompok tua yang dipimpin Alimin dengan kelompok muda yang dipimpin DN. Aidit. Alimin terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante yang salah satu tugasnya adalah menetapkan Undang Undang Dasar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Alimin selalu mengutamakan persatuan dan dialog dalam berjuang, serta tidak menyetujui model pembangunan atau politik dan luar negeri untuk begitu saja diterapkan di Indonesia. Karena CC PKI tempatnya di Solo, Alimin kemudian menetap di Solo. Selama di Solo inilah dia berdiam dibelakang Loji Gandrung.
Ketika DN Aidit mendirikan kembali PKI secara legal pada awal tahun 1950-an dan kemudian menjadi Ketua Komite Sentralnya, Alimin adalah tokoh komunis yang disingkirkan. Namun Alimin masih banyak didatangi oleh para pengikutnya sampai dengan saat meninggalnya pada tahun 1964. Setelah tidak lagi aktif di PKI, Alimin menikah dengan Hajjah Mariah dan dikarunia dua orang putra, yaitu TJipto dan Lilo, dan Alimintinggal di Jakarta sampai wafatnya. Pada saat wafatnya Alimin, Soekarno, Presiden RI pertama menganugerahkan gelar pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 163 tanggal 26 Juni 1964, dan dimakamkan di TMP Kalibata. Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “petite histoire” Indonesia Volume 4, Departemen Sosial sebagai lembaga yang menyelenggarakan seleksi pahlawan nasional, pernah mengajukan kepada Presiden Soeharto agar mencabut gelar pahlawan nasional Tan Malaka dan Alimin. Soeharto menyatakan bahwa pemberian gelar itu telah dilakukan oleh Presiden Sukarno dan tidak bisa dibatalkan.
Di Blok E, ditemukan jasad tokoh Partai Komunis Indonesia disemayamkan. Di nisan tertulis Alimin Prawirodirdjo, tokoh nasional, wafat pada 26 Juni 1964. Lokasi makam Alimin di belakang lima pusara “pahlawan revolusi”. Ia termasuk kuburan paling lama dari ribuan jasad yang dikebumikan di TMP Kalibata. Setidaknya itu bisa dilihat dari lokasi pusara, tak jauh dari pintu masuk area pemakaman di Taman makam Pahlawan Kalibata.

Nama Alimin tenggelam dalam jagat pahlawan nasional yang semarak dan setiap tahun menjadi upacara negara. Namanya tidak ada pada diorama makam, di depan pintu masuk TMP Kalibata. Makam Alimin tak jauh dari makam “pahlawan revolusi”, yang dimakamkan satu setengah tahun setelah Alimin. Hingga hari ini belum ada pihak yang memindahkan makamnya, seperti dialami
jenazah Heru Atmodjo.

Sumber:


https://www.marxists.org/indonesia/indones/1947-AliminAnalisis.htm

Tidak ada komentar: