Selasa, 09 Januari 2018

Ide Anak Agung Gedhe Agung: Jejak Rekam dan Kontroversi



Ide Anak Agung Gedhe Agung: Jejak Rekam dan Kontroversi
“Kita harus menetapkan langkah untuk mengembalikan tradisi Bali dan agama kita. Turis asing seharusnya tidak hanya datang ke Bali untuk menonton turnamen tenis dan golf. Tidak juga untuk hanya mendengarkan musik Jazz/Rock atau menonton balapan mobil. Hal-hal tersebut bisa mereka nikmati di tempat lain. Bali seharusnya menawarkan apa yang menjadi tradisi Bali. Jangan korbankan kebudayaan Bali demi kepentingan jangka pendek pariwisata untuk menarik wisatawan sebanyak-banyaknya” -Anak Agung Gde Agung –
Dr. Ida Anak Agung Gde Agung (lahir di Gianyar, Bali, 24 Juli 1921 – meninggal 22 April 1999 pada umur 77 tahun) merupakan Raja Gianyar, ahli sejarah, dan tokoh politik Indonesia. Ide Anak Agung Gde menggantikan ayahnya Anak Agung Ngurah Agung sebagai Raja Gianyar. Anaknya, Anak Agung Gde Agung, adalah Menteri Masalah-masalah Kemasyarakatan pada Kabinet Persatuan Nasional. Anak pertama dari empat bersaudara putra Raja Gianyar, Bali, Ida Anak Agung Gde Agung itu lebih suka menyebut dirinya sebagai kepala keluarga, meskipun dia adalah pewaris langsung yang menggantikan ayahnya sebagai Raja Gianyar.
Ide Anak Agung Gedhe Agung mengikuti pendidikan di Hollands Inlandsche School (setingkat SD), Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (setingkat SMP), Algemeene Lagere School (setingkat SMA), dan Sarjana hukum (Mr.) diraihnya di Rechts Hoge Scholl (Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta dan gelar doktor diperolehnya di Universitas Utrecht, Belanda, di bidang sejarah. Selain mendapat gelar Doktor dari Universitas Leiden, Anak Agung juga pernah mengenyam pendidikan di Universitas Harvard (USA) dan The Fletcher School of Law and Diplomacy (USA). Peran Anak Agung dalam politik dimulai di Negara Indonesia Timur (NIT) sebagai Menteri Dalam Negeri. Karir Ida menanjak sebagai Perdana Menteri (Desember 1947 sampai Desember 1949). 

Pada bulan Januari 1948
Ida Anak Agung Gde Agung mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri RI Amir Sjarifuddin dalam rangka bersama-sama mencari penyelesaian masalah Indonesia sesuai dengan cita-cita nasionalisme yang telah dibangun. Tanggal 19 Januari 1948, pemerintah RI mengakui NIT. Februari 1948, NIT mengirim Misi Parlementer ke Yogya. Politik yang digariskan Anak Agung itu dikenal sebagai politik sintesis antara sesama bangsa Indonesia, berlawanan dengan politik sintesis antara Belanda dan Indonesia yang dirancang oleh Van Mook.

Anak Agung menentang keras keinginan Belanda untuk membentuk pemerintahan federal sementara sebelum terbentuknya Negara Indonesia Serikat (NIS) tanpa ikut sertanya RI. Dalam hal ini ia dapat memengaruhi anggota negara-negara federal yang tergabung dalam Bijenkomst voor Federal Overleg (BFO; Pertemuan Musyawarah Federal).
Anak Agung memunculkan BFO sebagai partner politik RI dalam menghadapi siasat politik Belanda. Sikap kecenderungan RI Anak Agung semakin ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua tanggal 19 Desember 1948. Sikap protes terhadap Agresi Militer II Belanda tersebut Anak Agung mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri NIT (diangkat kembali sebagai Perdana Menteri NIT pada 12 januari 1949), Anak Agung tetap melanjutkan politik sintesisnya terhadap RI

Awal Februari 1949
Anak Agung memimpin delegasi BFO ke Bangka untuk mengadakan pembicaraan dengan pemimpin RI yang ditawan Belanda. Sebulan kemudian BFO juga mengirim delegasi ke Bangka. Mereka menuntut agar Belanda segera menghentikan agresi militer dan membebaskan para pemimpin RI. RI dan Belanda mengadakan perundingan di bawah pengawasan United Nations Commission for Indonesia (UNCI). Perundingan tersebutmenghasilkan Pernyataan Roem-Van Roijen tanggal l 7 Mei 1949. Isi Roem-Van Roijen yang utama adalah pemerintah RI akan dikembalikan ke Yogya dan akan diadakan Koferensi Meja Bundar di Negeri Belanda yang akan diikuti oleh RI, BFO dan Belanda. Anak Agung memprakarsai diadakannya Konferensi Antar- Indonesia. Konferensi itu didakan dua kali, pertama di Yogyakarta (19 sampai dengan 22 Juli), kedua di Jakarta (30 Juli sampai dengan 2 Agustus). Dalam kedua konferensi itu RI dan BFO mencapai kesepakatan, yakni nama negara yang dibentuk, yakni Republik Indonesia Serikat, bendera negara tetap Merah Putih dan lagu kebangsaan tetap Indonesia Raya. Disepakati pula untuk membentuk Angkatan Perang RIS yang merupakan gabungan antara TNI dan KNIL dengan TNI sebagai intinya.

Perundingan KMB berlangsung dari tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949. Anak Agung bertindak sebagai Wakil Ketua Delegasi BFO dan sekaligus Ketua Delegasi NIT. Dalam perundingan di KMB
Anak Agung menuntut wilayah Irian Barat dimasukan ke dalam RIS. Belanda mempertahankan Irian Barat di bawah kekuasaannya. melalui UNCI dicapai kesepakatan yaitu Irian Barat akan diserahkan kepada Indonesia setahun setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda.

Dalam Kabinet RIS yang dibentuk bulan Desember 1949, Anak Agung menduduki jabatan Menteri Dalam Negeri. Menteri Luar Negeri di
dapuknyanya semasa dalam Kabinet pimpinan Burhanuddin Harahap setelah RIS bubar dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan. Setelah itu Anak Agung bertugas sebagai Duta Besar RI di Dubes RI di Belgia (1951), Portugal, Perancis (1953), dan Austria. Pemerintah memberi gelar pahlawan kepada Ida Anak Agung Gde Agung berkat jasanya pada tahun 1948 mendirikan dan menjadi penggerak utama Pertemuan Musyawarah Federal (PMF), paguyuban negara-negara dan wilayah federal di Indonesia yang ditujukan untuk menghimpun kekuatan politik guna menanggulangi berbagai perundingan Belanda-RI.

Mulai zaman Hindia Belanda hubungan antara Puri Agung Gianyar dan golongan tertentu dari Gianyar bagian barat kurang harmonis yang mengarah untuk mengambil alih posisi jabatan Raja Gianyar.
Upaya menjatuhkan Raja Gianyar terjadi pada zaman Jepang tatkala Raja Gianyar Anak Agung Ngurah Agung difitnah sehingga beliau diasingkan ke Lombok Timur. Harapan untuk mengganti Raja Gianyar menjadi sirna, karena Minseibu Cokan di Singaraja Tuan Shimizu mengangkat Ida Anak Agung Gde Agung sebagai Syutjo (identik dengan bupati). Upaya kelompok-kelompok tertentu terus berlanjut dengan menculik Ida Anak Agung Gde Agung 20 September 1945 di  Tegallalang dibawa ke Badung. Berkat intervensi I Gusti Ngurah dan Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan, Ida Anak Agung Gde Agung dibebaskan.

Kelompok dari Gianyar bagian barat yang
mayoritas anggota PRI berupaya menculik Ida Anak Agung Gde Agung awal November 1945 di Batubulan ketika dalam perjalanan menuju Denpasar untuk menghadiri paruman agung. Upaya pembunuhan terhadap Ida Anak Agung Gde Agung terjadi, maka atas permufakatan keluarga besar Puri Agung Gianyar, November 1945 dibentuk PPN (Pemuda Pembela Negara) berfungsi untuk melindungi keluarga besar Puri Agung Gianyar atas keselamatan Ida Anak Agung Gde Agung dan keluarganya. PPN dipimpin oleh Pak Djelada. Terjadi bentrokan antara PRI dan PPN. Satu Kompi TKR bersenjata hendak menyerang Gianyar dipimpin Cokorda Ngurah Brengos untuk membebaskan Pak Widjakusuma dan Pak Regog dari kurungan PPN sekitar November 1945. Pak Widjakusuma minta agar membatalkan menyerang Gianyar.

Anak Agung menghasilkan beberapa karya ilmiah, pada tahun 1980 ia memperoleh gelar dokter sejarah dari Univerteit Utrecht, Negeri Belanda. karya ilmiahnya adalah :
  1. Twenty Years of Indonesia Foreign Policy;
  2. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat;
  3. Pernyataan Roem-Van Roijen 7 Mei 1949;
  4. Renvilla;
  5. Persetujuan Linggajati : Prolog dan Epilog. 
Namun, ada beberapa kontroversi sejarah dalam diri Ida Anak Agung gedhe Agung. Dalam salah satu ucapannya, Anak Agung Gde Agung pernah mengatakan bahwa Ngurah Rai tak lebih dari sekedar pemimpin para extremis yang mengacaukan keamanan dan ketertiban orang Bali yang memiliki rajanya masing masing. “Para pemuda makin liar dan brutal” kata Ida ( tulisan dari biografi Dr AAM Djelantik, Memoirs of a Balinese Princess), siapapun yang masuk dari Jawa akan dianggap extremis oleh NICA. Puncaknya adalah ketika Anak Agung Gde Agung memerintahan mengeksekusi I Wayan Dipta, komandan pasukan Gerilya di Gianyar.
Ide Anak Agung Gde Agung meninggal dunia pada tanggal 22 April 1999. Berkat jasa-jasanya, Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor : 068/TK/Tahun 2007 tanggal 6 November 2007, ia juga menerima penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana dari Pemerintah RI. Dari pemerintah asing ia pun menerima penghargaan berupa Le Grand Cross Leopold (Belgia), Grand Order van Oranje Nassau (Belanda), dan Grand Order of Austria (Austria).
Sumber :
http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/cabinet_personnel/?box=detail&id=98&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=3&presiden=gusdur

Tidak ada komentar: