Rabu, 10 Januari 2018

Ambisi Dan Nasionalisme Chaerul Saleh



Ambisi Dan Nasionalisme Chaerul Saleh

Panglima TNI-AD (kala itu) Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi presiden kedua dalam ucapan belasungkawanya kepada keluarga Chaerul menyebutkan, ’’Yang dapat saya beri tahukan, Bung Chaerul tidak terlibat G 30 S/PKI.’’

Tanggal 10 Juli 1959, pasca Dekrit Presiden, Chairul Saleh menjadi menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan. Periode 1960-1965, Chairul Saleh diangkat sebagai Ketua MPRS, antara 1963-1965 Chairul ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri III.
Ketika Chairul Saleh menjadi menteri pertambangan,  undang-undang nasionalisasi minyak perusahaan-perusahaan asing dan gagasan Wawasan Nusantara mulai dirumuskan dan menjadi kebijakan strategis pemerintahan Sukarno. UU Migas tinggal dilaksanakan. Wawasan Nusantara direalisasikan pada masa pemerintahan Suharto pada tahun 1982 dengan Menteri Luar Negerinya dipegang oleh Mochtar Kusumaatmaja.
Chaerul Saleh, Wakil Perdana Menteri III, menyatakan secara terbuka tentang ancaman terhadap kesatuan Republik Indonesia serta upaya pihak-pihak tertentu yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Presiden Soekarno mengundang pimpinan partai politik untuk bertemu di Istana Negara Bogor. Pertemuan digelar pada 12 Desember 1964. Bung Karno mengatakan bahwa ada ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. “Saya mau disingkirkan, Republik mau dihancurkan,” kata Bung Karno. Bung Karno menguraikan pidatonya, tanpa memihak siapa pun. Soekarno mengatakan bahwa kita semua harus memperbaiki keadaan itu. Soekarno menyalahkan PKI dan juga menyalahkan Partai Murba serta mungkin kecewa dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada waktu itu. Dalam forum itu terjadi perdebatan keras di antara pimpinan partai-partai politik, terutama antara PKI dan Partai Murba. Suasana pertemuan sangat panas, terjadi perbedaan tajam, dan bahkan nyaris pecah bentrok fisik nyaris terjadi antara Ketua Umum PKI, DN Aidit, dengan Chaerul Saleh. Pada akhir pertemuan dibentuk panitia untuk menyusun pernyataan bersama, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Deklarasi Bogor”. Isi deklarasi ini antara lain ingin mempersatukan kembali seluruh potensi bangsa untuk menyukseskan Revolusi Indonesia, sebab hal itu menjadi lambang cita-cita seluruh bangsa Indonesia. Sejarah mencatat, yang terjadi kemudian adalah pengkhianatan terhadap isi dan semangat “Deklarasi Bogor”. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau Gestapu pecah. Dan setelah itu, perpecahan bangsa tak terelakkan. Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat militer, yang dibantu kaum sipil, menyebabkan ratusan ribu anak bangsa kehilangan nyawa dan jutaan lainnya menderita hanya karena stigma simpatisan PKI.
Salah satu pengikut Tan Malaka paling fanatik adalah Chaerul Saleh. Chaerul Saleh memiliki pasukan bernama Pasukan Bambu Runcing, pasukan ini banyak bergerak di Banten sebagai wilayah kekuasaan mereka pertama kali pada jam-jam awal Republik, pasukan Chaerul Saleh kenal sekali dengan para jago-jago perang Banten dan membangun hubungan baik, sikap radikal Chaerul Saleh didukung oleh banyak kelompok. Ketika Hatta  melakukan politik kompromi pasca Madiun Affair 1948 dan Serangan Desember Yogyakarya 1948.  Dengan politik diplomasi lewat delegasinya ke PBB serta membangun lobi-lobi di Den Haag tentang usulan pemberhentian perang yang dibantu pihak Amerika Serikat. Tan Malaka menolak keras, bahkan Sudirman pengikut fanatik Tan Malaka malah memilih bergerilya terus menolak gagasan menerima ditangkap demi lancarnya politik diplomasi, sesuai sidang kabinet terbatas di Gedong Agung Yogya, 1948.
Chaerul Saleh membangun pos-pos militer, pasukannya selalu menyerang Belanda. Di Yogya dan Solo ada Serangan Umum Militer yang luar biasa hebat. Di Solo, pasukan yang dipimpin Slamet Riyadi mampu menjadikan kota Solo sebagai neraka dua bulan bagi pasukan Belanda. Perang Yogya dan Solo inilah yang kemudian menjadikan Amerika Serikat mendesak agar Belanda menyerah saja pada Republik. Untuk menyelamatkan wajah, Belanda,  diadakan Perundingan KMB 1949 di Den Haag, Sukarno pulang ke Djakarta dan Indonesia membayar ganti rugi biaya perang 1945-1949. Chaerul Saleh tidak terima hasil KMB, Tan Malaka dibunuh di Jawa Timur. Chaerul Saleh menyatakan perang dengan Pemerintahan resmi. Chaerul melakukan gerilya dari gunung ke gunung. laporan-laporan serangan militer sampai ke meja Nasution yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Nasution marah besar dengan Chaerul Saleh dan bersumpah menangkap Pasukan Chaerul Saleh.
Pasukan eks KNIL Westerling mencoba masuk ke Djakarta dengan membunuh  perwira-perwira yang sedang berjalan kaki di Jalan Lengkong, Bandung. Target pasukan Westerling adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX.  Penumpasan Westerling ini dilakukan bersamaan dengan operasi pasukan Republik mencari sisa-sisa laskar pemberontak lainnya, laskar penolak KMB yang juga musuh Westerling jadi sasaran pasukan TNI, termasuk pasukan Bambu Runcing Chaerul Saleh.   Chaerul Saleh selalu bisa meloloskan diri dari sergapan pasukan TNI.
Pada tahun 1956 di Gedung Parlemen Lapangan Banteng, empat orang anggota Parlemen dari Partai Murba yakni Maroeto Nitimihardjo, Pandu Kartawiguna, Kobarsih dan Sudijono Djojoprajitno memukul-mukul meja Parlemen dan berteriak menolak kelanjutan KMB pada Rapat Parlemen.  Gerakan Maruto di Parlemen mendapatkan sambutan hangat. Parlemen memaksa Sukarno mencabut perjanjian KMB 1949. Muhammad Hatta yang melakukan tanda tangan perjanjian ini akhirnya mundur di tahun 1956. Mundurnya Hatta justru membuat bingung Partai Murba, karena Partai Murba sangat percaya pada Hatta, sementara dengan Sukarno sering bentrok. Hatta adalah orang yang teramat jujur dan paling bisa dipegang kata-katanya, begitulah penilaian Partai Murba. Untuk mendekati Sukarno, Partai Murba mengutus Adam Malik. Sementara Sukarno sendiri minta Chaerul Saleh turun gunung, soal bentrokannya dengan Nasution, Sukarno pasang badan jangan sampai Chaerul Saleh 'diapa-apakan'. Chaerul Saleh disuruh sekolah ke Jerman Barat. Chaerul Saleh juga mendapatkan pesan dari Partai Murba untuk mempelajari seluruh dimensi pembangunan di Jerman Barat. Disana Chaerul Saleh terpesona dengan kemajuan industri-industri besar Jerman Barat. setelah sekolahnya selesai, Chaerul membawa setumpukan map berisi dokumen-dokumen untuk rencana pembangunan industri berat yang ia akan tawarkan pada Sukarno.
Chaerul Saleh harus dicatat sebagai orang yang paling banyak menelurkan ide-ide soal kedaulatan modal dan memasukkannya itu ke dalam konstitusi.  Cherul Saleh sadar untuk membangun industri berat harus ada modal dasar, maka dasar-dasar permodalan itu harus didapatkan, satu-satunya yang bisa dibangun sebagai akumulasi modal besar adalah minyak.
Akhirnya sepulangnya dari Djakarta, Chaerul Saleh bisa mendekat ke Bung Karno. Dekatnya Chaerul Saleh ke Bung Karno juga menandakan pilihan politik Bung Karno pada tahun 1957 adalah mengikuti 'Garis Tan Malaka' , sebuah garis politik yang ia puji pada tahun 1952, pada Kongres Murba tahun 1952 sebagai 'Garis Kesadaranku', Bung Karno juga amat berterima kasih pada Partai Murba yang mengatalisator penyadaran masyarakat untuk kembali ke UUD 1945, sebagai konstitusi paling suci Republik, tahun 1956 Partai Murba-lah yang paling awal menuntut kembalinya UUD 1945.
Pendongkelan Sukarno, diiringi juga pendongkelan Chaerul Saleh. Ia ditangkap di rumahnya dan dipenjara di  RTM Salemba.  Chaerul Saleh tiba-tiba meninggal di tahanan, kabarnya di dalam WC ia terjatuh. Ketika jenazah Chaerul Saleh dibawa ke rumahnya, Sukarni sahabat Chaerul Saleh marah-marah pada Adam Malik sesama anggota Partai Murba yang jadi anggota Triumvirat Suharto, karena Adam Malik tak mampu melindungi Chaerul Saleh.
Sumber :

Tidak ada komentar: