Rabu, 10 Januari 2018

A.A. Maramis.. Indonesia Mengucapkan Terima Kasih



A.A. Maramis.. Indonesia Mengucapkan Terima Kasih
Pertengahan thn 1976.di kantor Kepresidenan Bina Graha Jakarta, Presiden Soeharto sedang duduk berhadap hadapan dengan 2 orang tamunya sepasang suami isteri tua yang baru beberapa hari sebelumnya kembali ke Indonesia dari Laussane (Lugano) Swiss. Sang suami yang sudah mulai pikun bertanya dalam bahasa Belanda kepada Presiden Soeharto, " Wie bent U ?" (Siapa Anda?). Sang istri cepat2 menukas, " Alex dat is onze President " ( Alex beliau Presiden kita). Pak Harto cuma tertawa...! Tak heran pasangan tua itu sudah bertahun tahun hidup sendiri di Swiss sampai kemudian Presiden mengirim team utk menjemput mereka pulang ke Indonesia. Sang suami seorang Minahasa dan sang istri seorang keturunan Belanda. Sang suami adalah seorang pejuang, mantan menteri Keuangan pertama RI, mantan Menteri Luar negeri dan duta besar di Filipina, Jerman Barat, Uni Soviet dan Finlandia serta seorang tokoh perancang konstitusi dan perumus Piagam Jakarta yang berisi uraian tentang Pancasila
Mr. Alexander Andries Maramis  berlian dari Manado, Sulawesi Utara, Hindia Belandapada tanggal 20 Juni tahun 1897 dan meninggal pada usia 80 tahun di Jakarta pada tahun 1977. A.A. Maramis adalah pejuang kemerdekaan Indonesia yang selalu terselip dalam buku sejarah tiap kelas. A.A. Maramis aktif di KNIP, anggota BPUPKI dan Menteri Keuangan pertama Republik Indonesia dan merupakan orang pertama yang menandatangani Oeang Republik Indonesia pada tahun 1945. Keponakan Maria Walanda Maramis ini menyelesaikan pendidikannya dalam bidang hukum pada tahun 1924 di Belanda. Ia mempunyai istri bernama Elizabeth Maramis Velthoed yang merupakan seorang wanita asal Belanda. Maramis menikah dengan Elizabeth M.D. Veldhoed, seorang janda berdarah Belanda dan Bali pada 1928 di Palembang.
Garis keturunan/silsilah DBM yang turun  ke Alexander Andries Maramis (Mr. A.A. Maramis) adalah sbb:  DBM  → Lromondoho (populer dengan sebutan  Yopo Nakatutung) → Mopay → Lrumondoho  (Dotu Bantik Rumondor yang adalah Pemimpin Distrik Bantik Alifuru terakhir berpusat di Desa Buha-Kairagi) → Maha’misi’ [atau Maramis (yang memiliki dua orang kakak lelaki bernama Sigaha (Sigar) dan Tamandatu (yang turun pada keluarga Jimmy Turambi, bermukim di Kelurahan Kairagi Satu/Kompleks kantor PT. Bosowa); dan seorang adik perempuan bernama Talrayu), yang adalah juga kakak-kakak kandung dari Mogandi Samolra (Samola), dengan berlainan ibu] → Bernadus Maramis  (dengan istri Sarah Rotinsulu) →  Andries  Alexander Maramis  atau biasa dipanggil Om Inyo [bersama seorang kakak wanita bernama Anatje  Maramis (menikah dengan Hendrik Lasut) dan seorang adik wanita bernama Maria Walanda Maramis [menikah dengan Frederik Calusung Walanda,  yang juga telah memperoleh tanda jasa Pahlawan Nasional dan pendiri PIKAT (Persatuan Ibu Kepada Anak Turunannya). Yang ketika pendudukan pasukan Belanda di Wenang,  gadis remaja Maria Maramis ini sempat ditangkap dan dipenjarah di Port sekitar Pasar 45, namun kemudian dapat dibebaskan oleh salah seorang mantan Kepala Walak Bantik Wenang Huntu/Runtu (yang bergelar Kahuntu atau Johuntu) dengan menyamar berpakaian sebagai seorang bidan/petugas kesehatan pasien tahanan] →  Alexander Andries Maramis  atau populer dengan sebutan Mr. A.A. Maramis [merupakan pencetus ide/konsep berdirinya organisasi KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) dan berbagai keterlibatannya di kancah nasional maupun internasional dalam memperjuangkan, mempertahankan, dan membidani lahirnya NKRI, Pancasila, dan UUD 45)].
Ayah kandung Mr. A.A. Maramis bernama Andries Alexander Maramis (biasa dipanggil Om Inyo berprofesi sebagai pengacara), dengan istri pertama bermarga Ticoalu (juga sebagai keturunan/pewaris DBM), dikaruniai dengan 3 putra-putri bernama Nelly Maramis, Mathelda Maramis, dan Mr. A.A. Maramis. Setelah istri pertama meninggal, Om Inyo (Andries Alexander Maramis) kawin lagi dengan gadis bernama Adriana Yulia Mogot, dan dikaruniai dengan 8 putra-putri, yaitu Nora Maramis, Konda Maramis, Andries Alexander Maramis (Junior), Lientje Maramis, Lingkan Maramis, Boetje Maramis, Anatje Yulia Maramis, dan Tommy Maramis.
Pada umur 6 tahun masuk pendidikan ELS (Europesche Lagere School) selama 8 tahun di Jln. Kartini dan lulus tahun 1911, dalam usia 14 tahun.  ELS merupakan sekolah khusus bagi orang Eropa/Belanda di Negara Koloni, namun warga pribumi Mr. A.A. Maramis dengan berbekal kepemilikan peninggalan opa tuanya Rumondor sebagai Kepala Distrik Bantik Alifuru Terakhir (yang memperoleh penghargaan legasi kolonial Belanda berupa Tongkat Emas dan Payung Emas), dapat diterima di sekolah tersebut.

Tahun 1918 (pada usia 21 tahun), Mr. A.A. Maramis lulus sekolah HBS (Hogere Burger School) Jln. Matraman Raya Jakarta (setingkat SMA-Belanda) bersama 2 (dua) teman sekelasnya:  Achmad Subardjo (Jawa) dan Natsir Datuk Pamuntjak (Sumatra). Pertemanan yang sangat akrap ketiganya, sempat populer dengan sebuah symbol keakraban tiga sejoli. Yang kemudian melandasi pembangunan kebhinekaan dalam  “nation character building NKRI” melalui rumusan UUD 45 dan Pancasila, setelah mereka bersama-sama menjadi mahasiswa/aktivis Perhimpunan Indonesia di Belanda dan menjadi anggota BPUPKI di kemudian hari.

Sekitar tahun 1919, Tiga Sejoli berangkat ke Negeri Belanda untuk sekolah di Universitas Leyden, di mana Maramis dinyatakan  lulus pada bulan Juni 1924 sebagai Ahli Hukum (Mr. Alias Meester in de Rachten) dan kemudian kembali ke Indonesia (Nederlands Indie) pada bulan Juli (1924), dengan usia 27 tahun.
Pada tahun 1923, tiga sejoli bergabung dengan sebuah organisasi pergerakan mahasiswa (di Belanda dan Eropa) yang disebut Perhimpoenan Indonesia (PI) di mana Mr. A. A. Maramis diangkat sebagai Sekretarisnya sampai dengan tahun 1924. Setelah nama awal dari pergerakan mahasiswa tersebut (Indonesische Vereeniging), yang telah eksis sejak tahun 1908 dirubah mejadi PI. Mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam P.I. (pergerakan kemerdekaan mahasiswa Indonesia di Eropa) ketika itu antara lain: Moh. Hatta,  Ki Hajar Dewantoro, Achmad Subardjo,  Natsir Datuk Pamuntjak, Iwa Kusuma Sumantri, GSSJ Ratulangi, R.M. Sartono, dan Soenaryo. pada tahun 1911. Pada tahun 1918, ia melanjutkan sekolah ke HBS dan kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Leiden, Belanda, lulus dengan gelar "Meester in de Rechten" (Mr.) pada tahun 1924.
Menurut Harry Poeze dalam Di Negeri Penjajah (2008), “Soebardjo bersama Maramis dan (Nazir) Pamoentjak tiba di Belanda Juni 1919, termasuk tiga mahasiswa yang datang sesudah Perang Dunia I. Ketiga mahasiswa itu bermaksud belajar hukum, dan bersiap menempuh ujian negara yang merupakan syarat masuk Leiden, dengan mempelajari bahasa Yunani dan bahasa Latin.”

Untuk bisa lulus ujian bahasa klasik itu, mereka bertiga menyewa Drs. Green sebagai guru les mereka. Terbatasnya uang membuat mereka bertiga bekerja dulu.

“Waktu itu, orang-orang yang punya ijazah HBS (SMA Belanda) mendapat penghargaan tinggi dalam masyarakat […] sehingga tak ada kesukaran bagi kami mendapat pekerjaan dengan gaji yang cukup memuaskan,” ujar Soebardjo dalam autobiografinya Kesadaran Nasional (1978). Soebardjo diterima di Kantor Pos Telepon & Telegraf, Nazir di Departemen Dalam Negeri, dan Maramis di Kantor Monopoli Negara.

Mereka bertiga mendapatkan beasiswa dari pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk kuliah hukum selama enam tahun di Universitas Leiden. Maramis kelak aktif di Perhimpoenan Hindia meski tak seaktif Soebardjo.

Sekembali dari Universitas Leyden, Mr. A.A. Maramis menolak tawaran menjadi  pegawai Kolonial Belanda dan memilih meniti karier sebagai Pengacara (sebagaimana profesi ayah kandungnya Andries Alexander Maramis) di berbagai daerah (seperti: Semarang, Palembang, Teluk Betung, dan Jakarta) sambil mencari teman-teman seperjuangan/nasionalis eks aktivis PI (Saafroeddin dkk 1995). Pengacara sejak zaman kolonial ini satu-satunya anggota dari kalangan Kristen di Panitia Sembilan yang menghasilkan Piagam Jakarta. Sepanjang karier sebagai pengacara, Alex Maramis pernah buka kantor advokat di Semarang, Palembang, Teluk Betung (Lampung), dan Jakarta. Di awal pendudukan Jepang, menurut Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (1986), Maramis adalah penggiat Majelis Pertimbangan Poesat Tenaga Ra'jat (Poetera) dan bekerja sebagai pengacara di Jakarta. Setelah di Poetera, ia pernah menjadi penasihat di Bukanfu. Jelang kemerdekaan, ia ikut berperan menentukan dasar negara Republik Indonesia.
Di awal jabatan politiknya, Mr. A.A. Maramis menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945, bersama rekan seperjuangan lainnya antara lain Ir. Soekarno dan Mr. Ahmad Subardjo. Maramis termasuk anggota BPUPKI, dan salah satu dari 15 orang bergelar Mr (Meester in Rechten). Orang yang belajar hukum tentu diperlukan dalam menyusun peraturan perundangan. Maramis juga tergolong minoritas secara etnis dan agama. Bersama Johannes Latuharhary dari Ambon, Maramis mewakili kalangan Indonesia timur, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.
Mr. A.A. Maramis adalah salah satu orang yang merumuskan dan menandatangani Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Maramis termasuk ke dalam Panitia Sembilan, dan satu-satunya orang Kristen dari 8 orang lain yang nasionalis-Islam (Abikusno, Agus Salim, Kahar Muzakkir, dan Wahid Hasyim) maupun nasionalis-sekuler (Hatta, Sukarno, Soebardjo, dan Yamin). Meski ada Maramis, pada 22 Juni 1945, sila pertama dalam kesepakatan yang kemudian dikenal Piagam Jakarta memuat: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

“Mr Maramis … tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi,” tulis Hatta dalam Mohammad Hatta: Memoir.

Menurut Nurcholish Madjid dalam Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (1995), tentu saja, “Orang-orang Kristen yang berasal dari Sulawesi Utara, tanah kelahiran A.A. Maramis, secara serius menolak satu ungkapan dalam piagam tersebut.”

Latuharhary bahkan berkata, bila salah satu rumusan dalam Piagam Jakarta ini diterapkan, “akibatnya mungkin besar terutama terhadap agama lain.”
Pada sore hari 17 Agustus 1945, Hatta mendapat kunjungan dari utusan Kaigun yang menyuarakan kecemasan orang-orang dari Indonesia timur atas isi salah satu pokok Piagam Jakarta tersebut. Perkara ini dinilai gawat oleh Hatta. Esoknya, sebelum PPKI bersidang, para wakil yang relevan membahas poin keberatan tersebut secara terbatas. Hasilnya, kompromi itu mengubah sila pertama menjadi apa yang kita kenal kini sebagai Pancasila. Dia mengusulkan perubahan butir pertama Pancasila kepada Drs. Mohammad Hatta setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. A.A. Maramis juga adalah salah satu orang yang menandatangani Piagam tersebut bersama dengan Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Sebagai Menteri Keuangan baru, AA Maramis langsung mencari jalan keluar dalam mengatasi keterpurukan yang tengah menimpa negaranya. Pada 24 Oktober 1945, Ia menginstruksikan tim serikat buruh G Kolff untuk menentukan tempat percetakan uang dengan teknologi yang relatif modern. Tak lama, percetakan G Kolff Jakarta dan Nederlands Indische Mataaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) Malang dianggap memenuhi persyaratan.

Panitia Penyelenggaraan Percetakan Uang Kertas Republik Indonesia segera dibentuk. Diketuai oleh TBR Sabarudin, Oeang Republik Indonesia (ORI) pertama berhasil dicetak. Upaya percetakan ORI ini ditangani oleh RAS Winarno dan Joenet Ramli. Proses pencetakan ORI pun dilanjutkan di beberapa daerah yang masuk wilayah Indonesia.

“Yaitu di Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo dengan cara memanfaatkan berbagai percetakan swasta yang relatif modern saat itu,” tulis Mohammad Iskandar dalam Oeang Republik.
Memasuki Juli 1947, tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) kembali menyerbu Indonesia. Untuk mengatasi langkanya ORI di daerah-daerah tertentu dan mengganjal peredaran uang merah NICA di daerah itu, maka Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1947 yang memberikan wewenang bagi pemerintah daerah untuk menerbitkan mata uang atau alat pembayaran sementara yang sah. Uang yang kemudian diterbitkan pemerintah daerah tingkat provinsi, keresidenan dan kabupaten itu dinamai Uang Republik Indonesia atau disingkat Urida.

“Semua penerbitan uang itu akan dijamin oleh pemerintah pusat, dan mata uang tersebut dapat ditukarkan dengan ORI,” tulis Mohammad Iskandar.

Namun, seiring dengan meningkatnya pembiayaan peperangan, maka besar pula keperluan untuk mencetak ORI. Hingga 1949, di saat AA Maramis kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan di Kabinet Hatta I, sebenarnya pemerintah menyadari kebijakan ini akan membuat negara semakin dalam keadaan sulit.

Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, AA Maramis terus mengusahakan agar ORI bisa bertahan dalam desakan uang NICA. Mulanya penukaran uang antara ORI dan uang NICA adalah 1:5, kemudian melemah menjadi 1:7. Setelah itu ORI menguat kembali menjadi 1:3 dan 1:2.

“Menguatnya ORI di daerah pendudukan, seperti Jakarta, pada dasarnya bukan semata-mata masyarakat percaya terhadap jaminan pemerintah. Akan tetapi lebih karena dukungan politis,” dikutip dari Jurnal Sejarah, Vol.6, terbit Agustus 2004.

AA Maramis memberikan banyak gagasan dalam bidang keuangan negara di era-era paling sulit. Wajar saja, jika ia dipercaya menjabat sebagai Menteri Keuangan empat kabinet,  yakni Kabinet Presidensial, Kabinet Amir Sjarifuddin I, Kabinet Amir Sjarifuddin II, dan Kabinet Hatta I.
tidak banyak yang tahu di balik peran besar Mr. Maramis dalam mengemban tugas sebagai Menteri Keuangan dan Menteri Luar Negeri RI, terkait lahirnya konsep dan rekrut dana/modal awal dalam pembiayaan mendirikan sebuah NKRI serta lahirnya konsepsi Resolusi DK-PBB di atas. Termasuk mencari sumber Devisa Negara dan penyediaan dana awal untuk pendirian sebuah lembaga perbankan nasional yang sekarang dikenal dengan Bank Negara Indonesia (BNI 46 yang pertama kali dibuka di Jogya pada 5 Juli 1946, di mana paman Prabowo Subianto (G. Djoyohadikusumo) diangkat sebagai Direktur pertamanya dan pendirian sebuah maskapai penerbangan nasional (Kartasamita dkk 1975; Sudirjo 1982), yang sekarang dikenal dengan Garuda Indonesia Airways (GIA). Di samping keberhasilan merekrut sumber-sumber pendanaan masif dalam merekrut persenjataan/fasilitas tempur yang digunakan dalam revolusi fisik bangsa, dengan menugaskan John Lee sebagai Kapten kapal angkutnya. Di mana hasil penjualan dan barter hasil pribumi tersebut merupakan sumber dana untuk membiayai pergerakan kemerdekaan RI dalam mengusir para penjajah/kolonialis asing di Bumi Nusantara. Yang kesemuanya berakhir dengan Mr. Maramis tanpa memiliki suatu warisan/peninggalan apa pun setelah beliau memasuki purna tugas. Bahkan ketika memasuki usia tua, depresi berat, dan sakit-sakitan, biayah berobat sakit pun hanya diperoleh dari jasa Presiden Soeharto melalui layanan Tim Dokternya di RSPAD. Satu-satunya warisan yang dimiliki keluarga Mr. A.A. Maramis adalah hak pakai atas sebuah rumah tinggal beralamat Jalan Medan Merdeka Timur No. 9 Jakarta Pusat oleh Pemda DKI, tempat di mana antara lain BNI 46 dan GIA lahir.
Tahun 1946:  Mr. A.A. Maramis menulis dan mempublikasi sebuah buku dengan judul: “No More Legal Power of the Netherlands in Indonesia”. Yang berisi kajian hukum internasional yang membenarkan landasan perjuangan diplomatik kemerdekaan RI dalam upaya mendapatkan dukungan dan pengakuan negara-negara internasional (terutama Negara-negara Asia seperti: India dan Birma) dan PBB, di samping sebagai pegangan perjuangan P.N. Palar selaku wakil RI di PBB.

Tahun 1946:  ketika Mr. A.A. Maramis berada di Jalan Asam Baru, cikal bakal basis/kantor KRIS (sekarang jln. Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat), didatangi seorang pemuda asal Komo Manado berpangkat Stirman III Kapal Belanda KPM (Koningklyke Paketvaart Maatschappy) yang berpusat di Belanda.  Pemuda tersebut bernama John Lee yang menyampaikan keinginannya yang mendalam untuk mendukung kemerdekaan R.I dan dapat direkrut sebagai anggota Kesatuan TNI AL. Kemudian Mr. Maramis memberi surat pengantar pada John Lee untuk menghadap Presiden Soekarno di Jogya dan berhasil. Tugas pertama John Lee ketika itu membersihkan semua ranjau Jepang & Belanda di perairan laut Pelabuhan   Cilacap sehingga kapal-kapal R.I aman melintas di sana. Yang mana kemudian dijadikan sebuah pangkalan Mabes TNI-AL terbesar yang ketika itu dekat dengan pusat pemerintahan R.I di Jogya. Mr. A. A. Maramis ketika menjabat sebagai Menteri Keuangan RI, dalam upaya merekrut Devisa Negara sebagai sumber dana pembangunan NKRI dan pengadaan persenjataan/sarana tempur,  sering menugaskan John Lee dengan kapal lautnya untuk membawa hasil bumi Nusantara (seperti: Karet, Gula Pasir, Beras, Kapas, Emas, dan Candu) melalui pelayaran  laut ke Singapura untuk dijual dan dibeli/dibarter dengan senjata  kepada  pedagang di sana.  Karena sejumlah keberhasilan John Lee menjalankan misi penuh resiko (tidak sekali pun ketangkap), dengan dapat menembus route pelayaran laut yang diblokade dan diawasi pasukan musuh, pihak Kolonial Belanda memberi julukan  John Lee  sebagai “Nakhoda Kapal Hantu”. Pada tahun 2009,  salah seorang  putra Manado, Laksamana Muda TNI AL (Purn) John Lee telah dianugrahi gelar Pahlawan Nasioanl
Pada waktu Agresi Militer Belanda II, AA Maramis berada di New Delhi, India dan ditugasi untuk memimpin Pemerintah RI dalam pengasingan. Ia kemudian menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Darurat dimasa PDRI yang diketuai oleh Sjafruddin Prawiranegara. peranannya sebagai pemimpin Bangsa Indonesia, ketika pemerintahan negara dalam keadaan darurat pengasingan di luar negeri (Negara India) dalam menghadapi Agresi Militer Belanda Ke-2, dengan mengarsiteki pelaksanaan Konferensi Asia New Dehli 20 s/d 23 Januari 1949  dan melahirkan  Keputusan Resolusi Dewan Keamanan PBB pada 28 Januari 1949 yang mendukung Kemerdekaan dan Kedaulatan RI,  merupakan suatu prestasi diplomatik Mr. A. A. Maramis yang tidak ada duanya. Hal itu tercermin melalui pernyataan pihak Penguasa Belanda (Menlu) sendiri sbb: “Mr. A.A. Maramis vertoond zich een daaddrachtige minister van buitenlandse zaaken in New Dehli”. Yang artinya: “Tuan Maramis adalah seorang Diplomat Luar Negeri yang gigih, tegas, dan handal di New Dehli.”(Pandean 2014).

Empat poin rekomendasi Konferensi Asia New Dehli, yang kemudian  melahirkan 5 (lima) butir Keputusan Resolusi DK-PBB, yaitu: 1)  Belanda harus segera menghentikan operasi militernya dan RI  menghentikan perang gerilyanya serta kedua belah pihak diminta kerjasama dalam memulihkan perdamaian, 2) Belanda dengan segera dan tanpa syarat harus melepaskan semua tahanan politik terkait Agresi Militer ke-2 (Catatan: dengan sendirinya, pelaksanaan eksekusi tembak mati R.W. Mongisidi tertanggal 5 September 1949 di Makasar adalah merupakan suatu perbuatan kriminalisasi kejahatan perang Kolonialis Belanda yang patut mendapat class action pihak keluarga), 3) Belanda harus segera memfasilitasi pemulangan para pemimpin RI ke Yogyakarta agar poin satu di atas, dapat terlaksana dan agar mereka segera dapat bertugas secara bebas, termasuk administrasi Kota Yogyakarta dan sekitarnya serta daerah-daerah RI yang dinyatakan dalam Perjanjian Renville segera diserahkan kembali, 4) Perundingan sesegera mungkin dilakukan dengan prinsip Perjanjian Linggar Jati dan Renville serta khususnya atas dasar Pemerintah Interim Federal dapat berdiri selambat-lambatnya 15 Maret 1949, dan bahwa pemilihan Dewan Konstitusi RIS hendaknya terlaksana selambat-lambatnya 1 Juli 1949, dan 5)  Komisi jasa baik 3 (tiga) Negara (USA, Australia, dan Belgia), selanjutnya akan disebut Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI), dengan tugas memfasilitasi para pihak dalam perundingan demi menjamin pengembalian Republik dan memantau pelaksanaan PEMILU,  serta UNCI berhak memberi rekomendasi untuk mempercepat penyelesaian permasalahan yang ada.

Semasa hidupnya ia pernah juga menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Filipina, Jerman Barat dan Uni Sovyet. Ketika Mr. A. A. Maramis mengemban tugas sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh di Negara Russia pada tahun 1958, terdapat sebuah kisah/ceritra keluarga yang menunjukkan jatidiri Maramis sebagai sosok pemimpin nasional yang: bersih, anti-konsumerisme, anti-KKN, dan menjalani pola hidup sederhana/hemat. Yang sangat sejalan dengan kebijakan Pemerintahan Jokowi sekarang yang melarang para aparatur/pejabat Negara untuk menggelar rapat-rapat di hotel.  Waktu itu Mr. A.A. Maramis mendampingi Presiden Russia Worosilov untuk berkunjung ke Indonesia, dalam rangka mewujudkan  gagasan bersama  Presiden Ir. Soekarno untuk membangun sebuah pusat olahraga dengan mengusung tema “games of the new emerging forces”=Ganefo (dalam upaya mengimbangi/mengkonter misi politik “Blok-Barat” melalui pembentukan suatu wahana perhimpunan olahraga Negara-Negara Barat yang kita kenal dengan “Olimpiade” karena adanya ekses lepasnya Indonesia dari PBB di bawah kepemimpinan Presiden Seokarno). Di mana kelahiran Ganefo ini berimbas pada dibangunnya sebuah Gelanggang Olahraga yang sekarang dikenal dengan kompleks BP Gelora Bung Karno dan Istora Senayan. Yang awal biaya pembangunannya didanai Presiden Worosilov bersama sekutu-sekutunya seperti Negara Rumania dan Negara Polandia, sebagaimana tuturan Mr. A.A. Maramis pada keponakannya Rudy L. Pandean.

Dalam kunjungan diplomat/kenegaraan tersebut, Presiden Worosilov menginap di Istana Negara, sedangkan rombongan menteri Worosilov termasuk Mr. A.A. Maramis telah disiapkan oleh pihak DEPLU RI suatu tempat nginap/tinggal di Hotel Des Andes jln. Gajamada No. 2 (sekarang menjadi areal bangunan elite ROKU DUTA MERLIN). Namun faktanya, saat itu Mr. Maramis tidak memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah RI tersebut, dan memilih untuk tinggal/tidur bersama keluarganya di Jln. Medan Merdeka Timur No. 9 (samping kiri gedung Inspektorat Jenderal Dalam Negeri menghadap ke Stasion Gambir) Jakarta Pusat.  Lantas kakaknya Mathelda Maramis (setelah diberitahu hal itu), dengan nada protes berkata dengan logat Melayu-Manado pada adiknya Mr. A.A.  Maramis:  “Minta jo doi sewah hotel mewah itu kong kase pa torang, itu kan ngana pe hak”. Tapi hanya diresponinya dengan nada kata-kata tinggi:  “Ndak boleh itu, bangsa Indonesia masih susah!”


Pada tahun 1974 Bersama Dr. Mohammad Hatta, Mr. Sunario Sastrowardoyo, Mr. Achmad Soebardjo dan Mr. A.G. Pringgodigdo, Mr. AA Maramis termasuk dalam "Panitia Lima" yang ditugaskan Pemerintah untuk mendokumentasikan perumusan Pancasila.
Dari buku Risalah Sidang BPUPKI/PPKI tertanggal 28 Mei s/d 22 Agustus 1945 (Saafroedin dkk 1995), diperoleh sejumlah dokumen/arsip Negara RI yang mengklaim sejumlah Tanda Penghargaan RI atas nama seorang Bapak Bangsa Mr. A. A. Maramis sbb:

1).   Bintang Mahaputra Utama (Skep. No. 15/2/1961).
2).   Setia Lencana Perjuangan Kemerdekaan (Skep. 228/1961).
3).   Bintang Gerilya (Kepres No. 200960 tertanggal 5 Oktober 1963).
4).   Penghargaan Pergerakan Nasional (Skep. No. 012/1969).
5).   Penghargaan Perintis Kemerdekaan (Skep. Pol. 8/1/77/PK).
6).   Bintang RI Utama (Kepres No. 046/TK-1992 tertanggal 12 Agustus 1992).
7).   Penghargaan Rekor MURI Dunia Abadi Menteri Keuangan, dari Kementrian Keuangan  R.I., DR. Sri Mulyani Indrawati.

seorang anak angkat Prof. A.I. Z. Mononutu (Sinyo Mononutu) pada presentasi pra-seminar yang digelar IPPHOS di Marina Plaza Manado (tertanggal 04-12-2014), menyatakan  Mr. A.A. Maramis sebagai pencetus ide berdirinya sebuah organisasi Pergerakan Kemerdekaan RI yang dikenal dengan nama KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Yang awal perjuangannya (termasuk Wanita KRIS yang dimotori S.K. Pandean) berbasis di Magelang-Wonosobo (Warouw dkk. 1999). Dari tuturan Rudy L. Pandean pada Penulis tertanggal 18/01/2015, latar belakang berdirinya KRIS menurut Mr. A.A. Maramis, mempunyai dua tujuan/kepentingan, yaitu: 1) Untuk menghilangkan persepsi negatif masyarakat Jawa atas eks pejuang asal Indonesia Timur (terutama Manado dan Ambon) karena mereka menggaggapnya sebagai antek/mata-mata musuh Kolonial Belanda dan 2) Sebagai suatu pergerakan revolusi fisik untuk melawan penjajah/kolonialis Belanda.
semasa pengabdian hidupnya sampai dengan ajal kematiannya, Mr. A. A. Maramis tercatat sebagai warga masyarakat DKI Jakarta (beralamat jln. Merdeka Timur No. 9 Jakarta Pusat) dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta (Pandean 2014), menggantikan posisi Mr. R. Soewandi yang diangkat menjadi Menteri P.P&K (S.K. Kemen P. P&K No. 1031/BG. Tata Oesaha tertanggal 28 Oktober 1946).
Biarpun dia mempunyai anak dan cucu tiri yang sudah dianggapnya anak sendiri (mereka adalah anak Elizabeth dari suami terdahulu, seorang Perancis), hidup santai dan keakraban gaya Indonesia tidak ditemuinya di Lugano. Kini suami isteri itu tinggal di Wisma Pertamina. “Mereka memang minta dan senang tinggal di flat”, kata Subardjo. Mereka menolak untuk beristirahat di Megamendung yang lebih sejuk tapi sunyi. Minggu lalu, keluarga Kawanua telah membuat pertemuan syukuran dengan kembalinya tokoh daerah mereka ke tanah air. “Sementara ini memang belum ada rencana pasti untuk Maramis”, tambah Subardjo, “tapi teman dan kesibukan bisa membuat sehat orang yang setua saya”. Lima Juli pagi, Maramis dan isteri telah beraudensi dengan Presiden Suharto. Setelah duduk terhenyak di kursi empuk di Bina Graha, satu kalimat telah keluar dari mulut Maramis yang sudah banyak lupa itu untuk Suharto: “Tuan datang dari mana?”
Mr. A.A. Maramis meninggal dunia pada 31 Juli 1977, Jenazahnya disemayamkan di Ruang Pancasila Departemen Luar Negeri dan dilanjutkan dengan upacara militer untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Keluarga Alexander Andris Maramis berterima kasih kepada PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Wilayah Manado yang mendukung untuk nantinya ditetapkan menjadi pahlawan nasional.
"Kami berterima kasih kepada BNI yang mendukung agar AA Maramis menjadi pahlawan nasional," ujar Perwakilan keluarga AA Maramis Johanis Loupaty dalam Rapat Pembahasan Tim TP2GD
Dengan Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Pengkajian Penelitian Gelar Daerah (TP2GD) Calon
Pahlawan Nasional Alexander Andris Maramis di Aula Kantor PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Rabu (26/7/2017)
Menurut dia, sampai dengan saat ini telah beberapa kali mengikuti seminar mengenai pengusulan agar AA Maramis menjadi pahlasan nasional. Apalagi jasa-jasanya kepada negara ini cukup besar.
"Banyak yang belum mengetahui jasa-jasa dari AA Maramis terhadap negara. Untuk itu kedepannya bisa semakin diperjelas," ungkapnya.
Jasa yang dilakukan antara lain dibidang ekonomi adalah merancang uang rupiah yang dulu bernama Oeang Republik Indonesia (ORI). Pada saat  Gubernur Sulut Sarundajang mewakili keluarga Palar menerima penyerahan gelar Pahlawan Nasional atas Bapak  P.N. Palar,  sempat ditanya  Dr. Anhar Gonggong (seorang anggota Tim Penilai Penerima Gelar Pahlawan Nasional) melalui ungkapan: “Anak buah kok telah terima, mengapa komandannya belum?”

Sosok yang dimaksud Dr. Gonggong sebagai komandan adalah seorang putra Kawanua Alexander Andris Maramis atau lebih populer dengan sebutan Mr. A. A. Maramis, yang lahir di wilayah Buha Paniki Bawah Manado. Yang sangat patut mendapat perhatian dan kepedulian semua komponen bangsa dan masyarakat Indonesia, mengingat peran, jasa-jasa, dan pengorbanan beliau yang sangat luar biasa dalam merintis, memperjuangkan, mempertahankan, dan membangun NKRI.
falsafah hidup Mr. A.A. Maramis yang terkenal, yaitu jika manusia lahir dalam keadaan telanjang, maka ia harus mati pula dalam keadaan telanjang (bahasa jawanya yang dikalimatkan oleh harian Berita Yudha Jakarta: “Sepi ing pamrih…, rame ing gawe”)

Sumber :


Referensi:
Anonimous. 2007. A.A. Maramis Raih Rekor Dunia Abadi.  Berita Halaman Depan Harian Manado Post, terbit Rabu 31 Oktober 2007, Dalam Rangka Penganugrahan Rekor MURI oleh Departemen Keuangan RI Jakarta.

Anonimous. 2013. Bintang Mahaputra Adipradana Untuk Tokoh Pejuang A.R. Baswedan. Majalah NABIL Forum, Edisi VII:  hal. 10-11.

Andayani, R.A. Esti. 2006. Surat Konfirmasi Sejarah Tentang Penugasan Mr. A.A. Maramis Untuk Mendirikan Pemerintah R.I di Pengasingan Oleh Wapres Moh. Hatta. Surat Nomor: 371/OT/VIII/54 Tertanggal 23 Agustus 2006, Dir. Informasi dan Diplomasi Publik, Deplu RI.


Kartasasmita Ginandjar, A. Prabowo, B. Kesowo, S. Tanu, W. Martoredjo, R. Supardi, Soegiarto, M. Hadidjanto, Soedarto, and A.C. Kale.  1975. 30 Years of Indonesia Independence: 1945-1949.  The State Secretary of The Republic of Indonesia, 257 pp.

Mokoagouw, R. Dolfie dkk. 2003.  Sejarah Kerapatan Gereja Protestan Minahasa: 1933-1982. Panitia Penyusun Buku Sejarah KGPM, Manado, 99 halaman.

Mr. A. A. Maramis.  1946.  Teks Asli/Pidato Mr. A. A. Maramis Sebagai Pencetus Ide Berdirinya KRIS Yang Ketika Itu Menjabat Sebagai Menteri Keuangan R.I  Pada Pembentukan/Pengukuhan Badan Wanita KRIS Sebagai Ormas Sayap KRIS,  Bertempat di Jalan Lembang No. 17 Jakarta (Sekarang Berlokasi Sekitar Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta), Tertanggal 8 Juli 1946.

Pandean, R.L. 2014. Maramis for National Hero. Forum Komunikasi Putra-Putri Perintis Kemerdekaan Indonesia Sulawesi Utara, Booklet, Manado, 20 halaman.

Paputungan Jako. 2015. Legasi Darah Biru Mandagi Sebagai Pejuang Kemerdekaan dan Konseptor NKRI. Colom Opini Harian Komentar, Manado, Terbit berseri dari 06/01 s/d 09/01/2015.

Saafroedin Bahar, A. B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (Tim Penyunting). 1995. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei s/d 22 Agustus1945. Cetakan Kedua, Edisi III, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 650 halaman.

Sudirjo Radik Utoyo. 1982. Album Perang Kemerdekaan 1945-1950. Badan Penerbit ALDA bersama Dewan Harian Nasional Angkatan 45, Jakarta, halaman 11.

Warouw,  Jozef  A., R. Palandeng,  H. Kawilarang, A.S. Suseno, dan Sumantri. 1999. KRIS 45 Berjuang Membela Negara. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 339 halaman.

(Penulis adalah Pakar Sejarah, Budaya, Linguistik, Etnolog Sulut; Ketua/Pendiri ORMAS Presiden Jokowi-KPK Pusat Sulut; Ketua PPWI/Pembina MAPIKOR/IPJI/GERHANA Sulut; dan Ketua Presidium Forum Komunitas Seni Budaya Sulut)
Editor: Rahadih Gedoan





Tidak ada komentar: