Kamis, 11 Januari 2018

Mencoba Menata Ekonomi yang Mandiri “Ala” Chaerul Saleh



Mencoba Menata Ekonomi yang Mandiri “Ala” Chaerul Saleh
"Bayangkan, kita yang punya ini Republik, tapi kita hanya bengong melihat hasil-hasil kopra untuk bayar hutang KMB 1949 sebagai ganti rugi perang dengan Belanda, hasil-hasil minyak tak kita punya, kita melihat kekosongan kas Departemen Keuangan, sementara di Korea sana sedang terjadi perang dan harga-harga komoditi naik tinggi, setinggi-tingginya" (Maroeto Nitimihardjo)

Dalam lobi-lobi politiknya di antara bulan Mei 1945 sampai Juni 1945 kelompok Hatta meminta konsesi-konsesi atas modal swasta di Perkebunan diakhiri, inilah yang bikin Tan Tek Peng dari kelompok pemodal (Tan Tek Peng adalah Boss Oei Tiong Ham concern) menolak adanya intervensi negara dalam perkebunan, hal ini malah jadi kecurigaan pihak swasta bahwa kelak dikemudian hari 'Indonesia berwarna merah'. Perselisihan soal perkebunan akhirnya diakhiri dengan ikut campurnya Mayor Jenderal Nishimura, sebagai advisor atas Panitia Kemerdekaan, dalam urusan zumin (ekonomi) dimana Hatta berdebat dengan kelompok pemodal swasta. Nishimura meminta agar kelak bangsa yang berdiri tidak lagi ditunggangi oleh prasangka-prasangka, dan ekonomi Indonesia bisa berkembang dengan pesat. Sebenarnya apa langkah Nishimura ini melewati langkah Gunseikanbu (Setingkat Gubernur Jenderal) Jepang untuk Indonesia : Yamamoto yang sama sekali tak mengarahkan Nishimura, namun apa statemen Nishimura adalah sebuah pernyataan diam-diam agar 'Jepang bersiap dengan ekonomi Indonesia kelak ketika Indonesia bisa merdeka'.
Perkembangan politik ternyata ke arah lain, Jepang dibredel oleh para Pemuda-Pemuda Nasionalis Kiri garis keras yang paksa Sukarno dan Hatta untuk tanda tangan Kemerdekaan. Persoalan penting soal ekonomi tak dipikir matang-matang, hanya Tan Malaka yang mampu berpikir taktis dan strategis yaitu Perang Total menguasai sumber-sumber ekonomi. Apa yang dikobarkan Tan Malaka di koran-koran dan jadi bahan diskusi pada perdebatan-perdebatan Revolusi menjadikan anak-anak muda bersenjata memihak pada gerakan Tan Malaka, sementara tentara resmi memihak pada politik diplomasi Sukarno-Hatta.
Intelijen Belanda dibawah Van Der Plas membaca laporan-laporan bahwa anak-anak Tan Malaka mengarahkan kekuatan politiknyan ke daerah kantong-kantong ekonomi,  laporan teresebut kemudian diteruskan ke Van Mook dan melalui rapat terbatas militer di Istana Gambir. Berdasarkan laporan tersebut diputuskan bahwa Belanda akan mengoperasikan perang yang dinamakan 'Operasi Produkt' tahun 1947 untuk menguasai lahan-lahan sumber minyak dan kilang serta menjaga modal Belanda atas lahan tambang minyak. Operasi Produkt, dibarengi dengan taktik diplomasi, pihak militer resmi Republik termakan taktik ini kemudian berunding soal wilayah-wilayah pendudukan, sementara pihak Laskar Rakyat kelompok Tan Malaka menolak perundingan sama sekali, penguasaan tambang-tambang minyak dan perkebunan adalah 'harga mati'. Keadaan inilah kemudian muncul istilah 'Merdeka' 100%. Pada rapat politik di Purwokerto 1946, Jenderal Sudirman sudah tertarik atas ide Tan Malaka, Sudirman memposisikan dirinya sebagai pengikut garis politik Tan Malaka, Sudirman sendiri berdiri dan bertepuk tangan saat Tan Malaka berpidato soal 'Kedaulatan Total Republik'.
Setelah kunjungannya ke Amerika Serikat dan Soviet Uni, Bung Karno sadar : "Saat ini bangsa-bangsa maju sedang rebutan minyak". Ada yang diserbu dengan kasar, seperti  Korea atau Vietnam ada yang didekati secara halus seperti Arab Saudi dan Negara Timur Tengah lainnya. Indonesia sedang dipengaruhi cara halus, tapi tak mungkin Amerika Serikat bisa main kasar.
Saat itu Industri minyak kita dikuasai hanya tiga pemain besar dan itu modal asing semuanya : Shell, Caltex dan Stanvac. Bung Karno di tahun 1959, menggelorakan pidato : "Penemuan Kembali Revolusi Kita" di dalam pidato itu ada pesan  tersembunyi : 'Untuk Perang kembali merebut lahan-lahan konsesi yang dikuasai modal asing dan mendikte mereka bekerja kepada kita pemilik resmi tanah Republik'. Pesan tersembunyi ini ditangkap dengan jelas oleh Chaerul Saleh sebagai Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan.
Chaerul Saleh menyusun UU yang membatasi Konsesi. Apa itu konsesi? Konsesi adalah penguasaan lahan secara total, jadi ada semacam kantong-kantong wilayah yang orang Indonesia sendiripun tidak bisa masuk, di alam realitasnya, pertambangan-pertambangan itu menjadi kota sendiri yang tidak bisa dimasuki rakyat Indonesia bahkan setingkat Menteri sekalipun. Inilah yang bikin Chaerul Saleh marah.
Chaerul Saleh juga sudah melihat prestasi besar Ibnu Soetowo, pemimpin Permina (Perusahaan Minyak Negara) yang bisa membangun armada kapal tanker dengan strategi bisnis yang brilian, Chaerul Saleh berambisi agar Permina jadi perusahaan minyak terbesar di Asia dan dunia serta jadi tambang atas modal-moda dasar pembentukan BUMN yang bisa menjadi kekuatan ekonomi politik Indonesia.
Chaerul Saleh kemudian membuat RUU Minyak yang anti konsesi asing, atas lobi-lobi dari kawan-kawan Chaerul Saleh di Parlemen, RUU ini gol, lalu disahkan sendiri oleh Sukarno menjadi UU Minyak No. 44.  Undang-Undang inilah yang membuat Sukarno gebrak meja dengan Perusahaan minyak asing untuk merevisi lagi kontrak-kontrak pertambangan di Indonesia.
Isi terpenting UU itu adalah :
"Pertambangan Minyak dan Gas Bumi hanya diusahakan oleh Negara, dan pelaksanaannya dilaksanakan oleh Perusahaan Negara semata-mata".
Isi UU No.40 inilah yang kemudian bikin marah banyak perusahaan asing, meningkatkan tensi intelijen serta menjadikan Sukarno sebagai musuh bersama. Tapi Sukarno melawan, ia dengan cerdas merebut Irian Barat dari Belanda dan berpidato di depan Front Nasional 3 Mei 1963 :
"Tidak ada lagi bayi-bayi yang kelaparan dibawah Kemakmuran Ekonomi Indonesia"
Atas fasilitas keberanian Sukarno inilah, Chaerul Saleh menggebrak dengan cepat industrialisasi di Indonesia, Krakatau Steel dibangun, Pupuk Sriwijaya dibangun seluruh industri-industri digerakkan dengan cepat dan Indonesia diarahkan menjadi negara terkuat industrinya dengan ekonomi berdikari. Diharapkan pada tahun 1975 Indonesia jadi negara terkaya di Asia, dengan modal minyak, gas dan perkebunan yang dikuasai negara.
Pasca Irian Barat perang Intelijen menjadi begitu genting, PKI sering offside dalam aksi-nya yang memancing kemarahan Angkatan Darat dan pihak Agama. Masalah UU Agraria jadi bahan percekcokan di lapangan. Ujungnya Gerakan Untung 1965 jadi alat bagi kelompok anti Sukarno mendongkel Pemerintahan Sukarno sekaligus mengakhiri politik Nasionalisme Tambang Minyak dan Gas.
Sampai saat inipun kesalahan Chaerul Saleh tidak ada, karena Pemerintahan Suharto tidak mengeluarkan pernyataan resmi. Hanya penjelasan sedikit yaitu soal 'ekonomi' tapi tak ada definisinya.  Sukarno dan Chaerul Saleh mati demi membela kepentingan kekayaan Indonesia, menjaga tambang minyak, gas dan batubara untuk kepentingan nasional. Sudah saatnya sejarawan membongkar redaksional politik minyak Chaerul Saleh 1960-1965 serta kemandirian nasional politik minyak Ibnu Soetowo yang setia pada garis Chaerul Saleh untuk membuka tabir bahwa bangsa ini pernah berani melawan dominasi modal asing yang menjadikan bangsa ini tetap miskin walau kaya minyak dan tambang-tambang lainnya.


Sumber :

Tidak ada komentar: