Selasa, 09 Januari 2018

Sang Datuk Paduko Rajo jajaran Barisan Pendukung Soekarno



Sang Datuk Paduko Rajo jajaran Barisan Pendukung Soekarno

Yang menarik, meski sudah jadi pejabat penting, Chaerul selalu bersedia menerima para aktivis muda yang mau berdiskusi dengannya. “Kalau saya datang ke kantornya, sebelum mulai berdiskusi Bung Chaerul menyuruh mengangkat kaki ke meja atau kursi,” kenang Sabam Sirait.

Chaerul Saleh bergelar Datuk Paduko Rajo. Chaerul  lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal13 September 1916 dan meninggal di Jakarta pada 8 Februari 1967 ketika berumur 50 tahun.  Chaerul Saleh adalah pejuang dan tokoh politik Indonesia yang pernah menjabat sebagai wakil perdana menteri, menteri, dan ketua MPRS antara tahun 1957 sampai 1966. Chaerul berjasa mengeluarkan ide dasar negara kepulauan dengan batas teritorial 12 mil laut. Ide tersebut di­sahkan pada tanggal 13 Desember 1957. Chaerul dianugerahi pangkat Jenderal TNI Kehormatan atas perannya tersebut.
Chaerul Saleh keturunan Minangkabau yang lahir dari pasangan Achmad Saleh dan Zubaidah binti Ahmad Marzuki. Ayahnya seorang dokter yang pernah menjadi calon anggota Volksraad. Pada usia dua tahun, orang tuanya bercerai dan Caherul dibawa ibunya ke Lubuk Jantan, Lintau, Tanah Datar. Di usia empat tahun, ayahnya membawa Chaerul ke Medan dan menyekolahkannya. Setelah ayahnya berpindah tugas, ia bersekolah di Europeesche Lagere School, Bukittinggi. Lulus dari ELS ia pindah ke Hogereburgerschool (HBS) di Medan. Ketika sekolah di Medan ia sering pulang ke Bukittinggi. Dan disinilah ia bertemu dengan Yohana Siti Menara Saidah, putri Lanjumin Dt. Tumangguang yang kemudian menjadi istrinya. Di Batavia Chaerul bersekolah di Koning Willemdrie atau HBS selama 5 tahun di Jalan Salemba. Chaerul kuliah di Fakultas Hukum, Jakarta (1937-1942).
Pada masa Hindia Belanda, Chaerul menjabat Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (1940-1942). Jepang masuk Indonesia, Chaerul menjadi anggota panitia Seinendan dan anggota Angkatan Muda Indonesia. Chaerul Kemudian menjadi anti-Jepang dan ikut membentuk Barisan Banteng serta menjadi anggota Pusat Tenaga Rakyat (Putera) pimpinan Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan Kyai Haji Mas Mansyur.

Pertengahan tahun 1945 Chaerul mengajak teman-temannya menentang kaum tua yang masih percaya kepada sikap Jepang yang membantu persiapan kemerdekaan Indonesia. Chaerul menolak ikut keanggotaan Badan Persiapan Usaha Pencarian Kemerdekaan Indonesia. Chaerul menjadi salah satu dalang “penculikan” Bung Karno-Bung Hatta sehari menjelang proklamasi kemerdekaan. Caherul, Sukarni, Wikana, dan “geng” Menteng 31, menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok. Mereka menuntut agar kedua tokoh ini segera membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat Chaerul mempertahankan pendapat saat perumusan Naskah Proklamasi. Agar semua yang hadir bertanggung jawab dalam perumusan naskah proklamasi,  Bung Karno meminta semuanya menandatangani dan mencantumkan nama. Chaerul menentangnya. Chaerul berpendapat bahwa sebagian dari yang hadir adalah pegawai Jepang. Chaerul tetap mempertahankan pendapatnya dan tidak mau berkompromi. Naskah proklamasi, atas nama bangsa Indonesia, ditandatangani Soekarno-Hatta.
Chaerul menjadi pengikut Tan Malaka, dan masuk Partai Murba. Tan Malaka adalah tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta yang menulis “Indonesia Vrije” (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928) dan Bung Karno yang menulis “Menuju Indonesia Merdeka” (1933). Tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia banyak terinspirasi oleh Naar de Republiek Indonesia (ditulis Tan Malaka dari tanah pelarian). Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931, salah satu hal yang memberatkan hukumannya adalah Bung Karno ketahuan membawa buku  Naar de Republiek Indonesia. Dalam Indonesia Menggugat, Bung Karno banyak mengutip dari buku Naar de Republiek Indonesia.
Tan Malaka sering dibuang dan juga mengembara secara klandestin untuk menyebarkan semangat perlawanan kaum tertindas sampai ke mancangera. Untuk keperluan perjuangan pula, ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer, melebihi perjalanan yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin. Tan Malaka merupakan sosok yang pantang menyerah dan radikal memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Chaerul, Sukarni, dan banyak tokoh pemuda radikal di masa awal kemerdekaan  mengagumi pemikiran, militansi, keteguhan Tan Malaka dalam berjuang, yang rela menderita sedemikian parahnya, untuk membebaskan bangsanya dari cengkeraman penjajah. Bung Karno sendiri menyebut Tan Malaka sebagai seorang mahir dalam revolusi.
Setelah Proklamasi, Tan Malaka memobilisasi massa untuk menghadiri rapat raksasa di Lapangan Ikada (kawasan Monas) pada tanggal 19 September 1945. Rapat akbar ini penanda bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia didukung oleh banyak orang dan sebagai sosialisasi kemerdekaan. Hal tersebut dilakukan karena belum banyak tahu kalau Indonesia telah diproklamasikan kemerdekaannya oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Pada tahun 1946 Chaerul Saleh bergabung dalam kelompok Persatuan Perjuangan, yang dibentuk berdasar inisiatif Tan Malaka. Kelompok ini menuntut kemerdekaan 100% dan berdiri sebagai pihak oposisi pemerintah. Tanggal 17 Maret 1946, beberapa tokoh kelompok ini ditangkap termasuk Chaerul. Pada tanggal 6 Juli 1948, Tan Malaka mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner dan menunjuk Chaerul Saleh sebagai sekretaris pergerakan.Ketika Tan Malaka mendirikan Partai Murba (peleburan dari Gerakan Rakyat Revolusioner, Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata, Partai Buruh Merdeka, Angkatan Comunis Muda (Acoma), dan Wanita Rakyat), Chaerul ikut menjadi salah satu tokoh Murba (termasuk Iwa Kusumasumantri, Sukarni, Adam Malik, Sukarni, dan Prijono).
Setelah kematian Tan Malaka, Chaerul bersama Adam Malik dan Sukarni berhimpun di dalam Partai Murba. Chaerul termasuk yang tidak setuju dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Chaerul mengumpulkan serdadu sampai akhirnya terjadi “Peristiwa Banten Selatan”. Akibat peristiwa ini, Chaerul dipenjara dua tahun (1950-1952) karena dianggap melanggar hukum. Sekeluar penjara, Chaerul pergi ke Jerman dan menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Bonn. Selama di Jerman pula ia menghimpun para pelajar dan mahasiswa Indonesia mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Tahun 1950, Chaerul memimpin Laskar Rakyat di Jawa Barat untuk menentang hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Chaerul ditangkap Abdul Haris Nasution dan dibuang ke Jerman. Chaerul melanjutkan studinya ke Fakultas Hukum Universitas Bonn dan mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).
Pada Pemilu 1955, Partai Murba hanya memperoleh 2 kursi dari 257 kursi yang diperebutkan. Tapi, di masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno tetap memberikan tempat untuk Partai Murba. Desember 1956 sepulang dari Jerman, Chaerul ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi Wakil Ketua Umum Legiun Veteran RI. Satu tahun kemudian, ia masuk Kabinet Djuanda dan menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Veteran. Chaerul dikenal sebagai tokoh sosialis yang moncer. Karena kepandaiannya itu ia beberapa kali menjadi orang kepercayaan Presiden Soekarno, dan sebagai penyeimbang tokoh-tokoh PKI di kabinet. Pada tahun 1959, ia ditunjuk sebagai Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan pada Kabinet Kerja I. Di kabinet berikutnya, Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III Chaerul menjadi Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan. Pada tahun 1960 hingga 1966, ia juga menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. di antara para kader Partai Murba, bintang Chaerul Saleh yang paling terang. Semula ia diangkat menjadi Menteri Veteran, lalu Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan, sampai akhirnya, Wakil Perdana Menteri III (1963-1966) sekaligus Ketua MPRS (1960-1965). Bung Karno juga menjadikan Chaerul Saleh dan Prijono sebagai menteri, sementara Adam Malik dan Sukarni menjadi Duta Besar di Moskwa dan Beijing. Puncaknya, Tan Malaka diangkat menjadi pahlawan nasional pada tahun 1963.
Chaerul Saleh merupakan salah satu tokoh terdepan dalam memperjuangkan prinsip negara kepulauan bagi Republik Indonesia. Chaerul yang mencetuskan konsepsi Wawasan Nusantara, yakni batas teritorial secara sepihak ditentukan 12 mil laut dan langsung diberlakukan pemerintah Indonesia pada 13 Desember 1957. Dengan Wawasan Nusantara, semua laut yang ada di antara pulau-pulau menjadi wilayah teritorial. Pemikiran Chaerul ini baru bisa disahkan sebagai Konvensi Internasional tentang Hukum Laut pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika.
Dalam salah satu tulisannya,  Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, mencatat: “Perjuangan tersebut memakan waktu 25 tahun. Saya beruntung mendapat dorongan dari Uda Chaerul Saleh. Dari tidak ada sampai tercipta dan diterimanya konsepsi Wawasan Nusantara, sekaligus diterimanya konsepsi baru kita ini.”
Tanggal 3 April 1961, Chaerul berkeliling Sumatera Barat dan berpidato. Chaerul menentang para pemimpin Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia seperti Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, yang dianggap menyetujui hasil KMB.
Tahun 1963 kariernya menanjak dan ia dipercaya sebagai Wakil Perdana Menteri III. Pada bulan April 1964, Chaerul terlibat dalam intrik kekuasaan. Chaerul ditengarai untuk menduduki posisi Wakil Perdana Menteri I yang saat itu dijabat oleh Soebandrio. Perhitungannya adalah jika Soekarno lengser maka ia yang akan naik menjadi Perdana Menteri. Untuk menyingkirkan Soebandrio dari kedudukannya sebagai Menteri Luar Negeri, ia juga akan menyodorkan Adam Malik. Selain berusaha menggeser Soebandrio, ia juga membendung Hatta yang sewaktu-waktu bisa saja naik menjadi Wakil Perdana Menteri I. Untuk itu ia menginstruksikan Selo Soemardjan untuk membentuk organisasi intelijen yang mengkonsolidasi kedudukannya. Pada masa itu selain orang-orang Murba, Angkatan Darat dan PKI juga memposisikan dirinya sebagai pengganti Soekarno.
Chaerul Saleh tokoh yang anti-PKI. Chaerul melawan berbagai gerakan dan agitasi PKI. Untuk menjatuhkan wibawa PKI di mata Soekarno, pada sidang kabinet di akhir tahun 1964 Chaerul mengeluarkan sebuah dokumen yang menyatakan PKI akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Dokumen yang berjudul "Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini" itu, menyatakan bahwa revolusi Agustus 1945 telah gagal. Dan PKI harus mengambil tindakan untuk merebut pimpinan revolusi. Pembahasan dokumen itu terus berlanjut ke pertemuan partai politik di Bogor tanggal 12 Desember 1964. Disitu pimpinan PKI DN Aidit menuduh Chaerul telah membuat berita bohong dan sebagai antek-Nekolim. Dari pertemuan itu kemudian terbit Deklarasi Bogor yang meminta partai-partai politik untuk tetap setia kepada pimpinan besar revolusi, Soekarno. Dalam Gerakan 30 September, semula nama Chaerul termasuk salah seorang tokoh yang akan diculik. Namun Aidit mencoret namanya karena pada tanggal 30 September Chaerul sedang berada di Peking, China.
Ketika rezim Orde Baru melakukan “pembersihan” pasca Peristiwa Gestapu, Chaerul ikut ditangkap. Bisa jadi dikarenakan Chaerul dianggap sebagai tokoh Soekarnois garis keras. Tanggal 18 Maret 1966, Chaerul Saleh ditahan oleh Soeharto tanpa melalui proses peradilan.Chaerul dipenjarakan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, hingga meninggal dunia di penjara, 8 Februari 1967, di usia 50 tahun. Sebagaimana banyak tahanan politik lainnya di masa itu, ia tak pernah diajukan ke meja hijau. Chaerul meninggal dengan status tahanan politik. Hingga sekarang tidak pernah ada penjelasan resmi dari pemerintah mengenai alasan penahanannya.


Tidak ada komentar: