Sabtu, 11 Agustus 2018

Sejarah Pupuk kaltim


Sejarah Pupuk kaltim
Pupuk Kaltim bermula dari proyek pupuk lepas pantai di atas dua kapal milik Pertamina yang kemudian sesuai Keppres No. 43/1975 proyek tersebut dialihkan ke darat. Kemudian melalui Keppres No. 39/1976, Pertamina menyerahkan pengelolaannya kepada Departemen Perindustrian.
Pada tanggal 7 Desember 1977, Pupuk Kaltim resmi berdiri. Proses pembangunan pabrik dilaksanakan pada tahun 1979. Untuk mendukung proses produksi, pabrik juga telah dilengkapi berbagai fasilitas. Bahan baku utama pabrik yang berlokasi di Bontang ini adalah gas alam yang disalurkan melalui pipa sepanjang 60 kilometer yang terentang antara Bontang dan Muara Badak.
Selain memproduksi 2,98 juta ton Urea dan 1,85 juta ton Amoniak per tahun, Pupuk Kaltim juga menghasilkan produk lain, seperti pupuk NPK Pelangi dan Zeorganik. Pupuk Kaltim juga terus berupaya mengembangkan segmen pasar perusahaan yang meliputi sektor industri, perkebunan, pemenuhan kebutuhan pupuk untuk sektor tanaman pangan domestik dan ekspor.
Sebagai sebuah perusahaan industri strategis yang menjadi tumpuan Program Ketahanan Pangan Nasional, Pupuk Kaltim selalu berusaha mengembangkan setiap peluang agar mampu menjaga keberlangsungan perusahaan. Didukung empat unit pabrik Amoniak dan lima unit pabrik Urea yang terletak di area seluas kurang lebih 493 hektar, Pupuk Kaltim bertekad untuk mewujudkan sebuah kawasan industri yang maju dan berwawasan lingkungan.
Saat ini, PT Pupuk Kalimantan Timur, Tbk memiliki 5 pabrik yaitu Kaltim-1, Kaltim-2, Kaltim-3, Kaltim-4, dan Popka. Pada tahun 1979 pembangunan pabrik Kaltim-1 mulai dilaksanakan dan masa operasi komersial dimulai padatahun 1987. Pabrik Kaltim-2 mulai dibangunpada awal tahun 1982 dan diselesaikan 3 bulanlebih cepat dari jadwal yang ditetapkan. PabrikKaltim-1 dan pabrik Kaltim-2 diresmikan olehPresiden Soeharto pada tanggal 28 Oktober1984. Sedangkan pabrik Kaltim-3 dibanguntahun 1986 dan diresmikan pada tanggal 4 April 1989. Selain itu dibangun pula unit pembuatan urea formaldehyde (UFC-85) dengan
kapasitas 13.000 ton per tahun yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pupuk urea yang dihasilkan.
Pada tanggal 20 November 1996 dibangun pabrik urea unit IV (POPKA) yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah bagi amoniak sisa (Ammonia excess) dan gas CO2 yang terbuang ke atmosfir guna menghasilkan produk urea granul. Proyek dengan kapasitas produksi 570.000 ton per tahun ini dimulai pada tanggal 20 November 1996 dan selesai pada tanggal 12 April 1999. Nilai investasi proyek tersebut sebesar USD 44 juta dan Rp 139 milyar.
Sedangkan Kaltim-4 mulai dibangun padatahun 1999 dengan kapasitas 570.000 ton urea granul dan 330.000 ton amoniak pertahun. Pembangunan pabrik urea selesai pada pertengahan tahun 2002 sedangkan pabrik amoniak selesai awal tahun 2003.

Pemegang Saham Shareholders
Sesuai dengan Rapat Umum Pemegang Saham
Komposisi Pemegang Saham (RUPS)
• PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) 99,99%
• YKHT Karyawan PT Pupuk Kaltim Tbk 0,01%

Misi Pupuk Kaltim
  1. Menyediakan kebutuhan pupuk, khususnya untuk Dalam negeri dalam rangka menunjang Program Ketahanan Pangan Nasional
  2. Memberikan keuntungan dan manfaat bagi Pemegang saham dan Stakeholders lainnya
  3. Peduli pada masyarakat lingkungan (Community Development)

Visi pupuk kaltim :
Menjadi Perusahaan kelas dunia di bidang industry pupuk dan kimia

Motto pupuk kaltim
Kami hadir dalam semangat pionir
kami kuat ditempa oleh tantangan
Kami maju dengan karya bermutu




Sektoral And Industry Environment
PT. Pupuk Kalimantan Timur Tbk. merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didirikan pada tanggal 7 Desember 1977 dengan tujuan utama untuk melaksanakan serta mendukung kebijakan Pemerintah dalam pengembangan industri dan ekonomi nasional, khususnya sektor industri pupuk dan industri kimia. Pada awalnya PT. Pupuk Kalimantan Timur di beri tugas untuk meneruskan pembangunan pabrik Amoniak dan Urea yang semula akan dibangun oleh Pertamina dengan konsep semula berada diatas dua kapal terapung yang digandengkan jadi satu dengan offsite facilities.
Setelah meninjau dan menilai kembali studi pembangunan pabrik terapung ini akan mengalami kendala operasional maka diputuskan bahwa pembanguan proyek ini dilanjutkan sebagai pabrik di darat yang kemudian disebut sebagai pabrik Kaltim-1. Pabrik PT Pupuk Kaltim Tbk. berlokasi di wilayah kota Bontang ± 122 Km sebelah utara Samarinda ibu kota Propinsi Kalimantan Timur, terletak pada 0-10’-46.9 Lintang Utara dan 117-29’-30.6 Bujur Timur. Menempati areal seluas 493 Ha.
Industri ini mengoperasikan 3 unit pabrik amoniak dan 4 unit pabrik urea dengan total kapasitas produksi per tahun 1.320.000 ton amoniak dan 2.410.000 ton urea, dan sejak tahun 2003 yang lalu PT. Pupuk Kaltim mengoperasikan lagi satu unit pabrik amoniak dan urea atau pabrik Kaltim-4 sehingga kapasitas total menjadi 1.650.000 ton amoniak dan 3 juta ton urea setahunnya. Pendirian perusahaan ini dituangkan dalam Akte Notaris Yanuar Hamid SH, Nomor 15 tanggal 7 Desember 1977 dengan pengesahan Menteri Kehakiman No. Y.A.S/5/11 tanggal 16 Januari 1979.
PT. Pupuk kaltim Tbk. Dalam upaya mengendalikan mutu produksi dan pengelolaan Keselamatan & Kesehatan Kerja serta Lingkungan telah berhasil mempertahankan sertifikat ISO 9002 (untuk mutu), bendera emas SMK3 (untuk K3), dan sertifikat ISO 14001 (untuk lingkungan) selama 6 tahun.
Dalam pabrik Kaltim-1 ini yang dibangun adalah pabrik amoniak dengan kapasitas produksi 1.500 ton sehari. Sebanyak 1000 ton dipergunakan untuk bahan baku pabrik urea. Sedang pabrik ureanya sendiri mempunyai kapasitas produksi 1.700 ton per hari. Pabrik urea dibangun dengan proses Stamicarbon dan amoniak dengan proses Lurgi. Mulai tahun 1995 pabrik Kaltim-1 ditingkatkan kapasitasnya menjadi 1.800 ton per hari untuk pabrik amoniak dan 2.250 ton urea per hari termasuk 500 ton urea melt per hari untuk pabrik melamin.
Bahan baku yang dipakai adalah gas bumi dan udara serta uap air yang dibangkitkan dari air laut. Gas bumi ini diperoleh dari ladang-ladang pengeboran di Attaka dan Handil dengan melewati kompresor di Tanjung Santan dan melalui pipa di bawah tanah sepanjang 56 km gas dilalirkan ke PT. Pupuk Kaltim. Guna memenuhi kebutuhan penyediaan pupuk Nasional maka pada tahun 1982 telah mulai dibangun pabrik Kaltim-2. Pabrik ini dirancang dengan kapasitas terpasang 1.500 ton amoniak per hari dan 1.725 ton pupuk urea per hari. Proses yang digunakan adalah proses Kellogsemi low enegy process” untuk pabrik amoniaknya, dan menggunakan proses Stamicarbonstripping process” untuk pabrik ureanya. Kemudian dalam rangka pengembangan perusahaan didukung oleh tersedianya bahan baku gas bumi
yang cukup melimpah di Kalimantan Timur maka pada tahun 1985 dibangun pabrik Kaltim-3 dengan kapasitas terpasang 1.000 ton amoniak perhari dan 1.725 ton urea per hari dengan proses Topsoe untuk pabrik amoniak dan proses Stamicarbon juga untuk pabrik ureanya. Pabrik Pupuk urea ini pada kegiatan prosesnya dalam keadaan beroperasi normal mengeluarkan air limbah masih dibawah baku mutu air limbah (BMAL) menurut SK. Gubernur Kaltim No. 26 tahun 2002 dengan batasan Beban NH3-N maksimum 0,75 kg NH3-N/ton produk. Oleh karena didalam proses pembuatan amoniak/urea dikenal sistim In Plant Treatment maka beban NH3-N didalam air limbah masih dapat di minimalkan agar memenuhi Baku Mutu Air Limbah (BMAL). Dalam keadaan abnormal, air limbah tersebut diamankan dulu kedalam kolam stabilisasi sebelum dibuang ke lingkungan. Yang dimaksud keadaan abnormal disini adalah terjadinya keadaan darurat, proses shut down serta pada saat ada program pemeriksaan tanki amoniak sehingga perlu pengosongan tanki atau pada saat initial start-up. 
Karena pabrik Kaltim-1, Kaltim-2 dan Kaltim-3 sudah beroperasi lebih dari 15 tahun ditambah adanya 3 pabrik amoniak, 2 pabrik urea dan 1 pabrik melamin maka kandungan NH4+ didalam air laut sekitar Pupuk Kaltim  secara kumulatif diperkirakan bertambah.  Oleh karena itu manajemen PT. Pupuk Kaltim berpikir untuk melakukan daur ulang semua air limbah semaksimal mungkin. Hal ini tertuang dalam Program Kerja Perusahaan untuk tahun 2003/2004 yaitu melalui Program Perbaikkan Mutu Lingkungan Laut Ambien (P2ML2A), dengan melakukan upaya mereduksi sumber pencemar yang mengandung amoniak. Usaha-usaha tersebut adalah : melakukan pemantauan secara intensif terhadap semua sumber air limbah dari peralatan, mengevaluasi dan memberikan rekomendasi untuk menyiapkan upaya segregasi, stripping, biotechnology, purifikasi yang dilanjutkan dengan daur ulang, sehingga secara bertahap pabrik Kaltim-1, Kaltim-2 dan Kaltim-3 dapat mengikuti Program Peringkat Nasional.
Program Peringkat adalah penilaian kinerja pabrik terhadap buangan limbahnya dan sekaligus penilaian terhadap bantuan kemasyarakatannya. Dalam kasus ini utamanya adalah program penilaian terhadap kinerja air limbah. Dalam penelitian ini ruang lingkupnya hanya untuk pabrik Kaltim-1, Kaltim-2 dan
Kaltim-3 saja sebab ketiga pabrik tersebut yang memberikan andil pembuangan limbah cair yang mengandung amoniak dengan beban yang paling besar dan belum dilakukan segregasi terhadap air limbah yang mengandung parameter non amoniak.
Permasalahan yang sebenarnya adalah bahwa belum pernah dilakukan penelitian mengenai sampai seberapa jauh hubungan beban air limbah terhadap perencanaan yang perlu dilakukan oleh Managemen PT. Pupuk Kaltim, demikian juga tentang kinerja air limbah rata-rata setiap tahunnya, sehingga dapat di programkan pengelolaan terpadu antara ketiga pabrik untuk air limbah yang mengandung amoniak secara efisien, dalam pengertian menghasilkan benefit bagi perusahaan.
Perlu kebijakan yang terpadu untuk memperkuat struktur industri pupuk dalam negeri.Industri pupuk harus diperkuat di hulu, di sini kita juga bicara tentang energi yakni minyak dan gas sebagai bahan baku utama yang otomatis terkait erat dengan kebijakan energi nasional.
Apalagi industri pupuk merupakan industri padat modal berteknologi tinggi dan penuh dengan risiko khususnya di sektor hulu. harus ada perlakuan khusus yang memungkinkan sektor hulu industri tersebut tumbuh secara berkelanjutan. Harus ada kebijakan industri secara nasional yang siap menjamin dalam jangka panjang.
Selama ini kebijakan industri pupuk melibatkan banyak instansi baik dari sisi tata niaga maupun industrinya. Sejumlah instansi yang terlibat dalam kebijakan industri pupuk di antaranya Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian ESDM, BP Migas, Kementerian Keuangan, Kementerian Negara BUMN, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan para produsen pupuk.
Instansi-instansi tersebut dinilai harus bersinergi untuk menghasilkan kebijakan industri pupuk yang terpadu. Saat ini pabrik pupuk menghadapi berbagai persoalan di antaranya cadangan gas bumi makin berkurang, sedangkan kontrak LNG tetap dipertahankan, sehingga pabrik tidak dapat beroperasi optimal.
Harga gas bumi ditetapkan dalam dolar AS sementara penjualan pupuk yang dilakukan penyebaran di dalam negeri ditetapkan dengan dalam Rupiah, sebagian besar pabrik pupuk menggunakan teknologi yang sudah lama sehingga konsumsi pemakaian bahan baku menjadi tinggi, sebagian besar pabrik sudah berusia rata-rata di atas 20 tahun.
Kemampuan pemupukan dana internal terbatas, sehingga tidak memiliki dana cukup untuk pemeliharaan maupun penggantian pabrik dan bahan baku pupuk non urea (Superphos, ZA dan NPK/Phonska) masih dilakukan impor.
Penetapan jumlah pupuk bersubsidi masih tergantung pada alokasi anggaran subsidi dan ketersediaan pupuk untuk kebutuhan perkebunan (PBS-PBN) belum mencukupi (belum lagi persoalan data kebutuhan riil pupuk yang masih lemah).
Tata niaga pupuk mengalami kendala dalam hal pelaksanaan kebijakan ekspor, walaupun kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi dan stok melampaui ketentuan. Produsen diwajibkan menjamin stok pupuk bersubsidi, namun kebijakan kompensasi pembiayaan terhadap stok pupuk bersubsidi yang belum tersalurkan belum dibuat. Disparitas harga pupuk bersubsidi dan non subsidi (kebun, industri, maupun ekspor) dinilai dapat berakibat distribusi pupuk bersubsidi tidak tepat sasaran semakin memberatkan pihak produsen.
Produk utama Pupuk Kaltim adalah urea dan amoniak. Pupuk Kaltim pun memproduksi produk lain seperti NPK Pelangi dan Zeorganik. Merek dagang yang digunakan untuk pupuk Urea adalah Mandau dan Daun Buah. Produk ini dipasarkan ke berbagai sektor, yaitu sektor tanaman pangan untuk urea bersubsidi dan sektor nonsubsidi yang meliputi pasar perkebunan dan industri.
Untuk distribusi urea bersubsidi pelaksanaannya telah diatur oleh pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Data mengenai jumlah kebutuhan pupuk nasional diperbaharui secara berkala dan menjadi patokan dalam pelaksanaan tugas distribusi pupuk bersubsidi. Wilayah tanggung jawab Pupuk Kaltim meliputi dua per tiga wilayah Indonesia, antara lain 14 propinsi di kawasan timur Indonesia dan 28 kota/kabupaten di Jawa Timur.
Untuk pemasaran luar negeri, Pupuk Kaltim adalah salah satu pemain utama di Asia Pasifik. Pupuk Kaltim pun telah merambah pasar Amerika Utara dan Amerika Selatan. Berikut ini data selengkapnya:
Tabel Pemasaran Pupuk Kaltim (dalam Ton)

2006
2007
2008
Urea
Bersubsidi
1.610.089
1.850.813
1.819.344
Nonsubsidi
832.643
559.375
454.827,483
Ekspor
0
108.471
0
Amoniak
Dalam negeri
105.000
95.975
78.810
Ekspor
204.129
235.540
138.850
NPK Pelangi
Bersubsidi
0
737,85
1048
Nonsubsidi
11.570
17.443
35.890

Penjualan ke sektor perkebunan dan sektor industri adalah murni bisnis. Harga juga ditentukan oleh mekanisme pasar. Penjualan di sektor industri dan pertanian ini memberi kontribusi yang sangat signifikan bagi kinerja keuangan dari perolehan laba perusahaan karena marjin keuntungan yang diperoleh dari sektor ini cukup tinggi.
Produksi pupuk urea diproyeksikan akan mencapai 7,137 juta ton pada tahun 2011, atau naik enam persen dari angka tahun lalu yang sebanyak 6,6 juta ton. Kebutuhan pupuk urea pada 2011 diproyeksi sebanyak 5,1 juta ton, produksi pupuk NPK juga diproyeksikan akan mencapai 2,805 juta ton pada tahun 2011. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, realisasi penyerapan pupuk hingga November 2010 adalah 5,9 juta ton. Di mana penyerapan pupuk di sektor pertanian sebesar 4,5 juta ton, industri sebesar 614.650 ton dan sektor perkebunan sebesar 750.700 ton. Salah satu produsen pupuk yang akan melakukan ekspansi adalah PT Pupuk Kalimantan Timur V (PKT V) di Bontang yang akan membangun pabrik pupuk baru senilai USD828,6 juta. Sementara itu, terkait program revitalisasi industri pupuk nasional, pemerintah akan mengganti tujuh pabrik pupuk yang sudah tua dan mengembangkan pupuk majemuk (NPK). Tujuh pabrik yang sudah tua itu adalah tiga unit milik Pusri, satu unit milik PT Petrokimia Gresik, satu unit milik PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), satu unit milik PT Pupuk Kujang dan satu pabrik milik PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). Namun, selama empat tahun ke depan, pemerintah hanya  fokus pada restrukturisasi tiga pabrik pupuk, yakni milik pabrik pupuk Kujang, pabrik PKT dan pabrik Pusri. Pembangunan pabrik pupuk tersebut masih terhambat oleh suplai gas. Pabrik pupuk urea butuh gas. Sementara gas sekarang ini terbatas, Kaltim V sudah ada kontrak dengan East Kal sebanyak 85 mmscfd (standar metrik kaki kubik per hari) tapi hanya untuk lima tahun. Kebutuhan pasokan gas bumi untuk sektor pupuk di dalam negeri saat ini berkisar 800–850 mmscfd dan diproyeksikan akan terus meningkat.
 Kelangkaan pupuk saat ini merupakan hal yang biasa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kelangkaan pupuk ini disebabkan karena adanya kerusakan di salah satu unit urea PT. Petrokimia Gresik (Petro) dan di saat bersamaan, kedua daerah tersebut sedang menghadapi masa tanam yang tentu membutuhkan pupuk dalam jumlah besar. Pemerintah telah meminta kepada produsen pupuk lainnya seperti PT. Kalimantan Timur (PKT) untuk memasok pupuk di kedua daerah tersebut.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh pabrik pupuk sekarang adalah ketersediaan gas
sebagai bahan baku pupuk urea. Gas merupakan unsur terbesar dari stuktur biaya produksi
urea yaitu sekitar 50%-60%. Ketersediaan gas dengan harga yang terjangkau merupakan hal yang mutlak bagi kelangsungan hidup pabrik pupuk.  Isu gas merupakan isu vital bagi industri pupuk nasional, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Akibat ketidaktersediaan gas ini, sejumlah pabrik pupuk kini sudah tidak beroperasi lagi. PT. Asean Aceh Fertilizer (AAF), misalnya, sejak tahun 2000 tidak beroperasi karena tidak ada pasokan gas yang akhirnya dilikuidasi. PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM) juga sudah setahun ini tidak beroperasi karena hal yang sama. PIM diperkirakan baru bisa beroperasi lagi pada 15 April ini setelah ada kebijakan swap gas dari PKT. Diperkirakan kemampuan suplainya turun 5 mmscfd per bulan. Karena harga gas untuk PKT berlaku sistem formula, dengan harga minyak sekitar $55/barrel dan harga jual ekspor urea dan amoniak yang tinggi, maka harga gas yang harus dibayar PKT kini sekitar $3/mmbtu. Harga yang cukup tinggi untuk sebuah pabrik pupuk.
Bisa saja industri pupuk membeli harga gas sesuai dengan harga di pasar. Namun, hal ini menjadi tidak bisa diwujudkan karena harga jual pupuk telah ditetapkan pemerintah melalui harga eceran tertinggi (HET). HET Pupuk diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian (Mentan) No.107/Kepts/SR.130/2/2004 yaitu sebesar Rp1.050/kg urea (atau sekitar $100/ton). Padahal, kini harga gas dan biaya lainnya terus meningkat seiring dengan perkembangan kenaikan harga BBM dan inflasi.
Industri pupuk yang hanya sanggup membeli gas sekitar $2,0 per mmbtu, kalah bersaing dibandingkan dengan harga yang ditawarkan PLN, PGN, dan untuk LNG yang bisa membayar lebih dari $2 per mmbtu. Tingginya harga gas dan biaya produksi lainnya serta transportasi, sementara HET tidak berubah, telah menyebabkan produsen pupuk sebagai perusahaan yang dituntut untuk memperoleh laba mengalami opportunity loss cukup besar.
Harga pupuk di luar negeri bisa mencapai US$250/ton. Disparitas harga yang begitu tinggi antara harga jual domestik dengan harga ekspor, disamping menimbulkan opportunity loss bagi produsen pupuk juga telah merangsang penyelundupan ke luar negeri.
Untuk mengurangi kerugian yang dialami produsen pupuk, pemerintah memberikan subsidi dengan pola subsidi harga gas. Perhitungan subsidi gas diatur dalam SK Menteri Keuangan No. 356/KMK.06/2003. Menurut SK No.356/2003 ini, besaran subsidi untuk urea
dihitung berdasarkan harga gas, dengan rumus: harga gas sesuai kontrak US$/mmbtu  dikurangi harga gas yang menjadi beban produsen pupuk US$/mmbtu) dikalikan volume pemanfaatan gas. Produsen pupuk tetap membayar gas dengan harga sesuai kontrak, sedangkan selisihnya dibiayai APBN.
Mekanisme subsidi harga gas ini memiliki kelemahan mendasar yaitu mengabaikan aspek biaya lainnya di luar biaya gas. Padahal, biaya gas hanya salah satu komponen biaya yang dikeluarkan oleh produsen pupuk agar pupuk tersebut sampai ke petani. Selain gas, masih terdapat biaya transportasi dan biaya operasi lainnya (seperti transprotasi dan BBM) yang terus bergerak naik, sementara harga jual produknya tidak beranjak naik.

 Pola Subsidi Pupuk Berlaku Saat Ini
1.      Subsidi Pupuk hanya untuk Petani, harga urea Rp1.050/kg (HET). Harga urea untuk ekspor dan industri sesuai harga pasar dan tidak disubsidi.
2.      Harga gas didasarkan hasil kesepakatan dengan KPS (Kontrak). Pembayaran gas oleh produsen pupuk ke KPS sama dengan harga kontrak (full payment). Selisihnya antara harga kontrak dan harga menurut kemampuan atau beban produsen pupuk disubsidi APBN.  
3.      Skema pembayaran subsidi, BUMN Pupuk menerima pengembalian subsidi dengan cara:
        Jumlah urea yang dijual ke petani dihitung (=A, ton); dihitung jumlah gas    untuk menghasilkan A ton pupuk ke petani tersebut (=B, mmbtu);
        Pemerintah mengembalikan selisih harga gas, jumlah gas untuk memproduksi urea yang dijual ke petani (=B) dihargai sebesar US$1/mmbtu;
        Jika harga gas US$2.4/mmbtu, Pemerintah mengembalikan = (2.4-1) US$/mmbtu x B  mmbtu;
        Turunnya dana subsidi selisih harga gas tersebut ke produsen pupuk rata-rata setahun;
        Pembayaran dari Kementerian Keuangan ke produsen pupuk dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama  dibayarkan 90% segera setelah klaim, sisanya 10% dibayar setelah adanya audit BPK tahun berjalan (1 tahun).
(Sumber: diolah dari berbagai sumber)

Permasalahan perpupukan lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah tata niaga. Tata niaga pupuk selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Regulatornya pun berasal
dari berbagai instansi, yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian. Kementerian Pertanian menetapkan besarnya kebutuhan pupuk bersubsidi untuk setiap daerah setiap tahunnya serta menentukan HET pupuk. Mentan telah mengeluarkan Peraturan Mentan Pertanian (Permentan) No. 505/Kpts/sr.130/12/2005 tentang Kebutuhan dan HET Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2006 yang kemudian direvisi dengan Permentan No. 04/permentan/sr.130/2/2006 tanggal 20 Februari 2006.
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian mengatur tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian atau yang kemudian dikenal dengan rayonisasi pemasaran pupuk bersubsidi. Rayonisasi ini sudah berkali-kali dirubah yaitu dimulai dari SK Menperindag No. 70/MPP/Kep/2/2003 yang direvisi dengan 306/MPP/Kep/4/2003 dan diubah lagi dengan SK Menperindag No.
356/MPP/Kep/5/2004. Terakhir, pengaturan perdagangan pupuk berada di Kementerian
Perdagangan dan diatur dengan Peraturan Menteri Perdagangan No. 03/M-Dag/Per/2/2006 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi. Namun, intinya tidak berubah yaitu masalah wilayah pemasaran pupuk bersubsidi ditentukan oleh pemerintah.
Berbagai regulasi ini diarahkan untuk menjaga kepastian, baik atas harga, kebutuhan, serta wilayah pemasaran pupuk bersubsidi. Dengan adanya regulasi ini diharapkan bisa memberikan jaminan baik kepada petani (berupa harga serta pasokan) maupun produsen pupuk (berupa kepastian wilayah pemasaran yang menjadi tanggung jawabnya). 
Karena kurang koordinasi antar instansi, justru regulasi-regulasi ini menghambat proses distribusi pupuk secara baik, terutama jika terjadi  kelangkaan pupuk seperti saat ini.
Pertama, Kementerian Perdagangan melalui Permentan No. 505/Kpts/SR.130/12/2005 telah menetapkan jumlah kebutuhan pupuk untuk setiap wilayah (Propinsi). Tentunya, Kementerian Pertanian memiliki dasar perhitungan sehingga bisa menetapkan jumlah kebutuhan pupuk untuk setiap daerah setiap tahunnya. Permentan 505/2005 menyebutkan, kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2006 untuk urea sebanyak 4,3 juta ton. Tetapi, permintaan riil diatas dari yang telah ditentukan Kementerian Pertanian.
Praktis ada gap antara permintaan dengan keputusan Kementerian Pertanian. Menurut Kementerian Pertanian, ketimpangan itu terjadi karena penggunaan pupuk oleh petani melebihi dosis anjuran dari Kementerian Pertanian.
Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan, jika permintaan yang melebihi alokasi kuota seperti yang ditetapkan dalam Permentan No. 505/2005 tersebut dipenuhi, produsen pupuk bisa dianggap menyelewengkan pupuk yang tentunya bisa ada konsekuensi hukum tersendiri.
Kalaupun Perpres 77/2005 ini dapat dikesampingkan, produsen pupuk, tidak bisa begitu saja diminta menutupi kekurangan ini. Ini mengingat, sebagai perusahaan yang harus laba, sementara menjual pupuk bersubsidi sesungguhnya merugikan (HET terlalu kecil dan pola subsidi tidak menguntungkan). Di samping itu, karena besarnya subsidi dihitung berdasarkan pada jumlah kebutuhan pupuk yang telah ditentukan Kementerian Pertanian, atas kelebihan tersebut, produsen pupuk terkait tidak mendapatkan subsidi. Nah, kalau disuruh memasok pupuk dengan harga HET, lalu siapa yang menanggung kerugian. Produsen pupuk, bisa saja memasok pupuk dengan HET yang ditentukan. Namun, diperlukan ”kerelaan” dari pemilik (Kementerian BUMN) bahwa target laba yang ditentukan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) akan tidak tercapai.
Kedua, kalau mencermati Permendag 03/2006, sesungguhnya dapat ditemukan banyak kelemahan. Kelemahan pertama, pembagian rayonisasi bagi setiap produsen pupuk yang ditentukan Permendag 03/2006 terlihat ”jomplang” dan terkesan tidak adil. Sebagai contoh, ada pabrik pupuk yang memiliki kapasitas produksi terbatas, tetapi diminta memasok pupuk di dalam negeri dalam jumlah yang sangat besar. Di sisi lain, ada pabrik pupuk yang memiliki kapasitas produksi sangat besar, namun kewajiban domestiknya sangat kecil.
Situasi ini, jelas merugikan produsen pupuk tertentu. Sebab, bila produsen pupuk dengan kapasitas terbatas diminta komitmen memasok pupuk domestik dalam jumlah yang sangat besar, itu artinya pemerintah tidak memberikan peluang kepada perusahaan tersebut untuk melakukan ekspor. Padahal, ekspor pupuk sangat dibutuhkan untuk mendapatkan keuntungan yang dapat digunakan untuk mengkompensasi atas kerugian yang ditimbulkan akibat memasok pupuk di dalam negeri dengan harga HET.
Kelemahan kedua, Permendag 03/2006 ini juga kurang memperhatikan alokasi subsidi yang telah ditentukan UU APBN 2006 dan juga mengabaikan RAKP perusahaan. Ini terlihat, dalam konsideran Permedag 03/2006, ternyata tidak merujuk pada UU APBN. Padahal, UU APBN 2006 telah menentukan mengenai besarnya subsidi setiap produsen pupuk. Dengan sistem rayonisasi yang ditentukan Permendag 03/2006, sangat mungkin terjadi alokasi subsidi pupuk untuk setiap produsen pupuk dalam APBN 2006 akan dilanggar.
Kelemahan ketiga, dalam kondisi bila terjadi kelangkaan, sesungguhnya produsen lain dapat memasok pupuk ke wilayah yang mengalami kekurangan pasokan tersebut. Namun,
Permendag 03/2006 menyebutkan, realokasi pasokan ditetapkan oleh Dirjen Perdagangan
Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan setelah mendapatkan rekomendasi dari Direktur Jenderal Industri Agro dan Kimia, Kementerian Perindustrian.

Rekomendasi
Mengingat permasalahan yang dihadapi industri pupuk begitu kompleks. Terdapat beberapa solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah perpupukan tersebut.
Pertama, terkait dengan masalah gas, langkah yang diperlukan adalah adanya kebijakan energi yang berpihak kepada industri dalam negeri, terutama industri pupuk. Kebijakan pemerintah yang kini melakukan reorientasi penggunaan energi seperti tertuang dalam Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dirasa sudah tepat. Dalam Perpres itu, Presiden RI telah memerintahkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menetapkan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional yang harus memuat (a) adanya jaminan keamanan pasokan energi dalam negeri; (b) kewajiban pelayanan publik (public service obligation); (c) pengelolaan sumber daya energi dan pemanfaatannya. Tentunya, kebijakan ini harus dijabarkan hingga detail, termasuk menyangkut potensi gas yang ada serta indentifikasi kebutuhan industri dalam negeri (termasuk pupuk) akan pasokan gas. Agar dalam setiap kerja sama eksplorasi gas, misalnya KPS atas Blok Cepu dan KPS Blok A di NAD perlu ada klausul agar prioritas pemanfaatan gas diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk industri pupuk.
UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi harus direvisi, terutama yang menyangkut kewajiban pemenuhan hasil produksi migas maksimal 25% untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Pasal 22). Kemudian, kita juga memerlukan UU Energi yang membedakan harga gas untuk feed stock dan untuk keperluan energi.
Kedua, pola subsidi harga gas perlu dilihat lagi efektivitasnya. Ini mengingat, subsidi harga gas tidak bisa mencerminkan biaya produksi serta biaya-operasional lainnya. Perlu dipertimbangkan untuk mengganti pola subsidi harga gas dengan subsidi harga produk. Dengan pola ini, subsidi memang betul-betul mencerminkan biaya yang dikeluarkan untuk mengirim pupuk sampai ke petani. Namun sebelumnya, audit atas struktur biaya produksi dan operasional produsen pupuk harus dilakukan. Ini mengingat, dalam beberapa kasus dapat dijumpai adanya biaya-biaya yang tidak relevan dengan operasional produsen pupuk dan jumlahnya cukup besar, tetapi dimasukkan dalam biaya operasional perusahaan.
Ketiga, terkait dengan tata niaga, koordinasi antarinstansi menjadi sangat penting. Sesungguhnya, kalau fungsi holding BUMN pupuk berjalan baik, regulasi yang rumit di atas tidak diperlukan lagi. Kebijakan pengaturan pemasaran pupuk, semestinya cukup ditangani holding, tanpa harus diatur Deperindag. Pemerintah cukup mewajibkan kepada holding agar kebutuhan dalam negeri jangan sampai tidak tercukupi. Dengan diserahkannya ke holding, integrasi antara kebutuhan korporasi serta kewajiban pemasaran domestik (PSO oriented) dapat diatur secara fleksibel, sehingga fairness diantara produsen pupuk dapat dijaga.
Dengan melihat fungsi holding saat ini yang tidak berjalan, ide pembentukan holding baru yaitu PT. Pupuk Indonesia yang digulirkan Kementerian BUMN mutlak diperlukan. Dengan dibentuknya holding baru ini, kebijakan pemasaran dapat dipusatkan di tingkat holding sehingga pemasaran lebih terfokus dan terarah.
Keempat, di atas disebutkan bahwa terjadinya kelebihan permintaan pupuk oleh petani dari jumlah kebutuhan yang ditentukan Deptan disebabkan karena petani tidak mengindahkan anjuran Deptan mengenai dosis penggunaan pupuk. Faknya ini memperlihatkan bahwa persepsi petani bahwa semakin banyak urea disebar akan bisa meningkatkan produktivitas adalah keliru. Padahal, urea itu hanya untuk batang dan daun, yang berarti masih dibutuhkan TSP/SP-36 untuk akar dan KCL untuk bunga dan buah. Melihat kondisi ini, pengembangan pupuk majemuk (NPK) mutlak diperlukan. Data menunjukkan, negara yang petaninya menggunakan NPK, produktivitasnya jauh melebihi petani Indonesia.
Untuk dapat menjalankan semua ini, jelas dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari berbagai pihak. Penulis melihat, kinilah saat yang tepat untuk menata kembali kebijakan perpupukan nasional dalam rangka mendukung ketahanan pangan. Terlebih lagi, Presiden RI saat ini terlihat memiliki komitmen kuat untuk menata kembali kebijakan di sektor pangan dan energi. Ini merupakan momentum yang baik bagi kita untuk fokus membenahi hal-hal yang selama ini keliru yang menimpa industri pupuk nasional.
Sumber
Maju dengan Berwawasan Lingkungan

Faisal Basri: Kebijakan Industri Pupuk Perlu Terpadu
 (*)http://www.pupukkaltim.com/ina/news/index.php?act=news_detail&p_id=981





Pemain Utama di Asia Pasifik
Tabel Pemasaran Pupuk Kaltim (dalam Ton)



Produksi Pupuk Urea Naik 6%
Senin, 3 Januari 2011 09:22 wib

Membedah Masalah Perpupukan Nasional∗∗∗∗

Oleh Sunarsip∗∗



Tidak ada komentar: