Sabtu, 04 Agustus 2018

“PENGARUH AKUISISI PT. PHILIP MORRIS INDONESIA TERHADAP KINERJA KEUANGAN PT. HM. SAMPOERNA, Tbk.”


BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang

Pada masa sekarang ini dunia bisnis di Indonesia dipengaruhi oleh globalisasi dan persaingan bebas antar perusahaan yang ada dalam pasar. Adanya globalisasi dan persaingan bebas menuntut setiap perusahaan untuk selalu mengembangkan strateginya agar dapat bertahan hidup, berkembang dan berdaya saing tinggi. Strategi bersaing yang berusaha mengembangkan (membesarkan) perusahaan sesuai dengan ukuran besaran yang disepakati untuk mencapai tujuan jangka panjang perusahaan disebut strategi pertumbuhan. Strategi ini dapat dilaksanakan melalui pertumbuhan internal atau merger dan akuisisi (Swarsono, 2004).
Pertumbuhan internal dilakukan dengan cara memperluas kegiatan perusahaan yang sudah ada, misalnya dengan cara menambahkan kapasitas pabrik, menambah produk atau mencari pasar baru. Sementara merger dilakukan dengan menggabungkan dua atau lebih perusahaan dimana salah satu nama perusahaan yang bergabung tetap digunakan sedangkan yang lain dihilangkan dan akuisisi dilakukan dengan pembelian seluruh atau sebagian kepemilikan suatu perusahaan.
PT. HM. Sampoerna, Tbk. sebagai salah satu perusahaan rokok terkemuka di Indonesia telah melaksanakan berbagai strategi bisnis agar dapat bertahan hidup, berkembang, dan mempunyai daya saing tinggi dalam persaingan industri rokok di Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan menjual sebagian kepemilikan saham PT. HM. Sampoerna, Tbk kepada pihak lain. Proses penjualan saham inilah yang disebut dengan proses akuisisi. Dalam hal ini, PT. HM. Sampoerna, Tbk menjual sahamnya kepada PT. Philip Morris Indonesia (anak perusahaan Philip Morris Internasional) pada tanggal 18 Mei 2005. Dan pada tahun 2007, PT. Philip Morris Indonesia telah menguasai mayoritas kepemilikan saham pada PT. HM. Sampoerna, Tbk hingga mencapai 97%.
Manajemen PT. HM. Sampoerna, Tbk mempunyai harapan besar dengan dilakukannya proses akuisisi ini. Manajemen berharap proses akuisisi dapat meningkatkan kinerja perusahaan baik itu kinerja pemasaran, operasi perusahaan, dan keuangan karena didukung oleh sumber daya dan sumber dana yang besar dari Philip Morris Internasional. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh akuisisi terhadap kinerja perusahaan terutama kinerja keuangannya. Berdasarkan latar belakang diatas maka paper ini mengambil judul “PENGARUH AKUISISI PT. PHILIP MORRIS INDONESIA TERHADAP KINERJA KEUANGAN PT. HM. SAMPOERNA, Tbk.”


B.  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam paper ini adalah:
1.      Apakah terdapat perbedaan kinerja keuangan PT. HM. Sampoerna, Tbk antara sebelum dan sesudah akuisisi dilihat dari rasio likuiditas (liquidity ratio) ?
2.      Apakah terdapat perbedaan kinerja keuangan PT. HM. Sampoerna, Tbk antara sebelum dan sesudah akuisisi dilihat dari rasio manajemen asset (asset management ratio) ?
3.      Apakah terdapat perbedaan kinerja keuangan PT. HM. Sampoerna, Tbk antara sebelum dan sesudah akuisisi dilihat dari rasio manajemen utang (debt management ratio) ?
4.      Apakah terdapat perbedaan kinerja keuangan PT. HM. Sampoerna, Tbk antara sebelum dan sesudah akuisisi dilihat dari rasio profitabilitas (profitability ratio) ?

BAB II
LANDASAN TEORI


A.  Profil Perusahaan
Awal mula berdirinya PT. Hanjaya Mandala Sampoerna, Tbk. (PT. HM. Sampoerna)  dimulai pada tahun 1913 oleh Liem Seeng Tee, seorang imigran asal Cina. Ia mulai membuat dan menjual rokok kretek linting tangan dirumahnya di Surabaya, Indonesia. Perusahaan kecilnya tersebut merupakan salah satu perusahaan pertama yang memproduksi dan memasarkan rokok kretek dan rokok putih secara komersial.
Rokok kretek tumbuh populer dengan pesat. Pada awal 1930-an Liem Seeng Tee mengganti nama keluarga dan perusahaannya menjadi Sampoerna. Setelah usahanya berkembang cukup mapan, Liem Seeng Tee memindahkan tempat tinggal keluarga dan pabriknya ke sebuah kompleks gedung yang telah terbengkalai di Surabaya. Bangunan tersebut kemudian direnovasi, dan dikenal sebagai Taman Sampoerna yang masih memproduksi SKP PT. HM Sampoerna. Pada masa perang Dunia II dan penjajahan Jepang, Liem Seeng Tee ditahan dan usahanya ditutup oleh penjajah.
Setelah perang berakhir, ia dibebaskan dan memulai usahanya kembali. Namun pada tahun 1959, tiga tahun setelah Liem Seeng Tee wafat dan setelah perang kemerdekaan berakhir pada tahun 1950-an, perusahaan Liem Seeng Tee kembali terancam bangkrut. Pada tahun tersebut, Aga Sampoerna (putra kedua Liem Seeng Tee) ditunjuk untuk menjalankan perusahaan keluarga Sampoerna dan berhasil membangaun kembali. Putra kedua Aga, yaitu Putra Sampoerna, mengambil alih kemudi PT. HM Sampoerna pada tahun 1978.
Di bawah kendalinya, PT. HM Sampoerna berkembang menjadi perseroan publik dengan struktur perseroan modern dan memulai investasi dan ekspansi. Dalam proses, PT HM Sampoerna memperkuat posisinya sebagai salah satu produsen rokok kretek terkemuka di Indonesia. PT. HM Sampoerna, Tbk merupakan produsen sejumlah merek rokok kretek ternama seperti Sampoerna Hijau, Sampoerna A Mild, dan “Raja Kretek” yang melegenda, yaitu Dji Sam Soe.
Pada tahun 2007, PT. HM Sampoerna, Tbk memiliki pangsa pasar sebesar 28% di pasar rokok Indonesia, berdasarkan Audit Ritel AC Nielsen. Dan PT. HM Sampoerna, Tbk saat ini memiliki lebih dari 30.000 karyawan di seluruh Indonesia.

B.  Pengertian Akuisisi
Akuisisi berasal dari kata acquisitio (Latin) dan acquisition (Inggris), makna harfiah akuisisi adalah membeli atau mendapatkan sesuatu/obyek untuk ditambahkan pada sesuatu/obyek yang telah dimiliki sebelumnya. Akuisisi dalam terminologi bisnis diartikan sebagai pengambilalihan kepemilikan atau pengendalian atas saham atau aset suatu perusahaan oleh perusaahaan lain, dan dalam peristiwa baik perusahaan pengambilalih atau yang diambil alih tetap eksis sebagai badan hukum yang terpisah (Moin, 2003).

C.  Keunggulan dan Kelemahan Akuisisi
Alasan suatu perusahaan melakukan akuisisi adalah ada “manfaat lebih” yang diperoleh darinya, meskipun asumsi ini tidak semuanya terbukti. Secara spesifik, keunggulan dan manfaat akuisisi antara lain adalah : (Moin, 2003)
1.      Mendapatkan cashflow dengan cepat karena produk dan pasar sudah jelas.
2.      Memperoleh kemudahan dana/pembiayaan karena kredititor lebih percaya dengan perusahaan yang telah berdiri dan mapan.
3.      Memperoleh karyawan yang telah berpengalaman.
4.      Mendapatkan pelanggan yang telah mapan tanpa harus merintis dari awal.
5.      Memperoleh sistem operasional dan administratif yang mapan.
6.      Mengurangi resiko kegagalan bisnis karena tidak harus mencari konsumen baru.
7.      Menghemat waktu untuk memasuki untuk memasuki bisnis baru.
8.      Memperoleh infrastruktur untuk mencapai pertumbuhan yang lebih cepat.
Disamping memiliki keunggulan, akuisisi juga memiliki kelemahan sebagai berikut:
1.      Proses integrasi yang tidak mudah.
2.      Kesulitan menentukan nilai perusahaan target secara akurat.
3.      Biaya konsultan yang mahal.
4.      Meningkatnya kompleksitas birokrasi.
5.      Biaya koordinasi yang mahal.
6.      Seringkali menurunkan moral organisasi.
7.      Tidak menjamin peningkatan nilai perusahaan.
8.      Tidak menjamin peningkatan kemakmuran pemegang saham.

D.  Pengertian Kinerja Keuangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), kinerja diartikan sebagai “sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan, kemampuan kerja (tentang peralatan). Berdasarkan pengertian tersebut kinerja keuangan dapat didefinisikan sebagai prestasi manajemen, dalam hal ini manajemen keuangan dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu menghasilkan keuntungan dan meningkatkan nilai perusahaan. Analisis kinerja keuangan dalam penelitian ini bertujuan untuk menilai implementasi strategi perusahaan dalam hal akuisisi yang telah dilakukan agar perusahaan dapat bertahan hidup, berkembang, dan mempunyai daya saing tinggi di tengah era globalisasi dan persaingan bebas.

E.  Metode Analisis Kinerja Keuangan dengan Rasio Keuangan
Analisis rasio keuangan merupakan metode umum yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan di bidang keuangan. Rasio merupakan alat yang memperbandingkan suatu hal dengan hal lainnya sehingga dapat menunjukkan hubungan atau korelasi dari suatu laporan finansial berupa neraca dan laporan laba rugi. Adapun jenis rasio yang digunakan dalam tulisan ini adalah:
1.        Rasio Likuiditas (Liquidity Ratio).
Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansial yang jatuh tempo dalam jangka pendek. Ukuran likuiditas yang digunakan dalam tulisan ini yaitu:
a.     Current Ratio.
Current ratio dihitung dengan membagi aktiva lancar dengan kewajiban lancar. Rasio ini menunjukkan besarnya aktiva yang diharapkan akan dikonversi menjadi kas dalam jangka pendek untuk menutup kewajiban lancar. Rasio yang rendah menunjukkan kurangnya modal untuk membayar hutang. Namun rasio yang tinggi tidak selalu berarti perusahaan sedang dalam keadaan yang baik. Hal tersebut dapat berarti bahwa kas tidak digunakan sebaik mungkin. Perhitungan current ratio dapat dirumuskan sebagai berikut:
                                
Current Ratio
=
Current Asset
Current Liabilities

b.      Quick Ratio.
Quick ratio dihitung dengan mengurangi persediaan dari aktiva lancar dan sisanya dibagi dengan kewajiban lancar. Persediaan dihilangkan karena dianggap aktiva yang sulit dikonversi menjadi kas dengan cepat. Perhitungan quick ratio dapat dirumuskan sebagai berikut:

Quick Ratio
=
Current Asset - Inventories
Current Liabilities

2.        Rasio Manajemen Aset (Asset Management Ratio)
Rasio manajemen aset dihitung dari perbandingan antara tingkat penjualan dengan berbagai elemen aktiva/aset. Rasio ini mengukur efektivitas suatu perusahaan dalam mengelolah aktiva/asetnya. Rasio manajemen aset yang digunakan dalam tulisan ini adalah :
a.      Inventory Turnover Ratio
Inventory Turnover Ratio dihitung dengan membagi penjualan dengan persediaan. Rasio ini menunjukkan perputaran persediaan dalam suatu perusahaan. Semakin cepat perputaran persediaan maka semakin efektif perusahaan dalam mengelolah penjualan. Perhitungan inventory turnover ratio dapat dirumuskan sebagai berikut :

Inventory Turnover Ratio
=
Sales
Inventories

b.      Days Sales Outstanding (DSO)
Days Sales Outstanding dihitung dengan membagi piutang dengan rata-rata penjualan per hari. Rasio ini menunjukkan seberapa cepat penjualan yang dilakukan dapat ditagih dalam bentuk tunai dari piutang yang dimiliki oleh perusahaan. Perhitungan days sales outstanding (DSO) dapat dirumuskan sebagai berikut :

DSO
=
Receivables
Average sale per day (Annual Sales/365)

c.       Fixed Asset Turnover (FATO) Ratio
Fixed asset turn over mengukur seberapa efektif perusahaan menggunakan aktiva tetapnya. Semakin rendah fixed asset turn over, berarti penggunaan aktiva tetapnya semakin kurang efisien. Untuk mengukur besarnya fixed asset turn over dihitung dengan rumus sebagai berikut :

FATO Ratio
=
Sales
Net Fixed Assets

d.      Total Asset Turnover (TATO)  Ratio
Total asset turn over mengukur perputaran semua aktiva. Dengan kata lain, rasio ini mengukur efektifitas perusahaan dalam penggunaan total aktiva. Semakin tinggi rasio berarti semakin baik manajemen dalam mengelola aktivanya, sedangkan semakin rendah
rasio menunjukkan buruknya kinerja manajemen dalam mengelola aktivanya. Untuk menghitung total asset turn over digunakan rumus sebagai berikut :

TATO Ratio
=
Sales
Total Assets

3.        Rasio Manajemen Utang (Debt Management Ratio)
Rasio debt management dihitung dari perbandingan utang dengan total aktiva dan modal sendiri perusahaan. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar utang bila pada suatu saat perusahaan dilikuidasi atau dibubarkan. Dengan kata lain rasio ini mengukur seberapa besar perusahaan menggunakan dana dari pihak luar atau kreditor. Penggunaan utang pada perusahaan mempunyai implikasi yang penting, yaitu : (Brigham, 2005)
1.      Dengan meningkatkan pendanaan melalui utang, pemegang saham dapat mempertahankan kontrol terhadap perusahaan tanpa meningkatkan investasi mereka.
2.      Jika perusahaan mendapatkan dana lebih untuk investasi dari pinjaman daripada untuk membayar bunga utang, maka tingkat pengembalian kepada pemegang saham akan membesar tapi resiko mereka juga membesar.
3.      Para kreditor melihat kepada ekuitas, atau dana pemilik perusahaan untuk menyediakan margin of safety, sehingga apabila proporsi dana yang disediakan oleh pemegang saham lebih besar maka resiko yang dihadapi oleh kreditor lebih kecil.
Rasio manajemen utang yang digunakan dalam tulisan ini adalah :
a.       Debt to Total Asset Ratio (DAR)
Debt to total asset ratio mengukur seberapa besar seluruh utang dijamin oleh seluruh aktiva perusahaan. Kreditor lebih menyukai rasio yang rendah karena semakin rendah rasio ini, maka semakin besar perlindungan terhadap kerugian kreditor dalam peristiwa
likuidasi. Namun, di sisi lain pemilik saham lebih menyukai rasio yang tinggi karena dapat meningkatkan laba yang diharapkan. Untuk mengukur besarnya debt to total asset dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Debt to Total Asset Ratio
=
Total Liabilities
Total Assets

b.      Debt to Equity Ratio (DER)
Rasio ini merupakan perbandingan antara utang dengan ekuitas. Semakin tinggi rasio ini berarti ekuitas semakin sedikit dibanding dengan utangnya. Bagi perusahaan ukuran utang sebaiknya tidak melebihi dari ekuitas karena resiko menjadi tinggi apabila terjadi likuidasi dan perusahaan akan kesulitan untuk membayar utang. Perhitungan debt to equity ratio dapat dirumuskan sebagai berikut :

Debt to Equity Ratio
=
Total Liabilities
Owner’s Equity

4.        Rasio Profitabilitas (Profitability Ratio)
Rasio profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Rasio ini membantu perusahaan dalam mengontrol penerimaannya. Rasio-rasio profitabilitas yang digunakan dalam tulisan ini adalah :
a.       Operating Profit Margin (OPM)
Operating profit margin mengukur berapa laba usaha yang dihasilkan dari penjualan atau pendapatan. Semakin rendah rasio ini, semakin kurang baik karena biaya-biaya operasi naik. Kemungkinan hal ini terjadi karena ada pemborosan. Perhitungan operating profit
margin dapat dirumuskan sebagai berikut :

Operating Profit Margin
=
Operating profit
Sales

b.      Net Profit Margin (NPM)
Net profit margin mengukur seberapa banyak laba bersih setelah pajak dan bunga yang dapat dihasilkan dari penjualan atau pendapatan. Rasio yang rendah bisa disebabkan karena penjualan turun lebih besar dari turunnya ongkos, dan sebaliknya. Setiap perusahaan berkepentingan terhadap profit margin yang tinggi. Untuk menghitung net profit margin digunakan rumus sebagai berikut:

Net Profit Margin
=
Net profit
Sales

c.       Basic Earning Power (BEP)
Basic Earning Power digunakan untuk mengukur seberapa besar aset digunakan untuk menghasilkan keuntungan (laba kotor). Rasio ini dihitung dengan membagi keuntungan sebelum bunga dan pajak dengan total aset, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut :

Basic Earning Power
=
Earnings Before Interest and Tax (EBIT)
Total Assets

d.      Return On Total Assets (ROA)
Return On Total Assets mengukur keuntungan yang dihasilkan dari seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan. Rasio yang rendah menunjukkan kinerja yang buruk atas pemanfaatan aktiva yang buruk oleh manajemen, sedangkan rasio tinggi menunjukkan kinerja atas penggunaan aktiva yang baik. Untuk menghitung Return On Total Assets digunakan rumus sebagai berikut :

Return On Total Assets
=
Net Income available to common stockholders
Total Assets

e.       Return On Equity (ROE)
Return On Equity mengukur seberapa banyak laba bersih yang dapat dihasilkan dari investasi para pemegang saham dalam perusahaan. Rasio yang rendah dapat diartikan bahwa manajemen kurang efisien dalam penggunaan modal, sedangkan rasio yang tinggi dapat menunjukkan bahwa sebagian besar modal diperoleh dari pinjaman atau manajemen sangat efisien. Untuk menghitung Return On Equity digunakan rumus sebagai berikut ;

Return On Equity
=
Net Income available to common stockholders
Common Equity





















BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN


            Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian berupa olahan data yang merupakan data sekunder dan diperoleh penulis dari penelusuran di internet. Data yang diperoleh merupakan data ringkasan laporan keuangan PT. HM. Sampoerna, Tbk dalam kurun waktu tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 (Juni 2007). Data tersebut kemudian diolah untuk menunjukkan terjadinya perbedaan rasio keuangan pada perusahaan sebelum dan sesudah dilakukannya akuisisi. Jadi yang dibandingkan dalam tulisan ini adalah data rasio keuangan satu tahun sebelum akuisisi (tahun 2004), data rasio keuangan pada saat akuisisi berlangsung (tahun 2005), dan data rasio keuangan satu tahun sesudah dilakukannya akusisi (tahun 2006). Sedangkan rasio keuangan yang digunakan untuk bahan perbandingan adalah rasio likuiditas (liquidity ratio), rasio manajemen aset (asset management ratio), rasio manajemen utang (debt management ratio), dan rasio profitabilitas (profitability ratio).

A.      Analisis Rasio Likuiditas (Liquidity Ratio)
Rasio likuiditas mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansial yang jatuh tempo dalam jangka pendek. Analisis yang digunakan dalam pembahasan rasio ini adalah analisis deskriptif, yaitu untuk melihat apakah terdapat perbedaan rasio likuiditas pada perusahaan sebelum dan sesudah dilakukannya akuisisi dan apakah perbedaan tersebut signifikan serta rasio tersebut semakin baik dari tahun ke tahun.

1.      Current Ratio
Current ratio menunjukkan besarnya aktiva yang diharapkan akan dikonversi menjadi kas dalam jangka pendek untuk menutup kewajiban lancar. Semakin tinggi tingkat current ratio yang dimiliki perusahaan akan semakin baik, namun apabila terlalu tinggi akan mengakibatkan terjadinya opportunity cost karena tidak optimalnya perusahaan dalam penggunaan dana.

Tabel 1
Current Ratio PT. HM. Sampoerna, Tbk
Tahun 2004-2006

Nama Rasio Keuangan
Tahun
2004
2005
2006
Current Ratio
2,09x
1,70x
1,68x

Dari Tabel 1 diatas dapat kita lihat bahwa terdapat perbedaan current ratio pada PT. HM. Sampoerna, Tbk sebelum dan sesudah akuisisi. Pada tahun 2004 (sebelum akuisisi) current ratio sebesar 2,09x yang menunjukkan bahwa current asset yang dimiliki perusahaan mencapai 2,09x current liabilities yang harus dibayar dalam jangka pendek. Pada tahun 2005 (saat akuisisi) current ratio mencapai 1,70x dan tahun 2006 (sesudah akuisisi) mencapai 1,68x. Ada dua hal menarik disini, pertama, terjadi perubahan yang cukup signifikan current ratio dari tahun 2004 ke tahun 2005, yaitu sebesar 0,39 (2,09-1,70). Namun pada tahun 2005 ke tahun 2006 tidak terjadi perubahan yang signifikan, hanya sebesar 0,02 (1,70-1,68). Yang kedua adalah adanya trend penurunan current ratio dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan kinerja keuangan perusahaan kurang bagus dan apabila hal ini dibiarkan maka kepercayaan investor terhadap perusahaan akan semakin berkurang dan pada akhirnya bisa menyebabkan penurunan harga saham.

2.      Quick Ratio
Quick ratio dihitung dengan mengurangi persediaan dari aktiva lancar dan sisanya dibagi dengan kewajiban lancar. Semakin tinggi tingkat quick ratio yang dimiliki perusahaan akan semakin baik, namun apabila terlalu tinggi akan mengakibatkan terjadinya opportunity cost karena tidak optimalnya perusahaan dalam penggunaan dana.

Tabel 2
Quick Ratio PT. HM. Sampoerna, Tbk
Tahun 2004-2006

Nama Rasio Keuangan
Tahun
2004
2005
2006
Quick Ratio
0,80x
0,48x
0,36x

Dari Tabel 2 diatas kita ketahui bahwa terdapat perbedaan quick ratio pada PT. HM. Sampoerna, Tbk sebelum dan sesudah akuisisi. Pada tahun 2004 quick ratio sebesar 0,80x yang menunjukkan bahwa current asset yang sudah dikurangi dengan inventories perusahaan mencapai 0,80x current liabilities yang harus dibayar dalam jangka pendek. Pada tahun 2005 quick ratio mencapai 0,48x dan tahun 2006 mencapai 0,36x. Selain itu terjadi perubahan yang cukup signifikan quick ratio dari tahun 2004 ke tahun 2005, yaitu sebesar 0,32 (0,80-0,48). Namun pada tahun 2005 ke tahun 2006 tidak terjadi perubahan yang signifikan, hanya sebesar 0,12 (0,48-0,36). Hal yang lain adalah adanya trend penurunan quick ratio dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan kinerja keuangan perusahaan kurang bagus dan apabila hal ini dibiarkan maka kepercayaan investor terhadap perusahaan akan semakin berkurang dan pada akhirnya bisa menyebabkan penurunan harga saham.

B.       Analisis Rasio Manajemen Aset (Asset Management Ratio)
Rasio manajemen aset mengukur keefektifan perusahaan untuk mengelolah aset/aktivanya.  Analisis yang digunakan dalam pembahasan rasio ini adalah analisis deskriptif, yaitu untuk melihat apakah terdapat perbedaan rasio manajemen aset pada perusahaan sebelum dan sesudah dilakukannya akuisisi dan apakah perbedaan tersebut signifikan serta rasio tersebut semakin baik dari tahun ke tahun.

1.      Inventory Turnover Ratio
Inventory Turnover Ratio menunjukkan kemampuan perusahaan menggunakan persediaan (inventories) untuk menghasilkan penjualan yang maksimal. Semakin tinggi nilai rasio semakin baik karena pada tingkat penjualan tertentu ditunjang dengan inventories yang minimal.

Tabel 3
Inventory Turnover Ratio PT. HM. Sampoerna, Tbk
Tahun 2004-2006

Nama Rasio Keuangan
Tahun
2004
2005
2006
Inventory Turnover Ratio
3,61x
       3,94x
3,98x

Dari Tabel 3 diatas kita ketahui bahwa terdapat perbedaan inventory turnover ratio pada PT. HM. Sampoerna, Tbk sebelum dan sesudah akuisisi. Pada tahun 2004 inventory turnover ratio sebesar 3,61x yang menunjukkan bahwa tingkat penjualan (sales) yang dapat dilakukan dengan menggunakan inventories yang ada pada perusahaan mencapai 3,61x. Pada tahun 2005 inventory turnover ratio mencapai 3,94x dan tahun 2006 mencapai 3,98x. Selain itu terjadi perubahan yang cukup signifikan inventory turnover ratio dari tahun 2004 ke tahun 2005, yaitu sebesar 0,33 (3,94-3,61). Namun pada tahun 2005 ke tahun 2006 tidak terjadi perubahan yang signifikan, hanya sebesar 0,04 (3,98-3,94). Yang menarik adalah terjadi kenaikan rasio dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan kinerja perusahaan dalam hal yang berhubungan dengan rasio ini semakin baik setelah dilakukannya proses akuisisi.

2.      Days Sales Outstanding (DSO) Ratio
DSO menunjukkan seberapa cepat perusahaan dapat mengubah receivables dari hasil penjualan menjadi bentuk cash. Dengan kata lain, berapa hari yang dibutuhkan perusahaan untuk dapat memperoleh uang tunai dari hasil penjualannya. Semakin sedikit jumlah hari yang dibutuhkan semakin baik dan menunjukkan kemampuan perusahaan mengubah receivables menjadi cash semakin cepat.

Tabel 4
DSO Ratio PT. HM. Sampoerna, Tbk
Tahun 2004-2006

Nama Rasio Keuangan
Tahun
2004
2005
2006
DSO Ratio
6,71 hari
       7,75 hari
4,93 hari

Dari Tabel 4 diatas dapat kita ketahui bahwa terdapat perbedaan DSO ratio pada PT. HM. Sampoerna, Tbk sebelum dan sesudah akuisisi. Pada tahun 2004 DSO ratio sebesar 6,71 hari menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menagih piutang dari penjualan (sales) yang dilakukan oleh perusahaan adalah 6,71 hari. Pada tahun 2005 DSO  ratio mencapai 7,75 hari dan tahun 2006 mencapai 4,93 hari. Selain itu terjadi perubahan yang cukup signifikan DSO ratio dari tahun 2005 ke tahun 2006, yaitu sebesar 2,82 (7,75-4,93). Namun pada tahun 2004 ke tahun 2005 tidak terjadi perubahan yang signifikan, hanya sebesar 1,04 (7,75-6,71). Hal lain adalah terjadi penurunan rasio dari tahun 2004 ke tahun 2005. Namun setelah dilakukan akuisisi rasio menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa proses akuisisi mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam meningkatkan kinerja perusahaan dalam hal yang berhubungan dengan DSO ratio.

3.      Fixed Asset Turnover (FATO) Ratio
FATO ratio mengukur seberapa efektif perusahaan mengelolah aktiva tetapnya. Semakin tinggi FATO ratio menunjukkan kemampuan perusahaan mengelolah aktiva tetap secara efisien dengan menggunakan aktiva tetap yang minimal.

Tabel 5
FATO Ratio PT. HM. Sampoerna, Tbk
Tahun 2004-2006

Nama Rasio Keuangan
Tahun
2004
2005
2006
FATO Ratio
7,56x
       10,28x
12,36x
Dari Tabel 5 dapat kita ketahui bahwa terdapat perbedaan FATO ratio pada PT. HM. Sampoerna, Tbk sebelum dan sesudah akuisisi. Pada tahun 2004 FATO ratio sebesar 7,56x menunjukkan bahwa tingkat penjualan (sales) yang dapat dilakukan dengan menggunakan fixed assets yang ada pada perusahaan mencapai 7,56x. Pada tahun 2005 FATO ratio mencapai 10,28x dan tahun 2006 mencapai 12,36x. Selain itu terjadi perubahan yang cukup signifikan FATO ratio dari tahun  ke tahun, yaitu sebesar 2,72 dari tahun 2004 ke tahun 2005 dan 2,08 dari tahun 2005 ke tahun 2006. Dan dari perubahan tersebut  yang menarik adalah terjadi kenaikan rasio dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan kinerja perusahaan dalam hal yang berhubungan dengan rasio ini semakin baik setelah dilakukannya proses akuisisi.

4.      Total Asset Turnover (TATO) Ratio
TATO ratio mengukur seberapa efektif perusahaan mengelolah total aktivanya. Semakin tinggi TATO ratio menunjukkan kemampuan perusahaan mengelolah total aktiva secara efisien dengan menggunakan total aktiva yang minimal.

Tabel 6
TATO Ratio PT. HM. Sampoerna, Tbk
Tahun 2004-2006

Nama Rasio Keuangan
Tahun
2004
2005
2006
TATO Ratio
1,53x
       2,07x
2,33x

Dari Tabel 6 dapat kita ketahui bahwa terdapat perbedaan FATO ratio pada PT. HM. Sampoerna, Tbk sebelum dan sesudah akuisisi. Pada tahun 2004 FATO ratio sebesar 1,53x menunjukkan bahwa tingkat penjualan (sales) yang dapat dilakukan dengan menggunakan total assets yang ada pada perusahaan mencapai 1,53x. Pada tahun 2005 TATO ratio mencapai 2,07x dan tahun 2006 mencapai 2,33x. Selain itu terjadi perubahan yang kurang signifikan TATO ratio dari tahun ke tahun, yaitu sebesar 0,54 dari tahun 2004 ke tahun 2005 dan 0,26 dari tahun 2005 ke tahun 2006. Dan dari perubahan tersebut  yang menarik adalah terjadi kenaikan rasio dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan kinerja perusahaan dalam hal yang berhubungan dengan rasio ini semakin baik setelah dilakukannya proses akuisisi.

C.      Analisis Rasio Manajemen Utang (Debt Management Ratio)
Rasio manajemen utang mengukur seberapa besar perusahaan menggunakan dana dari pihak luar/kreditor.  Dengan kata lain, menunjukkan proporsi seberapa besar digunakannya utang dari aktiva yang dimiliki perusahaan. Analisis yang digunakan dalam pembahasan rasio ini adalah analisis deskriptif, yaitu untuk melihat apakah terdapat perbedaan rasio manajemen utang pada perusahaan sebelum dan sesudah dilakukannya akuisisi dan apakah perbedaan tersebut signifikan serta rasio tersebut semakin baik dari tahun ke tahun.

1.      Debt to Total Assets Ratio (DAR)
Debt to total asset ratio mengukur seberapa besar seluruh utang dijamin oleh seluruh aktiva perusahaan. Semakin kecil persentase DAR oleh kreditor dianggap semakin baik karena akan mengurangi resiko kerugian apabila perusahaan nanti mengalami likuidasi dan para kreditor tidak mendapatkan pengembalian atas utang yang diberikannya kepada perusahaan. Di sisi lain, para pemegang saham menginginkan tingkat DAR yang tinggi karena akan memperbesar pendapatan yang diharapkannya.

Tabel 7
Debt to Total Asset Ratio PT. HM. Sampoerna, Tbk
Tahun 2004-2006

Nama Rasio Keuangan
Tahun
2004
2005
2006
Debt to Total Asset Ratio
55,23%
       59,60%
54,29%

Dari Tabel 7 dapat kita ketahui bahwa terdapat perbedaan debt to total assets ratio pada PT. HM. Sampoerna, Tbk sebelum dan sesudah akuisisi. Pada tahun 2004 debt to total assets ratio sebesar 55,23% menunjukkan bahwa persentase penggunaan utang terhadap aktiva perusahaan mencapai 55,23%. Pada tahun 2005 debt to total assets ratio mencapai 59,60% dan tahun 2006 mencapai 54,29%. Selain itu terjadi perubahan yang cukup signifikan debt to total assets ratio dari tahun ke tahun. Dari tahun 2004 ke tahun 2005 terjadi kenaikan sebesar 4,37%, namun dari tahun 2005 ke tahun 2006 terjadi penurunan sebesar 5,31%. Hal ini menunjukkan kinerja perusahaan pada saat akuisisi mengalami penurunan, namun setelah akuisisi dilaksanakan kinerja perusahaan membaik kembali.

2.      Debt to Equity Ratio (DER)
Debt to equity ratio menunjukkan imbangan antara utang yang dimiliki perusahaan dengan ekuitas perusahaan itu sendiri.

Tabel 8
Debt to Equity Ratio PT. HM. Sampoerna, Tbk
Tahun 2004-2006

Nama Rasio Keuangan
Tahun
2004
2005
2006
Debt to Equity Ratio
131,42%
       155,45%
120,71%

Dari Tabel 8 dapat kita ketahui bahwa terdapat perbedaan debt to equty ratio pada PT. HM. Sampoerna, Tbk sebelum dan sesudah akuisisi. Pada tahun 2004 debt to equity ratio sebesar 131,42% menunjukkan bahwa persentase penggunaan utang terhadap ekuitas perusahaan mencapai 131,42%. Pada tahun 2005 debt to equity  ratio mencapai 155,45% dan tahun 2006 mencapai 120,71%. Selain itu terjadi perubahan yang cukup signifikan debt to equity ratio dari tahun ke tahun. Dari tahun 2004 ke tahun 2005 terjadi kenaikan sebesar 24,03%, namun dari tahun 2005 ke tahun 2006 terjadi penurunan sebesar 34,74%. Hal ini menunjukkan kinerja perusahaan pada saat akuisisi mengalami penurunan, namun setelah akuisisi dilaksanakan kinerja perusahaan membaik kembali.

D.      Analisis Rasio Profitabilitas (Profitability Ratio)
Analisis rasio profitabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba. Analisis yang digunakan dalam pembahasan rasio ini adalah analisis deskriptif, yaitu untuk melihat apakah terdapat perbedaan rasio manajemen utang pada perusahaan sebelum dan sesudah dilakukannya akuisisi dan apakah perbedaan tersebut signifikan serta rasio tersebut semakin baik dari tahun ke tahun.
1.      Operating Profit Margin (OPM)
Operating profit margin mengukur berapa laba usaha yang dihasilkan dari penjualan atau pendapatan. Dengan kata lain, seberapa besar penjualan yang dilakukan dapat menjadi keuntungan bagi perusahaan.
Tabel 9
Operating Profit Margin PT. HM. Sampoerna, Tbk
Tahun 2004-2006

Nama Rasio Keuangan
Tahun
2004
2005
2006
Operating Profit Margin
18,04%
       15,98%
17,52%

Dari Tabel 9 dapat kita ketahui bahwa terdapat perbedaan operating profit margin pada PT. HM. Sampoerna, Tbk sebelum dan sesudah akuisisi. Pada tahun 2004 operating profit margin sebesar 18,04% menunjukkan bahwa persentase keuntungan/laba usaha yang dihasilkan dari penjualan mencapai 18,04%. Pada tahun 2005 operating profit margin mencapai 15,98% dan tahun 2006 mencapai 17,52%. Selain itu terjadi perubahan yang kurang signifikan operating profit margin dari tahun ke tahun. Dari tahun 2004 ke tahun 2005 terjadi penurunan sebesar 2,06%, namun dari tahun 2005 ke tahun 2006 terjadi kenaikan sebesar 1,54%. Hal ini menunjukkan kinerja perusahaan pada saat akuisisi mengalami penurunan, namun setelah akuisisi dilaksanakan kinerja perusahaan membaik kembali yang ditunjukkan dengan naiknya kembali rasio OPM PT. HM Sampoerna, Tbk.

2.      Net Profit Margin (NPM)
Net profit margin mengukur seberapa banyak laba bersih setelah pajak dan bunga yang dapat dihasilkan dari penjualan atau pendapatan. Semakin besar persentase NPM semakin baik yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba bersih semakin baik.

Tabel 10
Net Profit Margin PT. HM. Sampoerna, Tbk
Tahun 2004-2006

Nama Rasio Keuangan
Tahun
2004
2005
2006
Net Profit Margin
11,29%
       9,66%
11,95%

Dari Tabel 10 dapat kita ketahui bahwa terdapat perbedaan net profit margin pada PT. HM. Sampoerna, Tbk sebelum dan sesudah akuisisi. Pada tahun 2004 net profit margin sebesar 11,29% menunjukkan bahwa persentase keuntungan/laba usaha bersih yang dapat dihasilkan dari penjualan mencapai 11,29%. Pada tahun 2005 net profit margin mencapai 9,66% dan tahun 2006 mencapai 11,95%. Selain itu terjadi perubahan yang kurang signifikan net profit margin dari tahun ke tahun. Dari tahun 2004 ke tahun 2005 terjadi penurunan sebesar 1,63%, namun dari tahun 2005 ke tahun 2006 terjadi kenaikan sebesar 2,29%. Hal ini menunjukkan kinerja perusahaan pada saat akuisisi mengalami penurunan, namun setelah akuisisi dilaksanakan kinerja perusahaan membaik kembali yang ditunjukkan dengan naiknya kembali rasio OPM PT. HM Sampoerna, Tbk.


3.      Basic Earning Power  (BEP)
Basic earning power mengukur seberapa besar aktiva yang dimiliki perusahaan untuk menghasilkan keuntungan/laba kotor. Semakin besar persentase BEP yang dimiliki perusahaan semakin baik dan menunjukkan kemampuan perusahaan menggunakan aktiva secara efektif untuk menghasilkan keuntungan/laba kotor yang maksimal.
Tabel 11
Basic Earning Power PT. HM. Sampoerna, Tbk
Tahun 2004-2006

Nama Rasio Keuangan
Tahun
2004
2005
2006
Basic Earning Power
26,46%
       31,21%
42,22%

Dari Tabel 11 dapat kita ketahui bahwa terdapat perbedaan basic earning power pada PT. HM. Sampoerna, Tbk sebelum dan sesudah akuisisi. Pada tahun 2004 basic earning power sebesar 26,46% menunjukkan bahwa persentase keuntungan/laba usaha kotor yang mampu dihasilkan penggunaan aktiva secara efektif mencapai 26,46%. Pada tahun 2005 basic earning power mencapai 31,21% dan tahun 2006 mencapai 42,22%. Selain itu terjadi kenaikan persentase yang cukup signifikan basic earning power dari tahun ke tahun. Dari tahun 2004 ke tahun 2005 sebesar 4,75%, dan tahun 2005 ke tahun 2006 sebesar 11,01%. Hal ini menunjukkan kinerja keuangan perusahaan semakin baik dari tahun ke tahun dan bahkan setelah dilakukan akuisisi terjadi peningkatan kinerja keuangan yang signifikan mencapai lebih dari 10%.

4.      Return on Assets (ROA)
Return on investment mengukur keuntungan/laba bersih yang dihasilkan dari seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan. Semakin besar persentase ROA yang dimiliki perusahaan semakin baik dan menunjukkan kemampuan perusahaan menggunakan aktiva secara efektif untuk menghasilkan keuntungan/laba bersih yang maksimal.

Tabel 12
Return On Investment PT. HM. Sampoerna, Tbk
Tahun 2004-2006

Nama Rasio Keuangan
Tahun
2004
2005
2006
Return On Investment
17,23%
       19,97%
27,89%

Dari Tabel 12 dapat kita ketahui bahwa terdapat perbedaan  return on investment pada PT. HM. Sampoerna, Tbk sebelum dan sesudah akuisisi. Pada tahun 2004 return on investment sebesar 17,23% menunjukkan bahwa persentase keuntungan/laba bersih yang mampu dihasilkan dari penggunaan aktiva secara efektif mencapai 17,23%. Pada tahun 2005 return on investment mencapai 19,97% dan tahun 2006 mencapai 27,89%. Pada saat terjadi proses akuisisi (2004 ke 2005) persentase kenaikan ROA kurang signifikan, yakni hanya sebesar 2,74%. Namun setelah akuisisi dilaksanakan (2005 ke 2006) persentase kenaikan ROA cukup signifikan yaitu sebesar 7,92%. Hal ini menunjukkan kinerja keuangan perusahaan semakin baik dari tahun ke tahun dan bahkan setelah dilakukan akuisisi terjadi peningkatan kinerja keuangan yang signifikan mencapai hampir 8%.

5.      Return on Equity (ROE)
Return on equity mengukur seberapa banyak laba bersih yang dapat dihasilkan dari investasi para pemegang saham dalam perusahaan. Semakin besar persentase ROE yang dimiliki perusahaan semakin baik dan menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan/laba bersih dari saham yang ditanamkan para investor semakin maksimal.

Tabel 13
Return On Equity PT. HM. Sampoerna, Tbk
Tahun 2004-2006

Nama Rasio Keuangan
Tahun
2004
2005
2006
Return On Equity
62,95%
       81,40%
93,87%

Dari Tabel 13 dapat kita ketahui bahwa terdapat perbedaan  return on equity pada PT. HM. Sampoerna, Tbk sebelum dan sesudah akuisisi. Pada tahun 2004 return on equity sebesar 62,95% yang menunjukkan bahwa persentase keuntungan/laba bersih yang mampu dihasilkan dari saham yang ditanamkan oleh para investor mencapai 62,95%. Pada tahun 2005 return on equity mencapai 81,40% dan tahun 2006 mencapai 93,87%. Dari tabel 13 juga dapat kita lihat bahwa terjadi kenaikan persentase ROE yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Pada saat terjadi proses akuisisi (2004 ke 2005) persentase kenaikan ROE sebesar 18,45% dan setelah akuisisi dilaksanakan (2005 ke 2006) persentase kenaikan ROE sebesar 12,47%. Hal ini menunjukkan kinerja keuangan perusahaan semakin baik dari tahun ke tahun dan bahkan setelah dilakukan akuisisi terjadi peningkatan kinerja keuangan yang signifikan mencapai kisaran 12% sampai dengan 18%.






























BAB IV
KESIMPULAN



Dari uraian analisis dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, dapat kita tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Akuisisi merupakan salah satu upaya perusahaan agar dapat bertahan hidup, berkembang, dan berdaya saing tinggi di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat dengan menjual sebagian atau seluruh saham yang dimiliki perusahaan kepada investor. Dalam hal ini PT. HM. Sampoerna, Tbk menjual sahamnya kepada PT. Philips Morris Indonesia  hingga 97%.
2.      Berdasarkan rasio likuiditas, kinerja keuangan PT. HM. Sampoerna, Tbk tidak terjadi perbaikan kinerja setelah dilakukan proses akuisisi. Bahkan yang terjadi adalah penurunan kinerja keuangan yang cukup signifikan baik dari current ratio maupun quick ratio dari tahun ke tahun.
3.      Berdasarkan rasio manajemen aset, kinerja keuangan PT. HM. Sampoerna, Tbk mengalami perbaikan kinerja yang cukup signifikan setelah dilaksanakannya proses akuisisi dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan terdapat pengaruh diadakannya akuisisi terhadap kinerja keuangan PT. HM. Sampoerna, Tbk.
4.      Berdasarkan rasio manajemen utang, kinerja keuangan PT. HM. Sampoerna, Tbk mengalami perubahan yang cukup signifikan. Namun perubahan tersebut berupa penurunan kinerja pada saat diadakan akuisisi dan kenaikan kinerja setelah akuisisi berlangsung. Hal ini menunjukkan kinerja keuangan PT. HM. Sampoerna, Tbk mengalami penurunan pada saat akuisisi dan membaik kembali setelah akusisi selesai dilaksanakan.
5.      Berdasarkan rasio profitabilitas, kinerja keuangan PT. HM. Sampoerna, Tbk mengalami perubahan yang sangat signifikan. Hal ini ditandai dengan naiknya persentase kinerja dari tahun ke tahun pada kisaran 10%-20%. Dari sini kita dapat melihat bahwa akuisisi yang dilakukan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja keuangan perusahaan.




















DAFTAR PUSTAKA



Brigham, Eugene F dan Michael C. Ehrhardt 2005. Financial Management : Theory and Practice. Edisi 11. Ohio-USA : South-Western Cengage Learning.

Moin, Abdul. 2003. Merger, Akuisisi dan Divestasi. Jilid 1. Yogyakarta: Ekonisia.

Swarsono, Muhammad. 2004. Manajemen Strategik: Konsep dan Kasus. Jilid 1. Edisi Ketiga. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.


Tidak ada komentar: